Thursday, October 19, 2017

Laporan Pendahuluan Pneumonia

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang
Pada era globalisasi sekarang terdapat banyak sekali penyakit infeksi yang menyerang masyarakat baik pada negara sedang berkembang, bahkan pada negara maju sekalipun. Berbagai sistem di dalam  tubuh manusia bisa saja terserang  penyakit infeksi dan system pernafasan merupakan salah satu sistem yang rentan terkena penyakit infeksi.

Sistem pernafasan merupakan sistem yang berfungsi untuk pertukaran gas dengan masuknya oksigen (inspirasi) dan keluarnya karbondioksida (ekspirasi). Sistem pernafasan umumnya terdiri dari beberapa organ yang menunjang dalam proses respirasi. Paru-paru adalah organ pada system pernafasan (respirasi) dan berhubungan dengan system perdarahan darah (sirkulasi) vertebrata yang bernafas dengan udara. Fungsinya adalah menukar oksigen dari udara dengan karbondioksida dari darah.

Pneumonia adalah inflamasi parenkim paru yang disebabkan oleh berbagai mikroorganisme termasuk bakteri, mikrobakteria, jamur, dan virus. (Brunner & Suddarth, 2014 : 457). Pneumonia banyak ditemukan pada anak dengan status gizi kurang dan status imunisasi yang belum lengkap (Monita et al, 2015:2).
Pneumonia lebih rentan terjadi pada anak antara umur 2-12 bulan, lebih banyak pada anak laki-laki dari pada perempuan dengan angka perbandingan 1,25: 1.


Pneumonia seolah menjadi penyakit yang terlupakan, padahal sekitar 2 juta balita setiap tahun meninggal dunia, karena penyakit itu jauh melebihi kematian yang disebabkan AIDS, Malaria dan Campak. Di kawasan Asia Pasifik diperkirakan sebanyak 860 ribu jiwa balita meninggal setiap tahunnya sekitar 98 anak setiap jam (Wahid & Suprapto, 2013:2).

Pneumonia menjadi penyebab kematian sekitar 1,2 juta anak tiap tahun. Dapat dikatakan setiap jam 230 anak meninggal karena pneumonia. Angka itu bahkan melebihi angka kematian yang disebabkan oleh AIDS, Malaria, dan Tuberculosis, sedangkan angka kematian pada lansia mencapai 40% dari total kejadian Pneumonia di dunia dan dapat meningkat jika disertai dengan sejumlah factor penyerta. Pada lansia pengobatan lebih sulit dilakukan karena gambaran klinis yang tidak jelas (WHO,2013)

Pneumonia menjadi penyebab infeksi utama kematian pada anak umur di bawah lima tahun, menyebabkan kematian hampir 2,600 anak per hari. Pneumonia menyumbang 15% dari semua kematian balita dan menewaskan sekitar 940,000 anak pada tahun 2013, sebagian besar berusia kurang dari 2 tahun (Unicef, 2015).

Di Indonesia Pneumonia menempati peringkat kedua pada kematain balita (15,2%) dari seluruh penyebab kematian. Faktor sosial ekonomi yang rendah meningkatkan angka kematian pada kasus Pneumonia. Nusa Tenggara Timur menjadi urutan pertama dengan prevalensi (5,9%) penderita Pneumonia diikuti Papua (5,7%) kemudian Sulawesi selatan (4,0%), sedangkan Kalimantan selatan berada pada urutan 19 dengan prevalensi (2,4%) (Riskesdas, 2013).
Angka kejadian Pneumonia di Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2013 terdapat  pada anak umur <1 tahun sebanyak 3.874 kasus  dan pada anak umur 1-4 tahun sebanyak  9.165 kasus  sedangkan Pneumonia berat pada anak umur <1 tahun sebanyak 156 kasus dan  pada anak umur 1-4 tahun


sebanyak 231 kasus. Pada tahun 2014 pneumonia terdapat  pada anak umur <1 tahun sebanyak 6.311 kasus dan  pada anak umur 1-4 tahun sebanyak 8.778 kasus sedangkan Pneumonia berat pada anak umur <1 tahun sebanyak 1.983 kasus dan pada anak umur 1-4 tahun sebanyak 1.748 kasus. Pada tahun 2015 pneumonia terdapat  pada anak umur <1 tahun  pada laki-laki sebanyak 839 kasus dan  perempuan sebanyak 488 kasus dan pada anak umur 1-4 tahun laki-laki sebanyak 633 kasus  pada perempuan sebanyak 647kasus  sedangkan Pneumonia berat pada anak umur <1 tahun  pada laki-laki sebanyak 599 kasus dan pada perempuan sebanyak 497 kasus  pada anak umur 1-4 tahun pada laki-laki sebanyak 592 kasus dan pada perempuan sebanyak 360 kasus (Dinkes Provinsi Kalse, 2016)

Menurut data yang didapat dari RSU Dr. H. Mochammad Ansari Shaleh Banjarmasin, data yang didapat Pneumonia menduduki peringkat ke 4 dar 10 penyakit terbanyak yang dirawat diruang Alexandri dengan jumlah 229 orang anak setelah diare, DHF, dan Thypoid (Rekam mediK RSUD Asari Shaleh Banjarmasin, 2015).
Pneumonia bila tidak ditangani dengan tepat sesuai dengan pengobatan maka akan menimbulkan komplikasi yaitu  gejala berlanjut setelah  terapi syok, gagal nafas, atelektasis, efusi pleura, konfusi., dan kematian. Diharapkan dengan diberikannya Asuhan Keperawatan pada klien Pneumonia secara komprehensif dapat membantu perawatan klien, dan meningkatkan kemandirian klien di rumah sakit.

Berdasarkan keseluruhan uraian diatas, penulis tertarik untuk menulis tentang gambaran asuhan keperawatan pada anak dengan Pneumonia di RSUD Drs. H. Moch. Ansari Saleh ruang Alexandri , karena Pneumonia masih memiliki angka kejadian yang cukup tinggi baik di provinsi Kalimantan Selatan, serta menjadi penyebab terbanyak kematian pada balita didunia


BAB 2
TINJAUAN TEORETIS


2.1         Anatomi Fisiologi Sistem Pernafasan
2.1.1.      Anatomi Sistem Pernafasan




Gambar 2.1 sistem pernafasan
Sumber : (Sherwood, 2014: 490)




Menurut Manurung et al. (2013:13) menyatakan anatomi sistem pernafasan terdiri atas:
2.1.1.1       Hidung
Hidung terdiri dari hidung eksterna dan rongga hidung dibelakang hidung eksterna. Hidung eksterna terdiri dari kartilago sebelah bawah dan tulang hidung disebelah atas ditutupi bagian luarnya dengan kulit dan pada bagian luarnya dengan kulit dan pada bagian dalamnya dengan membrane mukosa.

Rongga hidung memanjang dari nostril pada bagian depan apertura posterior hidung, yang keluar ke nasofaring bagian belakang. Rongga hidung tersebut ditutupi oleh membrane mukosa.

Septum nasalis memisahkan kedua rongga hidung. Septum nasalis merupakan struktur tipis yang terdiri dari tulang dan kartilago, biasanya membengkok ke satu sisi atau salah satu sisi yang lain, dan keduanya dilapisi oleh membrane mukosa. Dinding lateral dari rongga hidung sebagian dibentuk oleh maksila, palatum dan os sphenoid.

Konkha superior, inferior dan media (turbinasi hidung) merupakan tiga buah tulang yang melengkung lembut melekat pada dinding lateral dan menonjol kedalam rongga hidung. Ketiga tulsng tersebut tertutup olrh membrane mukosa.

Dasar dari hidung terbentuk oleh bagian dari maksila dan tulang palatine. Atap dari rongga hidung merupakan celah yang sempit yang terbwntuk oleh tulang hidung frontalis


dan sphenoid. Membran mukosa olfaktorius, pada bagian atap rongga hidung dan bagian tepi dari rongga hidung, mengandung sel-sel saraf khusus yang dapat mencium bau-bauan; dari serat sel-sel saraf tersebut melalui lempeng kribiformus dari os frontal dan kedalam bulb olfaktorius dari saraf kranial (olfaktorius).

Sinus paeranasal terdiri dari; sphenoid, ethmoid, frontalis, dan maksilaris. Sinus paranasal merupakan ruang pada tulang kranial yang berhubungan melalui ostium kedalam rongga hidung. Sinus tersebut ditutupi oleh membran mukosa yang berlanjut  dengan rongga hidung. Lubang hidung, sinus spenoid, diatas konkha superior.

Sinus ethmoid, oleh beberapa ostium diantar konkha media dan superior dan diantara konkha median dan inferior. Pada sebelah belakang rongga hidung keluar ke nasofaring melalui aperture nasalis posterior.

Hidung berfungsi sebagai saluran untuk udara mengalir ked an dari paru-paru. Jalan nafas ini berfungsi sebagai penyaring kotoran-kotoran dan melembabkan serta menghangatkan udara yang dihirup kedalam paru-paru. Hidung bertanggung jawab terhadap olfaktorius (penciuman) karena reseptor olfaksi terletak dalam mukosa hidung dan hidung juga membant dalam persengauan.

2.1.1.2       Faring
Faring atau tenggorokan adalah struktur seperti tuba yang menghubungkan hidung dan rongga mulut ke laring. Faring dibagi menjadi tiga region; nasal, oral, dan laring.
Nasofaring terletak disebelah belakang rongga hidung, dibawah dasar dari tengkorak dan disebelah depan vertebra servikalis ke 1 dan ke 2, nasofaring bagian depan keluar ke rongga hidung dan bagian bawah keluar ke orofaring. Auditorius (tuba eutakhia) keluar kedinding lateral nasofaring pada masing-masing sisinya. Tonsil orofaring merupakan bantalan jaringan limfe pada dinding nasofaring posterior superior. Orofaring merupakan sesuatu yang umum pada sistem pernafasan dan pencernaan karena makanan masuk kedalam nya dari mulut dan udara masuk juga kedalamnya dari nasofaring dan paru-paru.

Orofaring pada bagian bawahnya berlanjut dengan laring orofaring, yang merupakan bagian dari faring yang terletak tepat dibelakang laring dan ujung bawah esophagus.Udara diinspirasi adalah hangat. Lembab dan di saring karena udara tersebut melalui rongga hidung.

Fungsi faring adalah untuk menyediakan saluran pada traktus respiratorius.

2.1.1.3       Laring
Laring merupakan struktur yang lengkap dari kartilago; kartilago tiroid, epiglottis, kartilago krikoid dan dua buah kartilao arytenoid.Kartilago tiroid terbesar pada trakhea, sebagian dari kartilago ini membentuk jakun.Epiglottis, daun katup kartiolago yang menutupi ostium ke arah laring selama menelan. Kartilago krikoid satu-satunya cincin kartilago yang komplit dalam laring (terletak dibawah kartilago tiroid). Kartilago arytenoid (2 buah) kartilago arytenoid; digunakan dalam gerakan pita suara dengan kartiago tiroid.
Membrane mukosa: menghubungkan kartilago satu dengan yang lainnya dan dengan os hioideus. Pita suara; ligament yang dikontrol oleh gerakan otot yang menghasilkan bunyi suara; pita suara melekat pada lumen laring. Laring terletak pada garis tengah bagian depan leher, terbenam dalam kulit, kelenjar tiroid dan beberapa otot kecil, serta pada bagian depan laring ofaringeus dan bagian atas esophagus.

Fungsi utama laring adalah untuk memungkinkan terjadinya vokalisasi. Laring juga melindungi jalan nafas bawah daro obstruksi benda asing dan memudahkan batuk.

2.1.1.4       Trakhea
Trakhea merupakan tuba yang lentur atau fleksibel dengan panjang sekitar 10 cm dan lebar 2,5 cm. trakhea menjalar dari kartilago krikoid ke bawah depan leher dan kebelakang manubrium sternum, untuk berakhir pada sudut dekat sternum. Dimana trakea tersebut berakhir dengan membagi kedalam bronkus kanan dan kiri. Dileher trakea disilangi pada bagian depannya oleh istmus dari kelenjar tiroid dan beberapa vena. Trakea terbentuk dari 16-20 helai kartilago yang berbentuk C dihubungkan satu sama lainnya dengan jaringan fibrosa. Dengan konstruksi yang demikian membuatnya tetap terbuka bagaimanapun posisi dai kepala leher. Permukaan posterior trakea agak pipih (karena cincin tulang rawan disitu tidak sempurna). Tempat dimana trakea bercabang menjadi bronkus utama kiri dan kanan dikenal sebagai karina. Karina memiliki banyak saraf dan dapat menyebabkan bronkopasme dan batuk yang kuat jika dirangsang.

2.1.1.5       Bronkhus
Terdapat beberapa devisi bronkhus didalam setiap lobus paru. Pertama adalah bronkus lobaris ( tiga pada paru kanan dan dua pada paru kiri). Bronkus lobaris dibagi menjadi bronkus segamental (10 pada paru kanan dan 8 pada paru kiri), yang merupakan struktur yang dicari ketika memilih posisi drainase postural yang paling efektif untuk klien tertentu. Bronkus segmental kemudian dibagi lagi nmenjadi bronkus subsegmental. Bronkus ini dikelilingi oleh jaringan ikat yang memilki arteri, limpatik dan saraf.

Bronkus segmental kemudian akan membentuk percabangan menjadi bronkhiolus, yang tidak mempunyai kartilago didalam dindingnya. Patensi bronkhiolus seluruhnya tergantung pada rekoil elastik otot polos sekelilingnya dan pada tekanan alveolar. Bronkhiolus mengandung kelenjar sub mukosa, yang memproduksi lendir yang membentuk selimut tidak terputus untuk lapisan bagian dalam jalan nafas. Brokus dan bronkhiolus juga dilapisi oleh sel-sel yang permukaannya dilapisi oleh rambut pendek yang disebut silia. Silia ini meciptakan gerakan menyapu yang konstan yang berfungsi untuk mengeluarkan lender dan benda asing menjauhi paru menuju laring.

2.1.1.6       Bronkhiolus
Bronkhiolus membentuk percabangan menjadi bronkhiolus terminalis, yang tidak mempunyai kelenjar lender dan silia. Bronkhiolus terminalis kemudian menjadi bronkhiolus respiratori, yang dianggap menjadi saluran transisional antara jalan udara konduksi dan jalan udara pertukaran gas. Sampai pada titik ini , jalan udara konduksi mengandung sekitar 150 ml udara dalam percabangan trakeobronkial yang tidak ikut serta dalam pertukaran gas. Ini dikenal sebagai ruang rugi fisiologik. Bronkhiolus respiratori keudian mengarah kedalam duktus alveolar dan sakus alveolar kemudian alveoli. Pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi dalam alveoli.

2.1.1.7       Alveolus
Paru terbentuk oleh sekitar 300 juta alveoli, yang tersusun dalam klaster antara 15-20 alveoli. Begitu banyaknya alveoli ini sehingga jika mereka bersatu untuk membentuk satu lembar, akan menutupi area 70 meter persegi.

Terdapat tiga jenis sel-sel alveolar. Sel-sel alveolar tipe II, sel-sel yang aktif secara metabolic, mensekresi surfaktan, suatu fosfolid yang melapisi permukaan dalam dan mencegah alveolar agar tidak kolaps. Sel alveoli tipe III adalah makrofag yang merupakan sel-sel fagositis yang besar yang memakan benda asing (lender, bakteri dan bekerja sebagai mekanisme pertahanan yang penting).

2.1.2.      Fisiologi Sistem Pernafasan
Menurut Manurung et al. (2013: 24) menyatakan fisiologi  sistem pernafasan terdiri atas:
2.1.2.1       Ventilasi
Ventilasi adalah gerakan dalam pernafasan udara masuk dan keluar dari paru-paru. Gerakan dalam pernafasan adalah ekspansi dan inspirasi. Pada inspirasi otot diafragma berkontraksi dan kubah dari diafragma menurun, pada waktu yang bersamaan otot-otot intercostal interna berkontraksi dan mendorong dinding dada sedikit keara keluar. Dengan gerakan seperti ini ruang didalam dada meluas, tekanan dalam alveoli menurun dan udara memasuki paru-paru.
Pada ekspirasi diafragma dan otot-otot interkosta eksterna relaksasi. Diafragma naik, dinding-dinding dada jatuh kedalam dan ruang didalam dada hilang. Pada pernafaan normal yang tenang terjadi sekitar 16 kali permenit. Ekspirasi diikuti dengan terhenti sejenak. Kedalaman dan jumlah dari gerakan pernafasan sebagian besar dikendalikan secara biokimiawi.

2.1.2.2       Difusi
Difusi adalah gerakan diantara udara dan karbondioksida didalam alveoli dan darah didalam kapiler sekitarnya. Gas-gas melewati hampir secara seketika diantara alveoli dan darah dengan cara difusi. Dalam cara difusi ini gas mengalir dari tempat yang tinggi  tekanan partialnya ke tempat lain yang lebih rendah tekanan partialnya. Oksigen dalam alveoli mempunyai tekanan partial yang lebih tinggi dari oksigen yang berada dalam darah dan karenanya udara dapat mengalir dari alveoli masuk kedalam darah. Karbondioksida dalam darah mempunyai tekanan parsial yang lebih tinggi dari pada yang berada dalam alveoli dan karenanya karbondioksida dapat mengalir dari darah masuk kedalam alveoli.

2.1.2.3       Tranportasi gas dalam darah
Transport: pengangkutan oksigen dan karbondioksida oleh darah. Oksigen ditransportasi dalam darah.: dalam sel-sel darah merah; oksigen bergabung dengan hemoglobin untuk membentuk oksihemoglobin, yang berwana merah terang. Dala plasma: sebagian terlarut dalam plasma. Karbondioksida ditransportasi dalam darah; sebagai natrium bikarbonat dalam dan kalium bikarbonat dalam sel-sel darah merah dalam larutan bergabung dengan hemoglobin dan protein plasma.

2.1.2.4       Pertukaran gas dalam jaringan
Metabolisme jaringan meliputi pertukaran oksigen dan karbondioksida diantara darah dan jaringan.
a.       Oksigen
Bila darah yang teroksigenisasi mencapai jaringa, oksigen mengalir dari darah masuk ke dalam cairan jaringan karena tekanan parsial oksigen dalam darah lebih besar dari pada tekanan dalam cairan jaringan. Dari dalam cairan jaringan oksigen mengalir kedalam sel-sel sesuai kebutuhanmasing-masing.

b.      Karbondioksida
Karbondioksida dihasilkan dalam sel mengalir kedalam cairan jaringan. Tekanan parsial karbondioksida dalam cairan jaringan lebih besar dari pada tekanannya dalam darah, dan karenanya karbondioksida mengalir dari cairan jaringan kedalam darah.



2.2         Tinjauan Teoretis Pneumonia
2.2.1.      Pengertian
Pneumonia adalah inflamasi parenkim paru yang disebabkan oleh berbagai mikroorganisme termasuk bakteri, mikrobakteria, jamur, dan virus. (Brunner & Suddarth, 2013: 457)

Pneumonia adalah proses inflamasi parenkim paru yang terdapat konsolidasi dan terjadi pengisian rongga alveoli oleh eksudart yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing. (Muttaqin, 2007: 116)

Pneumonia adalah salah satu penyakit infeksi saluran pernafasan bawah akut (ISBA) dengan gejala batuk dan disertai dengan sesak nafas yang disebabkan agen infeksius seperti virus, bakteri, mycoplasma (fungi), dan aspirasi substansi asing, berupa radang paru-paru yang disertai eksudasi dan konsolidasi. (Nanda NIC-NOC, 2013: 482)

Pneumonia is an inflammation of the lung parenchyma. It can occuras a primary or a secondary diseas. Pneumonia can be classified by anatomic distribution or by the agents that cause them. Environment, immune system status, and the child’s age are factors in the pathogenesis of the disease (James, 2013: 503 ).

2.2.2.      Etiologi
Faktor penyebab Pneumonia (Wahid & Suprapto, 2013)
2.2.3.1       Bakteri: Streptococcus Pneumonia, Staphylococcus Aureus.
2.2.3.2       Virus: Infuenza, Parainfluenza, Adenovirus, Virus Sinsisial Pernafasan, Hantara Virus,Virus Herves Simpleks, Citomegalos Virus, Mycoplasma, Pneumococus, streptococcus, Staphylococcus.
2.2.3.3       Jamur: Candididasis, Histoplasmosis, Aspergifosi, Blastomyces Dermatitis, Cryptococcus, Coccidimmitis.
2.2.3.4       Kimiawi: aspirasi hidrokarbon Alifatik.

2.2.3.      Patofisiologi
Menurut Brunner & Suddarth (2013: 457) Reaksi inflamasi dapat terjadi dialveoli, yang menghasilkan eksudat yang mengganggu difusi oksigen dan karbondioksida. bronkhopasme juga dapat terjadi apabila pasien menderita penyakit jalan nafas reaktif. Bronkhopneumonia, bentuk pneumonia yang paling umum, menyebar dalam model bercak yang meluas dari bronchi keparenkim paru sekitarnya. Pneumonia lobar adalah istilah yang digunakan jika pneumonia mengenai bagian subtansial pada satu atau lebih lobus. Pneumonia disebabkan oleh berbagai agen mikroba diberbagai tatanan. Perjalanan penyakit Pneumonia diuraikan dalam skema sebagai berikut :






Gambar 2.2 Skema Patofisiologi
Sumber: Muttaqin (2007 ; 124)

2.2.5.           Manifestasi Klinis
Meurut Brunner & Suddarth (2013: 458) Gambaran klinis beragam bergantung pada organisme dan penyebab penyakit pasien.
2.2.6.1      Menggigil mendadak dan cepat berlanjut menjadi demam (38,5ºC sampai 40,5ºC).
2.2.6.2      Nyeri dada pleuritik yang semakin berat ketika bernafas dan batuk. Pasien yang sakit pernah mengalami takipnea yang berat (25 sampai 45 kali pernafasan/menit) dan dyspnea, ortopnea ketika disangga.
2.2.6.3      Nadi cepat dan memantul dapat menigkat 10 kali/menit per 1º peningkatan suhu tubuh (Celcius).
2.2.6.4      Bradikardi relatif untuk tingginya demam menujukkan infeksi virus, infeksi mikroplasma atau infeksi organisme Legionela.
2.2.6.5      Tanda lain : infeksi saluran nafas atas, sakit kepala, demam derajat rendah, neri npleuritik, myalgia, ruam, dan faringitis, setelah beberapa hari sputum mukoid dan mukopurulen dikeluarkan.
2.2.6.6      Pneumonia berat : pipi merah, bibir dan bantalan kuku menunjukkan sianosis sentral.
2.2.6.7      Sputum purulent, berwarna seperti karat, bercampur darah, kental, atau hijau bergantung pada agen penyebab.
2.2.6.8      Nafsu makan buruk, dan pasien mengalami diforesis serta mudah lelah.
2.2.6.9      Tanda dan gejala pneumonia dapat juga bergantung pada kondisi utama pasien (misal tanda berbeda dijumpai pada pasien dengan kondisi seperti kanker, dan pada mereka yang menjalani terapi imunopresan yang menurunkan resistensi terhadap infeksi).


2.2.6.           Pemeriksaan Penunjang
Menurut Somantri (2009 : 79) pemeriksaan penunjang pada klien dengan pneumonia adalah :
2.2.7.1      Foto rontgen dada (chest x-ray): teridentifikasi penyebaran, misalnya lobus, bronchial, dapat juga menunjukkan multiple abses atau infiltrate, empyema (staphylococcus); penyebaran atau lokasi infiltrasi (bacterial); atau penyebaran ekstensif nodul infiltrate (sering kali viral);pada pneumoniamycoplasma, gambaran chest x-ray mungkin bersih.
2.2.7.2      ABGs/Pulse Oximetry, abnormalitas mungkin timbul bergantung pada luasnya kerusakan paru.
2.2.7.3      Kultur sputum dan darah atau gram stain: didapatkan dengan needle biopsy, transtracheal aspiration, fiberoptic bronchoscopy atau biopsy paru terbuka untuk mengeluarkan organisme penyebab. Akan didapatkan lebih dari satu jenis kuman, seperti Diplococcus Pneumonia, Staphulococcus Aureus, A. Hemolytic Streptococcus, dan Haemophilus influenza.
2.2.7.4      Hitung darah lengkap/ complete blood count (CBC): leukoitisis biasanya timbul meskipun nilai SDP rendah pada infeksi virus.
2.2.7.5      Tes serologic: membantu membedakan diagnosis pada organisme secara spesifik.
2.2.7.6      Laju endap darah (LED): meningkat.
2.2.7.7      Pemeriksaan fungsi paru: volume mungkin menurun (kongesti dan kolaps alveolar), tekanan saluran udara meningkat, compliance menurun, dan akhirnya dapat terjadi hipoksemia.
2.2.7.8      Elektrolit: sodium dan klorida mungkin rendah.
2.2.7.9      Bilirubin: mungkin menngkat.
2.2.7.           Penatalaksanaan Medis
Menurut Muttaqin (2007 : 123) penatalaksanaan pada klien dengan pneumonia adalah klien diposisikan dalam keadaan fowler dengan sudut 45º. Kematian seringkali berhubungan dengan hipotensi, hipoksia, aritmia kordis, dan penekanan system saraf pusat, maka penting untuk dilakukan pengaturan keseimbangan cairan elektrolit dan asam basa dengan baik, pemberian oksigen yang adekuat untuk menurunkan perbedaan oksigen yang adekuat untuk menurunkan perbedaan oksigen dialveoli-arteri, dan mencegah hipoksia seluler. Pemberian oksigen sebaiknya dalam konsentrasi yang tidak beracun (PO240) untuk mempertahankan PO2 arteri sekitar 60-70 mmHg dan juga penting mengawasi perikaan analisa gas darah.

Pemberian cairan intravena IV line dan pemenuhan kebutuhan hidrasi tubuh untuk mencegah penurunan dan volume cairan tubuh secara umum. Bonkodilator seperti Aminofilin dapat diberikan untuk memperbaiki dranase secret dan distribusi ventilasi. Kadang-kadang mungkin timbul dilatasi lambung mendadak, terutama jika pneumonia mengenai lobus bawah yang dapat menyebabkan hipotensi. Jika hipotensi terjadi, segera atasi hipoksemia arteri dengan cara memperbaiki volume intravaskuler dan melakukan dekompresi lambung. Kalau hipotensi tidak dapat diatasi, dapat dipasang kateter swan-Ganz dan infus Dopmin (2-5µ/kg/menit). Bila perlu dapat diberikan analgesik untuk mengatasi nyeri pleura.

Pemberian antibiotik terpilih seperti penisilin diberikan secara intramuscular 2 x 600.000 unit sehari. Penisilin diberikan sekurang-kurangnya seminggu sampai klien tidak mengalami sesak nafas lagi selama 3 hari dan tidak ada komplikasi lain. Untuk klien yang alergi terhadap penisilin dapat diberikan Eritromisin. Tetrasiklin jarang digunakan untuk pneumonia karena banyak yang resisten.
Pemberian Sefalosporin harus hati-hati untuk klien untk alergi tehadap Penisilin karena dapat menyebabkan reaksi hipersensitif silangterutama pada tipe anafilaksis. Dalam 12 sampai 36 jam, setelah pemberian Penisilin, suhu, denyut nadi, frekuensi pernafasan menurun serta nyeri pleura menghilang. Pada ± 20 % klien, demam berlanjut sampai lebih dari 48 jam setelah obat dikonsumsi.

2.2.8.           Komplikasi
Menurut Brunner & Suddarth (2013: 460), komplikasi yang terjadi pada pasien dengan pneumonia antara lain:
2.2.9.1      Gejala berlanjut setelah terapi
2.2.9.2      Syok
2.2.9.3      Gagal nafas
2.2.9.4      Atelektasis
2.2.9.5      Efusi pleura
2.2.9.6      Konfusi

2.3         Tinjauan Teoretis Asuhan Keperawatan Pneumonia
2.3.1        Pengkajian
Menurut Muttaqin (2007: 118) pengkajian pada pasien dengan pneumonia adalah sebagai berikut:
2.3.1.1       Anamnesa
Keluhan utama yang sering mucul menjadi alas an klien dengan Pneumonia untuk meminta pertolongan kesehatan adalah sesak napas, batuk, dan peningkatan suhu tubuh/demam.
2.3.1.2       Riwayat penyakit saat ini
Pada klien dengan Pneumonia, keluhan batuk biasanya btimbul mendadak dan tidak berkurang setelah minum obat batuk yang biasa ada dipasaran. Pada awalnya keluhan batuk tidak produktif, tapi selanjutnya akan berkembang menjadi batuk produktif dengan mocus purulent kekuning-kuningan, kehijau-hijauan, kecoklatan atau kemerahan dan sering kali berbau busuk. Klien biasanya mengeluh mengalami demam tinggi dan menggigil (onset mungkin tiba-tiba berbahaya). Adanya nyeri dada pleuritis, sesak napas, peningkatan frekuensi pernafasan, lemas dan nyeri kepala.
2.3.1.3       Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian diarahkan pada waktu sebelumnya, apakah klien pernah mengalami infeksi saluran nafas atas (ISPA) dengan gejala seperti itu luka tenggorokkan, kongesti nasa, bersin dan demam ringan.
2.3.1.4       Pengkajian psikososiospiritual
Pengkajian psikologis klien meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pada kondisi klinis, klien dengan Pneumonia sering mengalami kecemasan bertingkat sesuai dengan keluhan yang dialaminya. Hal yang perlu ditanyakan adalah kondisi pemukiman dimana klien bertempat tinggal, klien dengan Pneumonia sering dijumpai bertempat tinggal dilingkungan dengan sanitasi buruk.
2.3.1.5       Pemeriksaan fisik
a.         Keadaan umum
Keadaan umum pada klien dengan pneumonia dapat dilakukan selintas pandang dengan menilai keadaan fisik tiap bagian tubuh. Selain itu, perlu dinilai secara umum tentang kesadarn yang terdiri atas compos mentis, apatis, samnoles, stupor, sporokoma, atau koma. Hasil pemeriksaan vital sign klien dengan pneumonia biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh klien lebih dari 40ºC, frekuensi nafas meningkat dari frekuensi normal, denyut nadi biasanya meningkat seirama peninkata suhu tubuh dan frekuensi pernafasan, dan apabila tidak melibatkan infeksi sistemis yang berpengaruh ada hemodinamika kardiovaskular tekanan darah biasanya tidak ada masalah.
b.        B1 (breathing)
1)   Inspeksi
Bentuk dada dan pergerakan pernafasan. Gerakan pernafasan simetris. Pada klien denganpneumonia sering ditemukan peningkatan frejuensi nafas cepat dan dangkal, serta adanya retraksi dinding sternum dan intercostal space (ICS). Nafas cuping hidung pada sesak berat dialami oleh anak-anak. Batuk dan sputum. Saat dilakukan pengkajian batuk pada klien dengan pneumonia, biasanya diapatkan batuk produktif disertai dengan adanya peningkatan produksi secret dan sekresi sputum yang purulen.
2)   Palpasi
Gerakan dinding dada thoraks anterior/eksrusi pernafasan. Pada palpasi klen dengan pneumonia, gerakan dinding dadasaat bernafas biasanya normal dan seimbang antara kanan dan kiri. Getaran suara (fremitus vocal). Biasanya normal.
3)   Perkusi
Klien dengan pneumonia tanpa disertai komplikasi, biasanya didapatkan bunyi resonan atau sonor pada seluruh lapang paru. Bunyi redup perkusi pada klien dengan pneumonia didapatkan apabila broncho- pneumonia menjadi suatu sarang (kunfluens).
4)   Auskultasi
Pada klien dengan pneumonia, didapatkan bunyi nafas melemah dan bunyi nafas tambahan ronkhi basah pada sisi yang sakit. Pentingnya bagi perawat untuk mendokumentasikan hasil auskultasi didaerah mana didapatkan adanya ronkhi.
c.         B2 (Blood)
1)   Inspeksi
Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum.
2)   Palpasi
Denyut nadi perifer melemah
3)   Perkusi
Batas jantung tidak mengalami pengerasan
4)   Auskultasi
Tekanan darah biasanya normal. Bunyi jantung tambahan biasanya tidak didapatkan.
d.        B3 (brain)
Klien dengan pneumonia yang sangat beat seringterjadi penurunan kesadaran, didapatkan sianosis perifer apabila gangguan perfusi jaringan berat. Pada pengkajian objektif, wajah klien tampak meringis, menangis, merintih, meragang, dan menggeliat.
e.         B4 (bladder)
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan. Oleh karena itu, perawat perlu memonitor keadaan adanya oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal syok.
f.         B5 (bowel)
Klien biasanya mengalami mual, muntah, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan.

g.        B6 (bone)
Kelemahan dan kelelahan fisi secara umum sering menyebabkan ketergantungan klien terhadap bantuan orang lain dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

2.3.2        Diagnosis keperawatan
Nanda NIC-NOC (2013) diagnosis keperawatan yang muncul antara lain :
2.3.2.1       Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan inflamasi dan obstruksi jalan nafas
2.3.2.2       Ketidak efektifan pola nafas.
2.3.2.3       Kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan intake oral tidak adekuat, takipnea, demam.
2.3.2.4       Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan isolasi respiratory.
2.3.2.5       Defisiensi pegetahuan yang berhubungan dengan perawatan anak pulang.

2.3.3        Intervensi Keperawatan
Nanda NIC-NOC (2013), intervensi keperawatan antara lain:
2.3.3.1           Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan inflamasi dan obstuksi jalan nafas.
Intervensi :
Mandiri
a.         Kaji fungsi pernafasan (bunyi nafas, kecepatan, irama, kedalaman, dan penggunaan otot bantu nafas).
Rasional: penurunan bunyi nafas menunjukkan atelectasis, roknkhi menunjukkan akumulasi secret dan ketidakefektifan pengeluaran sekresi yang selanjutnya dapat menimbulkan penggunaan otot bantu nafas dan peningkatan kerja nafas.
b.         Kaji kemampuan klien mengeluarkan sekresi. Lalu catat karakter dan volume sputumRasional: pengeluaran sulit bila secret sangat kental . ( efek infeksi dan hidrasi yang tidak adekuat).
c.         Berikan posisi semifowler atau fowler tinggi dan bantu klien latihan nafas dalam dan batuk yang efektif.
Rasional: semifowler memaksimalkan ekspansi paru dan upaya bernafas. Ventilasi maksimal membuka area etelektasi dan meningkatkan gerakan secret kejalan nafas besar untuk dikeluarkan.
d.        Pertahankan intake cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali tidak diindikasikan.
Rasional: hidrasi yang adekuat membantu mengencerkan secret dan mengefektifkan pembersihan jalan nafas.
e.         Bersihkan secret dari mulut dan trakea, bial perlu lakukan penghisapan (suction).
Rasional: mencegah obstruksi dan aspirasi. Penghisapan diperlukan bila klie tidak mampu mengeluarkan secret. Eleminasi lender dengan suction sebaiknya dilakukan dalam jangka waktu kurang dari 10 menit dengan pengawasan efek samping suction.
Kolaborasi
f.          Pemberian obat sesuai indikasi (obat antibiotik)
Rasional: pengobatan antibiotic yang ideal berdasarkan pada tes uji resistensi bakteri terhadap jenis antibiotic sehingga lebih mudah mengobati pneumonia.


g.         Agen mukolitik
Rasional: agen mukolitik menurunkan kekentalan dan perlengketan secret paru untuk memudahkan pembersihan.
h.         Bronkodilator, jenis aminophilin via intravena
Rasional: bronkodilator meningkatkan diameter lumen percabangan tracheobronchial sehingga menurunkan tahanan terhadap aliran udara.
i.           Kortikosteroid
Rasional: kortikosteroid berguna pada keterlibatan luas dengan hipoksemia dan bila reaksi inflamasi mengancam kehidupan.

2.3.3.2           Ketidak efektifan pola nafas
Intervensi :
Mandiri
a.         Kaji fungsi pernafasan (bunyi nafas, kecepatan, irama, kedalaman, dan penggunaan otot bantu nafas).
Rasional: penurunan bunyi nafas menunjukkan atelectasis, roknkhi menunjukkan akumulasi secret dan ketidakefektifan pengeluaran sekresi yang selanjutnya dapat menimbulkan penggunaan otot bantu nafas dan peningkatan kerja nafas.
b.         Berikan posisi semifowler atau fowler tinggi dan bantu klien latihan nafas dalam dan batuk yang efektif.
Rasional: semifowler memaksimalkan ekspansi paru dan upaya bernafas. Ventilasi maksimal membuka area etelektasi dan meningkatkan gerakan secret kejalan nafas besar untuk dikeluarkan.
c.         Pertahankan intake cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali tidak diindikasikan.
Rasional: hidrasi yang adekuat membantu mengencerkan secret dan mengefektifkan pembersihan jalan nafas.
d.        Bersihkan secret dari mulut dan trakea, bial perlu lakukan penghisapan (suction).
Rasional: mencegah obstruksi dan aspirasi. Penghisapan diperlukan bila klie tidak mampu mengeluarkan secret. Eleminasi lender dengan suction sebaiknya dilakukan dalam jangka waktu kurang dari 10 menit dengan pengawasan efek samping suction.
e.         Berikan Terapi Oksigenisasi
Rasional :pemberian terapi oksigen membantu memenuhi kebutuhan oksigen karena pola nafas yang tidak adekuat
Kolaborasi
f.          Pemberian obat sesuai indikasi (obat antibiotik)
Rasional: pengobatan antibiotic yang ideal berdasarkan pada tes uji resistensi bakteri terhadap jenis antibiotic sehingga lebih mudah mengobati pneumonia.
g.         Agen mukolitik
Rasional: agen mukolitik menurunkan kekentalan dan perlengketan secret paru untuk memudahkan pembersihan.
h.         Bronkodilator, jenis aminophilin via intravena
Rasional: bronkodilator meningkatkan diameter lumen percabangan tracheobronchial sehingga menurunkan tahanan terhadap aliran udara Kortikosteroid
Rasional: kortikosteroid berguna pada keterlibatan luas dengan hipoksemia dan bila reaksi inflamasi mengancam kehidupan.

2.3.3.3           Kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan intake oral tidak adekuat, takipnea, demam
Intervensi :
Mandiri
a.         Monitoring Vital Sign
Rasional : Tanda vital menunjukkan kondisi umum pasien
b.         Monitoring masuknya makanan / cairan dan hitung intake kalori
Rasional : kurangnya intake mengakibatkan kekurangan cairan
c.         Pertahan kan catatan intake dan output yang akurat
Rasional : pencatatan yang akurat dapat menjadi acuan resiko kekurangan cairan
d.        Anjurkan perbanyak minum
Rasional : perbanyak minum membantu memenuhi kebutuhan cairan tubuh
Kolaborasi
e.         Pertahankan dalam pemberian terapi cairan infuse
Rasional : ketidakseimbangan cairan menyebabkan dehidrasi atau syok

2.3.3.4           Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan isolasi respiratory
Intervensi :
Mandiri
a.         Monitor frekuensi nadi dan nafas sebelum dan sesudah aktivitas.
Rasional: mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari sasaran yang diharapkan.
b.         Tunda aktivitas jika frekuensi nadi dan nafas meningkat secara cepat dan klien mengeluh sesak nafas dan kelelahan, meningkatkan intoleransi.
Rasional: Gejala-gejala tersebut merupakan tanda adanya intoleransi aktivitas. Konsumsi oksigen meningkat jika aktivitas meningkat dan daya tahan tubuh klien dapat bertahan lebih lama jika ada waktu istirahat diantara aktivitas.
c.         Bantu klien dalam melaksanakan aktivitas sesuai sesuai dengan kebutuhannya. Beri klien waktu beristirahat tanpa diganggu berbagai aktivitas.
d.        Pertahankan terapi oksigen selama aktivitas dan lakukan tindakan pencegahan terhadap komplikasi akibat imobilisasi jika lien dianjurkan tirah baring lama.
Rasional: aktifitas fisik meningkatkan kebetulan oksigen dan system tubuh akan berusaha menyesuaikan. Keseluruhan system berlangsung dalam tempo yang lebih lambat saat tidak ada aktivitas fisik (tirah baring). Tindakan perawatan yang spesifik dapat meminimalkan komplikasi imobilisasi.
e.         Konsultasikan dengan dokter jika sesak nafas tetap ada atau bertambah berat saat istirahat.
Rasional: hal tersebut dapat merupakan tanda awal dari komplikasi khususnya gagal nafas.

2.3.3.5           Defisiensi pengetahuan yang berhubungan dengan perawatan anak pulang
Intervensi:
Mandiri
a.         Kaji fungsi normal paru, patologi kondisi.
Rasional: menigkatkan pemahaman situasi yang ada dan penting mrnghubungkannya dengan program pengobatan.
b.         Diskusikan aspek ketidak mampuan dari penyakit, lamanya penyembuhan, dan harapan kesembuhan.
Rasional: informasi dapat meningkatkan koping dan membantu menurunkan ansietas dan masalah berlebihan. Factor ini dapat berhubungan dengan depresi dan kebutuhan untuk berbagi bentuk dukungan dan bantuan.
c.         Berikan informasi dalam bentuk tertulis dan verbal.
Rasional: kelemahan dan depresi dapat memperngaruhi kemampuan untuk mengasimilasi informasi atau mengikuti program medik.
d.        Tekankan pentingnya melanjutkan batuk efektif atau latihan pernafasan.
Rasional: selama awal 6-8 minggu setelah pulang , pasien beresiko besar untuk kmabuh dari pneumonia.
e.         Tekankan perlunya melajutkan terapi antibiotic selama priode yang dianjurkan.
Rasional: penghentia dini antibiotic dapat mengakibatkan iritasi mukosa bronkus, dan menghambat makrofag alveolar, mempengaruhi pertahanan alami tubuh melawan infeksi.
f.          Buat langkah untuk meningkatkan kesehatan umum dan kesejahteraan, misal; istirahat dan aktivitas seimbang, diet menghindari kerumunan selama musim pilek dan orang yang mengalami infeksi saluran nafas atas.
Rasional: meningkatkan pertahanan alamiah atau imunitas, membatasi terpajan pada pathogen.
g.         Tekanan pentingnya melajutkan evaluasi medic vaksi/imunisasi dengan tepat.
Rasional: dapat mecegah kambuhnya pneumonia dan komplikasi yang berhubungan.
h.         Identifikasi gejala yang memerlukan pelaporan pemberi perawatan kesehatan, missal; peningkatan dyspnea, nyeri dada, kehilangan berat badan, demam, perubahan mental.
Rasional: upaya evaluasi dan intervensi tepat waktu dapat menecegah komplikasi.


DAFTAR RUJUKAN
Brunner & Suddrarth. (2013). Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 12. Jakarta: EGC
James, S. R & Nelson, K. N (2013). Nursing Care of Chilidren : Principles and Practice 4 TH Edition. China : ELSEVER SAUNDERS.
Manurung, S et al. (2013). Gangguan Sistem Pernafasan Akibat Infeksi. Jakarta:TIM
Muttaqin, A. (2007). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Pernafasan. Banjarmasin: Salemba Medika
Nanda NIC-NOC. (2013). Asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa medis dan Nanda. Edisi Revisi. Jilid 2. Yogyakarta.
Osharinanda, M., Finny, F. & Yuniar, L. (2015. Profil Pasien Pneumonia Komunitas di Bagian Anak RSUP DR. M. Djamil Padang Sumatera Barat. Jurnal Kesehatan Andalas, 4 (1). Hal 2.
Sherwood, L. (2014). Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC
Somantri, I. (2009). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika
Wahid, A & Suprapto, I. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Asuhan Keperawatan Pada Gangguan Sistem Respirasi. Jakarta: CV Trans Info Media.
(http;//www.data.unicef.org diakses Minggu, 10 April 2016 jam 10.30 WITA).
(http;//www.litbang.depkes.go.id) diakses Minggu 10 April 2016 jam 13.30 WITA).
(http;//who.int diakses Minggu, 10 April 2016 jam 10.00 WITA)
(Rekam medic RSU Asari Shaleh Banjarmasin, 2015)              
(Data Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan selatan, 2013-2015)


No comments:

Post a Comment