BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Batu ginjal merupakan kondisi yang
cukup umum diderita oleh orang-orang yang berusia 30 hingga 60 tahun. Penyakit
ini lebih banyak diderita oleh pria dibandingkan wanita. Ini terjadi dikarenakan adanya perbedaan aktivitas fisik, pola
makan, serta struktur anatomis yang berbeda. Secara garis besar pembentukan
batu ginjal dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik
yaitu umur, jenis kelamin, dan keturunan, sedangkan faktor ekstrinsik yaitu
kondisi geografis, iklim, kebiasaan makan, zat yang terkandung dalam urin, pekerjaan,
dan sebagainya. Nefrolitiasis juga dapat di bedakan berdasarkan komposisi zat
yang menyusunnya. Berdasarkan komposisi zat yang meyusun batu, batu dibedakan
menjadi batu kalsium, batu struvit, batu asam urat, batu sistin. Angka kejadian
batu kalsium paling tinggi jika dibandingkan dengan angka kejadian batu
lainnya. Penatalaksanaan klien nefrolitiasis dapat dilakukan dengan menggunakan
metode ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy), PNL (Percutaneus
Shockwave Litholapaxy), bedah terbuka dan terapi konservatif atau terapi
ekspulsif medikamentosa (TEM).
Penyakit batu saluran kemih sudah dikenal sejak zaman
Babilonia dan zaman Mesir kuno. Sebagai salah satu buktinya adalah ditemukan
batu pada kandung kemih seorang mumi. Angka kejadian penyakit ini tidak sama di
berbagai belahan bumi. Di negara-negara berkembang banyak dijumpai klien batu
buli-buli sedangkan di negara maju lebih banyak dijumpai penyakit batu saluran
kemih bagian atas, hal ini karena adanya pengaruh status gizi dan aktivitas klien
sehari-hari. Di Amerika Serikat 5-10% penduduknya menderita penyakit ini (Purnomo,
2012: 5).
Menurut World Health Organization (2007), menunjukkan 43%
penyebab batu saluran kemih karena kurang gerak. Sekitar 60-70% batu yang turun
spontan sering disertai dengan serangan kolik ulangan. Angka prevelensi
rata-rata diseluruh dunia 1-12% penduduk menderita batu saluran kemih.
Batu ginjal merupakan penyakit yang
jumlah penderitanya relatif tinggi di Asia, khususnya di Indonesia. Menurut survei
yang dilakukan oleh US Census Bureu (2004), jumlah penderita
batu ginjal di Indonesia diperkirakan mencapai 876.000 orang. Setelah batu
dikeluarkan, tindak lanjut yang tidak kalah pentingnya adalah upaya mencegah
timbulnya kekambuhan. Angka kekambuhan batu saluran kemih rata-rata 7% per
tahun atau kambuh lebih dari 50% dalam 10 tahun (Haryono, 2013: 65).
Menurut Departemen Kesehatan RI
(2006), jumlah klien rawat inap penderita BSK di rumah sakit seluruh Indonesia
yaitu 16.251 penderita dengan CFR 0.94% <http://eprints.undip.ac.id/18458/1/Nur_Lina.pdf>
(Diakses tanggal 22 Mei 2016).
Berdasarkan hasil survei di Rumah sakit Umum Daerah Ulin
Banjarmasin khususnya di ruang Bedah Umum (Tulip IC) pada tahun 2013, 34 klien
yang menderita batu ureter, Sedangkan pada tahun 2014 dari 2.492 klien yang
dirawat inap, yang menderita batu saluran kemih 35 klien dan pada tahun 2016, untuk
bulan Januari sampai April, yang menderita Nefrolitiasis berjumlah 7 klien.
Berdasarkan
paparan diatas, penulis berminat untuk mengangkat dan melakukan asuhan
keperawatan pada klien Nefrolitiasis,
kemudian berkenan dengan hal tersebut tenaga kesehatan terutama perawat diharapkan untuk mampu memberikan
asuhan keperawatan yang bermutu dan optimal.
1.2
Tujuan Umum
Tujuan
umum dari penulisan ini adalah untuk memberikan asuhan keperawatan secara
menyeluruh kepada klien Nefrolitiasis di ruang Bedah Umum Rumah Sakit Umum
Daerah Ulin Banjarmasin dan untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan program
studi D.3 Keperawatan Universitas Muhammadiyah Banjarmasin.
1.3
Tujuan Khusus
Tujuan
khusus dari penulisan ini adalah untuk memberikan informasi gambaran hasil pelaksanaan Asuhan Keperawatan
pada klien Nefrolitiasis dengan pendekatan proses keperawatan secara
komprehensif, meliputi:
1.3.1 Melakukan
pengkajian keperawatan atau pengumpulan data pada klien dengan Nefrolitiasis.
1.3.2
Menentukan
diagnosa keperawatan yang muncul pada klien dengan Nefrolitiasis.
1.3.3
Menyusun
rencana tindakan keperawatan pada klien dengan Nefrolitiasis.
1.3.4 Melakukan
implementasi keperawatan pada klien sesuai dengan rencana yang telah disusun
pada pasien dengan Nefrolitiasis.
1.3.5 Mengevaluasi
terhadap tindakan keperawatan yang telah diberikan pada klien Nefrolitiasis.
1.3.6
Mendokumentasikan
hasil asuhan keperawatan pada klien dengan Nefrolitiasis.
1.4 Sistematika Penulisan
Bab 1: Pendahuluan, berisi tentang latar belakang, tujuan umum,
tujuan khusus, manfaat, metode ilmiah penulisan, dan sistematik penulisan.
Bab 2: Tinjauan teoritis, berisi tentang tinjauan
teoritis medis, dan tinjauan teoritis asuhan keperawatan Nefrolitiasis.
Bab 3: Hasil asuhan keperawatan, berisi tentang
gambaran kasus, analisa data dan diagnosis keperawatan, rencana keperawatan,
implementasi keperawatan, evaluasi keperawatan dan catatan perkembangan.
Bab 4: Kesimpulan dan saran, berisi tentang
kesimpulan, dan saran. Untuk bagian akhir, terdiri dari daftar rujukan dan
lampiran-lampiran.
BAB
2
TINJAUAN TEORITIS
2.1
Tinjauan Teoritis Medis
2.1.1
Anatomi Sistem
Perkemihan
Gambar 2.1 Anatomi Sistem Perkemihan
(Sumber data: < Slideplayer.info
> Diakses pada tanggal 10 Mei 2016).
Gambar 2.2 Anatomi Ginjal Bagian Luar
(Sumber data: < Dedaunan.com > Diakses pada tanggal 10 Mei 2016).
Gambar 2.3
Anatomi Ginjal Bagian Dalam
(Sumber data: < Softilmu.com > Diakses pada
tanggal 10 Mei 2016).
2.1.2 Fisiologis
Ginjal
Syarifuddin (2011: 446)
mengemukakan bahwa, “Ginjal merupakan organ terpenting dalam mempertahankan
homeostatis cairan tubuh secara baik”.
Ginjal
terletak pada dinding posterior abdomen, terutama di daerah lumbal, disebelah
kanan dan kiri tulang belakang, dibungkus lapisan lemak yang tebal, dibelakang
peritonium, dan karena itu di luar rongga peritonium (Pearce, 2014: 298).
Kedudukan ginjal dapat
diperkirakan dari belakang, mulai dari ketinggian vertebra torakalis terakhir
sampai vertebralumbalis ketiga. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari kiri,
karena hati menduduki banyak ruang disebelah kanan (Pearce, 2014: 298).
Setiap
ginjal panjangnya 6 sampai 7,5 cm, dan tebal 1,5 sampai 2,5 cm. Pada orang
dewasa beratnya kira-kira 140 gram. Bentuk ginjal seperti biji kacang dan sisi
dalamnya atau hilum menghadap ketulang punggung. Sisi luarnya cembung (Pearce,
2014: 298).
Pembuluh-pembuluh
ginjal semuanya masuk dan keluar pada hilum. Di atas setiap ginjal menjulang
sebuah kelenjar suprarenal. Ginjal kanan lebih pendek dan lebih tebal dari pada
yang kiri (Pearce, 2014: 298).
The
kidneys are bean shaped organs located retroperitoneally, just below the ribs.
The kidneys maintain fluid and electrolyte balance. They usually measure 10 to
12 cm in length 5 to 7 cm transversely and 3 cm in anteroposterior dimension.
The center of the right kidney is located approximatelty at the body of the second
lumbar vertebra. the right kidney is 1 to 2 cm lower than the left because of
its location below the liver. the renal calyces coalesce to form the renal
pelvis which collects urine and is continuous with the ureter, the renal pelvis exits the kidney medially,
posterior to the renal vessels. The kidneys receive their blood
supply from the renal arteries, which originate directly from the aorta, just
below the trunk of the veins, which feed into the inferior vena cava. both the
arteries and the veins (Gebhart, 2010: 1).
Ginjal adalah organ berbentuk kacang, terletak retroperitoneally,
tepat di bawah tulang rusuk. Ukuran panjang 10-12 cm, 5-7 cm melintang dan 3 cm
dalam dimensi anteroposterior. Pusat ginjal kanan terletak sekitar tubuh
vertebra lumbalis kedua. Ginjal kanan posisinya 1 sampai 2 cm lebih rendah
dari kiri karena lokasinya di bawah
hati. Calyces ginjal bergabung membentuk pelvis ginjal yang mengumpulkan urin
dan terhubung dengan ureter, pelvis ginjal keluar dari bagian tengah ginjal. Gina menerima suplai
darah dari arteri ginjal, yang berasal langsung dari aorta, tepat di bawah
batang pembuluh darah yang menyediakan makanan ke dalam cava inferior baik
arteri dan vena (Gebhart, 2010: 1).
2.1.3 Struktur
ginjal
Ginjal ditutupi kapsul
tunika fibrosa yang kuat. Apabila kapsul dibuka terlihat permukaan dari ginjal
licin dengan warna merah tua. Dengan membuat potongan vertikal dari ginjal
melalui margo lateralis ke margo medialis akan terlihat hilus meluas ke ruangan
sentral yang disebut sinus renalis bagian atas dari pelvis renalis.
Ginjal terdiri dari:
2.1.3.1 Bagian
dalam (internal) medula. Subtansia medularis terdiri dari piramid renalis
jumlahnya antara 8-16 buah yang mempunyai basis sepanjang ginjal, sedangkan
apeksnya menghadap ke sinus renalis.
2.1.3.2 Bagian
luar (eksternal) korteks. Subtansia kortekalis berwarna coklat merah,
konsistensi lunak dan bergranula. Subtansia ini tepat di bawah tunika fibrosa,
melengkung sepanjang basis piramid yang berdekatan dengan sinus renalis, bagian
dalam di antara piramid di namakan kolumna renalis)(Syaifuddin, 2011: 446-447).
2.1.4 Pembungkus
ginjal
Ginjal dibungkus oleh suatu massa
jaringan lemak yang disebut kapsula adiposa. Bagian yang paling tebal terdapat
pada tepi ginjal yang memanjang melalui hilus renalis. Ginjal dan kapsula
adiposa tertutupi oleh suatu lamina khusus dari fasia subserosa yang disebut
fasia renalis yang terdapat di antara lapisan dalam dari fasia profunda dan
stratum fasia subserosa internus. Fasia subserosa terpecah menjadi dua bagian
yaitu lamella anterior (fasia prerenalis) dan lamella posterior (fasia retrorenalis)
(Syaifuddin, 2011: 447).
2.1.5 Struktur
mikroskpis ginjal
Satuan fungsional ginjal disebut nefron. Ginjal mempunyai lebih kurang 1,3 juta nefron yang selama 24 jam dapat menyaring 170 liter darah dari arteri renalis. Lubang-lubang yang terdapat pada piramid renal masing-masing membentuk simpul satu badan malfigi yang disebut glomerulus (Syaifuddin, 2011: 446).
Satuan fungsional ginjal disebut nefron. Ginjal mempunyai lebih kurang 1,3 juta nefron yang selama 24 jam dapat menyaring 170 liter darah dari arteri renalis. Lubang-lubang yang terdapat pada piramid renal masing-masing membentuk simpul satu badan malfigi yang disebut glomerulus (Syaifuddin, 2011: 446).
2.1.6 Nefron
adalah massa tubulus menyaring darah dan mengontrol komposisinya setiap nefron
berawal dari berkas kapiler yang terdiri dari:
2.1.6.1 Glomerulus,
merupakan gulungan atau anyaman kapiler yang terletak di dalam kapsula bowman
(ujung bentuk tubulus ginjal yang bentuknya seperti kapsula cekung menutupi
glomerulus yang saling melilitkan diri). Glomerulus menerima darah dari
arteriola aferen dan meneruskan darah ke sisitem vena melalui arteriola eferen.
Natrium secara bebas difiltrasi dalam glomerulus sesuai dengan konsentrasi
dalam plasma. Kalium juga difiltrasi secara bebas. Diperkirakan 10-20% kalium
plasma terikat oleh protein dan tidak bebas difiltrasi sehingga kalium dalam
keadaan normal.
The glomerulus is probably the
bodys most well known capilarrary network and is surely one of its most
important ones for survival. its relationship to the bowman capsule is clearly
visible. notice in both figuretsthat an efferent arteriole leads into the
glomerular network and an efferent
arterial leads out (Patton &
Thibodeau, 2010: 955).
Glomerulus
kemungkinan bagian yang dikenal sebagai jaringan kapiler dan merupakan salah
satu yang paling penting untuk kelangsungan hidup, hubungannya dengan kapsul
bowman terlihat jelas. Terlihat di kedua bagian tersebut, arteri eferen
mengarah ke bagian tersebut. Arteri aferen mengarah ke jaringan glomerulus dan
arteri eferen mengarah keluar. (Patton & Thibodeau, 2010: 955).
2.1.6.2 Tubulus
proksimal konvulta, tubulus ginjal yang langsung berhubungan dengan kapsula
bowman dengan panjang 15 mm dan diameter 55 mm. Bentuknya berkelok-kelok
menjalar dari korteks ke bagian medula dan kembali ke korteks. Sekitar 2/3 dari
natrium yang terfiltrasi diabsorbsi secara isotonik bersama klorida dan
melibatkan transportasi aktif natrium. Peningkatan reabsorbsi natrium akan
mengurangi pengeluaran air dan natrium. Hal ini dapat menganggu pengenceran dan
pemekatan urine yang normal. Kalium reabsobrsi lebih dari 70%, kemungkinan
dengan mekanisme transportasi aktif akan terpisah dari resopsi natrium.
2.1.6.3 Ansa
henle, bentuknya lurus dan tebal, diteruskan kesegmen tipis selanjutnya ke
segmen tebal, panjangnya 12 mm. Klorida secara aktif diserap kembali pada
cabang asendens ansa henle dan natrium bergerak secara pasif untuk
mempertahankan kenetralan listrik. Sekitar 25% natrium yang difiltrasi diserap
kembali karena nefron bersifat tidak permeabel untuk pemekatan urine karena
membantu mempertahankan integritas gradiens konsentasi medula. Kalium
terfiltrasi sekitar 20-25% diabsorpsi pada pars asendens lengkung henle proses
pasti terjadi karena gradien elektrokimia yang timbul sebagai akibat dari reabsorpsi
aktif klorida pada segman nefron ini.
2.1.6.4 Tubulus
distal konvulta, bagian tubulus ginjal yang berkelok-kelok dan jauh letaknya
dari kapsula bowman, panjangnya 5 mm. Tubulus distal dari masing masing nefron
bermuara ke duktus koligens yang panjangnya 20 mm. Masing-masing duktus
koligens berjalan melalui korteks dan medula ginjal, bersatu membentuk suatu
duktus yang berjalan lurus dan bermuara ke dalam duktus belini seterusnya
menuju kaliks lurus dan kaliks mayor. Akhirnya mengosongkan isinya ke dalam
pelvis renalis pada aspek masing-masing piramid medula ginjal. Pada nefron
keseluruhan ditambah dengan duktus koligens 45-65 mm. Nefron yang berasal dari
glomerulus korteks (nefron korteks), mempunyai ansa henle yang memanjang ke
dalam piramid medula. Dalam keadaan normal sekitar 5-10% natrium terfiltrasi
mencapai daerah reabsorpsi di bagian distal. Mekanisme pasti reabsorpsi natrium
pada daerah ini ditukar dengan ion hidrogen atau kalium di bawah pengaruh
aldosteron. Sekresi kalium terjadi secara murni. Suatu proses pasif yang
terjadi karena gradien elektrokimia yang ditimbulkan oleh perbedaan besar
potensial pada segmen nefron ini. Gradien ini dipertahankan oleh pertukaran
aktif natrium dan kalium pada membran basolateral sel tubulus. Mekanisme ini
dikendalikan oleh aldosteron yang mengendalikan tubulus distal terhadap sekresi
kalium.
2.1.6.5 Duktus
koligen medula, bukan merupakan saluran metabolik tidak aktif, tetapi
pengaturan secara halus ekskresi natrium urine terjadi di sini dengan
aldosteron yang paling berperan terhadap reabsorpsi natrium. Peningkatan
aldosteron dihubungkan dengan peningkatan reabsorpsi natrium. Duktus ini
memiliki kemampuan mereabsorpsi dan meyekresi kalium. Ekskresi aktif kalium
diperlihatkan pada duktus koligen kortikal dan dikendalikan oleh aldosteron.
Reabsorbsi aktif kalium murni terjadi dalam duktus koligen medula (Syaifuddin,
2011: 446-447).
2.1.7 Aparatus
juksta glomerulus
Arteriol aferen dan
ujung akhir ansa henle asendens tebal, nefron yang sama bersentuhan untuk jarak
yang pendek. Pada titik persentuhan sel tubulus (ansa henle) asendens menjadi
tinggi dinamakan makula densa, dinding arteriola yang bersentuhan dengan ansa
Henle menjadi tebal karena sel-selnya mengandung butir-butir sekresi renin yang
besar yang disebut juksta glomerolos. Makula densa dan sel juksta glomerulus
erat sekali kaitannya dengan pengatur volume cairan ekstrasel dan tekanan darah
(Syaifuddin, 2011: 449).
2.1.8 Elektromikroskopis
glomerulus
Glomerulus berdiameter
200 um, dibentuk oleh invaginasi suatu anyaman kapiler yang menempati kapsula
bowman, mempunyai dua lapisan seluler yang memisahkan darah dari dalam kapiler
glomerulus dan filtrat dalam kapsula bowman yaitu lapisan-lapisan endotel
kapiler dan lapisan epitel khusus yang terletak di atas kapiler glomerulus.
Kedua lapisan ini
dibatasi oleh lamina basalis, disamping itu terdapat sel-sel stelata yang
disebut sel masangial. Sel mirip dengan sel-sel parasit yang terdapat pada
dinding kapiler seluruh tubuh. Zat-zat ini bermuatan netral, diameter 4 mm,
dapat melalui membran glomerulus dan zat yang lebih dari 8 mm hampir semuanya
terhambat. Di samping diameter bermuatan molekul, juga memengaruhi daya tembus
glomerulus sehingga tidak dapat melewati glomerulus (Syaifuddin, 2011: 450).
2.1.9 Peredaran
darah
Ginjal terdapat darah
dari arteri renalis merupakan cabang dari aorta abdominalis, sebelum masuk ke
dalam massa ginjal. Arteri renalis mempunyai cabang yang besar yaitu arteri
renalis anterior dan yang kecil arteri renalis posterior. Cabang arterior
memberikan darah untuk ginjal anterior dan ventral. Cabang posterior memberikan
darah untuk ginjal posterior dan bagian dorsal. Di antara kedua cabang ini
terdapat suatu garis (brudels line) yang terdapat di sepanjang margo lateral
dari ginjal. Pada garis ini tidak terdapat pembuluh darah sehingga, kedua
lateral dari ginjal. Pada garis ini
tidak terdapat anterior dan posterior dari kolisis sampai ke medula ginjal,
terletak di antara piramid dan disebut arteri interlobularis.
Setelah sampai di
daerah medula membelok 90 º melalui baris piramid yang disebut arteri Arquarta.
Pembuluh ini akan bercabang menjadi arteri interlobularis yang berjalan tegak
ke dalam korteks berakhir sebagai:
2.1.9.1 Vasa
aferen glomerulus untuk 1-2 glomerulus.
2.1.9.2 Pleksus
kapiler sepanjang tubulus melingkar dalam korteks tanpa berhubungan dengan
glomeralis.
2.1.9.3 Pembuluh
darah menembus kapsula Bowman.
Dari
glomerulus keluar pembuluh darah aferen, selanjutnya terdapat suatu anyaman
yang mengelilingi tubulis kontorti. Disamping itu ada cabang yang lurus menuju
ke pelvis renalis memberikan darah untuk ansa Henle dan duktus koligen yang
dinamakan arteri rektal (Arteri Spuriae). Dari rambut ini darah berkumpul dalam
pembuluh kapiler vena, bentuknya seperti bintang disebut vena stella berjalan
ke vena interlumbalis.
Pembuluh limfe mengikuti perjalanan Arteri Renalis menuju ke nodi limfatikus aorta lateral yang terdapat disekitar pangkal Arteri renalis, dibentuk oleh pleksus yang berasal dari massan ginjal, kapsula fibrosa dan bermuara di nodus lateral aortika (Syaifuddin, 2011: 450-451).
Pembuluh limfe mengikuti perjalanan Arteri Renalis menuju ke nodi limfatikus aorta lateral yang terdapat disekitar pangkal Arteri renalis, dibentuk oleh pleksus yang berasal dari massan ginjal, kapsula fibrosa dan bermuara di nodus lateral aortika (Syaifuddin, 2011: 450-451).
2.1.10
Persarafan ginjal
Saraf ginjal lebih
kurang 15 ganglion, ganglion ini membentuk leksus renalis yang berasal dari
cabang yang terbawah dan di luar ganglion pleksus seliaka, pleksus auskustikus,
dan bagian bawah splenikus. Pleksus renalis bergabung dengan pleksus
spermatikus dengan cara memberikan beberapa serabut yang dapat menimbulkan
nyeri pada testis pada kelainan ginjal (Syaifuddin, 2011: 452).
2.1.11
Fungsi ginjal2.1.11.1 Volume
air (cairan) dalam tubuh.
Kelebihan air dalam
tubuh akan di eksresikan oleh ginjal sebagai urine yang encer dalam jumlah
besar. Kekurangan air (kelebihan keringat) menyebabkan urine yang dieksresi
jumlahya berkurang dan konsentrasinya lebih bekat sehingga susunan dan volume
cairan tubuh dapat dipertahankan relatif normal.
2.1.11.2 Mengatur
keseimbangan osmotik dan keseimbangan ion. Terjadi dalam plasma bila terdapat
pemasukan dan pengeluaran yang abnormasl dari ion-ion. Akibat pemasukan garam
yang berlebih/penyakit perdarahan, diare, dan muntah-muntah, ginjal akan
meningkatkan eksresi ion-ion yang penting misalnya: natrium (Na), kalium (K),
chlor (Cl), kalsium (Ca), dan Fosfat.
2.1.11.3 Mengatur
keseimbangan asam basa cairan tubuh. Tegantung apa yang dimakan, campuran
makanan (mixed diet) akan menghasilkan urine yang bersifat agak asam, potential
of hydrogen (PH) urine bervariasi antara 4,8-8,2 ginjal mengekskresi urine
sesuai dengan perubahan potensial of hydrogen (PH) darah.
2.1.11.4 Ekskresi
sisa-sisa hasil metabolisme (ureum, asam urat, dan kreatinin). Bahan-bahan yang
di ekskresi oleh ginjal antara lain zat toksik, obat-obatan, hasil metabolisme
hemoglobin dan bahan kimia asing (pestisida).
2.1.11.5 Fungsi
hormonal dan metabolisme.
Ginjal menyekskresi
hormon renin yang mempunyai peranan penting dalam mengatur tekanan darah
(sistem renin-angiotensin-aldesteron) yaitu untuk memproses pembentukan sel
darah merah (eritropoises). Di samping itu, ginjal juga membentuk hormon di
hidroksi kolekalsiferol (vitamin D aktif) yang diperlukan untuk absorbsi ion kalsium
di usus (Syaifuddin, 2011: 452-453).
2.1.12
Pengertian batu ginjal
Muttaqin & Sari
(2014: 108) mengemukakan bahwa, “Batu ginjal atau nefrolitiasis merupakan suatu
keadaan terdapatnya batu (kalkuli) di ginjal“.
(Baradero et al,
2009: 59) mengemukakan “Batu ginjal adalah pengkristalan mineral yang
mengelilingi zat organik, misalnya nanah, darah atau sel yag sudah mati.
Biasanya, Batu (kalkuli) terdiri atas garam kalsium (oksalat dan fosfat) atau
magnesium fosfat dan asam urat”.
Haryono (2012: 55)
mengemukakan bahwa, “Batu ginjal adalah (kalkulus) adalah bentuk deposit
mineral, paling umum oksolaktat ca2+ dan fosfat ca2+,
tetapi asam urat dan kristal yang lain juga berbentuk batu”.
Batu ginjal merupakan
benda padat yang dibentuk oleh prepitasi berbagai zat pelarut dalam urin pada
saluran kemih. Batu dapat berasal dari kalsium oksalat (60%), fosfat sebagai
campuran kalsium, aminium dan magnesium fosfat (batu tripel fosfat ini terjadi
akibat infeksi) (30%), asam urat (5%) dan sistin (1%) (Grace & Borley,
2006: 171).
Jadi, dari pernyataan
di atas penulis menyimpulkan batu
ginjal adalah terdapat batu
atau kalkuli di ginjal.
2.1.13
Macam jenis batu dan
proses pembentukanya
2.1.13.1 Batu
oksalat atau kalsium oksalat
Asam oksalat didalam
tubuh berasal dari metabolisme asam amino dan asam askorbat (Vitamin C). Asam
askorbat merupakan prekursor oksalat yang cukup besar, sejumlah 30%-50%
dikeluarkan sebagai oksalat urin. Manusia tidak dapat melakukan metabolisme
oksalat sehingga dikeluarkan melalui ginjal. Jika terjadi gangguan fungsi
ginjal dan asupan oksalat berlebih di tubuh (misalnya banyak mengkomsumsi
nanas) maka terjadi akumulasi oksalat yang memicu terbentuknya batu oksalat di
ginjal atau kandung kemih.
2.1.13.2 Batu
struvit
Batu struvit terdiri
dari magnesium ammonium fosfat (struvit) dan kalsium karbonat. Batu tersebut
terbentuk di pelvis dan kalik ginjal bila produksi ammonia bertambah dan pH
urin tinggi sehingga kelarutan fosfat berkurang. Hal itu terjadi akibat infeksi
bakteri pemecah urea (yang terbanyak dari spesies Proteus dan Providencia,
Peudomonas eratia, semua spesies Klebsiella, Hemophilus,Staphylococus, dan
Coryne bacterium) pada saluran urin. Enzim urease yang dihasilkan bakteri di
atas menguraikan urin menjadi amonia dan karbonat. Amonia bergabung dengan air
membentuk amonium sehingga pH urin makin tinggi. Karbondioksida yang terbentuk
dalam suasana pH basa/tinggi akan menjadi ion karbonat membentuk kalsium
karbonat.
2.1.13.3 Batu
urat
Terjadi pada penderita
gout (sejenis rematik), pemakaian orikosurik (misal probenesid atau aspirin),
dan penderita diare kronis (karena kehilangan cairan, dan peningkatan
konsentrasi urin), serta asidosis (pH urin menjadi asam, sehingga terjadi
pengendapan asam urat).
2.1.13.4 Batu
sistina
Sistin merupakan asam
amino yang kelarutannya paling kecil. Kelarutannya semakin kecil jika pH urin
turun atau asam. Bila sistin tak larut maka akan berpresipitasi (mengendap)
dalam bentuk kristal yang tumbuh dalam sel ginjal atau saluran kemih membentuk
batu.
2.1.13.5 Batu
kalium fosfat
Terjadi pada penderita
hiperkalsiurik (kadar kalsium dalam urin tinggi) dan atau berlebih asupan
kalsium (misal susu dan keju) ke dalam tubuh.
2.1.13.6 Batu
kalsium
Sebagian besar
penderita batu kalsium mengalami hiperkalsiuria, di mana kadar kalsium di dalam
air kemih sangat tinggi. Obat diuretik thiazid (misalnya trichlormetazid) akan
mengurangi pembentukan batu yang baru. Dianjurkan untuk minum banyak minum
banyak air putih (8-10 gelas/hari). Diet rendah kalsium dan mengkomsumsi
natrium selulosa fosfat. Untuk meningkatkan kadar sitrat (zat penghambat
pembentukan batu kalsium) didalam air kemih, diberikan kalium sitrat. Kadar oksalat
(misalnya bayam, coklat, kacang-kacangan, merica dan teh). Sebaiknya asupan
makanan tersebut dikurangi. Kadang batu kalsium terbentuk akibat penyakit lain,
seperti hiperparatiroidisme, sarkoidosis, keracunan vitamin D, asidosis tubulus
renalis atau kanker.
2.1.13.7 Batu
asam urat
Dianjurkan untuk
mengurangi asupan daging, ikan dan unggas, karena makanan tersebut menyebabkan
meningkatkan kadar asam urat di dalam air kemih. Untuk mengurangi pembentukan
asam urat, bisa diberikan allopurinol. Batu asam urat terbentuk jika keasaman
air kemih bertambah. Untuk menciptakan suasana air kemih yang alkalis (basa),
bisa diberikan kalium sitrat. Sangat dianjuran untuk banyak minum air putih. Makanan
yang harus dihindari adalah makanan yang mengandung kadar kapur tinggi karena
bisa menaikkan kadar kalsium (kapur) dalam darah dan air kencing sehingga
melebihi ambang batas aman dengan akibat terbentuk kristal batu. Kristal batu
yang terbentuk dalam jumlah banyak dan saling menempel akan menjadi batu
ginjal. Bahan makanan yang paling berbahaya bagi terbentuknya batu ginjal
terutama lemak dan protein hewani, mengkomsumsi terlalu banyak protein hewani
seperti telur dan daging ayam, sapi kambing akan menimbulkan kenaikan kadar
kalsium (kapur) dalam darah dan air kencing dengan akibat terbentuk kristal
batu dan batu ginjal (Haryono, 2013: 55-57).
2.1.14
Etilogi
Ada beberapa faktor
yang memungkinkan terbentuknya batu pada saluran kemih, yaitu sebagai berikut:
2.1.14.1 Kelainan
metabolik yang paling umum. Beberapa kasus hiperkalsiuria berhubungan dengan
gangguan usus meningkat penyerapan kalsium (dikaitkan dengan kelebihan diet
kalsium dan mekanisme penyerapan kalsium terlalu aktif), beberapa kelebihan
terkait denga resorpi kalsium dari tulang (yaitu hiperparatiroidsme), dan
beberapa yang berhubungan dengan ketidakmampuan dari tubulus ginjal untuk
merebut kembali kalsium dalam filtrat glomerulus (ginjal-kebocoran
hiperkalsiuria).
2.1.14.2 Pelepasan
ADH yang menurun dan peningkatan konstrasi, kelarutan, dan pH urine.
2.1.14.3 Lamanya
kristal terbentuk di dalam urine, dipengaruhi mobilisasi rutin. Gangguan
reabsorpsi ginjal dan gangguan aliran urine.
2.1.14.4 Infeksi
saluran kemih.
2.1.14.5 Kurangnya
asupan air dan diet yang tinggi mengandung zat penghasil batu.
2.1.14.6 Idiopatik
(Muttaqin & Sari, 2014: 108).
2.1.15
Teori proses
pembentukan batu saluran kemih
2.1.15.1 Proses
pembentukan adalah:
a. Teori
nukleasi: Batu terbentuk di dalam urin karena adanya inti batu atau sabuk batu
(nucleus). Partikel-partikel yang berada dalam larutan membentuk batu. Inti
batu dapat berupa kristal atau benda asing saluran kemih.
b. Teori
matriks: Matriks organik terdiri atas serum atau protein urin (albumin,
globulin dan mukoprotein) sebagai kerangka tempat mengendapnya kristal-kristal
batu.
c. Penghambat
kristalisasi: urine orang normal mengandung zat penghambat pembentuk kristal
yakni magnesium, sitrat, pirofostat, mukoprotein berapa peptida. Jika kadar
salah satu atau beberapa zat ini berkurang maka akan memudahkan terbentuknya
batu dalam saluran kemih. (Haryono, 2013: 59).
2.1.15.2 Teori
proses pembentukan batu saluran kemih:
Secara teoritis
batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih terutama pada tempat-tempat yang
sering mengalami hambatan aliran urine (statis urine), yaitu pada sistem
kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada pelvikalises
(stenosis uretero-pelvis), divertikel, obstruksi infravesika kronis seperti
pada hiperplasia prostat benigna, striktura, dan buli-buli neurogenik merupakan
keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu.
Batu terdiri
atas kristal-kistal yang tersusun oleh bahan-bahan organik maupun anorganik
yang terlarut di dalam urine. Kristal-kristal tersebut tetap berada dalam
keadaan metastable (tetap terlarut) dalam urine jika tidak ada keadaan-keadaan
tertentu yang menyebabkan terjadinya presipitasi kristal. Kristal-kristal yang
saling mengadakan presipitasi membentuk inti batu (nukleasi) yang kemudian akan
mengadakan agregasi, dan menarik bahan-bahan lain sehingga menjadi kristal yang
lebih besar. Meskipun ukurannya cukup besar, agregat kristal masih rapuh dan
belum cukup mampu membuntukan saluran kemih. Untuk itu agregat kristal menempel
pada epitel saluran kemih (membentuk retensi kristal), dan dari sini
bahan-bahan lain diendapkan pada agregat itu sehingga membentuk batu yang cukup
besar untuk menyumbat saluran kemih (Purnomo, 2012: 88).
2.1.16
Patofisiologi
2.1.16.1 Patofisiologi
batu ginjal
Zat pembentuk
batu dapat mengendap di urine jika ambang kelarutannya terlampaui. Pada rentang
yang disebut rentang metastabil, pembentukan kristal mungkin tidak terjadi sama
sekali atau hanya berjalan dengan sangat lambat, meskipun larutan sangat jenuh.
Namun, jika konsenstrasinya di bawah rentang metastabil. Menurut Silbernagl
(2007), senyawa yang paling sering ditemukan dalam batu ginjal adalah kalsium
oksalat (sekitar 70%), kalsium fosfat atau magnesium-aminium fosfat (sekitar
30%), asam urat atau garam asam urat (sekitar 30%), serta xantin atau sistin (<5%).
Beberapa zat bisa terdapat di dalam satu batu karena kristal yang telah
terbentuk sebelumnya berperan sebagai inti kristalisasi dan memudahkan pengendapan
bagi zat metastabil terlarut lainnya (oleh karena itu, totalnya adalah
>100%). Pada peningkatan filtrasi dan ekskresi zat penghasil batu akan
membuat peningkatan konsentrasi di dalam plasma. Hiperkalsiuria dan fosfaturia
terjadi akibat peningkatan absorpsi di usus dan mobilisasi dari tulang,
contohnya jika terdapat kelebihan PTH atau kalsitriol. Hiperkalsalemia dapat
disebabkan oleh kelainan metabolik pada pemecahan asam amino atau melalui
peningkatan absorpsinya di usus. Hiperurisemia terjadi akibat suplai yang
berlebih, sintesis batu yang meningkat, atau peningkatan pemecahan purin. Batu
xantin dapat terjadi jika pembentukan purin sangat meningkat dari pemecahan
purin xantin menjadi asam urat dihambat. Namun, xantin lebih mudah larut dari
pada asam urat sehingga batu xantin lebih jarang ditemukan. Gangguan reabsorpsi
ginjal merupakan penyebab yang sering dari peningkatan ekskresi ginjal pada
hiperkalsiuria dan merupakan penyebab tetap pada sistinuria. Konsentrasi ca2+
didalam darah dipertahankan melalui absorpsi di usus dan mobilisasi mineral
tulang, sementara konsentrasi sistin dipertahankan dengan mengurangi
pemecahanya. Pelepasan ADH (pada situasi volume yang berkurang pada saat
dehidrasi, kondisi stress, dan lainnya) menyebabkan peningkatan konsentrasi zat
pembentuk batu melalui peningkatan konsentrasi urine. Kelarutan beberapa zat
bergantung pada pH urine. Fosfat mudah larut dalam urine yang asam, tetapi
sukar larut pada urine yang alkalis. Fosfat baru biasanya hanya ditemukan pada
urine yang alkanis. Sebaliknya, asam urat (garam asam urat) lebih mudah larut
jika terdisosiasi daripada yang tidak terdisosiasi, dan asam urat baru lebih
cepat terbentuk pada urine yang asam. Jika pembentukan NH3
berkurang, urine harus lebih asam untuk dapat mengeluarkan asam, dan hal ini
meningkatkan pembentukan batu garam asam urat. Faktor lain yang juga penting
adalah berapa lama sebenarnya kristal yang telah terbentuk tetap berada di
dalam urine yang sangat jenuh. Lama waktu bergantung pada diuresis dan kondisi
aliran dari saluran kemih bagian bawah, misalnya dapat menyebabkan kristal
menjadi terperangkap. Batu ginjal terbentuk pada tubuli ginjal kemudian berada
di kaliks, infundibulum, pelvis ginjal, dan bahkan bisa mengisi pelvis, serta
seluruh kaliks ginjal. Batu yang mengisi pielum dan lebih dari dua kaliks
ginjal memberikan gambaran menyerupai tanduk rusa sehingga di sebut batu
staghorn. Kelainan atau obstruksi pada sistem pelvikalises ginjal (penyempitan
infundibulum dan stenosis ureteropelvik) mempermudah timbulnya batu ginjal.
Batu yang tidak terlalu besar didorong oleh peristaltik otot-otot sistem
pelvikalises dan turun ke ureter menjadi batu ureter. Tenaga peristaltik ureter
mencoba untuk mengeluarkan batu hingga turun ke kandung kemih. Batu yang
ukurannya kecil (<5 mm) pada umumnya dapat keluar spontan, sedangkan yang
lebih besar sering kali tetap berada di ureter dan menyebabkan reaksi
peradangan, serta menimbulkan obstruksi kronis berupa hidronefrosis. Batu yang
terletak pada ureter maupun sistern pelvikalises mampu menimbulkan obstruksi
saluran kemih dan menimbulkan hidroureter dan hidronefrosis, batu di pielum
dapat menimbulkan hidronefrosis, dan batu di kaliks mayor dapat menimbulkan
kaliekstasis pada kaliks yang bersangkutan. Jika disertai dengan infeksi
sekunder dapat menimbulkan pionefrosis, urosepsis, abses ginjal, abses
perinefrik, abses paranefrik, ataupun pielonefritis. Pada keadaan yang lanjut
dapat terjadi kerusakan ginjal dan jika mengenai kedua sisi dapat mengakibatkan
gagal ginjal permanen. Kondisi adanya batu pada ginjal memberikan masalah
keperawatan pada klien dengan adanya berbagai respons obstruksi, infeksi, dan
peradangan (Muttaqin & Sari , 2014: 108).
Berdasarkan tipe
batu, proses pembentukan batu melalui kristalisasi. Tiga faktor yang mendukung
proses ini yaitu saturasi urin, defisiensi inhibitor, dan produksi matrik
protein. Pada umumnya kristal tumbuh melalui adanya supersaturasi urin. Proses
pembentukan dari agresi menjadi partikel yang lebih besar, diantara partikel
ini ada yang bergerak ke bawah melalui saluran kencing hingga pada lumen yang
sempit dan berkembang membentuk batu. Renal kalkuli merupakan tipe kristal dan
dapat merupakan gabungan dari beberapa tipe. Sekitar 80% batu saluran kencing
mengandung kalsium fosfat dan kalsium oksalat (Suharyanto & Madjid, 2009:
152).
Gambar 2.4
Pathway nefrolitiasis
(Sumber
data: Muttaqin & Sari (2014: 111).
2.1.17
Tanda dan gejala
Tanda dan gejala batu
ginjal:
Manifestasi
klinis adanya batu dalam fraktus urinarius tergantung pada adanya obstruksi,
infeksi dan edema. Ketika batu menghambat aliran urin, terjadi obstruksi yang
menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dan distensi piala ginjal serta
ureter proksimal. Beberapa batu dapat menunjukkan sedikit gejala, tetapi secara
perlahan merusak unit fungsional (nefron) ginjal, sedangkan yang lain
menyebabkan nyeri yang luar biasa dan ketidaknyamanan. Batu pada piala ginjal
menyebabkan sakit yang dalam dan terus menerus di area kostovestebral. Nyeri
yang berasal dari area renal menyebar secara anterior pada wanita ke bawah
mendekati kandung kemih sedangkan pria mendekati testis. Apabila ada nyeri
tekan pada daerah kostovertebral dan muncul mual dan muntah maka klien sedang
mengalami kolik renal. Diare dan ketidaknyamanan abdominal dapat terjadi gejala
gastrointestinal ini akibat dari reflex renointestinal dan proksimitas anatomik
ginjal ke lambung, pankreas dan usus besar (Haryono, 2013: 59).
Batu di dalam
pelvis mungkin tidak memberikan keluhan atau gejala (asimtomatik) atau
hanya menimbulkan hematuria: ketika batu
tersebut berjalan, obstruksi dapat terjadi pada setiap tempat dalam sistem
pengumpulan (colecting sytem). Obstruksi yang berkaitan dengan lewatnya batu
akan menimbulkan rasa nyeri hebat yang sering menyebar ke daerah lipat paha dan
kadang-kadang disertai dengan keluhan atau gejala viseral yang berat (yaitu
mual, muntah, diaforesi, vertigo atau kepala terasa ringan), hemarutia, piuria,
infeksi saluran kemih (ISK) dan kadang-kadang hidronefrosis. Sebaliknya batu
staghorn yang berkaitan dengan ISK berulang oleh mikroorganisme pemecah-urea
(Proteus, Klebsiella, Providencia, Morganella dan lain-lain) dapat tidak
memberikan keluhan atau gejala sama sekali (asimtomatik) kendati dapat
ditemukan dengan penurunan fungsi ginjal (Harrison, 2013: 120).
2.1.18
Pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang:
2.1.18.1 Urine
menunjukkan adanya: leukosituria, hematuria, dan dijumpai kristal-kristal
pembentuk batu.
2.1.18.2 Pemeriksaan
kultur urine mungkin menunjukkan adanya pertumbuhan kuman pemecah urea.
2.1.18.3 Pemeriksaan
fungsi ginjal untuk memonitor penurunan fungsi.
2.1.18.4 Pemeriksaan
elektrolit untuk keterlibatan peningkatan kalsium dalam darah.
2.1.18.5 Pemeriksaan
foto polos abdomen, PIV, urogram, dan USG untuk menilai posisi, besar, serta
bentuk batu pada saluran kemih (Muttaqin & Sari, 2014: 113).
Pemeriksaan
penunjang:
Diagnosis
ditegakkan dengan studi ginjal, ureter, kandung kemih (GUK), urografi
intravena, atau pielografi retgrade. Uji kimia darah dan urin 24 jam untuk
mengukur kadar kalsium, asam urat, kreatinin, natrium, pH, dan volume total
merupakan bagian dari upaya diagnostik. Riwayat diet dan medikasi serta riwayat
adanya batu ginjal dalam keluarga didapatkan untuk mengidentifikasi faktor yang
mencetuskan terbentuknya batu pada klien. Adapaun pemeriksaan diagnostiknya
yaitu:
a.
Urinalisa: warna
mungkin kuning, coklat gelap, berdarah: secara umum menunjukkan SDM, SDP, kristal
(sistin, asam surat, kalsium oksalat), serpihan, mineral, bakteri, pus: pH
mungkin asam (meningkatkan sistin dan batu asam urat) atau alkalin
(meningkatkan magnesium, fosfat amonium, atau batu kalsium fosfat).
b.
Urin (24jam):
kreatinin, asam urat, kalsium, fosfat, oksalat atau sistin mungkin meningkat.
c.
Kultur urin: mungkin
meningkatkan ISK (Stapilococus aureus, proteus, klebsiela, pseudomonas).
d.
Survei biokimia:
peningkatkan kadar kalsium, magnesium, asam urat, fosfat, protein, elektrolit.
e.
BUN: abnormal (tinggi
pada serum atau rendah pada urin) sekunder terhadap tingginya batu obstruktif
pada ginjal menyebabkan iskemia atau nekrosis.
f.
Kadar klorida dan
bikarbonat serum: peningkatan kadar klorida dan penurunan kada bikarbonat
menunjukkan terjadinya asidosis tubulus ginjal.
g.
Hitung darah lengkap:
SDP mungkin meningkatkan menunjukkan infeksi/septikemia.
h.
Hemoglobin/hematokrit:
abnormal bila klien mengalami dehidrasi berat atau polisitemia terjadi
(mendorong prepitasi pemadatan) atau anemia (perdarahan, disfungsi atau gagal
ginjal).
i.
Hormon paratiroid:
meningkat bila ada gagal ginjal. (PTH merangsang reabsorbsi kalsium dari tulang
meningkatkan sirkulasi serum dan kalsium urin).
j.
Foto rontgen:
menunjukkan adanya kalkuli atau perubahan anatomi pada daerah ginjal dan
ureter.
k.
IVP: memberikan
konfirmasi cepat urolitiasis seperti penyebab nyeri abdominal atau panggul.
Menunjukkan abnormalitas pada struktur anatomi dan garis bentuk kalkuli.
l.
Sistoureterokopi:
visualisasi langsung kandung kemih dan ureter, menunjukkan batu dan atau efek
obstruksi.
m. CT
scan: mengidentifikasi atau menggambarkan kalkuli dan masa lain: ginjal, ureter,
dan distensi kandung kemih (Haryono, 2013: 62-63).
2.1.19
Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan medis batu
ginjal:
Tujuan dari
penatalaksanaan adalah menurunkan komplikasi pada ginjal dan menghilangkan
keluhan. Penatalaksanaan yang diberikan adalah sebagai berikut:
2.1.19.1 Medikamentosa
Terapi
medikamentosa ditujukan untuk batu yang ukurannya kurang dari 5 mm, karena
diharapkan batu dapat keluar spontan. Terapi yang diberikan bertujuan untuk
mengurangi nyeri, memperlancar aliran urine dengan pemberian diuretikum, dan
minum banyak supaya dapat mendorong batu keluar dari saluran kemih.
2.1.19.2 Dipecahkan
dengan ESWL
Alat ESWL adalah
pemecah batu yang diperkenalkan pertama kali oleh caussy pada tahun 1980. Alat
ini memecah batu ginjal, batu ureter proksimal, atau batu buli-buli tanpa
melalui tindakan invasif dan tanpa pembiusan. Batu dipecah menjadi
fragmen-fragmen kecil sehingga mudah dikeluarkan melalui saluran kemih. Tidak
jarang pecahan-pecahan batu yang sedang keluar menimbulkan perasaan nyeri kolik
dan menyebabkan hematuria.
Gambar 2.5 ESWL
(Extracorporeal shock wave lithotripsy)
(Sumber
data: < tanyadok.com > Diakses pada tanggal 10 Mei 2016).
2.1.19.3 Tindakan
endourologi
Tindakan
endourologi adalah tindakan invasif minimal untuk mengeluarkan batu saluran
kemih yang terdiri atas dan kemudian mengeluarkan dari saluran kemih melalui
alat yang dimasukkan langsung ke dalam saluran kemih. Alat itu dimasukkkan
memalui uretra atau melalui insisi kecil pada kulit (perkutan). Proses
pemecahan batu dapat dilakukan secara mekanik, dengan memakai energi hidraulik,
energi gelombang suara atau dengan energi laser. Beberapa tindakan endourologi
itu adalah:
a. PNL
(Percutaneous Nephro Lithotomy): yaitu mengeluarkan batu yang berada di dalam
saluran ginjal dengan cara memasukkan alat endoskopi ke sistem kalises melalui
insisi pada kulit. Batu kemudian dikeluarkan atau dipecah terlebih dahulu
menjadi fragmen-fragmen kecil.
Gambar 2.6 PNL
(Percutanneous nephro lithotomy)
(Sumber
data: < southcoasturology.com >
Diakses pada tanggal 10 Mei 2016).
b. Litotripsi:
yatu memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan memasukkan alat pemecah
batu (litotriptor) kedalam buli-buli. Pemecahan batu dikeluarkan dengan
evakuator ellik.
c. Ekstraksi
Domia: yaitu mengeluarkan batu ureter dengan menjaringnya melalui alat
keranjang dormia.
d. Ureteroskopi
atau uretero-renoskopi: yaitu memasukkan alat ureteroskopi peruretram guna
melihat keadan ureter atau sistem pielo-kaliks ginjal. Dengan memakai energi
tertentu, batu yang berada di dalam ureter maupun sistem pelvikalises dapat
dipecah melalui tuntunan ureteroskopi/ureterorenoskopi ini.
Gambar 2.7
Ureterorenoskopi
(Sumber
data: < uludagsozluk.com > Diakses pada tanggal 10 Mei 2016).
2.1.19.4 Pembedahan
terbuka.
Di klinik-klinik yang
belum mempunyai fasilitas yang memadai untuk tindakan-tindakan endourologi,
laparoskopi, maupun ESWL, pengambilan batu masih dilakukan melalui pembedahan
terbuka. Pembedahan terbuka itu antara lain adalah: pielolitotomi atau
nefrolitotomi untuk mengambil batu pada saluran ginjal dan ureterolitotomi
untuk batu di ureter. Tidak jarang klien harus menjalani tindakan nefrektomi
atau pengambilan ginjal karena ginjalnya sudah tidak berfungsi dan berisi nanah
(pionefrosis), korteksnya sudah sangat tipis atau mengalami pengkerutan akibat
batu saluran kemih yang menimbulkan obstruksi dan infeksi yang menahun.
Gambar 2.8
Pembedahan Terbuka
(Sumber data: < Safahastanesi.com
> Diakses pada tanggal 10 Mei 2016).
2.1.19.5 Bedah
laparaskopi
Pembedahan laparaskopi untuk mengambil
batu saluran kemih saat ini sedang berkembang. Cara ini banyak dipakai untuk
mengambil batu ureter (Muttaqin & Sari, 2014: 113).
2.1.20
Pencegahan
Pencegahan batu saluran
kemih:
Setelah batu
dikeluarkan, tindak lanjut yang tidak kalah pentingnya adalah upaya mencegah
timbulnya kekambuhan. Angka kekambuhan batu saluran kemih rata-rata 7% per
tahun atau kambuh lebih dari 50% dalam 10 tahun. Prinsip pencegahan didasarkan
pada kandungan unsur penyusun batu yang telah diangkat.
Secara umum, tindakan
pencegahan yang diperlukan adalah:
2.1.20.1
Dehidrasi dengan minum
cukup, upayakan produksi urine 2-3 liter per hari, medikamentosa.
2.1.20.2
Diet rendah zat atau komponen
pembentukan batu.
2.1.20.3
Aktivitas harian yang
cukup (Haryono, 2013: 65).
2.1.1
Komplikasi
Haryono (2013: 61)
mengemukakan bahwa, “Jika keberadaan batu dibiarkan maka dapat menjadi sarang
kuman yang bisa menimbulkan infeksi saluran kemih, piolonefritis, yang akhirnya
merusak ginjal, kemudian timbul gagal ginjal dengan segala akibat terparahnya”.
Suharyanto
& Madjid (2009: 156) mengemukakan bahwa, “Komplikasi yang dapat terjadi
berupa kerusakan tubular dan iskemik partial”.
2.2
Tinjauan
Teoritis Keperawatan Batu Ginjal
2.2.1
Pengkajian keperawatan
batu ginjal adalah:
2.2.1.1
Aktifitas /istirahat
Kaji tentang
pekerjaan yang monoton, lingkungan pekerjaan apakah klien terpapar suhu tinggi,
keterbatasan aktivitas, misalnya karena penyakit yang kronis atau adanya cedera
pada medula spinalis.
2.2.1.2 Sirkulasi
Kaji terjadinya
peningkatan tekanan darah nadi, yang disebabkan nyeri, ansietas atau gagal
ginjal. Daerah perifer apakah teraba hangat, merah atau pucat. Eliminasi kaji
adanya riwayat ISK kronis, obstruksi sebelumnya (kalkulus). Penurunan haluaran
urin, kandung kemih penuh, rasa terbakar saat BAK. Keinginan/dorongan ingin
berkemih terus, oliguria, hematuria, piuri atau perubahan pola berkemih.
2.2.1.3 Makanan/cairan
Kaji adanya
mual, muntah, nyeri tekan abdomen, diet tinggi purin, kalsium oksalat atau
fosfat, atau ketidakcukupan pemasukan cairan, terjadi distensi abdominal,
penurunan bising usus.
2.2.1.4 Nyeri/kenyamanan
Kaji episode
akut nyeri berat, nyeri kolik. Lokasi tergantung pada lokasi batu misalnya pada
panggul di region sudut kosta vertebral dapat menyebar ke punggung, abdomen,
dan turun ke lipat paha, genetalia, nyeri dangkal konstan menunjukkan kalkulus
ada di pelvis atau kalkulus ginjal. Nyeri khas adalah nyeri akut tidak hilang
dengan posisi atau tindakan lain, nyeri tekan pada area ginjal pada palpasi.
2.2.1.5 Keamanan
Kaji terhadap
penggunaan alkohol perlindungan saat demam atau menggigil.
2.2.1.6 Riwayat
penyakit
Kaji adanya riwayat
batu saluran kemih pada keluarga, penyakit ginjal, hipertensi, gout, ISK
kronis, riwayat penyakit, usus halus, bedah abdomen sebelumnya, hiperparatiroidisme,
penggunaan antibiotika, antihipertensi, natrium bikarbonat, alupurinol, fosfat,
tiazid, pemasukan berlebih kalsium atau vitamin D (Haryono, 2013: 66).
2.2.2
Diagnosa keperawatan batu
ginjal:
2.2.2.1 Nyeri
kolik berhubungan aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises, peregangan
dari terminal saraf sekunder dari adanya batu pada ginjal.
2.2.2.2 Perubahan
pola miksi berhubungan retensi urine, sering BAK, hematuria sekunder dari
iritasi saluran kemih.
2.2.2.3 Risiko
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan mual, muntah efek
sekunder dari nyeri kolik.
2.2.2.4 Kecemasan
berhubungan prognosis pembedahan, tindakan invasif diagnostik.
2.2.2.5 Pemenuhan
informasi berhubungan rencana pembedahan, tindakan diagnostik invasif,
perencanaan pulang (Muttaqin & Sari, 2014: 114).
2.2.3
Rencana keperawatan
2.2.3.1 Nyeri
kolik berhubungan aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises, peregangan
dari terminal saraf sekunder dari adanya batu pada ginjal.
a. Jelaskan
dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi.
Rasional:
pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah
menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri.
b. Lakukan
manajemen lingkungan tenang dan batasi pengunjung.
Rasional:
lingkungan tenang akan menurunkan stimulus nyeri eksternal dan menganjurkan
klien untuk beristirahat dan pembatasan pengunjung akan membantu meningkatkan
pembatasan pengunjung akan membantu apabila banyak pengunjung yang berada di ruangan
dan menjaga privasi klien.
c. Beri
kompres hangat pada pinggang.
Rasional:
vasodilatasi dapat menurunkan spasme otot dan kontrasi otot pinggang sehingga
menurunkan stimulus nyeri.
d. Lakukan
masase sekitar nyeri.
Rasional:
meningkatkan kelancaran suplai darah untuk menurunkan iskemia.
e. Dekatkan
orang terdekat.
Rasional:
eksplorasi stimulus eksternal untuk menurunkan stimulus nyeri.
f. Ajarkan
teknik relaksasi nafas dalam dan distraksi.
Rasional:
meningkatkan asupan o2 sehingga akan menurunkan nyeri sekunder dan
pengalihan perhatian dapat menurunkan stimulus internal peningkatan produksi
endofin dan enkefalin yang dapat memblok reseptor nyeri untuk tidak dikirimkan
ke korteks serebri sehingga menurunkan persepsi nyeri.
g. Tingkatkan
pengetahuan tentang: sebab-sebab nyeri dan menghubungkan berapa lama nyeri akan
berlangsung.
Rasional:
pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya dan dapat membantu
mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.
h. Kolaborasi
dengan dokter untuk pemberian analgesik.
Rasional: analgesik memblok lintasan
nyeri sehingga nyeri akan berkurang.
2.2.3.2 Perubahan
pola miksi berhubungan retensi urine, sering BAK, hematuria sekunder dari
iritasi saluran kemih.
a. Kaji
pola berkemih, dan catat produksi urine tiap 6 jam.
Rasional:
mengetahui pengaruh iritasi kandung kemih dengan frekuensi miksi.
b. Anjurkan
klien untuk minum 2.000 cc/hari
Rasional:
membantu mempertahankan fungsi ginjal, pemberian air secara oral adalah pilihan
terbaik untuk mendukung aliran darah renal dan untuk membilas bakteri dari
traktus urinarius
c. Hindari
minum kopi, teh, dan alkohol.
Rasional:
menurunkan iritasi dengan menghindari minuman yang bersifat mengiritasi saluran
kemih.
d. Kolaborasi
pemberian medikamentosa.
Rasional: terapi
medikamentosa ditujukan untuk batu yang ukurannya kurang dari 5 mm karena
diharapkan batu dapat keluar spontan. Terapi yang diberikan bertujuan untuk
mengurangi nyeri, memperlancar aliran urine dengan pemberian diuretikum dan
minuman banyak supaya dapat mendorong batu keluar dari saluran kemih.
e. Kolaborasi
tindakan extracorporeal shockwave lithotripsy (ESWL).
Rasional: alat
ini memecah batu ginjal, batu ureter proksimal atau batu kandung kemih tanpa
melalui tindakan invasif dan tanpa pembiusan. Batu dipecah menjadi fragmen
fragmen kecil sehingga mudah dikeluarkan melalui saluran kemih. Tidak jarang
pecahan-pecahan batu yang sedang keluar menimbulkan perasaan nyeri kolik dan
menyebabkan hematuria.
f. Kolaborasi
tindakan endourologi.
Rasional:
tindakan endourologi adalah tindakan invasif minimal untuk mengeluarkan batu
sauran kemih yang terdiri atas memecah batu dan kemudian mengeluarkannya dari
saluran kemih melalui alat yang dimasukkan langsung ke dalam saluran kemih.
Alat itu dimasukkan melalui uretra atau melalui insisi kecil pada kulit. Proses
pemecahan batu dapat dilakukan secara mekanik, dengan memakai energi hidrautik,
energi gelombang suara, atau dengan energi laser.
g. Kolaborasi
tindakan pembedahan terbuka.
Rasional: bedah terbuka pada kondisi klien yang
mengalmai batu ginjal dilakukan atas pertimbagnan medis, dimana belum tersedianya
fasilitas untuk pelaksanaan bedah ESWL atau adanya pertimbangan adanya
komplikasi secara klinis yang diharuskan untuk penatalaksanaan dengan
pembedahan terbuka.
2.2.3.3 Risiko
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan mual, muntah efek
sekunder dari nyeri kolik.
a. Kaji
status nutrisi klien, turgor kulit, berat badan, dan derajat penurunan berat
badan, integritas mukosa oral, kemampuan menelan, riwayat mual/muntah, dan
diare.
Rasional:
memvalidasi dan menetapkan derajat masalah untuk menetapkan pilihan intervensi
yang tepat.
b. Fasilitas
klien memperoleh diet biasa yang disukai klien (sesuai indikasi).
Rasional: memperhitungkan
keinginan individu dapat memperbaiki asupan nutrisi.
c. Pantau
intake dan output, anjurkan untuk timbang berat badan secara periodik (sekali
seminggu).
Rasional:
berguna dalam mengukur keefektifan nutrisi dan dukungan cairan. Makanan dan
cairan tidak diijinkan melalui mulut selama beberapa jam atau beberapa hari
sampai gejala akut berkurang. Bila makanan diberikan, adanya gejala yang
menunjukkan berulangnya episode gastritis dievaluasi dan dilaporkan.
d. Lakukan
dan ajarkan perawatan mulut sebelum dan sesudah makan, serta sebelum dan
sesudah intervensi atau pemeriksaan peroral.
Rasional:
menurunkan rasa tak enak karena sisa makanan atau bau obat yang dapat
merangsang pusat muntah.
e. Fasilitasi
klien memperoleh diet sesuai indikasi dan anjurkan menghindari asupan dari agen
iritan.
Rasional: intake
minuman mengandung kafein dihindari karena kafein merupakan stimulan sistem saraf
pusat yang meningkatkan aktivitas lambung dan sekresi pepsin. Pengunaan alkohol
juga dihindari, demikian juga merokok karena nikotin akan mengurangi sekresi
bikarbonat pankreas dan karena menghambat netralisasi asam lambung dalam
duodenum. Nikotin juga meningkatkan stimulasi parasimpatis yang meningkatkan
aktivitas otot dalam usus dan dapat menimbulkan mual dan muntah.
f. Kolaborasi
dengan ahli gizi untuk menetapkan komposisi dan jenis diet yang tepat.
Rasional:
merencanakan diet dengan kandungan nutrisi yang adekuat untuk memenuhi
peningkatan kebutuhan energi dan kalori sehubungan dengan status hipermetabolik
klien.
g. Kolaborasi
untuk pemberian anti-muntah
Rasional:
meningkatkan rasa nyaman gastrointestinal dan meningkatkan kemauan asupan
nutrisi dan cairan peroral.
2.2.3.4 Kecemasan
berhubungan prognosis pembedahan, tindakan invasif diagnostik.
a. Bantu
klien mengekspresikan perasaan marah, kehilangan, dan takut.
Rasional: cemas
berkelanjutan memberikan dampak serangan jantung selanjutnya.
b. Beri
dukungan prabedah.
Rasional:
hubungan emosional yang baik antara perawat dan klien akan memengaruhi
penerimaan klien dengan pembedahan aktif mendengar semua kekhawatiran dan
prihatian klien adalah bagian penting dari evaluasi praoperatif. Keterbukaan
mengenai tindakan bedah yang akan dilakukan, pilihan anestesi, dan perubahan
atau kejadian pascaoperatif yang diharapkan akan menghilangkan banyak ketakutan
tak berdasar terhadap anestesi. Bagi sebagian besar klien, pembedahan adalah
suatu peristiwa hidup yang bermakna.
c. Hindari
konfrontasi.
Rasional:
konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan kerja sama, dan mungkin
memperlambat penyembuhan.
d. Beri
lingkungan yang tenang dan suasana penuh istirahat.
Rasional:
mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu.
e. Beri
kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan ansietasnya.
Rasional: dapat
menghilangkan ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak diekspresikan.
f. Kolaborasi
berikan anticemas contohnya diazepam
Rasional:
meningkatkan relaksasi dan menurunkan kecemasan.
2.2.3.5 Pemenuhan
informasi berhubungan rencana pembedahan, tindakan diagnostik invasif, perencanaan
pulang.
a. Kaji
tingkat pengetahuan, sumber informasi yang telah diterima.
Rasional:
menjadi dasar untuk memberikan pendidikan kesehatan dan mengklarifikasikasi
sumber yang tidak jelas.
b. Lakukan
pendidikan kesehatan preoperatif.
Rasional: kurang
bijaksana bila memberitahukan klien dan keluarganya tentang lamanya waktu
tindakan ESWL dan operasi yang akan dijalani. Penundaan yang tidak diantisipasi
dapat terjadi karena berbagai alasan. Apabila klien tidak kembali pada waktu
yang diharapkan, keluarga akan menjadi sangat cemas, anggota keluarga harus
menunggu dalam ruangan tunggu bedah untuk mendapat berita yang terbaru dari
staf.
c. Program
instruksi yang didasarkan pada kebutuhan individu direncanakan dan diimplementasikan
pada waktu yang tepat.
Rasional: jika
sesi penyuluhan dilakukan beberapa hari sebelum tindakan ESWL dan pembedahan, klien
mungkin tidak ingat tentang apa yang telah dikatakan. Jika instruksi diberikan
terlalu dekat dengan waktu pembedahan, klien mungkin tidak dapat berkonsentrasi
atau belajar karena ansietas atau efek dari medikasi praanestesi.
d. Persiapan
administasi dan informed consent.
Rasional: pada
banyak lembaga, perawat harus mendokumentasikan daftar seluruh alat prostese
atau barang-barang pribadi termasuk perhiasan dan menyimpannya sesuai dengan
kebijakan lembaga. Perawat juga boleh memberikan protese dan perhiasan pada
anggota keluarga. Klien sudah menyelesaikan administrasi dan mengetahui secara
finansial biaya pembedahan. Klien sudah mendapatkan penjelasan dan
menandatangani informed consent.
e. Ajarkan
latihan batuk efektif dan gunakan bantal agar mengurangi nyeri.
Rasional: tujuan
dalam meningkatkan batuk adalah untuk memobilisasi sekresi sehingga dapat
dikeluarkan. Ketika dilakukan napas dalam sebelum batuk, refleks batuk dirangsang. Jika klien tidak
dapat batuk secara efektif, pneumonia hipostatik, dan komplikasi paru lainnya
dapat terjadi. Bila akan dilakukan insisi abdomen atau toraks, perawat
memperagakan bagian insisi dapat disokong sehingga tekanan diminimalkan dan
nyeri terkontrol.
f. Beritahu
keluarga klien dan keluarga kapan klien sudah bisa dikunjungi.
Rasional: klien
akan mendapatkan manfaat bila mengetahui kapan keluarganya dan temannya dapat
berkunjung setelah pembedahan (Muttaqin & Sari, 2014: 114-121).
DAFTAR RUJUKAN
Badan Pengawas
Obat dan Makanan Republik Indonesia (2008). Informatorium Obat Nasional
Indonesia. Badan POM: POM RI, KOPERPOM an CV Agung Seto.
Baradero, M.,
Dayrit, M.W. & Siswadi, Y. (2008). Seri Asuhan keperawatan klien
gangguan ginjal. Jakarta: EGC.
Carpeito, L.J.
(2006). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta: EGC.
Data Penyakit
RSUD Ulin Ruang Tulip IC Banjarmasin tahun 2016.
Gebhart, J.B.
(2010). Urologic Surgery for the
Gynecologist and Urogynecologist. Jakarta: Saunders.
Grace, P.A.
& Borley, N.R. (2006). At a Glance
Imu Bedah edisi ketiga. Jakarta: Erlangga.
Harrison
(2013). Buku Saku Nefrologi. Tangerang Selatan: Karisma Publishing
Groub.
Haryono, R.
(2013). Keperawatan Medikal Bedah: Sistem
Perkemihan. Edisi 1. Yogyakarta: Rapha Publishing.
Hidayat, A.A.A (2008). Pengantar Konsep Keperawatan. Edisi 2.
Jakarta: Salemba Musika.
Kusuma, H.
& Nurarif, A.H. (2012). Hand Book for Health Student. Yogyakarta:
Publishing.
Muttaqin, A.
& Sari, K. (2014). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
Nurarif, A.M.
& Kusuma, H. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan bedasarkan Diagnosa
Medis & NANDA NIC-NOC edisi revisi jilid 1. Yogyakarta: Media Action.
Patton, K.T.
& Thibodeau, G.A.(2010). Anatomy & physiology. 7th Edition. United
States of America: Library of Congress Cataloging-In-Publication Data.
Pearce, E.C.
(2014). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: CV Prima
Grafika.
Priharjo, R.
(2006). Edisi Revisi Buku
Pengkajian Fisik Keperawatan. Edisi 2. Jakarta: EGC
Purnomo, B.B.
(2012). Dasar-dasar UROLOGI. Edisi
ketiga. Malang: CV Sagung Seto.
Suharyanto, T.
& Madjid, A. (2009). Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan
sistem perkemihan. Jakarta: CV Trans info media.
Syaifuddin.
(2011). Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa
Keperawatan dan Kebidanan. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Taylor, C.M.
& Ralph, S.S. (2010). Diagnosis Keperawatan dengan Rencana Asuhan.
Jakarta: EGC.
Wilkinson, J.M.
& Ahern, N.R. (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 9. Jakarta: EGC.
http://eprints.undip.ac.id/18458/1/Nur_Lina.pdf>
(Diakses tanggal 21 Mei 2016).
http://www.Dedaunan.com>(Diakses tanggal 10
Mei 2016).
http://www.Safahastanesi.com>(Diakses tanggal 10
Mei 2016).
http://www.Slideplayer.info>(Diakses
tanggal 10 Mei 2016).
http://www.Softilmu.com>(Diakses tanggal 10
Mei 2016).
http://www.Southcoasturology.com>(Diakses tanggal 10
Mei 2016).
http://www.Tanyadok.com>(Diakses tanggal 10
Mei 2016).
http://www.Uludagsozluk.com>(Diakses 10 Mei 2016).
No comments:
Post a Comment