KEGAWATDARURATAN
PSIKIATRI
Kedaruratan psikiatri merupakan cabang
dari Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kedokteran Kedaruratan, yang dibuat untuk menghadapi
kasus kedaruratan yang memerlukan intervensi psikiatrik. Tempat pelayanan
kedaruratan psikiatri antara lain di rumah sakit umum, rumah sakit jiwa, klinik
dan sentra primer. Kasus kedaruratan
psikiatrik meliputi gangguan pikiran, perasaan dan perilaku yang memerlukan
intervensi terapeutik segera, antara lain:
4
a. Kondisi
gaduh gelisah
b. Tindak
kekerasan (violence)
c. Tentamen
Suicidum/percobaan bunuh diri
d. Gejala
ekstra piramidal akibat penggunaan obat
e. Delirium
Evaluasi
Menilai kondisi pasien yang sedang dalam
krisis secara cepat dan tepat adalah tujuan utama dalam melakukan evaluasi
kedaruratan psikiatrik. Tindakan segera yang harus dilakukan secara tepat
adalah:
a. Menentukan
diagnosis awal
b. Melakukan
identifikasi faktor-faktor presipitasi dan kebutuhan segera pasien
c. Memulai
terapi atau merujuk pasien ke fasilitas yang sesuai
Dalam
proses evaluasi, dilakukan:
1. Wawancara
Kedaruratan Psikiatrik. Wawancara dilakukan lebih terstruktur, secara umum
fokus wawancara ditujukan pada keluhan pasien dan alasan dibawa ke unit
gawat darurat. Keterangan tambahan dari
pihak pengantar, keluarga, teman atau polisi dapat melengkapi informasi, terutama pada pasien
mutisme, tidak kooperatif, negativistik atau inkoheren. Hubungan dokter-pasien
sangat berpengaruh terhadap informasi yang diberikan. Karenanya diperlukan kemampuan
mendengar, melakukan observasi dan melakukan interpretasi terhadap apa yang
dkatakan ataupun yang tidak dikatakan oleh pasien, dan ini dilakukan dalam
waktu yang cepat.
2. Pemeriksaan
Fisik. Pemeriksaan psikiatrik standar
meliputi: riwayat perjalanan
penyakit, pemeriksaan status mental, pemeriksaan status fisik/neurologik dan
jika perlu pemeriksaan penunjang. Yang
pertama dan terpenting yang harus dilakukan oeh seorang dokter di unit gawat
darurat adalah menilai tanda-tanda vital pasien. Tekanan ddarah, suhu, nadi
adalah sesuatu yang mudah diukur dan dapat memberikan informasi bermakna.
Misalnya seorang yang gaduh gelisah dan mengalami halusinasi, demam, frekuensi
nadi 120 per-menit dan tekanan darah meningkat, kemungkinan besar mengalami
delirium dibandingkan dengan suatu gangguan psikiatrik. Lima hal yang harus
ditentukan sebelum menangani pasien selanjutnya:
a. Keamanan
pasien. Sebelum mengevaluasi pasien,
dokter harus dapat memastikan bahwa situasi di UGD, jumlah pasien di ruangan tersebut aman bagi pasien. Jika
intervensi verbal tidak cukup atau kontraindikasi, perlu dipikirkan pemberian
obat atau pengekangan.
b. Medik
atau psikiatrik? Penting bagi dokter untuk menilai apakah kasusnya medik,
psikiatrik atau kombinasi keduanya,
sebab penanganannya akan jauh berbeda. Kondisi medik umum seperti trauma
kepala, infeksi berat dengan demam inggi, kelainan metabolisme, intoksikasi
atau gejala putus zat seringkali menyebabkan gangguan fungsi mental yang
menyerupai gangguan psikiatrik umumnya.
Dokter gawat darurat tetap harus menelusuri semua kemungkinan penyebab gangguan
fungsi mental yang tampak.
c. Psikosis.
Yang penting bukanlah penegakan diagnosisnya, tetapi seberapa jauh
ketidakmampuannya dalam menilai realita dan buruknya tilikan. Hal ini dapat
mempengaruhi sikapnya terhadap pertolongan yang kita berikan serta kepatuhannya
dalam berobat.
d. Suicidal
atau homicidal. Semua pasien dengan kecenderungan bunuh diri harus dobservasi
secara ketat. Perasaan-perasaan yang berkaitan dengan tindak kekerasan atau
pikiran bunuh diri harus selalu ditanyakan kepada pasien.
e. Kemampuan
merawat diri sendiri. Sebelum memulangkan pasien, harus dipertimbangkan apakah
pasien mampu merawat dirinya sendir, mampu menjalankan saran yang dianjurkan.
Ketidakmampuan pasien dan atau
keluarganya untuk merawat pasien di rumah merupakan salah satu indikasi rawat
inap.
Adapun
indikasi rawat inap antara lain adalah:
1. Bila
pasien membahayakan diri sendiri atau orang lain,
2. Bila
perawatan di rumah tidak memadai, dan
3. Perlu
observasi lebih lanjut.
Pertimbangan
Dalam Penegakan Diagnosis Dan Terapi
1. Diagnosis.
Meskipun pemeriksaan gawat darurat tidak harus lengkap, namun ada beberapa hal yang harus dilakukan sesegera
mungkin untuk keakuratan data , misalnya penapisan toksikologi ( tes urin untuk
opioid, amfetamin), pemeriksaan radiologi, EKG dan tes laboratorium. Data
penunjang seperti catatan medik sebelumnya, informasi dari sumber luar juga
dikumpulkan sebelum memulai tindakan.
2. Terapi.
Pemberian terapi obat atau pengekangan harus mengikuti prinsip terapi Maximum
tranquilization with minimum sedation. Tujuannya adalah untuk:
a. Membantu
pasien untuk dapat mengendalikan dirinya kembali
b. Mengurangi/menghilangkan
penderitaannya
c. Agar
evaluasi dapat dilanjutkan sampai didapat suatu kesimpulan akhir
Obat-obatan
yang sering digunakan adalah:
a. Low-dose
High-potency antipsychotics seperti haloperidol, trifluoperazine, perphenazine
dsb
b. Atypical
antipsychotics, seperti risperidone, quetiapine, olanzapine.
c. Injeksi
benzodiazepine. Kombinasi benzodiazepine dan antipsikotik kadang sangat
efektif.
1.
Keadaan
Gaduh Gelisah
Keadaan gaduh gelisah bukanlah diagnosis
dalam arti kata sebenarnya, tetapi hanya menunjuk pada suatu keadaan tertentu,
suatu sindrom dengan sekelompok gejala tertentu. Keadaan gaduh gelisah dipakai
sebagai sebutan sementara untuk suatu gambaran psikopatologis dengan ciri-ciri
utama gaduh dan gelisah. (Maramis dan Maramis, 2009).
Etiologi :
Keadaan gaduh gelisah merupakan manifestasi klinis salah satu jenis psikosis
(Maramis dan Maramis, 2009):
1. Delirium
2. Skizofrenia
katatonik
3. Gangguan
skizotipal
4. Gangguan
psikotik akut dan sementara
5. Gangguan
afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala psikotik
6. Amok
1. Psikosis
karena gangguan mental organik: delirium
Pasien
dengan keadaan gaduh-gelisah yang berhubungan dengan sindroma otak organik akut
menunjukkan kesadaran yang menurun. Sindroma ini dinamakan delirium. Istilah
sindroma otak organik menunjuk kepada
keadaan gangguan fungsi otak karena
suatu penyakit badaniah (Maramis dan Maramis, 2009). Penyakit badaniah ini yang
menyebabkan gangguan fungsi otak itu mungkin
terdapat di otak sendiri dan karenanya mengakibatkan kelainan
patologik-anatomik (misalnya
meningo-ensefalitis, gangguan pembuluh darah otak, neoplasma
intracranial, dan sebagainya), atau mungkin terletak di luar otak (umpamanya
tifus abdominalis, pneumonia, malaria, uremia, keracunan atropine/kecubung atau
alcohol, dan sebagainya) dan hanya mengakibatkan gangguan fungsi otak dengan
manifestasi sebagai psikosa atau keadaan gaduh-gelisah, tetapi tidak ditemukan
kelainan patologik-anatomik pada otak sendiri (Maramis dan Maramis, 2009).
Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa pada sindrom otak organik akut biasanya
terdapat kesadaran menurun sedangkan pada sindrom otak organik menahun biasanya
terdapat dementia. Akan tetapi suatu sindrom otak organik menahun (misalnya
tumor otak, demensia paralitika, aterosklerosis otak, dan sebagainya) dapat
saja pada suatu waktu menimbulkan psikosis atau pun keadaan gaduh gelisah.
Untuk mengetahui penyebabnya secara lebih tepat, perlu sekali dilakukan
evaluasi internal dan neurologis yang teliti (Maramis dan Maramis, 2009).
2. Skizofrenia
dan gangguan skizotipal
Bila
kesadaran tidak menurun, maka biasanya keadaan gaduh gelisah itu merupakan
manifestasi suatu psikosis dari kelompok ini, yaitu psikosis yang tidak
berhubungan atau sampai sekarang belum diketahui dengan pasti adanya hubungan
dengan suatu penyakit badaniah seperti pada gangguan mental organik.
Skizofrenia
merupakan psikosis yang paling sering didapat di negara kita. Secara mudah
dapat dikatakan bahwa bila kesadaran tidak menurun dan terdapat inkoherensi
serta afek-emosi yang inadequate, tanpa frustasi atau konflik yang jelas maka
hal ini biasanya suatu skizofrenia. Diagnosa kita diperkuat bila kelihatan juga
tidak ada perpaduan (disharmoni) antara berbagai aspek kepribadian seperti
proses berpikir, afek-emosi, psikomotorik dan kemauan (kepribadian yang retak,
terpecah-belah atau bercabang = schizo; jiwa = phren),yaitu yang satu
meningkat, tetapi yang lain menurun. Pokok gangguannya terletak pada proses
berpikir (Maramis dan Maramis, 2009).
Dari
berbagai jenis skizofrenia, yang sering menimbulkan keadaan gaduh-gelisah ialah
episode skizofrenia akut dan skizofrenia jenis gaduh-gelisah katatonik. Di
samping psikomotor yang meningkat, pasien menunjukkan inkoherensi dan
afek-emosi yang inadequate. Proses berpikir sama sekali tidak realistik lagi
(Maramis dan Maramis, 2009).
3. Gangguan
psikotik akut dan sementara
Gangguan
ini timbul tidak lama sesudah terjadi
stress psikologik yang dirasakan hebat sekali oleh individu. Stress ini
disebabkan oleh suatu frustasi atau konflik dari dalam ataupun dari luar individu yang mendadak dan jelas,
umpamanya dengan tiba-tiba kehilangan seorang yang dicintainya, kegagalan,
kerugian dan bencana. Gangguan psikotik akut
yang biasanya disertai keadaan gaduh-gelisah adalah gaduh-gelisah
reaktif dan kebingungan reaktif (Maramis dan Maramis, 2009).
4. Psikosis
Bipolar.
Psikosis
bipolar termasuk dalam kelompok psikosa
afektif karena pokok gangguannya terletak pada afek-emosi. Tidak jelas ada
frustasi atau konflik yang menimbulkan gangguan mental ini. Belum ditemukan
juga penyakit badaniah yang dianggap berhubungan dengan psikosa bipolar, biarpun
penelitian menunjuk kearah itu. Tidak ditemukan juga disharmoni atau keretakan
kepribadian seperti pada skizofrenia; pada jenis depresi ataupun mania, bila
aspek afek-emosinya menurun, maka aspek
yang lain juga menurun, dan sebaliknya (Maramis dan Maramis, 2009).
Pada
psikosa bipolar jenis mania tidak terdapat inkoherensi dalam arti kata yang
sebenarnya, tetapi pasien itu memperlihatkan jalan pikiran yang meloncat-loncat
atau melayang (“flight of ideas”). Ia merasa gembira luar biasa (efori), segala
hal dianggap mudah saja. Psikomotorik meningkat, banyak sekali berbicara
5. Amok
Amok
adalah keadaan gaduh-gelisah yang timbul
mendadak dan dipengaruhi oleh faktor-faktor
sosiobudaya. Karena itu PPDGJ-III
(Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa ke-III di Indonesia)
memasukkannya ke dalam kelompok “Fenomena dan Sindrom yang Berkaitan dengan
Faktor Sosial Budaya di Indonesia”
(“culture bound phenomena”). Efek “malu” (pengaruh sosibudaya) memegang peranan
penting. Biasanya seorang pria, sesudah periode “meditasi” atau tindakan
ritualistic, maka mendadak ia bangkit dan mulai mengamuk. Ia menjadi agresif
dan destruktif, mungkin mula-mula terhadap yang menyebabkan ia malu,tetapi
kemudian terhadap siapa saja dan apa saja yang dirasakan menghalanginya.
Kesadaran
menurun atau berkabut (seperti dalam keadaan
trance). Sesudahnya terdapat amnesia total atau sebagian. Amok sering berakhir karena individu itu dibuat
tidak berdaya oleh orang lain, karena kehabisan tenaga atau karena ia melukai
diri sendiri, dan mungkin sampai ia menemui ajalnya (Maramis dan Maramis,
2009).
Menilai dan Memprediksi
Perilaku Kekerasan
Tanda-tanda
adanya perilaku kekerasan yang mengancam (Sadock, et al, 2007):
a. Pernah
melakukan tindakan kekerasan beberapa saat yang lalu
b. Kata-kata
keras /kasar atau ancaman akan kekerasan
c. Membawa
benda-benda tajam atau senjata
d. Adanya
perilaku agitatif
e. Adanya
intoksikasi alkohol atau obat
f. Adanya
pikiran dan perilaku paranoid
g. Adanya
halusinasi dengar yang memerintahkan untuk melakukan tindak kekerasan.
h. Kegelisahan
katatonik
i.
Episode manik
j.
Episode depresi agitatif
k. Gangguan
Kepribadian tertentu
Menilai resiko
terjadinya perilaku kekerasan (Sadock, et al, 2007):
-
Adanya ide-ide untuk melakukan kekerasan
-
Adanya faktor demografik seperti jenis
kelamin laki-laki, usia 15–24tahun, status sosioekonomi yang rendah, dukungan
sosial yang rendah
-
Adanya riwayat kekerasan
sebelumnya, penjudi, pemabuk,
penyalahgunaan zat psikoaktif,percobaan bunuh diri ataupun melukai diri
sendiri, psikosis
-
Adanya stresor (masalah pernikahan,
kehilangan pekerjaan, dan lainnya)
Tatalaksana
Bila seorang dalam keadaan gaduh gelisah
dibawa kepada kita, penting sekali kita
harus bersikap tenang. Dengan sikap yang meyakinkan, meskipun tentu waspada,
dan kata-kata yang dapat menenteramkan pasien maupun para pengantarnya, tidak
jarang kita sudah dapat menguasai keadaan (Maramis dan Maramis, 2009).
Bila pasien masih diikat, sebaiknya
ikatan itu disuruh dibuka sambil tetap berbicara dengan pasien dengan beberapa
orang memegangnya agar ia tidak mengamuk lagi. Biarpun pasien masih tetap
dipegang dan dikekang, kita berusaha memeriksanya secara fisik. Sedapat-dapatnya tentu perlu ditentukan
penyebab keadaan gaduh gelisah itu dan mengobatinya secara etiologis bila
mungkin (Maramis dan Maramis, 2009).
Suntikan intramuskular suatu
neuroleptikum yang mempunyai dosis terapeutik tinggi (misalnya chlorpromazine
HCL), pada umumnya sangat berguna untuk mengendalikan psikomotorik yang
meningkat. Bila tidak terdapat, maka suntikan neuroleptikum yang mempunyai dosis
terapeurik rendah, misalnya trifluoperazine, haloperidol (5 – 10
mg), atau fluophenazine dapat juga dipakai, biarpun efeknya tidak secepat
neuroleptikum kelompok dosis terapeutik tinggi.
Bila tidak ada juga, maka suatu
tranquailaizer pun dapat dipakai, misalnya diazepam (5 – 10
mg), disuntik secara intravena, dengan mengingat bahwa tranquilaizer bukan
suatu antipsikotikum seperti neuroleptika, meskipun kedua-duanya mempunyai efek
antitegang, anticemas dan antiagitasi (Maramis dan Maramis, 2009).
Efek samping neuroleptika yang segera
timbul terutama yang mempunyai dosis terapeutik tinggi, adalah hipotensi
postural, lebih-lebih pada pasien dengan susunan saraf vegetatif yang labil
atau pasien lanjut usia. Untuk mencegah jangan sampai terjadi sinkop, maka
pasien jangan langsung berdiri dari keadaan berbaring, tetapi sebaiknya duduk
dahulu kira-kira satu menit (bila pasien sudah tenang) (Maramis dan Maramis,
2009).
Penjagaan dan perawatan yang baik tentu
juga perlu, mula-mula agar ia jangan mengalami kecelakaan, melukai diri
sendiri, menyerang orang lain atau merusak barang-barang. Bila pasien sudah tenang dan mulai
kooperatif, maka pengobatan dengan neuroleptika dilanjutkan per oral (bila
perlu suntikan juga dapat diteruskan). Pemberian makanan dan cairan juga harus
memadai. Kita berusaha terus mencari
penyebabnya, bila belum diketahui, terutama bila diduga suatu sindrom otak organik yang akut. Bila
ditemukan, tentu diusahakan untuk mengobatinya secara etiologis (Maramis dan
Maramis, 2009).
Pasien dengan amok, bila sampai kepada
kita, biasanya sudah tidak mengamuk lagi, kita tinggal berusaha tambah
menentramkan saja dan mengobati keadaan fisik bila sudah terganggu sewaktu dia
dalam keadaan amok. Psikosis skizofrenia dan bipolar memerlukan pengobatan jangka
panjang dengan neuroleptika (Maramis dan Maramis, 2009).
2.
Tindak
kekerasan (violence)
Violence atau tindak kekrasan adalah
agresi fisik yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain. Jika hal itu diarahkan kepada dirinya
sendiri, disebut mutilasi diri atau tingkah laku bunuh diri (suicidal behavior). Tindak kekerasan dapat
timbul akibat berbagai gangguan psikiatrik, tetapi dapat pula terjadi pada
orang biasa yang tidak dapat mengatasi tekanan hidup sehari-hari dengan cara
yang lebih baik.
Gambaran klinis dan
diagnosis : Gangguan psikiatrik yang sering
berkaitan dengan tindak kekerasan adalah:
-
Gangguan psikotik, seperti skizofrenia
dan manik, terutama bila paranoid dan mengalami halusinasi yang bersifat
suruhan (commanding hallucination),
-
Intoksikasi alkohol atau zat lain,
-
Gejala putus zat akibat alkohol atau
obat-obat hipnotik-seddatif
-
Katatonik furor
-
Depresi agitatif
-
Gangguan kepribadian yang ditandai
dengan kemarahan dan gangguan pengendalian impuls (misalnya gangguan
kepribadian ambang dan antisosial),
-
Gangguan mental organik, terutama yang
mengenai lobus frontalis dan temporalis otak.
Faktor risiko lain
terjadinya tindak kekerasan adalah :
-
Adanya pernyataan seseorang bahwa ia
berniat melakukan tindak kekerasan,
-
Adanya rencana spesifik,
-
Adanya kesempatan atau suatu cara untuk
terjadinya kekerasan,
-
Laki-laki,
-
Usia muda (15-24 tahun),
-
Status sosioekonomi rendah,
-
Adanya riwayat melakukan tndak kekrasan,
-
Tindakan antisosial lainnya
-
Riwayat percobaan bunuh diri.
-
Tujuan pertama menghadap pasien yang
potensial untuk melakukan tindak kekerasan adalah mencegah kejadian itu.
Tindakan selanjutnya aadalah membuat diagnoss sebagai dasar rencana
penatalaksanaan, termasuk cara-cara untuk memperkecil kemungkinan terjadinya tindak
kekerasan berikutnya.
Panduan wawancara dan
Psikoterapi
-
Bersikaplah suportif dan tidak
mengancam, tegas dan berikan batasan yang jelas bahwa kalau perlu pasien dapat
diikat (physical restraints). Tentukan
batasan itu dengan memberikan pilihan (misalnya pilih obat atau diikat), dan
bukan dengan menyuruh pasien secara provokatif: “minum tablet ini sekarang”
-
Katakan langsung kepada pasien bahwa
tindak kekerasan tidak dapat diterima,
-
Tenangkan pasien bahwa ia aman di sini.
Tunjukkan dan tularkan sikap tenang dan penuh kontrol.
-
Tawarkan obat kepada pasien untuk
membantunya lebih tenang.
Evaluasi dan
penatalaksanaan
1) Lindungi
diri anda
-
Jangan pernah mewawancarai pasien yang
bersenjata,
-
Jangan pernah mewawancarai pasien yang
bersikap beringas (violent) seorang diri atau di ruang tertutup. Lepaskan
hal-hal yang bisa dijambak/ditarik seperti kalung atau dasi,
-
Jangan melakukan pengikatan pasien
seorang diri, serahkan urusan itu pada anggota staf yang terlatih.
-
Duduklah dengan jarak paling tidak
sepanjang lengan
-
Jangan menantang atau menentang pasien
psikotik.
-
Jangan duduk berdekatan dengan pasien
paranoid, yang mungkin merasa bahwa anda mengancamnya
-
Waspadalah terhadap tanda-tanda munculnya
kekerasan. Selalu persiapkan rute untuk melarikan diri seandainya pasien
menyerang anda. Jangan pernah membelakangi pasien
2) Waspada
terhadap tanda-tanda munculnya kekerasan, antara lain:
-
Adanya kekerasan terhadap orang
atau benda yang terjadi belum lama ini,
gigi yang dikatupkan serta telapak yang dikepal,
-
Ancaman verbal,
-
Agitasi psikomotor,
-
Intoksikasi alkohol atau obat atau zat
lain,
-
Waham kejar, dan
-
Senjata atau benda-benda yang dapat
digunakan sebagai senjata (seperti garpu, asbak).
3) Pastikan
bahwa terdapat jumlah staf yang cukup untuk mengikat pasien secara aman.
4) Pengikatan
pasien hanya dilakukan oleh mereka yang telah terlatih. Biasanya setelah pasien
diikat diberikan benzodiazepin atau antipsikotik untuk menenangkan pasien.
5) Lakukan
evaluasi diagnostik yang tepat, meliputi TTV, pemeriksaan fisik dan wawancara
pskiatrik.
Terapi
Psikofarmaka
Terapi obat tergantung
diagnosisnya. Biasanya untuk menenagkan
pasien diberikan obat antipsikotik atau benzodiazepin:
§ Flufenazine,
trifluoperazine atau haloperidol 5mg per oral atau IM,
§ Olanzapine
2,5-10 mg per IM, maksimal 4 injeksi per hari, dengan dosis rata-rata per hari
13-14mg,
§ Atau
lorazepam 2-4 mg, diazepam 5-10mg per IV secara pelahan (dalam 2 menit).
Bila dalam 20-30 menit kegelisahan tidak berkurang, ulangi dengan dosis yang
sama. Hindari pemberian antipsikotik pada pasien yang mempunyai risiko kejang.
Utnuk penderia epilepsi, mula-mula berikan antikonvulsan misalnya carbamazepine
lalu berikan benzodiazepine. Pasien yang menderita ganggauan organik kronik
seringkali memberikan respon yang baik dengan pemberian ß-blocker seperti
propanolol. (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010).
3.
Bunuh
diri (suicide)/ Tentamen Suicidum
Bunuh diri atau suicide atau tentamen suicidum adalah kematian yang diniatkan dan dilakukan
oleh seseorang terhadap dirinya sendiri (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti
Hadisukanto, 2010) atau segala
perbuatan seseorang yang dapat
mengakhiri hidupnya sendiri dalam waktu singkat (Maramis dan Maramis, 2009). Ada
macam-macam pembagian bunuh-diri dan percobaan bunuh-diri. Pembagian Emile
Durkheim masih dapat dipakai karena praktis, yaitu:
1. Bunuh
diri egoistic
Individu ini tidak
mampu berintegrasi dengan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh kondisi
kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadi individu itu seolah-olah tidak
berkepribadian. Kegagalan integrasi dalam keluarga dapat menerangkan mengapa
mereka tidak menikah lebih rentan untuk melakukan percobaan bunuh diri
dibandingkan dengan mereka yang menikah. Masyarakat daerah pedesaan mempunyai
integrasi social yang lebih baik dari pada daerah perkotaan, sehingga angka
suiside juga lebih sedikit.
2. Bunuh
diri altruistic
Individu itu terikat
pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk bunuh diri karena
identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia merasa bahwa kelompok
tersebut sangat mengharapkannya. Contoh: “Hara-kiri: di Jepang, “puputan” di
Bali beberapa ratus tahun yang lalu, dan di beberapa masyarakat primitive yang
lain. Suiside macam ini dalam jaman sekarang jarang terjadi, seperti misalnya
seorang kapten yang menolak meninggalkan kapalnya yang sedang tenggelam.
3. Bunuh
diri anomik
Hal ini terjadi bila tedapat
gangguan keseimbangan integrasi antara individu dengan masyarakat, sehingga
individu tersebut meningglakan norma-norma kelakuan yang biasa. Individu itu
kehilangan pegangan dan tujuan. Masyarakat atau kelompoknya tidak dapat
memberikan kepuasan kepadanya karena tidak ada pengaturan dan pengawasan
terhadap kebutuhan-kebutuhannya. Hal ini menerangkan mengapa percobaan bunuh
diri pada orang cerai pernikahan lebih banyak dari pada mereka yang tetap dalam
pernikahan. Golongan manusia yang mengalami perubahan ekonomi yang drastis juga
lebih mudah melakukan percobaan bunuh diri.
Helber
Hendin mengemukakan beberapa hal psikodinamika bunuh-diri sebagai berikut:
v Kematian
sebagai pelepasan pembalasan (“Death as retaliatory abandonment”). Suiside
dapat merupakan usaha untuk mengurangi preokupasi tentang rasa takut akan
kematian. Individu mendapat perasaan seakan-akan ia dapat mengontrol dan dapat
mengetahui bilamana dan bagaimana kematian itu.
v Kematian
sebagai pembunuhan terkedik (ke belakang) (“Death as retroflexed murder”). Bagi
individu yang mengalami gangguan emosi hebat, suiside dapat mengganti kemarahan
atau kekerasan yang tidak dapat direpresikan. Orang ini cenderung untuk
bertindak kasar dan suiside dapat merupakan penyelesaian mengenai pertentangan
emosi dengan keinginan untuk membunuh.
v Kematian
sebagai penyatuan kembali (“Death as reunion”). Kematian dapat mempunyai arti
yang menyenangkan, karena individu itu akan bersatu kembali dengan orang yang
telah meninggal (reuni khayalan).
v Kematian
sebagai hukuman buat diri sendiri (“Death as self punishment”). Menghukum diri
sendiri karena kegagalan dalam pekerjaan jarang terjadi pada wanita, akan
tetapi seorang ibu tidak mampu mencintai, maka keinginan menghukum dirinya
sendiri dapat terjadi. Dalam rumah sakit jiwa, perasaan tak berguna dan
menghukum diri sendiri merupakan hal yang umum. Mula-mula mungkin karena
kegagalan, rasa berdosa karena agresi, individu itu mencoba berbuat lebih baik
lagi, tetapi akhirnya ia menghukum diri sendiri untuk menjauhkan diri dari
tujuan itu.
Faktor
Risiko
Berikut
ini faktor-faktor resiko untuk bunuh diri (Sadock, et al, 2007):
1) Jenis
kelamin. Perempuan lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri dibanding
laki-laki. Akan tetapi, keberhasilan bunuh diri lebih tinggi pada laki-laki. Hal ini berkaitan dengan metode
bunuh diri yang dipilih. Laki-laki lebih banyak dengan gantung diri, meloncat
dari tempat tinggi, dengan senjata api. Perempuan lebih banyak dengan overdosis
obat-obatan atau menggunakan racun.
2) Usia.
Kasus bunuh diri meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pada laki-laki,
angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 45 tahun sedangkan pada perempuan
angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 55 tahun. Orang yang lebih tua
lebih jarang melakukan percobaan bunuh diri, tetapi lebih sering berhasil.
3) Ras.
Di Amerika Serikat ras kulit putih lebih banyak melakukan bunuh diri dibanding
ras kulit hitam.
4) Status
perkawinan. Pernikahan menurunkan angka bunuh diri, terutama jika terdapat anak
di rumah. Orang yang tidak pernah menikah dua kali lebih beresiko untuk bunuh
diri. Perceraian meningkatkan resiko bunuh diri. Janda atau duda yang
pasangannya telah meninggal juga memiliki angka bunuh diri yang tinggi.
5) Pekerjaan.
Semakin tinggi status sosial semakin tinggi resiko bunuh diri, tetapi status
sosial yang rendah juga meningkatkan resiko bunuh diri. Pekerjaan sebagai dokter
memiliki resiko bunuh diri tertinggi dibanding pekerjaan lain. Spesialisasi
psikiatri memiliki resiko tertinggi, disusul spesialis mata dan spesialis
anestesi. Pekerjaan lain yang memiliki resiko tinggi untuk bunuh diri adalah
pengacara, artis, dokter gigi, polisi, montir, agen asuransi. Orang yang tidak
memiliki pekerjaan memiliki resiko lebih tinggi untuk bunuh diri.
6) Kesehatan
fisik. Satu dari tiga orang yang melakukan bunuh diri memiliki masalah
kesehatan dalam 6 bulan sebelum bunuh diri. Hilangnya mobilitas fisik, nyeri
hebat yang kronik, pasien hemodialisis meningkatkan resiko bunuh diri.
7) Gangguan
mental. Sekitar 95% dari semua orang yang mencoba atau melakukan bunuh diri
memiliki gangguan mental. Gangguan mental tersebut terdiri dari depresi 80%,
skizofrenia 10%, dan demensia atau delirium 5%. Di antara semua pasien dengan
gangguan mental, 25% kecanduan juga kepada alkohol.
8) Kecanduan
alcohol. Sekitar 15% pasien kecanduan alkohol melakukan bunuh diri. Sekitar 80%
pasien bunuh diri akibat kecanduan alkohol adalah laki-laki. Sekitar 50% dari
pasien kecanduan alkohol yang bunuh diri mengalami kehilangan anggota keluarga
atau pasangan dalam satu tahun terakhir.
9) Gangguan
kepribadian. Sebagian besar orang yang bunuh diri memiliki gangguan
kepribadian. Gangguan kepribadian merupakan faktor predisposisi untuk gangguan
depresi. Selain itu juga merupakan faktor predisposisi untuk kecanduan alkohol.
Gangguan kepribadian juga dapat
menyebabkan konflik dengan keluarga dan orang lain.
Gangguan Jiwa yang
sering Berkaitan dengan Bunuh Diri, adalah
gangguan mood, keterantungan alkohol, skizofrenia. Pencegahan tindak bunuh diri
yang terbaik adalah dengan mendeteksi dini dan menatalaksana gangguan jiwa yang
mungkin menjadi faktor kontribusi tadi.
Mengenali pasien yang
berpotensi bunuh diri. Kemungkinan bunuh diri dapat
terjadi apabila (Tomb, 2004):
a. Pasien
pernah mencoba bunuh diri
b. Keinginan
bunuh diri dinyatakan secara terang-terangan maupun tidak, atau berupa ancaman:
“kamu tidak akan saya ganggu lebih lama lagi” (sering dikatakan pada keluarga)
c. Secara
objektif terlihat adanya mood yang depresif atau cemas
d. Baru
mengalami kehilangan yang bermakna (pasangan, pekerjaan, harga diri, dan
lain-lain)
e. Perubahan
perilaku yang tidak terduga: menyampaikan pesan-pesan, pembicaraan serius dan
mendalam dengan kerabat, membagi-bagikan harta/barang-barang miliknya.
f. Perubahan
sikap yang mendadak: tiba-tiba gembira, marah atau menarik diri.
Panduan Wawancara dan
Psikoterapi
·
Pada waktu wawancaa, pasien mungkin
secara spontan menjelaskan adanya ide bunuh diri. Bila tidak, tanyakan
langsung.
·
Mulailah dengan menanyakan:
- Apakah anda pernah merasa ingin menyerah
saja?
- Apakah anda pernah merasa bahwa lebih baik
kalau anda mati saja?
·
Tanyakan isi pikiran pasien:
- Berapa sering pikiran ini muncul?
- Apakah pikiran tentang bunuh diri ini
meningkat?
·
Selidiki :
- Apakah pasien bisa mendapatkan alat dan cara
untuk melaukan rencana bunuh dirinya? -
Apakah mereka sudah mengambilkah aktif, isalnya mengumpulkan obat?
- Seberapa pesimiskah mereka?
-
Apakah mereka bisa memikirkan bahwa kehidupannya akan membaik?
Evaluasi dan
Penatalaksanaan
Pertolongan pertama biasanya dilakukan
secara darurat di rumah (di tempat kejadian)
dan atau di Unit Gawat Darurat di rumah sakit, di bagian penyakit dalam
atau bedah. Dilakukan pengobatan terhadap luka-luka dan atau keracunan. Bila keracunan
atau luka sudah dapat diatasi maka dilakukan evaluasi psikiatrik. Tidak ada
hubungan antara beratnya gangguan fisik dengan beratnya gangguan psikologis.
Penting sekali dalam pengobatan untuk menangani juga gangguan mentalnya. Untuk
pasien dengan depresi dapat diberikan psikoterapi dan obat antidepresan
(Maramis dan Maramis, 2009).
Ketika sedang mengevaluasi pasien dengan
kecendrungan bunuh diri, jangan tinggalkan mereka sendiri di ruangan.
Singkirkan benda-benda yang dapat membahayakan dari ruang tersebut. Etika
mengevaluasi pasien yang baru melakukan percobaan bunuh diri, buatlah penilaian
apakah hal itu direncanakan atau
dilakukan secara impulsif. Penatalaksanaan tergantung dari diagnosis yang
ditegakkan. Pasien yang depresi berat boleh saja berobat jalan asalkan
keluarganya dapat mengawasi pasien secara ketat di rumah.
Ide bunuh diri pada pasien alkoholik
umumnya hilang setelah sesudah menghentkan pengguanan alkohol itu. Pasien dengan gangguan kepribadian akan
berespon baik bila mereka ditangani secara empatik dan dibantu untuk memecahkan
masalah dengancara rasional dan bertanggung jawab. Rawat inap jangka panjang diperlukan bagi pasien yang
cendrung dan mempunyai kebiasaan melukai diri sendiri serta parasuicides.
Parasuicides yaitu mereka yang berulangkali melakukan hal-hal berbahaya tetapi
menyangkal adanya ide-ide bunuh diri. (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti
Hadisukanto, 2010)
Terapi psikofarmaka
Seorang yang sedang dalam krisis karena
baru ditinggal mati biasanya akan berfungsi lebih baik setelah mendapat
tranquilizer ringan, tertama bila tidurnya terganggu. Obat pilihannya adalah
golongan benzodiazepine, misalnya lorazepam 3x1 mg per hari selama 2 minggu.
Jangan memberukan obat dalam jumlah banyak sekaligus terhdap pasien(rrespkan
sedikit-seikit saja) dan pasien harus kontrol dalam bebeapa hari.
4.
Sindroma
Neuroleptik Maligna
Sindrom neuroleptik maligna adalah suatu
sindrom toksik yang behubungan dengan penggunaan obat antipsikotik. Gejalanya
meliputi : kekakuan otot, distonia, akinesia mutisme dan agitasi.
Gambaran
Klinis dan Diagnosis
Ditandai oleh demam tinggi (dapat
mencapai 41,5ºC), kekakuan otot yang nyata sampai seperti pipa (lead-pipe
rigidity), instabilitas otonomik (takikardia, tekanan darah yang labil,
keringat berlebih) dan gangguan kesadaran. Kekakuan yang parah dapat
menyebabkan rhabdomyolysis, myaglobinuria dan akhirnya gagal ginjal. Penyulit
lain dapat berupa tombosis vena, emboli paru dan kematian. Biasanya terjadi
dalam hari-hari pertama pengguanaan antipsikotik pada saat dosis mulai ditingkatkan,
umunya dalam 10 hari pertama pengobatan antipsikotik.
Sindrom neuroleptik maligna paling
mungkin terjadi pada pasien yang menggunakan antipsikotik potensi tinggi dalam
dosis tinggi atau dosis yang meningkat
cepat. Menurut DSM-IV-TR, diagnosis sindrom
neuroleptik maligna ditegakkan jika terdapat demam dan kekakuan otot yang
parah disertai dengan 2 atau lebih
gejala berikut:
§ Diaforesis
§ Disfagia
§ Tremor
§ Inkontinensia
§ Penurunan
kesadaran
§ Autism
§ Takikardia
§ Tekanan
darah yang meningkat atau labil
§ Leukositosis
§ Bukti
laboratorium adanya kerusakan otot rangka
Patofisiologi
Patofisiologi sindrom neuroleptik maligna belum diketahui
secara jelas. Timbulnya sindrom neuroleptik maligna akibat obat yang menghambat
reseptor D2 menghasilkan hipotesis bahwa penghambatan reseptor D2 pada berbagai
area di otak menjelaskan gejala klinis yang timbul. Hambatan reseptor D2 di
formatio retikularis dapat menurunkan kesadaran. Hambatan reseptor D2 di jalur
nigrostriatal dapat menyebabkan rigiditas. Hambatan reseptor D2 di hipotalamus
dapat menyebabkan instabilitas otonom, gangguan pelepasan panas. Hiperpireksia
terjadi
akibat disfungsi hipotalamus dan kekakuan otot.
Faktor
resiko
Jenis kelamin laki-laki dua kali lebih
beresiko dibanding perempuan.Faktor predisposisi munculnya sindrom neuroleptik
maligna adalah dehidrasi, malnutrisi, kelelahan, injeksi intramuskular
neuroleptik, cedera kepala, infeksi, intoksikasi alkohol, pengunaan
antipsikotik bersama dengan litium (Hall and Chapman, 2006). Gangguan ini dapat pula terjadi pada pasien
yang baru menghentikan terapi dengan obat-obatan agoni dopaminergik
seperti carbidopa,
levodopa,
amantadine dan bromocriptine.
Panduan
Wawancara dan Psikoterapi
Sindrom neuroleptik maligna adalah
kegawatdaruratan medik sehingga perlu dirawat di ICU. Kesadarannya terganggu,
tanyakan perjalanan penyakitnya pada keluarga dan teman-temannya.
Evaluasi
dan Penatalaksanaan
ü Pertimbangkan
kemungkinan sindrom neuroleptik maligna pada pasien yang mendapat antipsikotik
yang mengalami demam serta kekakuan otot.
ü Bila
terdapat rigiditas rinan yang tidak berespon terhdap antikolinergik biasa dan
bila demamnya tak jelas sebabnya, buatlah diagnosis sementara sindroma
neuroleptik maligna.
ü Hentikna
pemberian antipsikotik segera.
ü Monitor
tanda-tanda vital secara berkala.
ü Lakukan
pmeriksaan laboratorium
ü Hidrasi
cepat intrvena daapt mencegah erjadinya renjatan dan menurnkan kemungkinan terjadiny
agagal ginjal.
ü Sindrom ini biasanya berlangsung selama 15
hari. Setelah sembuh, masalah kemudian adalah pemberian naipsikotik selanjutnya
apakah mengganti dari kelas yang berbeda atau kembali ke antipsikotik semula
yang efektif.
Terapi Psikofarmaka
·
Amantadine 200-400 mg PO/hari dalam
dosis terbagi
·
Bromocriptine 2,5 mg PO 2 atau 3
kali/hari , dapat dianikan sampai 45 mg/hari
Levodopa 50-100
mg/hari IV dalam infus terus-menerus
No comments:
Post a Comment