Tuesday, March 7, 2017

Laporan Pendahuluan Nefrolitiasis / Batu Ginjal

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang Masalah
Batu ginjal merupakan kondisi yang cukup umum diderita oleh orang-orang yang berusia 30 hingga 60 tahun. Penyakit ini lebih banyak diderita oleh pria dibandingkan wanita. Ini terjadi dikarenakan adanya perbedaan aktivitas fisik, pola makan, serta struktur anatomis yang berbeda. Secara garis besar pembentukan batu ginjal dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik yaitu umur, jenis kelamin, dan keturunan, sedangkan faktor ekstrinsik yaitu kondisi geografis, iklim, kebiasaan makan, zat yang terkandung dalam urin, pekerjaan, dan sebagainya. Nefrolitiasis juga dapat di bedakan berdasarkan komposisi zat yang menyusunnya. Berdasarkan komposisi zat yang meyusun batu, batu dibedakan menjadi batu kalsium, batu struvit, batu asam urat, batu sistin. Angka kejadian batu kalsium paling tinggi jika dibandingkan dengan angka kejadian batu lainnya. Penatalaksanaan klien nefrolitiasis dapat dilakukan dengan menggunakan metode ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy), PNL (Percutaneus Shockwave Litholapaxy), bedah terbuka dan terapi konservatif atau terapi ekspulsif medikamentosa (TEM).

Penyakit batu saluran kemih sudah dikenal sejak zaman Babilonia dan zaman Mesir kuno. Sebagai salah satu buktinya adalah ditemukan batu pada kandung kemih seorang mumi. Angka kejadian penyakit ini tidak sama di berbagai belahan bumi. Di negara-negara berkembang banyak dijumpai klien batu buli-buli sedangkan di negara maju lebih banyak dijumpai penyakit batu saluran kemih bagian atas, hal ini karena adanya pengaruh status gizi dan aktivitas klien sehari-hari. Di Amerika Serikat 5-10% penduduknya menderita penyakit ini (Purnomo, 2012: 5).


Menurut World Health Organization (2007), menunjukkan 43% penyebab batu saluran kemih karena kurang gerak. Sekitar 60-70% batu yang turun spontan sering disertai dengan serangan kolik ulangan. Angka prevelensi rata-rata diseluruh dunia 1-12% penduduk menderita batu saluran kemih.

Batu ginjal merupakan penyakit yang jumlah penderitanya relatif tinggi di Asia, khususnya di Indonesia. Menurut survei yang dilakukan oleh US Census Bureu  (2004), jumlah penderita batu ginjal di Indonesia diperkirakan mencapai 876.000 orang. Setelah batu dikeluarkan, tindak lanjut yang tidak kalah pentingnya adalah upaya mencegah timbulnya kekambuhan. Angka kekambuhan batu saluran kemih rata-rata 7% per tahun atau kambuh lebih dari 50% dalam 10 tahun (Haryono, 2013: 65).

Menurut Departemen Kesehatan RI (2006), jumlah klien rawat inap penderita BSK di rumah sakit seluruh Indonesia yaitu 16.251 penderita dengan CFR 0.94% <http://eprints.undip.ac.id/18458/1/Nur_Lina.pdf> (Diakses tanggal 22 Mei 2016).

Berdasarkan hasil survei di Rumah sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin khususnya di ruang Bedah Umum (Tulip IC) pada tahun 2013, 34 klien yang menderita batu ureter, Sedangkan pada tahun 2014 dari 2.492 klien yang dirawat inap, yang menderita batu saluran kemih 35 klien dan pada tahun 2016, untuk bulan Januari sampai April, yang menderita Nefrolitiasis berjumlah 7 klien.
Berdasarkan paparan diatas, penulis berminat untuk mengangkat dan melakukan asuhan keperawatan pada klien Nefrolitiasis, kemudian berkenan dengan hal tersebut tenaga kesehatan terutama  perawat diharapkan untuk mampu memberikan asuhan keperawatan yang bermutu dan optimal.

1.2     Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan ini adalah untuk memberikan asuhan keperawatan secara menyeluruh kepada klien Nefrolitiasis di ruang Bedah Umum Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin dan untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan program studi D.3 Keperawatan Universitas Muhammadiyah Banjarmasin.

1.3     Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penulisan ini adalah untuk memberikan informasi  gambaran hasil pelaksanaan Asuhan Keperawatan pada klien Nefrolitiasis dengan pendekatan proses keperawatan secara komprehensif, meliputi:
1.3.1  Melakukan pengkajian keperawatan atau pengumpulan data pada klien  dengan Nefrolitiasis.
1.3.2        Menentukan diagnosa keperawatan yang muncul pada klien dengan Nefrolitiasis.
1.3.3        Menyusun rencana tindakan keperawatan pada klien dengan Nefrolitiasis.
1.3.4   Melakukan implementasi keperawatan pada klien sesuai dengan rencana yang telah disusun pada pasien dengan Nefrolitiasis.
1.3.5    Mengevaluasi terhadap tindakan keperawatan yang telah diberikan pada klien Nefrolitiasis.
1.3.6        Mendokumentasikan hasil asuhan keperawatan pada klien dengan Nefrolitiasis.

1.4     Sistematika Penulisan
Bab 1: Pendahuluan, berisi tentang latar belakang, tujuan umum, tujuan khusus, manfaat, metode ilmiah penulisan, dan sistematik penulisan.
Bab  2:   Tinjauan teoritis, berisi tentang tinjauan teoritis medis, dan tinjauan teoritis asuhan keperawatan Nefrolitiasis.
Bab  3:   Hasil asuhan keperawatan, berisi tentang gambaran kasus, analisa data dan diagnosis keperawatan, rencana keperawatan, implementasi keperawatan, evaluasi keperawatan dan catatan perkembangan.
Bab  4:   Kesimpulan dan saran, berisi tentang kesimpulan, dan saran. Untuk bagian akhir, terdiri dari daftar rujukan dan lampiran-lampiran.




BAB 2
TINJAUAN TEORITIS
2.1         Tinjauan Teoritis Medis
2.1.1    Anatomi Sistem Perkemihan

Gambar 2.1 Anatomi Sistem Perkemihan
(Sumber data: < Slideplayer.info > Diakses pada tanggal 10 Mei 2016).






Gambar 2.2 Anatomi Ginjal Bagian Luar
(Sumber data: < Dedaunan.com > Diakses pada tanggal 10 Mei 2016).



Gambar 2.3 Anatomi Ginjal Bagian Dalam
(Sumber data: < Softilmu.com > Diakses pada tanggal 10 Mei 2016).



2.1.2    Fisiologis Ginjal
Syarifuddin (2011: 446) mengemukakan bahwa, “Ginjal merupakan organ terpenting dalam mempertahankan homeostatis cairan tubuh secara baik”.
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen, terutama di daerah lumbal, disebelah kanan dan kiri tulang belakang, dibungkus lapisan lemak yang tebal, dibelakang peritonium, dan karena itu di luar rongga peritonium (Pearce, 2014: 298).
Kedudukan ginjal dapat diperkirakan dari belakang, mulai dari ketinggian vertebra torakalis terakhir sampai vertebralumbalis ketiga. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari kiri, karena hati menduduki banyak ruang disebelah kanan (Pearce, 2014: 298).
Setiap ginjal panjangnya 6 sampai 7,5 cm, dan tebal 1,5 sampai 2,5 cm. Pada orang dewasa beratnya kira-kira 140 gram. Bentuk ginjal seperti biji kacang dan sisi dalamnya atau hilum menghadap ketulang punggung. Sisi luarnya cembung (Pearce, 2014: 298).
Pembuluh-pembuluh ginjal semuanya masuk dan keluar pada hilum. Di atas setiap ginjal menjulang sebuah kelenjar suprarenal. Ginjal kanan lebih pendek dan lebih tebal dari pada yang kiri (Pearce, 2014: 298).
The kidneys are bean shaped organs located retroperitoneally, just below the ribs. The kidneys maintain fluid and electrolyte balance. They usually measure 10 to 12 cm in length 5 to 7 cm transversely and 3 cm in anteroposterior dimension. The center of the right kidney is located approximatelty at the body of the second lumbar vertebra. the right kidney is 1 to 2 cm lower than the left because of its location below the liver. the renal calyces coalesce to form the renal pelvis which collects urine and is continuous with the ureter,  the renal pelvis exits the kidney medially, posterior to the renal vessels. The kidneys receive their blood supply from the renal arteries, which originate directly from the aorta, just below the trunk of the veins, which feed into the inferior vena cava. both the arteries and the veins (Gebhart, 2010: 1).
Ginjal adalah organ berbentuk kacang, terletak retroperitoneally, tepat di bawah tulang rusuk. Ukuran panjang 10-12 cm, 5-7 cm melintang dan 3 cm dalam dimensi anteroposterior. Pusat ginjal kanan terletak sekitar tubuh vertebra lumbalis kedua. Ginjal kanan posisinya 1 sampai 2 cm lebih rendah dari  kiri karena lokasinya di bawah hati. Calyces ginjal bergabung membentuk pelvis ginjal yang mengumpulkan urin dan terhubung dengan ureter, pelvis ginjal keluar dari  bagian tengah ginjal. Gina menerima suplai darah dari arteri ginjal, yang berasal langsung dari aorta, tepat di bawah batang pembuluh darah yang menyediakan makanan ke dalam cava inferior baik arteri dan vena (Gebhart, 2010: 1).

2.1.3    Struktur ginjal
Ginjal ditutupi kapsul tunika fibrosa yang kuat. Apabila kapsul dibuka terlihat permukaan dari ginjal licin dengan warna merah tua. Dengan membuat potongan vertikal dari ginjal melalui margo lateralis ke margo medialis akan terlihat hilus meluas ke ruangan sentral yang disebut sinus renalis bagian atas dari pelvis renalis.
Ginjal terdiri dari:
2.1.3.1  Bagian dalam (internal) medula. Subtansia medularis terdiri dari piramid renalis jumlahnya antara 8-16 buah yang mempunyai basis sepanjang ginjal, sedangkan apeksnya menghadap ke sinus renalis.
2.1.3.2  Bagian luar (eksternal) korteks. Subtansia kortekalis berwarna coklat merah, konsistensi lunak dan bergranula. Subtansia ini tepat di bawah tunika fibrosa, melengkung sepanjang basis piramid yang berdekatan dengan sinus renalis, bagian dalam di antara piramid di namakan kolumna renalis)(Syaifuddin, 2011: 446-447).

2.1.4    Pembungkus ginjal
Ginjal dibungkus oleh suatu massa jaringan lemak yang disebut kapsula adiposa. Bagian yang paling tebal terdapat pada tepi ginjal yang memanjang melalui hilus renalis. Ginjal dan kapsula adiposa tertutupi oleh suatu lamina khusus dari fasia subserosa yang disebut fasia renalis yang terdapat di antara lapisan dalam dari fasia profunda dan stratum fasia subserosa internus. Fasia subserosa terpecah menjadi dua bagian yaitu lamella anterior (fasia prerenalis) dan lamella posterior (fasia retrorenalis) (Syaifuddin, 2011: 447).

2.1.5    Struktur mikroskpis ginjal
       Satuan fungsional ginjal disebut nefron. Ginjal mempunyai lebih kurang 1,3 juta nefron yang selama 24 jam dapat menyaring 170 liter darah dari arteri renalis. Lubang-lubang yang terdapat pada piramid renal masing-masing membentuk simpul satu badan malfigi yang disebut glomerulus (Syaifuddin, 2011: 446).

2.1.6    Nefron adalah massa tubulus menyaring darah dan mengontrol komposisinya setiap nefron berawal dari berkas kapiler yang terdiri dari:
2.1.6.1  Glomerulus, merupakan gulungan atau anyaman kapiler yang terletak di dalam kapsula bowman (ujung bentuk tubulus ginjal yang bentuknya seperti kapsula cekung menutupi glomerulus yang saling melilitkan diri). Glomerulus menerima darah dari arteriola aferen dan meneruskan darah ke sisitem vena melalui arteriola eferen. Natrium secara bebas difiltrasi dalam glomerulus sesuai dengan konsentrasi dalam plasma. Kalium juga difiltrasi secara bebas. Diperkirakan 10-20% kalium plasma terikat oleh protein dan tidak bebas difiltrasi sehingga kalium dalam keadaan normal.
The glomerulus is probably the bodys most well known capilarrary network and is surely one of its most important ones for survival. its relationship to the bowman capsule is clearly visible. notice in both figuretsthat an efferent arteriole leads into the glomerular network  and an efferent arterial leads out (Patton & Thibodeau, 2010: 955).
Glomerulus kemungkinan bagian yang dikenal sebagai jaringan kapiler dan merupakan salah satu yang paling penting untuk kelangsungan hidup, hubungannya dengan kapsul bowman terlihat jelas. Terlihat di kedua bagian tersebut, arteri eferen mengarah ke bagian tersebut. Arteri aferen mengarah ke jaringan glomerulus dan arteri eferen mengarah keluar. (Patton & Thibodeau, 2010: 955).
2.1.6.2  Tubulus proksimal konvulta, tubulus ginjal yang langsung berhubungan dengan kapsula bowman dengan panjang 15 mm dan diameter 55 mm. Bentuknya berkelok-kelok menjalar dari korteks ke bagian medula dan kembali ke korteks. Sekitar 2/3 dari natrium yang terfiltrasi diabsorbsi secara isotonik bersama klorida dan melibatkan transportasi aktif natrium. Peningkatan reabsorbsi natrium akan mengurangi pengeluaran air dan natrium. Hal ini dapat menganggu pengenceran dan pemekatan urine yang normal. Kalium reabsobrsi lebih dari 70%, kemungkinan dengan mekanisme transportasi aktif akan terpisah dari resopsi natrium.
2.1.6.3  Ansa henle, bentuknya lurus dan tebal, diteruskan kesegmen tipis selanjutnya ke segmen tebal, panjangnya 12 mm. Klorida secara aktif diserap kembali pada cabang asendens ansa henle dan natrium bergerak secara pasif untuk mempertahankan kenetralan listrik. Sekitar 25% natrium yang difiltrasi diserap kembali karena nefron bersifat tidak permeabel untuk pemekatan urine karena membantu mempertahankan integritas gradiens konsentasi medula. Kalium terfiltrasi sekitar 20-25% diabsorpsi pada pars asendens lengkung henle proses pasti terjadi karena gradien elektrokimia yang timbul sebagai akibat dari reabsorpsi aktif klorida pada segman nefron ini.
2.1.6.4  Tubulus distal konvulta, bagian tubulus ginjal yang berkelok-kelok dan jauh letaknya dari kapsula bowman, panjangnya 5 mm. Tubulus distal dari masing masing nefron bermuara ke duktus koligens yang panjangnya 20 mm. Masing-masing duktus koligens berjalan melalui korteks dan medula ginjal, bersatu membentuk suatu duktus yang berjalan lurus dan bermuara ke dalam duktus belini seterusnya menuju kaliks lurus dan kaliks mayor. Akhirnya mengosongkan isinya ke dalam pelvis renalis pada aspek masing-masing piramid medula ginjal. Pada nefron keseluruhan ditambah dengan duktus koligens 45-65 mm. Nefron yang berasal dari glomerulus korteks (nefron korteks), mempunyai ansa henle yang memanjang ke dalam piramid medula. Dalam keadaan normal sekitar 5-10% natrium terfiltrasi mencapai daerah reabsorpsi di bagian distal. Mekanisme pasti reabsorpsi natrium pada daerah ini ditukar dengan ion hidrogen atau kalium di bawah pengaruh aldosteron. Sekresi kalium terjadi secara murni. Suatu proses pasif yang terjadi karena gradien elektrokimia yang ditimbulkan oleh perbedaan besar potensial pada segmen nefron ini. Gradien ini dipertahankan oleh pertukaran aktif natrium dan kalium pada membran basolateral sel tubulus. Mekanisme ini dikendalikan oleh aldosteron yang mengendalikan tubulus distal terhadap sekresi kalium.
2.1.6.5  Duktus koligen medula, bukan merupakan saluran metabolik tidak aktif, tetapi pengaturan secara halus ekskresi natrium urine terjadi di sini dengan aldosteron yang paling berperan terhadap reabsorpsi natrium. Peningkatan aldosteron dihubungkan dengan peningkatan reabsorpsi natrium. Duktus ini memiliki kemampuan mereabsorpsi dan meyekresi kalium. Ekskresi aktif kalium diperlihatkan pada duktus koligen kortikal dan dikendalikan oleh aldosteron. Reabsorbsi aktif kalium murni terjadi dalam duktus koligen medula (Syaifuddin, 2011: 446-447).

2.1.7    Aparatus juksta glomerulus
Arteriol aferen dan ujung akhir ansa henle asendens tebal, nefron yang sama bersentuhan untuk jarak yang pendek. Pada titik persentuhan sel tubulus (ansa henle) asendens menjadi tinggi dinamakan makula densa, dinding arteriola yang bersentuhan dengan ansa Henle menjadi tebal karena sel-selnya mengandung butir-butir sekresi renin yang besar yang disebut juksta glomerolos. Makula densa dan sel juksta glomerulus erat sekali kaitannya dengan pengatur volume cairan ekstrasel dan tekanan darah (Syaifuddin, 2011: 449).

2.1.8    Elektromikroskopis glomerulus
Glomerulus berdiameter 200 um, dibentuk oleh invaginasi suatu anyaman kapiler yang menempati kapsula bowman, mempunyai dua lapisan seluler yang memisahkan darah dari dalam kapiler glomerulus dan filtrat dalam kapsula bowman yaitu lapisan-lapisan endotel kapiler dan lapisan epitel khusus yang terletak di atas kapiler glomerulus.
Kedua lapisan ini dibatasi oleh lamina basalis, disamping itu terdapat sel-sel stelata yang disebut sel masangial. Sel mirip dengan sel-sel parasit yang terdapat pada dinding kapiler seluruh tubuh. Zat-zat ini bermuatan netral, diameter 4 mm, dapat melalui membran glomerulus dan zat yang lebih dari 8 mm hampir semuanya terhambat. Di samping diameter bermuatan molekul, juga memengaruhi daya tembus glomerulus sehingga tidak dapat melewati glomerulus (Syaifuddin, 2011: 450).


2.1.9    Peredaran darah
Ginjal terdapat darah dari arteri renalis merupakan cabang dari aorta abdominalis, sebelum masuk ke dalam massa ginjal. Arteri renalis mempunyai cabang yang besar yaitu arteri renalis anterior dan yang kecil arteri renalis posterior. Cabang arterior memberikan darah untuk ginjal anterior dan ventral. Cabang posterior memberikan darah untuk ginjal posterior dan bagian dorsal. Di antara kedua cabang ini terdapat suatu garis (brudels line) yang terdapat di sepanjang margo lateral dari ginjal. Pada garis ini tidak terdapat pembuluh darah sehingga, kedua lateral dari ginjal.  Pada garis ini tidak terdapat anterior dan posterior dari kolisis sampai ke medula ginjal, terletak di antara piramid dan disebut arteri interlobularis.
Setelah sampai di daerah medula membelok 90 º melalui baris piramid yang disebut arteri Arquarta. Pembuluh ini akan bercabang menjadi arteri interlobularis yang berjalan tegak ke dalam korteks berakhir sebagai:
2.1.9.1  Vasa aferen glomerulus untuk 1-2 glomerulus.
2.1.9.2  Pleksus kapiler sepanjang tubulus melingkar dalam korteks tanpa berhubungan dengan glomeralis.
2.1.9.3  Pembuluh darah menembus kapsula Bowman.
Dari glomerulus keluar pembuluh darah aferen, selanjutnya terdapat suatu anyaman yang mengelilingi tubulis kontorti. Disamping itu ada cabang yang lurus menuju ke pelvis renalis memberikan darah untuk ansa Henle dan duktus koligen yang dinamakan arteri rektal (Arteri Spuriae). Dari rambut ini darah berkumpul dalam pembuluh kapiler vena, bentuknya seperti bintang disebut vena stella berjalan ke vena interlumbalis.
Pembuluh limfe mengikuti perjalanan Arteri Renalis menuju ke nodi limfatikus aorta lateral yang terdapat disekitar pangkal Arteri renalis, dibentuk oleh pleksus yang berasal dari massan ginjal, kapsula fibrosa dan bermuara di nodus lateral aortika (Syaifuddin, 2011: 450-451).

2.1.10         Persarafan ginjal
Saraf ginjal lebih kurang 15 ganglion, ganglion ini membentuk leksus renalis yang berasal dari cabang yang terbawah dan di luar ganglion pleksus seliaka, pleksus auskustikus, dan bagian bawah splenikus. Pleksus renalis bergabung dengan pleksus spermatikus dengan cara memberikan beberapa serabut yang dapat menimbulkan nyeri pada testis pada kelainan ginjal (Syaifuddin, 2011: 452).

2.1.11         Fungsi ginjal2.1.11.1  Volume air (cairan) dalam tubuh.
Kelebihan air dalam tubuh akan di eksresikan oleh ginjal sebagai urine yang encer dalam jumlah besar. Kekurangan air (kelebihan keringat) menyebabkan urine yang dieksresi jumlahya berkurang dan konsentrasinya lebih bekat sehingga susunan dan volume cairan tubuh dapat dipertahankan relatif normal.
2.1.11.2  Mengatur keseimbangan osmotik dan keseimbangan ion. Terjadi dalam plasma bila terdapat pemasukan dan pengeluaran yang abnormasl dari ion-ion. Akibat pemasukan garam yang berlebih/penyakit perdarahan, diare, dan muntah-muntah, ginjal akan meningkatkan eksresi ion-ion yang penting misalnya: natrium (Na), kalium (K), chlor (Cl), kalsium (Ca), dan Fosfat.
2.1.11.3  Mengatur keseimbangan asam basa cairan tubuh. Tegantung apa yang dimakan, campuran makanan (mixed diet) akan menghasilkan urine yang bersifat agak asam, potential of hydrogen (PH) urine bervariasi antara 4,8-8,2 ginjal mengekskresi urine sesuai dengan perubahan potensial of hydrogen (PH) darah.
2.1.11.4  Ekskresi sisa-sisa hasil metabolisme (ureum, asam urat, dan kreatinin). Bahan-bahan yang di ekskresi oleh ginjal antara lain zat toksik, obat-obatan, hasil metabolisme hemoglobin dan bahan kimia asing (pestisida).
2.1.11.5  Fungsi hormonal dan metabolisme.
Ginjal menyekskresi hormon renin yang mempunyai peranan penting dalam mengatur tekanan darah (sistem renin-angiotensin-aldesteron) yaitu untuk memproses pembentukan sel darah merah (eritropoises). Di samping itu, ginjal juga membentuk hormon di hidroksi kolekalsiferol (vitamin D aktif) yang diperlukan untuk absorbsi ion kalsium di usus (Syaifuddin, 2011: 452-453).

2.1.12         Pengertian batu ginjal
Muttaqin & Sari (2014: 108) mengemukakan bahwa, “Batu ginjal atau nefrolitiasis merupakan suatu keadaan terdapatnya batu (kalkuli) di ginjal“.
(Baradero et al, 2009: 59) mengemukakan “Batu ginjal adalah pengkristalan mineral yang mengelilingi zat organik, misalnya nanah, darah atau sel yag sudah mati. Biasanya, Batu (kalkuli) terdiri atas garam kalsium (oksalat dan fosfat) atau magnesium fosfat dan asam urat”.
Haryono (2012: 55) mengemukakan bahwa, “Batu ginjal adalah (kalkulus) adalah bentuk deposit mineral, paling umum oksolaktat ca2+ dan fosfat ca2+, tetapi asam urat dan kristal yang lain juga berbentuk batu”.
Batu ginjal merupakan benda padat yang dibentuk oleh prepitasi berbagai zat pelarut dalam urin pada saluran kemih. Batu dapat berasal dari kalsium oksalat (60%), fosfat sebagai campuran kalsium, aminium dan magnesium fosfat (batu tripel fosfat ini terjadi akibat infeksi) (30%), asam urat (5%) dan sistin (1%) (Grace & Borley, 2006: 171).
Jadi, dari pernyataan di atas penulis menyimpulkan batu ginjal adalah terdapat batu atau kalkuli di ginjal.

2.1.13         Macam jenis batu dan proses pembentukanya
2.1.13.1   Batu oksalat atau kalsium oksalat
Asam oksalat didalam tubuh berasal dari metabolisme asam amino dan asam askorbat (Vitamin C). Asam askorbat merupakan prekursor oksalat yang cukup besar, sejumlah 30%-50% dikeluarkan sebagai oksalat urin. Manusia tidak dapat melakukan metabolisme oksalat sehingga dikeluarkan melalui ginjal. Jika terjadi gangguan fungsi ginjal dan asupan oksalat berlebih di tubuh (misalnya banyak mengkomsumsi nanas) maka terjadi akumulasi oksalat yang memicu terbentuknya batu oksalat di ginjal atau kandung kemih.
2.1.13.2   Batu struvit
Batu struvit terdiri dari magnesium ammonium fosfat (struvit) dan kalsium karbonat. Batu tersebut terbentuk di pelvis dan kalik ginjal bila produksi ammonia bertambah dan pH urin tinggi sehingga kelarutan fosfat berkurang. Hal itu terjadi akibat infeksi bakteri pemecah urea (yang terbanyak dari spesies Proteus dan Providencia, Peudomonas eratia, semua spesies Klebsiella, Hemophilus,Staphylococus, dan Coryne bacterium) pada saluran urin. Enzim urease yang dihasilkan bakteri di atas menguraikan urin menjadi amonia dan karbonat. Amonia bergabung dengan air membentuk amonium sehingga pH urin makin tinggi. Karbondioksida yang terbentuk dalam suasana pH basa/tinggi akan menjadi ion karbonat membentuk kalsium karbonat.
2.1.13.3   Batu urat
Terjadi pada penderita gout (sejenis rematik), pemakaian orikosurik (misal probenesid atau aspirin), dan penderita diare kronis (karena kehilangan cairan, dan peningkatan konsentrasi urin), serta asidosis (pH urin menjadi asam, sehingga terjadi pengendapan asam urat).
2.1.13.4   Batu sistina
Sistin merupakan asam amino yang kelarutannya paling kecil. Kelarutannya semakin kecil jika pH urin turun atau asam. Bila sistin tak larut maka akan berpresipitasi (mengendap) dalam bentuk kristal yang tumbuh dalam sel ginjal atau saluran kemih membentuk batu.
2.1.13.5   Batu kalium fosfat
Terjadi pada penderita hiperkalsiurik (kadar kalsium dalam urin tinggi) dan atau berlebih asupan kalsium (misal susu dan keju) ke dalam tubuh.
2.1.13.6   Batu kalsium
Sebagian besar penderita batu kalsium mengalami hiperkalsiuria, di mana kadar kalsium di dalam air kemih sangat tinggi. Obat diuretik thiazid (misalnya trichlormetazid) akan mengurangi pembentukan batu yang baru. Dianjurkan untuk minum banyak minum banyak air putih (8-10 gelas/hari). Diet rendah kalsium dan mengkomsumsi natrium selulosa fosfat. Untuk meningkatkan kadar sitrat (zat penghambat pembentukan batu kalsium) didalam air kemih, diberikan kalium sitrat. Kadar oksalat (misalnya bayam, coklat, kacang-kacangan, merica dan teh). Sebaiknya asupan makanan tersebut dikurangi. Kadang batu kalsium terbentuk akibat penyakit lain, seperti hiperparatiroidisme, sarkoidosis, keracunan vitamin D, asidosis tubulus renalis atau kanker.
2.1.13.7   Batu asam urat
Dianjurkan untuk mengurangi asupan daging, ikan dan unggas, karena makanan tersebut menyebabkan meningkatkan kadar asam urat di dalam air kemih. Untuk mengurangi pembentukan asam urat, bisa diberikan allopurinol. Batu asam urat terbentuk jika keasaman air kemih bertambah. Untuk menciptakan suasana air kemih yang alkalis (basa), bisa diberikan kalium sitrat. Sangat dianjuran untuk banyak minum air putih. Makanan yang harus dihindari adalah makanan yang mengandung kadar kapur tinggi karena bisa menaikkan kadar kalsium (kapur) dalam darah dan air kencing sehingga melebihi ambang batas aman dengan akibat terbentuk kristal batu. Kristal batu yang terbentuk dalam jumlah banyak dan saling menempel akan menjadi batu ginjal. Bahan makanan yang paling berbahaya bagi terbentuknya batu ginjal terutama lemak dan protein hewani, mengkomsumsi terlalu banyak protein hewani seperti telur dan daging ayam, sapi kambing akan menimbulkan kenaikan kadar kalsium (kapur) dalam darah dan air kencing dengan akibat terbentuk kristal batu dan batu ginjal (Haryono, 2013: 55-57).

2.1.14         Etilogi
Ada beberapa faktor yang memungkinkan terbentuknya batu pada saluran kemih, yaitu sebagai berikut:
2.1.14.1   Kelainan metabolik yang paling umum. Beberapa kasus hiperkalsiuria berhubungan dengan gangguan usus meningkat penyerapan kalsium (dikaitkan dengan kelebihan diet kalsium dan mekanisme penyerapan kalsium terlalu aktif), beberapa kelebihan terkait denga resorpi kalsium dari tulang (yaitu hiperparatiroidsme), dan beberapa yang berhubungan dengan ketidakmampuan dari tubulus ginjal untuk merebut kembali kalsium dalam filtrat glomerulus (ginjal-kebocoran hiperkalsiuria).
2.1.14.2   Pelepasan ADH yang menurun dan peningkatan konstrasi, kelarutan, dan pH urine.
2.1.14.3   Lamanya kristal terbentuk di dalam urine, dipengaruhi mobilisasi rutin. Gangguan reabsorpsi ginjal dan gangguan aliran urine.
2.1.14.4   Infeksi saluran kemih.
2.1.14.5   Kurangnya asupan air dan diet yang tinggi mengandung zat penghasil batu.
2.1.14.6   Idiopatik (Muttaqin & Sari, 2014: 108).

2.1.15         Teori proses pembentukan batu saluran kemih
2.1.15.1   Proses pembentukan adalah:
a.       Teori nukleasi: Batu terbentuk di dalam urin karena adanya inti batu atau sabuk batu (nucleus). Partikel-partikel yang berada dalam larutan membentuk batu. Inti batu dapat berupa kristal atau benda asing saluran kemih.
b.      Teori matriks: Matriks organik terdiri atas serum atau protein urin (albumin, globulin dan mukoprotein) sebagai kerangka tempat mengendapnya kristal-kristal batu.
c.       Penghambat kristalisasi: urine orang normal mengandung zat penghambat pembentuk kristal yakni magnesium, sitrat, pirofostat, mukoprotein berapa peptida. Jika kadar salah satu atau beberapa zat ini berkurang maka akan memudahkan terbentuknya batu dalam saluran kemih. (Haryono, 2013: 59).
2.1.15.2   Teori proses pembentukan batu saluran kemih:
Secara teoritis batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih terutama pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urine (statis urine), yaitu pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada pelvikalises (stenosis uretero-pelvis), divertikel, obstruksi infravesika kronis seperti pada hiperplasia prostat benigna, striktura, dan buli-buli neurogenik merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu.
Batu terdiri atas kristal-kistal yang tersusun oleh bahan-bahan organik maupun anorganik yang terlarut di dalam urine. Kristal-kristal tersebut tetap berada dalam keadaan metastable (tetap terlarut) dalam urine jika tidak ada keadaan-keadaan tertentu yang menyebabkan terjadinya presipitasi kristal. Kristal-kristal yang saling mengadakan presipitasi membentuk inti batu (nukleasi) yang kemudian akan mengadakan agregasi, dan menarik bahan-bahan lain sehingga menjadi kristal yang lebih besar. Meskipun ukurannya cukup besar, agregat kristal masih rapuh dan belum cukup mampu membuntukan saluran kemih. Untuk itu agregat kristal menempel pada epitel saluran kemih (membentuk retensi kristal), dan dari sini bahan-bahan lain diendapkan pada agregat itu sehingga membentuk batu yang cukup besar untuk menyumbat saluran kemih (Purnomo, 2012: 88).

2.1.16         Patofisiologi
2.1.16.1   Patofisiologi batu ginjal
Zat pembentuk batu dapat mengendap di urine jika ambang kelarutannya terlampaui. Pada rentang yang disebut rentang metastabil, pembentukan kristal mungkin tidak terjadi sama sekali atau hanya berjalan dengan sangat lambat, meskipun larutan sangat jenuh. Namun, jika konsenstrasinya di bawah rentang metastabil. Menurut Silbernagl (2007), senyawa yang paling sering ditemukan dalam batu ginjal adalah kalsium oksalat (sekitar 70%), kalsium fosfat atau magnesium-aminium fosfat (sekitar 30%), asam urat atau garam asam urat (sekitar 30%), serta xantin atau sistin (<5%). Beberapa zat bisa terdapat di dalam satu batu karena kristal yang telah terbentuk sebelumnya berperan sebagai inti kristalisasi dan memudahkan pengendapan bagi zat metastabil terlarut lainnya (oleh karena itu, totalnya adalah >100%). Pada peningkatan filtrasi dan ekskresi zat penghasil batu akan membuat peningkatan konsentrasi di dalam plasma. Hiperkalsiuria dan fosfaturia terjadi akibat peningkatan absorpsi di usus dan mobilisasi dari tulang, contohnya jika terdapat kelebihan PTH atau kalsitriol. Hiperkalsalemia dapat disebabkan oleh kelainan metabolik pada pemecahan asam amino atau melalui peningkatan absorpsinya di usus. Hiperurisemia terjadi akibat suplai yang berlebih, sintesis batu yang meningkat, atau peningkatan pemecahan purin. Batu xantin dapat terjadi jika pembentukan purin sangat meningkat dari pemecahan purin xantin menjadi asam urat dihambat. Namun, xantin lebih mudah larut dari pada asam urat sehingga batu xantin lebih jarang ditemukan. Gangguan reabsorpsi ginjal merupakan penyebab yang sering dari peningkatan ekskresi ginjal pada hiperkalsiuria dan merupakan penyebab tetap pada sistinuria. Konsentrasi ca2+ didalam darah dipertahankan melalui absorpsi di usus dan mobilisasi mineral tulang, sementara konsentrasi sistin dipertahankan dengan mengurangi pemecahanya. Pelepasan ADH (pada situasi volume yang berkurang pada saat dehidrasi, kondisi stress, dan lainnya) menyebabkan peningkatan konsentrasi zat pembentuk batu melalui peningkatan konsentrasi urine. Kelarutan beberapa zat bergantung pada pH urine. Fosfat mudah larut dalam urine yang asam, tetapi sukar larut pada urine yang alkalis. Fosfat baru biasanya hanya ditemukan pada urine yang alkanis. Sebaliknya, asam urat (garam asam urat) lebih mudah larut jika terdisosiasi daripada yang tidak terdisosiasi, dan asam urat baru lebih cepat terbentuk pada urine yang asam. Jika pembentukan NH3 berkurang, urine harus lebih asam untuk dapat mengeluarkan asam, dan hal ini meningkatkan pembentukan batu garam asam urat. Faktor lain yang juga penting adalah berapa lama sebenarnya kristal yang telah terbentuk tetap berada di dalam urine yang sangat jenuh. Lama waktu bergantung pada diuresis dan kondisi aliran dari saluran kemih bagian bawah, misalnya dapat menyebabkan kristal menjadi terperangkap. Batu ginjal terbentuk pada tubuli ginjal kemudian berada di kaliks, infundibulum, pelvis ginjal, dan bahkan bisa mengisi pelvis, serta seluruh kaliks ginjal. Batu yang mengisi pielum dan lebih dari dua kaliks ginjal memberikan gambaran menyerupai tanduk rusa sehingga di sebut batu staghorn. Kelainan atau obstruksi pada sistem pelvikalises ginjal (penyempitan infundibulum dan stenosis ureteropelvik) mempermudah timbulnya batu ginjal. Batu yang tidak terlalu besar didorong oleh peristaltik otot-otot sistem pelvikalises dan turun ke ureter menjadi batu ureter. Tenaga peristaltik ureter mencoba untuk mengeluarkan batu hingga turun ke kandung kemih. Batu yang ukurannya kecil (<5 mm) pada umumnya dapat keluar spontan, sedangkan yang lebih besar sering kali tetap berada di ureter dan menyebabkan reaksi peradangan, serta menimbulkan obstruksi kronis berupa hidronefrosis. Batu yang terletak pada ureter maupun sistern pelvikalises mampu menimbulkan obstruksi saluran kemih dan menimbulkan hidroureter dan hidronefrosis, batu di pielum dapat menimbulkan hidronefrosis, dan batu di kaliks mayor dapat menimbulkan kaliekstasis pada kaliks yang bersangkutan. Jika disertai dengan infeksi sekunder dapat menimbulkan pionefrosis, urosepsis, abses ginjal, abses perinefrik, abses paranefrik, ataupun pielonefritis. Pada keadaan yang lanjut dapat terjadi kerusakan ginjal dan jika mengenai kedua sisi dapat mengakibatkan gagal ginjal permanen. Kondisi adanya batu pada ginjal memberikan masalah keperawatan pada klien dengan adanya berbagai respons obstruksi, infeksi, dan peradangan (Muttaqin & Sari , 2014: 108).

Berdasarkan tipe batu, proses pembentukan batu melalui kristalisasi. Tiga faktor yang mendukung proses ini yaitu saturasi urin, defisiensi inhibitor, dan produksi matrik protein. Pada umumnya kristal tumbuh melalui adanya supersaturasi urin. Proses pembentukan dari agresi menjadi partikel yang lebih besar, diantara partikel ini ada yang bergerak ke bawah melalui saluran kencing hingga pada lumen yang sempit dan berkembang membentuk batu. Renal kalkuli merupakan tipe kristal dan dapat merupakan gabungan dari beberapa tipe. Sekitar 80% batu saluran kencing mengandung kalsium fosfat dan kalsium oksalat (Suharyanto & Madjid, 2009: 152).




                                                                               
Gambar 2.4 Pathway nefrolitiasis
(Sumber data: Muttaqin & Sari (2014: 111).
2.1.17         Tanda dan gejala
Tanda dan gejala batu ginjal:
Manifestasi klinis adanya batu dalam fraktus urinarius tergantung pada adanya obstruksi, infeksi dan edema. Ketika batu menghambat aliran urin, terjadi obstruksi yang menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dan distensi piala ginjal serta ureter proksimal. Beberapa batu dapat menunjukkan sedikit gejala, tetapi secara perlahan merusak unit fungsional (nefron) ginjal, sedangkan yang lain menyebabkan nyeri yang luar biasa dan ketidaknyamanan. Batu pada piala ginjal menyebabkan sakit yang dalam dan terus menerus di area kostovestebral. Nyeri yang berasal dari area renal menyebar secara anterior pada wanita ke bawah mendekati kandung kemih sedangkan pria mendekati testis. Apabila ada nyeri tekan pada daerah kostovertebral dan muncul mual dan muntah maka klien sedang mengalami kolik renal. Diare dan ketidaknyamanan abdominal dapat terjadi gejala gastrointestinal ini akibat dari reflex renointestinal dan proksimitas anatomik ginjal ke lambung, pankreas dan usus besar (Haryono, 2013: 59).

Batu di dalam pelvis mungkin tidak memberikan keluhan atau gejala (asimtomatik) atau hanya  menimbulkan hematuria: ketika batu tersebut berjalan, obstruksi dapat terjadi pada setiap tempat dalam sistem pengumpulan (colecting sytem). Obstruksi yang berkaitan dengan lewatnya batu akan menimbulkan rasa nyeri hebat yang sering menyebar ke daerah lipat paha dan kadang-kadang disertai dengan keluhan atau gejala viseral yang berat (yaitu mual, muntah, diaforesi, vertigo atau kepala terasa ringan), hemarutia, piuria, infeksi saluran kemih (ISK) dan kadang-kadang hidronefrosis. Sebaliknya batu staghorn yang berkaitan dengan ISK berulang oleh mikroorganisme pemecah-urea (Proteus, Klebsiella, Providencia, Morganella dan lain-lain) dapat tidak memberikan keluhan atau gejala sama sekali (asimtomatik) kendati dapat ditemukan dengan penurunan fungsi ginjal (Harrison, 2013: 120).

2.1.18         Pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang:
2.1.18.1   Urine menunjukkan adanya: leukosituria, hematuria, dan dijumpai kristal-kristal pembentuk batu.
2.1.18.2   Pemeriksaan kultur urine mungkin menunjukkan adanya pertumbuhan kuman pemecah urea.
2.1.18.3   Pemeriksaan fungsi ginjal untuk memonitor penurunan fungsi.
2.1.18.4   Pemeriksaan elektrolit untuk keterlibatan peningkatan kalsium dalam darah.
2.1.18.5   Pemeriksaan foto polos abdomen, PIV, urogram, dan USG untuk menilai posisi, besar, serta bentuk batu pada saluran kemih (Muttaqin & Sari, 2014: 113).
Pemeriksaan penunjang:
Diagnosis ditegakkan dengan studi ginjal, ureter, kandung kemih (GUK), urografi intravena, atau pielografi retgrade. Uji kimia darah dan urin 24 jam untuk mengukur kadar kalsium, asam urat, kreatinin, natrium, pH, dan volume total merupakan bagian dari upaya diagnostik. Riwayat diet dan medikasi serta riwayat adanya batu ginjal dalam keluarga didapatkan untuk mengidentifikasi faktor yang mencetuskan terbentuknya batu pada klien. Adapaun pemeriksaan diagnostiknya yaitu:
a.         Urinalisa: warna mungkin kuning, coklat gelap, berdarah: secara umum menunjukkan SDM, SDP, kristal (sistin, asam surat, kalsium oksalat), serpihan, mineral, bakteri, pus: pH mungkin asam (meningkatkan sistin dan batu asam urat) atau alkalin (meningkatkan magnesium, fosfat amonium, atau batu kalsium fosfat).
b.        Urin (24jam): kreatinin, asam urat, kalsium, fosfat, oksalat atau sistin mungkin meningkat.
c.         Kultur urin: mungkin meningkatkan ISK (Stapilococus aureus, proteus, klebsiela, pseudomonas).
d.        Survei biokimia: peningkatkan kadar kalsium, magnesium, asam urat, fosfat, protein, elektrolit.
e.         BUN: abnormal (tinggi pada serum atau rendah pada urin) sekunder terhadap tingginya batu obstruktif pada ginjal menyebabkan iskemia atau nekrosis.
f.         Kadar klorida dan bikarbonat serum: peningkatan kadar klorida dan penurunan kada bikarbonat menunjukkan terjadinya asidosis tubulus ginjal.
g.        Hitung darah lengkap: SDP mungkin meningkatkan menunjukkan infeksi/septikemia.
h.        Hemoglobin/hematokrit: abnormal bila klien mengalami dehidrasi berat atau polisitemia terjadi (mendorong prepitasi pemadatan) atau anemia (perdarahan, disfungsi atau gagal ginjal).
i.          Hormon paratiroid: meningkat bila ada gagal ginjal. (PTH merangsang reabsorbsi kalsium dari tulang meningkatkan sirkulasi serum dan kalsium urin).
j.          Foto rontgen: menunjukkan adanya kalkuli atau perubahan anatomi pada daerah ginjal dan ureter.
k.        IVP: memberikan konfirmasi cepat urolitiasis seperti penyebab nyeri abdominal atau panggul. Menunjukkan abnormalitas pada struktur anatomi dan garis bentuk kalkuli.
l.          Sistoureterokopi: visualisasi langsung kandung kemih dan ureter, menunjukkan batu dan atau efek obstruksi.
m.      CT scan: mengidentifikasi atau menggambarkan kalkuli dan masa lain: ginjal, ureter, dan distensi kandung kemih (Haryono, 2013: 62-63).

2.1.19         Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan medis batu ginjal:
Tujuan dari penatalaksanaan adalah menurunkan komplikasi pada ginjal dan menghilangkan keluhan. Penatalaksanaan yang diberikan adalah sebagai berikut:
2.1.19.1  Medikamentosa
Terapi medikamentosa ditujukan untuk batu yang ukurannya kurang dari 5 mm, karena diharapkan batu dapat keluar spontan. Terapi yang diberikan bertujuan untuk mengurangi nyeri, memperlancar aliran urine dengan pemberian diuretikum, dan minum banyak supaya dapat mendorong batu keluar dari saluran kemih.
2.1.19.2  Dipecahkan dengan ESWL
Alat ESWL adalah pemecah batu yang diperkenalkan pertama kali oleh caussy pada tahun 1980. Alat ini memecah batu ginjal, batu ureter proksimal, atau batu buli-buli tanpa melalui tindakan invasif dan tanpa pembiusan. Batu dipecah menjadi fragmen-fragmen kecil sehingga mudah dikeluarkan melalui saluran kemih. Tidak jarang pecahan-pecahan batu yang sedang keluar menimbulkan perasaan nyeri kolik dan menyebabkan hematuria.


Gambar 2.5 ESWL (Extracorporeal shock wave lithotripsy)
(Sumber data: < tanyadok.com > Diakses pada tanggal 10 Mei 2016).
2.1.19.3  Tindakan endourologi
Tindakan endourologi adalah tindakan invasif minimal untuk mengeluarkan batu saluran kemih yang terdiri atas dan kemudian mengeluarkan dari saluran kemih melalui alat yang dimasukkan langsung ke dalam saluran kemih. Alat itu dimasukkkan memalui uretra atau melalui insisi kecil pada kulit (perkutan). Proses pemecahan batu dapat dilakukan secara mekanik, dengan memakai energi hidraulik, energi gelombang suara atau dengan energi laser. Beberapa tindakan endourologi itu adalah:
a.       PNL (Percutaneous Nephro Lithotomy): yaitu mengeluarkan batu yang berada di dalam saluran ginjal dengan cara memasukkan alat endoskopi ke sistem kalises melalui insisi pada kulit. Batu kemudian dikeluarkan atau dipecah terlebih dahulu menjadi fragmen-fragmen kecil.

Gambar 2.6 PNL (Percutanneous nephro lithotomy)
(Sumber data: < southcoasturology.com >  Diakses pada tanggal 10 Mei 2016).
b.      Litotripsi: yatu memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan memasukkan alat pemecah batu (litotriptor) kedalam buli-buli. Pemecahan batu dikeluarkan dengan evakuator ellik.
c.       Ekstraksi Domia: yaitu mengeluarkan batu ureter dengan menjaringnya melalui alat keranjang dormia.
d.      Ureteroskopi atau uretero-renoskopi: yaitu memasukkan alat ureteroskopi peruretram guna melihat keadan ureter atau sistem pielo-kaliks ginjal. Dengan memakai energi tertentu, batu yang berada di dalam ureter maupun sistem pelvikalises dapat dipecah melalui tuntunan ureteroskopi/ureterorenoskopi ini.


Gambar 2.7 Ureterorenoskopi
(Sumber data: < uludagsozluk.com > Diakses pada tanggal 10 Mei 2016).
2.1.19.4  Pembedahan terbuka.
Di klinik-klinik yang belum mempunyai fasilitas yang memadai untuk tindakan-tindakan endourologi, laparoskopi, maupun ESWL, pengambilan batu masih dilakukan melalui pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka itu antara lain adalah: pielolitotomi atau nefrolitotomi untuk mengambil batu pada saluran ginjal dan ureterolitotomi untuk batu di ureter. Tidak jarang klien harus menjalani tindakan nefrektomi atau pengambilan ginjal karena ginjalnya sudah tidak berfungsi dan berisi nanah (pionefrosis), korteksnya sudah sangat tipis atau mengalami pengkerutan akibat batu saluran kemih yang menimbulkan obstruksi dan infeksi yang menahun.
Gambar 2.8 Pembedahan Terbuka
(Sumber data: < Safahastanesi.com > Diakses pada tanggal 10 Mei 2016).

2.1.19.5  Bedah laparaskopi
Pembedahan laparaskopi untuk mengambil batu saluran kemih saat ini sedang berkembang. Cara ini banyak dipakai untuk mengambil batu ureter (Muttaqin & Sari, 2014: 113).

2.1.20         Pencegahan
Pencegahan batu saluran kemih:
Setelah batu dikeluarkan, tindak lanjut yang tidak kalah pentingnya adalah upaya mencegah timbulnya kekambuhan. Angka kekambuhan batu saluran kemih rata-rata 7% per tahun atau kambuh lebih dari 50% dalam 10 tahun. Prinsip pencegahan didasarkan pada kandungan unsur penyusun batu yang telah diangkat.


Secara umum, tindakan pencegahan yang diperlukan adalah:
2.1.20.1        Dehidrasi dengan minum cukup, upayakan produksi urine 2-3 liter per hari, medikamentosa.
2.1.20.2        Diet rendah zat atau komponen pembentukan batu.
2.1.20.3        Aktivitas harian yang cukup (Haryono, 2013: 65).

2.1.1             Komplikasi
Haryono (2013: 61) mengemukakan bahwa, “Jika keberadaan batu dibiarkan maka dapat menjadi sarang kuman yang bisa menimbulkan infeksi saluran kemih, piolonefritis, yang akhirnya merusak ginjal, kemudian timbul gagal ginjal dengan segala akibat terparahnya”.
Suharyanto & Madjid (2009: 156) mengemukakan bahwa, “Komplikasi yang dapat terjadi berupa kerusakan tubular dan iskemik partial”.

2.2  Tinjauan Teoritis Keperawatan Batu Ginjal
2.2.1        Pengkajian keperawatan batu ginjal adalah:
2.2.1.1  Aktifitas /istirahat
Kaji tentang pekerjaan yang monoton, lingkungan pekerjaan apakah klien terpapar suhu tinggi, keterbatasan aktivitas, misalnya karena penyakit yang kronis atau adanya cedera pada medula spinalis.
2.2.1.2  Sirkulasi
Kaji terjadinya peningkatan tekanan darah nadi, yang disebabkan nyeri, ansietas atau gagal ginjal. Daerah perifer apakah teraba hangat, merah atau pucat. Eliminasi kaji adanya riwayat ISK kronis, obstruksi sebelumnya (kalkulus). Penurunan haluaran urin, kandung kemih penuh, rasa terbakar saat BAK. Keinginan/dorongan ingin berkemih terus, oliguria, hematuria, piuri atau perubahan pola berkemih.
2.2.1.3  Makanan/cairan
Kaji adanya mual, muntah, nyeri tekan abdomen, diet tinggi purin, kalsium oksalat atau fosfat, atau ketidakcukupan pemasukan cairan, terjadi distensi abdominal, penurunan bising usus.
2.2.1.4  Nyeri/kenyamanan
Kaji episode akut nyeri berat, nyeri kolik. Lokasi tergantung pada lokasi batu misalnya pada panggul di region sudut kosta vertebral dapat menyebar ke punggung, abdomen, dan turun ke lipat paha, genetalia, nyeri dangkal konstan menunjukkan kalkulus ada di pelvis atau kalkulus ginjal. Nyeri khas adalah nyeri akut tidak hilang dengan posisi atau tindakan lain, nyeri tekan pada area ginjal pada palpasi.
2.2.1.5  Keamanan
Kaji terhadap penggunaan alkohol perlindungan saat demam atau menggigil.
2.2.1.6  Riwayat penyakit
Kaji adanya riwayat batu saluran kemih pada keluarga, penyakit ginjal, hipertensi, gout, ISK kronis, riwayat penyakit, usus halus, bedah abdomen sebelumnya, hiperparatiroidisme, penggunaan antibiotika, antihipertensi, natrium bikarbonat, alupurinol, fosfat, tiazid, pemasukan berlebih kalsium atau vitamin D (Haryono, 2013: 66).






2.2.2        Diagnosa keperawatan batu ginjal:
2.2.2.1  Nyeri kolik berhubungan aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises, peregangan dari terminal saraf sekunder dari adanya batu pada ginjal.
2.2.2.2  Perubahan pola miksi berhubungan retensi urine, sering BAK, hematuria sekunder dari iritasi saluran kemih.
2.2.2.3  Risiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan mual, muntah efek sekunder dari nyeri kolik.
2.2.2.4  Kecemasan berhubungan prognosis pembedahan, tindakan invasif diagnostik.
2.2.2.5  Pemenuhan informasi berhubungan rencana pembedahan, tindakan diagnostik invasif, perencanaan pulang (Muttaqin & Sari, 2014: 114).

2.2.3        Rencana keperawatan
2.2.3.1  Nyeri kolik berhubungan aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises, peregangan dari terminal saraf sekunder dari adanya batu pada ginjal.
a.       Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi.
Rasional: pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri.
b.      Lakukan manajemen lingkungan tenang dan batasi pengunjung.
Rasional: lingkungan tenang akan menurunkan stimulus nyeri eksternal dan menganjurkan klien untuk beristirahat dan pembatasan pengunjung akan membantu meningkatkan pembatasan pengunjung akan membantu apabila banyak pengunjung yang berada di ruangan dan menjaga privasi klien.
c.       Beri kompres hangat pada pinggang.
Rasional: vasodilatasi dapat menurunkan spasme otot dan kontrasi otot pinggang sehingga menurunkan stimulus nyeri.
d.      Lakukan masase sekitar nyeri.
Rasional: meningkatkan kelancaran suplai darah untuk menurunkan iskemia.
e.       Dekatkan orang terdekat.
Rasional: eksplorasi stimulus eksternal untuk menurunkan stimulus nyeri.
f.       Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam dan distraksi.
Rasional: meningkatkan asupan o2 sehingga akan menurunkan nyeri sekunder dan pengalihan perhatian dapat menurunkan stimulus internal peningkatan produksi endofin dan enkefalin yang dapat memblok reseptor nyeri untuk tidak dikirimkan ke korteks serebri sehingga menurunkan persepsi nyeri.
g.      Tingkatkan pengetahuan tentang: sebab-sebab nyeri dan menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung.
Rasional: pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya dan dapat membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.
h.      Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgesik.
Rasional: analgesik memblok lintasan nyeri sehingga nyeri akan berkurang.





2.2.3.2  Perubahan pola miksi berhubungan retensi urine, sering BAK, hematuria sekunder dari iritasi saluran kemih.
a.       Kaji pola berkemih, dan catat produksi urine tiap 6 jam.
Rasional: mengetahui pengaruh iritasi kandung kemih dengan frekuensi miksi.
b.      Anjurkan klien untuk minum 2.000 cc/hari
Rasional: membantu mempertahankan fungsi ginjal, pemberian air secara oral adalah pilihan terbaik untuk mendukung aliran darah renal dan untuk membilas bakteri dari traktus urinarius
c.       Hindari minum kopi, teh, dan alkohol.
Rasional: menurunkan iritasi dengan menghindari minuman yang bersifat mengiritasi saluran kemih.
d.      Kolaborasi pemberian medikamentosa.
Rasional: terapi medikamentosa ditujukan untuk batu yang ukurannya kurang dari 5 mm karena diharapkan batu dapat keluar spontan. Terapi yang diberikan bertujuan untuk mengurangi nyeri, memperlancar aliran urine dengan pemberian diuretikum dan minuman banyak supaya dapat mendorong batu keluar dari saluran kemih.
e.       Kolaborasi tindakan extracorporeal shockwave lithotripsy (ESWL).
Rasional: alat ini memecah batu ginjal, batu ureter proksimal atau batu kandung kemih tanpa melalui tindakan invasif dan tanpa pembiusan. Batu dipecah menjadi fragmen fragmen kecil sehingga mudah dikeluarkan melalui saluran kemih. Tidak jarang pecahan-pecahan batu yang sedang keluar menimbulkan perasaan nyeri kolik dan menyebabkan hematuria.


f.       Kolaborasi tindakan endourologi.
Rasional: tindakan endourologi adalah tindakan invasif minimal untuk mengeluarkan batu sauran kemih yang terdiri atas memecah batu dan kemudian mengeluarkannya dari saluran kemih melalui alat yang dimasukkan langsung ke dalam saluran kemih. Alat itu dimasukkan melalui uretra atau melalui insisi kecil pada kulit. Proses pemecahan batu dapat dilakukan secara mekanik, dengan memakai energi hidrautik, energi gelombang suara, atau dengan energi laser.
g.      Kolaborasi tindakan pembedahan terbuka.
Rasional:  bedah terbuka pada kondisi klien yang mengalmai batu ginjal dilakukan atas pertimbagnan medis, dimana belum tersedianya fasilitas untuk pelaksanaan bedah ESWL atau adanya pertimbangan adanya komplikasi secara klinis yang diharuskan untuk penatalaksanaan dengan pembedahan terbuka.

2.2.3.3  Risiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan mual, muntah efek sekunder dari nyeri kolik.
a.       Kaji status nutrisi klien, turgor kulit, berat badan, dan derajat penurunan berat badan, integritas mukosa oral, kemampuan menelan, riwayat mual/muntah, dan diare.
Rasional: memvalidasi dan menetapkan derajat masalah untuk menetapkan pilihan intervensi yang tepat.
b.      Fasilitas klien memperoleh diet biasa yang disukai klien (sesuai indikasi).
Rasional: memperhitungkan keinginan individu dapat memperbaiki asupan nutrisi.
c.       Pantau intake dan output, anjurkan untuk timbang berat badan secara periodik (sekali seminggu).
Rasional: berguna dalam mengukur keefektifan nutrisi dan dukungan cairan. Makanan dan cairan tidak diijinkan melalui mulut selama beberapa jam atau beberapa hari sampai gejala akut berkurang. Bila makanan diberikan, adanya gejala yang menunjukkan berulangnya episode gastritis dievaluasi dan dilaporkan.
d.      Lakukan dan ajarkan perawatan mulut sebelum dan sesudah makan, serta sebelum dan sesudah intervensi atau pemeriksaan peroral.
Rasional: menurunkan rasa tak enak karena sisa makanan atau bau obat yang dapat merangsang pusat muntah.
e.       Fasilitasi klien memperoleh diet sesuai indikasi dan anjurkan menghindari asupan dari agen iritan.
Rasional: intake minuman mengandung kafein dihindari karena kafein merupakan stimulan sistem saraf pusat yang meningkatkan aktivitas lambung dan sekresi pepsin. Pengunaan alkohol juga dihindari, demikian juga merokok karena nikotin akan mengurangi sekresi bikarbonat pankreas dan karena menghambat netralisasi asam lambung dalam duodenum. Nikotin juga meningkatkan stimulasi parasimpatis yang meningkatkan aktivitas otot dalam usus dan dapat menimbulkan mual dan muntah.
f.       Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menetapkan komposisi dan jenis diet yang tepat.
Rasional: merencanakan diet dengan kandungan nutrisi yang adekuat untuk memenuhi peningkatan kebutuhan energi dan kalori sehubungan dengan status hipermetabolik klien.
g.      Kolaborasi untuk pemberian anti-muntah
Rasional: meningkatkan rasa nyaman gastrointestinal dan meningkatkan kemauan asupan nutrisi dan cairan peroral.
2.2.3.4  Kecemasan berhubungan prognosis pembedahan, tindakan invasif diagnostik.
a.       Bantu klien mengekspresikan perasaan marah, kehilangan, dan takut.
Rasional: cemas berkelanjutan memberikan dampak serangan jantung selanjutnya.
b.      Beri dukungan prabedah.
Rasional: hubungan emosional yang baik antara perawat dan klien akan memengaruhi penerimaan klien dengan pembedahan aktif mendengar semua kekhawatiran dan prihatian klien adalah bagian penting dari evaluasi praoperatif. Keterbukaan mengenai tindakan bedah yang akan dilakukan, pilihan anestesi, dan perubahan atau kejadian pascaoperatif yang diharapkan akan menghilangkan banyak ketakutan tak berdasar terhadap anestesi. Bagi sebagian besar klien, pembedahan adalah suatu peristiwa hidup yang bermakna.
c.       Hindari konfrontasi.
Rasional: konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan kerja sama, dan mungkin memperlambat penyembuhan.
d.      Beri lingkungan yang tenang dan suasana penuh istirahat.
Rasional: mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu.
e.       Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan ansietasnya.
Rasional: dapat menghilangkan ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak diekspresikan.
f.       Kolaborasi berikan anticemas contohnya diazepam
Rasional: meningkatkan relaksasi dan menurunkan kecemasan.
2.2.3.5  Pemenuhan informasi berhubungan rencana pembedahan, tindakan diagnostik invasif, perencanaan pulang.
a.       Kaji tingkat pengetahuan, sumber informasi yang telah diterima.
Rasional: menjadi dasar untuk memberikan pendidikan kesehatan dan mengklarifikasikasi sumber yang tidak jelas.
b.      Lakukan pendidikan kesehatan preoperatif.
Rasional: kurang bijaksana bila memberitahukan klien dan keluarganya tentang lamanya waktu tindakan ESWL dan operasi yang akan dijalani. Penundaan yang tidak diantisipasi dapat terjadi karena berbagai alasan. Apabila klien tidak kembali pada waktu yang diharapkan, keluarga akan menjadi sangat cemas, anggota keluarga harus menunggu dalam ruangan tunggu bedah untuk mendapat berita yang terbaru dari staf.
c.       Program instruksi yang didasarkan pada kebutuhan individu direncanakan dan diimplementasikan pada waktu yang tepat.
Rasional: jika sesi penyuluhan dilakukan beberapa hari sebelum tindakan ESWL dan pembedahan, klien mungkin tidak ingat tentang apa yang telah dikatakan. Jika instruksi diberikan terlalu dekat dengan waktu pembedahan, klien mungkin tidak dapat berkonsentrasi atau belajar karena ansietas atau efek dari medikasi praanestesi.
d.      Persiapan administasi dan informed consent.
Rasional: pada banyak lembaga, perawat harus mendokumentasikan daftar seluruh alat prostese atau barang-barang pribadi termasuk perhiasan dan menyimpannya sesuai dengan kebijakan lembaga. Perawat juga boleh memberikan protese dan perhiasan pada anggota keluarga. Klien sudah menyelesaikan administrasi dan mengetahui secara finansial biaya pembedahan. Klien sudah mendapatkan penjelasan dan menandatangani informed consent.
e.       Ajarkan latihan batuk efektif dan gunakan bantal agar mengurangi nyeri.
Rasional: tujuan dalam meningkatkan batuk adalah untuk memobilisasi sekresi sehingga dapat dikeluarkan. Ketika dilakukan napas dalam sebelum batuk,  refleks batuk dirangsang. Jika klien tidak dapat batuk secara efektif, pneumonia hipostatik, dan komplikasi paru lainnya dapat terjadi. Bila akan dilakukan insisi abdomen atau toraks, perawat memperagakan bagian insisi dapat disokong sehingga tekanan diminimalkan dan nyeri terkontrol.
f.       Beritahu keluarga klien dan keluarga kapan klien sudah bisa dikunjungi.

Rasional: klien akan mendapatkan manfaat bila mengetahui kapan keluarganya dan temannya dapat berkunjung setelah pembedahan (Muttaqin & Sari, 2014: 114-121).


DAFTAR RUJUKAN

Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (2008). Informatorium Obat Nasional Indonesia. Badan POM: POM RI, KOPERPOM an CV Agung Seto.

Baradero, M., Dayrit, M.W. & Siswadi, Y. (2008). Seri Asuhan keperawatan klien gangguan ginjal. Jakarta: EGC.

Carpeito, L.J. (2006). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta: EGC.

Data Penyakit RSUD Ulin Ruang Tulip IC Banjarmasin tahun 2016.

Gebhart, J.B. (2010). Urologic Surgery for the Gynecologist and Urogynecologist. Jakarta: Saunders.

Grace, P.A. & Borley, N.R. (2006). At a Glance Imu Bedah edisi ketiga. Jakarta: Erlangga.

Harrison (2013). Buku Saku Nefrologi. Tangerang Selatan: Karisma Publishing Groub.

Haryono, R. (2013). Keperawatan Medikal Bedah: Sistem Perkemihan. Edisi 1. Yogyakarta: Rapha Publishing.

Hidayat, A.A.A (2008). Pengantar Konsep Keperawatan. Edisi 2. Jakarta: Salemba Musika.

Kusuma, H. & Nurarif, A.H. (2012). Hand Book for Health Student. Yogyakarta: Publishing.

Muttaqin, A. & Sari, K.  (2014). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.

Nurarif, A.M. & Kusuma, H. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan bedasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC edisi revisi jilid 1. Yogyakarta: Media Action.

Patton, K.T. & Thibodeau, G.A.(2010). Anatomy & physiology. 7th Edition. United States of America: Library of Congress Cataloging-In-Publication Data.

Pearce, E.C. (2014). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: CV Prima Grafika.

Priharjo, R. (2006). Edisi Revisi Buku Pengkajian Fisik Keperawatan. Edisi 2. Jakarta: EGC

Purnomo, B.B. (2012). Dasar-dasar UROLOGI. Edisi ketiga. Malang: CV Sagung Seto.

Suharyanto, T. & Madjid, A. (2009). Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem perkemihan. Jakarta: CV Trans info media.
  
Syaifuddin. (2011). Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan dan Kebidanan. Edisi 4.  Jakarta: EGC.

Taylor, C.M. & Ralph, S.S. (2010). Diagnosis Keperawatan dengan Rencana Asuhan. Jakarta: EGC.

Wilkinson, J.M. & Ahern, N.R. (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan.  Edisi 9. Jakarta: EGC.

http://eprints.undip.ac.id/18458/1/Nur_Lina.pdf> (Diakses tanggal 21 Mei 2016).

http://www.Dedaunan.com>(Diakses tanggal 10 Mei 2016).

http://www.Safahastanesi.com>(Diakses tanggal 10 Mei 2016).

http://www.Slideplayer.info>(Diakses tanggal 10 Mei 2016).

http://www.Softilmu.com>(Diakses tanggal 10 Mei 2016).

http://www.Southcoasturology.com>(Diakses tanggal 10 Mei 2016).

http://www.Tanyadok.com>(Diakses tanggal 10 Mei 2016).

http://www.Uludagsozluk.com>(Diakses 10 Mei 2016).

No comments:

Post a Comment