BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Pada era
globalisasi sekarang terdapat banyak sekali penyakit infeksi yang menyerang
masyarakat baik pada negara sedang berkembang, bahkan pada negara maju
sekalipun. Berbagai sistem di dalam
tubuh manusia bisa saja terserang
penyakit infeksi dan system pernafasan merupakan salah satu sistem yang
rentan terkena penyakit infeksi.
Sistem
pernafasan merupakan sistem yang berfungsi untuk pertukaran gas dengan masuknya
oksigen (inspirasi) dan keluarnya karbondioksida (ekspirasi). Sistem pernafasan
umumnya terdiri dari beberapa organ yang menunjang dalam proses respirasi.
Paru-paru adalah organ pada system pernafasan (respirasi) dan berhubungan
dengan system perdarahan darah (sirkulasi) vertebrata yang bernafas dengan
udara. Fungsinya adalah menukar oksigen dari udara dengan karbondioksida dari
darah.
Pneumonia adalah
inflamasi parenkim paru yang disebabkan oleh berbagai mikroorganisme termasuk
bakteri, mikrobakteria, jamur, dan virus. (Brunner & Suddarth, 2014 : 457).
Pneumonia banyak ditemukan pada anak dengan status gizi kurang dan status
imunisasi yang belum lengkap (Monita et
al, 2015:2).
Pneumonia lebih
rentan terjadi pada anak antara umur 2-12 bulan, lebih banyak pada anak
laki-laki dari pada perempuan dengan angka perbandingan 1,25: 1.
Pneumonia seolah
menjadi penyakit yang terlupakan, padahal sekitar 2 juta balita setiap tahun
meninggal dunia, karena penyakit itu jauh melebihi kematian yang disebabkan
AIDS, Malaria dan Campak. Di kawasan Asia Pasifik diperkirakan sebanyak 860
ribu jiwa balita meninggal setiap tahunnya sekitar 98 anak setiap jam (Wahid
& Suprapto, 2013:2).
Pneumonia
menjadi penyebab kematian sekitar 1,2 juta anak tiap tahun. Dapat dikatakan
setiap jam 230 anak meninggal karena pneumonia. Angka itu bahkan melebihi angka
kematian yang disebabkan oleh AIDS, Malaria, dan Tuberculosis, sedangkan angka
kematian pada lansia mencapai 40% dari total kejadian Pneumonia di dunia dan
dapat meningkat jika disertai dengan sejumlah factor penyerta. Pada lansia pengobatan
lebih sulit dilakukan karena gambaran klinis yang tidak jelas (WHO,2013)
Pneumonia
menjadi penyebab infeksi utama kematian pada anak umur di bawah lima tahun,
menyebabkan kematian hampir 2,600 anak per hari. Pneumonia menyumbang 15% dari
semua kematian balita dan menewaskan sekitar 940,000 anak pada tahun 2013,
sebagian besar berusia kurang dari 2 tahun (Unicef, 2015).
Di Indonesia
Pneumonia menempati peringkat kedua pada kematain balita (15,2%) dari seluruh
penyebab kematian. Faktor sosial ekonomi yang rendah meningkatkan angka
kematian pada kasus Pneumonia. Nusa Tenggara Timur menjadi urutan pertama
dengan prevalensi (5,9%) penderita Pneumonia diikuti Papua (5,7%) kemudian
Sulawesi selatan (4,0%), sedangkan Kalimantan selatan berada pada urutan 19
dengan prevalensi (2,4%) (Riskesdas, 2013).
Angka kejadian
Pneumonia di Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2013 terdapat pada anak umur <1 tahun sebanyak 3.874
kasus dan pada anak umur 1-4 tahun
sebanyak 9.165 kasus sedangkan Pneumonia berat pada anak umur
<1 tahun sebanyak 156 kasus dan pada
anak umur 1-4 tahun
sebanyak 231
kasus. Pada tahun 2014 pneumonia terdapat
pada anak umur <1 tahun sebanyak 6.311 kasus dan pada anak umur 1-4 tahun sebanyak 8.778 kasus
sedangkan Pneumonia berat pada anak umur <1 tahun sebanyak 1.983 kasus dan
pada anak umur 1-4 tahun sebanyak 1.748 kasus. Pada tahun 2015 pneumonia
terdapat pada anak umur <1 tahun pada laki-laki sebanyak 839 kasus dan perempuan sebanyak 488 kasus dan pada anak
umur 1-4 tahun laki-laki sebanyak 633 kasus
pada perempuan sebanyak 647kasus
sedangkan Pneumonia berat pada anak umur <1 tahun pada laki-laki sebanyak 599 kasus dan pada
perempuan sebanyak 497 kasus pada anak
umur 1-4 tahun pada laki-laki sebanyak 592 kasus dan pada perempuan sebanyak
360 kasus (Dinkes Provinsi Kalse, 2016)
Menurut data yang
didapat dari RSU Dr. H. Mochammad Ansari Shaleh Banjarmasin, data yang didapat
Pneumonia menduduki peringkat ke 4 dar 10 penyakit terbanyak yang dirawat
diruang Alexandri dengan jumlah 229 orang anak setelah diare, DHF, dan Thypoid
(Rekam mediK RSUD Asari Shaleh Banjarmasin, 2015).
Pneumonia
bila tidak ditangani dengan tepat sesuai dengan pengobatan maka akan
menimbulkan komplikasi yaitu gejala
berlanjut setelah terapi syok, gagal
nafas, atelektasis, efusi pleura, konfusi., dan kematian. Diharapkan dengan
diberikannya Asuhan Keperawatan pada klien Pneumonia secara komprehensif dapat
membantu perawatan klien, dan meningkatkan kemandirian klien di rumah sakit.
Berdasarkan
keseluruhan uraian diatas, penulis tertarik untuk menulis tentang gambaran
asuhan keperawatan pada anak dengan Pneumonia di RSUD Drs. H. Moch. Ansari
Saleh ruang Alexandri , karena Pneumonia masih memiliki angka kejadian yang
cukup tinggi baik di provinsi Kalimantan Selatan, serta menjadi penyebab
terbanyak kematian pada balita didunia
BAB
2
TINJAUAN
TEORETIS
2.1
Anatomi
Fisiologi Sistem Pernafasan
2.1.1. Anatomi
Sistem Pernafasan
Gambar
2.1 sistem pernafasan
Sumber
: (Sherwood, 2014: 490)
Menurut Manurung et al. (2013:13) menyatakan anatomi sistem pernafasan terdiri atas:
2.1.1.1 Hidung
Hidung terdiri
dari hidung eksterna dan rongga hidung dibelakang hidung eksterna. Hidung
eksterna terdiri dari kartilago sebelah bawah dan tulang hidung disebelah atas
ditutupi bagian luarnya dengan kulit dan pada bagian luarnya dengan kulit dan
pada bagian dalamnya dengan membrane mukosa.
Rongga hidung
memanjang dari nostril pada bagian depan apertura posterior hidung, yang keluar
ke nasofaring bagian belakang. Rongga hidung tersebut ditutupi oleh membrane
mukosa.
Septum nasalis
memisahkan kedua rongga hidung. Septum nasalis merupakan struktur tipis yang
terdiri dari tulang dan kartilago, biasanya membengkok ke satu sisi atau salah
satu sisi yang lain, dan keduanya dilapisi oleh membrane mukosa. Dinding
lateral dari rongga hidung sebagian dibentuk oleh maksila, palatum dan os
sphenoid.
Konkha superior,
inferior dan media (turbinasi hidung) merupakan tiga buah tulang yang
melengkung lembut melekat pada dinding lateral dan menonjol kedalam rongga
hidung. Ketiga tulsng tersebut tertutup olrh membrane mukosa.
Dasar dari
hidung terbentuk oleh bagian dari maksila dan tulang palatine. Atap dari rongga
hidung merupakan celah yang sempit yang terbwntuk oleh tulang hidung frontalis
dan sphenoid.
Membran mukosa olfaktorius, pada bagian atap rongga hidung dan bagian tepi dari
rongga hidung, mengandung sel-sel saraf khusus yang dapat mencium bau-bauan;
dari serat sel-sel saraf tersebut melalui lempeng kribiformus dari os frontal
dan kedalam bulb olfaktorius dari saraf kranial (olfaktorius).
Sinus paeranasal
terdiri dari; sphenoid, ethmoid, frontalis, dan maksilaris. Sinus paranasal
merupakan ruang pada tulang kranial yang berhubungan melalui ostium kedalam
rongga hidung. Sinus tersebut ditutupi oleh membran mukosa yang berlanjut dengan rongga hidung. Lubang hidung, sinus
spenoid, diatas konkha superior.
Sinus ethmoid,
oleh beberapa ostium diantar konkha media dan superior dan diantara konkha
median dan inferior. Pada sebelah belakang rongga hidung keluar ke nasofaring
melalui aperture nasalis posterior.
Hidung berfungsi
sebagai saluran untuk udara mengalir ked an dari paru-paru. Jalan nafas ini
berfungsi sebagai penyaring kotoran-kotoran dan melembabkan serta menghangatkan
udara yang dihirup kedalam paru-paru. Hidung bertanggung jawab terhadap
olfaktorius (penciuman) karena reseptor olfaksi terletak dalam mukosa hidung
dan hidung juga membant dalam persengauan.
2.1.1.2 Faring
Faring atau
tenggorokan adalah struktur seperti tuba yang menghubungkan hidung dan rongga
mulut ke laring. Faring dibagi menjadi tiga region; nasal, oral, dan laring.
Nasofaring
terletak disebelah belakang rongga hidung, dibawah dasar dari tengkorak dan
disebelah depan vertebra servikalis ke 1 dan ke 2, nasofaring bagian depan
keluar ke rongga hidung dan bagian bawah keluar ke orofaring. Auditorius (tuba
eutakhia) keluar kedinding lateral nasofaring pada masing-masing sisinya.
Tonsil orofaring merupakan bantalan jaringan limfe pada dinding nasofaring
posterior superior. Orofaring merupakan sesuatu yang umum pada sistem
pernafasan dan pencernaan karena makanan masuk kedalam nya dari mulut dan udara
masuk juga kedalamnya dari nasofaring dan paru-paru.
Orofaring pada
bagian bawahnya berlanjut dengan laring orofaring, yang merupakan bagian dari
faring yang terletak tepat dibelakang laring dan ujung bawah esophagus.Udara
diinspirasi adalah hangat. Lembab dan di saring karena udara tersebut melalui
rongga hidung.
Fungsi faring
adalah untuk menyediakan saluran pada traktus respiratorius.
2.1.1.3 Laring
Laring merupakan
struktur yang lengkap dari kartilago; kartilago tiroid, epiglottis, kartilago
krikoid dan dua buah kartilao arytenoid.Kartilago tiroid terbesar pada trakhea,
sebagian dari kartilago ini membentuk jakun.Epiglottis, daun katup kartiolago
yang menutupi ostium ke arah laring selama menelan. Kartilago krikoid
satu-satunya cincin kartilago yang komplit dalam laring (terletak dibawah
kartilago tiroid). Kartilago arytenoid (2 buah) kartilago arytenoid; digunakan
dalam gerakan pita suara dengan kartiago tiroid.
Membrane mukosa:
menghubungkan kartilago satu dengan yang lainnya dan dengan os hioideus. Pita
suara; ligament yang dikontrol oleh gerakan otot yang menghasilkan bunyi suara;
pita suara melekat pada lumen laring. Laring terletak pada garis tengah bagian
depan leher, terbenam dalam kulit, kelenjar tiroid dan beberapa otot kecil, serta
pada bagian depan laring ofaringeus dan bagian atas esophagus.
Fungsi utama
laring adalah untuk memungkinkan terjadinya vokalisasi. Laring juga melindungi
jalan nafas bawah daro obstruksi benda asing dan memudahkan batuk.
2.1.1.4 Trakhea
Trakhea
merupakan tuba yang lentur atau fleksibel dengan panjang sekitar 10 cm dan
lebar 2,5 cm. trakhea menjalar dari kartilago krikoid ke bawah depan leher dan
kebelakang manubrium sternum, untuk berakhir pada sudut dekat sternum. Dimana
trakea tersebut berakhir dengan membagi kedalam bronkus kanan dan kiri. Dileher
trakea disilangi pada bagian depannya oleh istmus dari kelenjar tiroid dan
beberapa vena. Trakea terbentuk dari 16-20 helai kartilago yang berbentuk C
dihubungkan satu sama lainnya dengan jaringan fibrosa. Dengan konstruksi yang
demikian membuatnya tetap terbuka bagaimanapun posisi dai kepala leher.
Permukaan posterior trakea agak pipih (karena cincin tulang rawan disitu tidak
sempurna). Tempat dimana trakea bercabang menjadi bronkus utama kiri dan kanan
dikenal sebagai karina. Karina memiliki banyak saraf dan dapat menyebabkan
bronkopasme dan batuk yang kuat jika dirangsang.
2.1.1.5 Bronkhus
Terdapat
beberapa devisi bronkhus didalam setiap lobus paru. Pertama adalah bronkus
lobaris ( tiga pada paru kanan dan dua pada paru kiri). Bronkus lobaris dibagi
menjadi bronkus segamental (10 pada paru kanan dan 8 pada paru kiri), yang
merupakan struktur yang dicari ketika memilih posisi drainase postural yang
paling efektif untuk klien tertentu. Bronkus segmental kemudian dibagi lagi
nmenjadi bronkus subsegmental. Bronkus ini dikelilingi oleh jaringan ikat yang
memilki arteri, limpatik dan saraf.
Bronkus
segmental kemudian akan membentuk percabangan menjadi bronkhiolus, yang tidak
mempunyai kartilago didalam dindingnya. Patensi bronkhiolus seluruhnya
tergantung pada rekoil elastik otot polos sekelilingnya dan pada tekanan
alveolar. Bronkhiolus mengandung kelenjar sub mukosa, yang memproduksi lendir
yang membentuk selimut tidak terputus untuk lapisan bagian dalam jalan nafas.
Brokus dan bronkhiolus juga dilapisi oleh sel-sel yang permukaannya dilapisi
oleh rambut pendek yang disebut silia. Silia ini meciptakan gerakan menyapu
yang konstan yang berfungsi untuk mengeluarkan lender dan benda asing menjauhi
paru menuju laring.
2.1.1.6 Bronkhiolus
Bronkhiolus
membentuk percabangan menjadi bronkhiolus terminalis, yang tidak mempunyai
kelenjar lender dan silia. Bronkhiolus terminalis kemudian menjadi bronkhiolus
respiratori, yang dianggap menjadi saluran transisional antara jalan udara
konduksi dan jalan udara pertukaran gas. Sampai pada titik ini , jalan udara
konduksi mengandung sekitar 150 ml udara dalam percabangan trakeobronkial yang
tidak ikut serta dalam pertukaran gas. Ini dikenal sebagai ruang rugi fisiologik.
Bronkhiolus respiratori keudian mengarah kedalam duktus alveolar dan sakus
alveolar kemudian alveoli. Pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi dalam
alveoli.
2.1.1.7 Alveolus
Paru terbentuk
oleh sekitar 300 juta alveoli, yang tersusun dalam klaster antara 15-20
alveoli. Begitu banyaknya alveoli ini sehingga jika mereka bersatu untuk
membentuk satu lembar, akan menutupi area 70 meter persegi.
Terdapat tiga
jenis sel-sel alveolar. Sel-sel alveolar tipe II, sel-sel yang aktif secara
metabolic, mensekresi surfaktan, suatu fosfolid yang melapisi permukaan dalam
dan mencegah alveolar agar tidak kolaps. Sel alveoli tipe III adalah makrofag
yang merupakan sel-sel fagositis yang besar yang memakan benda asing (lender,
bakteri dan bekerja sebagai mekanisme pertahanan yang penting).
2.1.2. Fisiologi
Sistem Pernafasan
Menurut Manurung et al. (2013: 24) menyatakan fisiologi sistem pernafasan terdiri atas:
2.1.2.1 Ventilasi
Ventilasi adalah
gerakan dalam pernafasan udara masuk dan keluar dari paru-paru. Gerakan dalam
pernafasan adalah ekspansi dan inspirasi. Pada inspirasi otot diafragma
berkontraksi dan kubah dari diafragma menurun, pada waktu yang bersamaan
otot-otot intercostal interna berkontraksi dan mendorong dinding dada sedikit
keara keluar. Dengan gerakan seperti ini ruang didalam dada meluas, tekanan
dalam alveoli menurun dan udara memasuki paru-paru.
Pada ekspirasi
diafragma dan otot-otot interkosta eksterna relaksasi. Diafragma naik,
dinding-dinding dada jatuh kedalam dan ruang didalam dada hilang. Pada
pernafaan normal yang tenang terjadi sekitar 16 kali permenit. Ekspirasi
diikuti dengan terhenti sejenak. Kedalaman dan jumlah dari gerakan pernafasan
sebagian besar dikendalikan secara biokimiawi.
2.1.2.2 Difusi
Difusi adalah
gerakan diantara udara dan karbondioksida didalam alveoli dan darah didalam
kapiler sekitarnya. Gas-gas melewati hampir secara seketika diantara alveoli
dan darah dengan cara difusi. Dalam cara difusi ini gas mengalir dari tempat
yang tinggi tekanan partialnya ke tempat
lain yang lebih rendah tekanan partialnya. Oksigen dalam alveoli mempunyai
tekanan partial yang lebih tinggi dari oksigen yang berada dalam darah dan
karenanya udara dapat mengalir dari alveoli masuk kedalam darah. Karbondioksida
dalam darah mempunyai tekanan parsial yang lebih tinggi dari pada yang berada
dalam alveoli dan karenanya karbondioksida dapat mengalir dari darah masuk
kedalam alveoli.
2.1.2.3 Tranportasi
gas dalam darah
Transport:
pengangkutan oksigen dan karbondioksida oleh darah. Oksigen ditransportasi dalam
darah.: dalam sel-sel darah merah; oksigen bergabung dengan hemoglobin untuk
membentuk oksihemoglobin, yang berwana merah terang. Dala plasma: sebagian
terlarut dalam plasma. Karbondioksida ditransportasi dalam darah; sebagai
natrium bikarbonat dalam dan kalium bikarbonat dalam sel-sel darah merah dalam
larutan bergabung dengan hemoglobin dan protein plasma.
2.1.2.4 Pertukaran
gas dalam jaringan
Metabolisme jaringan
meliputi pertukaran oksigen dan karbondioksida diantara darah dan jaringan.
a. Oksigen
Bila darah yang
teroksigenisasi mencapai jaringa, oksigen mengalir dari darah masuk ke dalam
cairan jaringan karena tekanan parsial oksigen dalam darah lebih besar dari
pada tekanan dalam cairan jaringan. Dari dalam cairan jaringan oksigen mengalir
kedalam sel-sel sesuai kebutuhanmasing-masing.
b. Karbondioksida
Karbondioksida
dihasilkan dalam sel mengalir kedalam cairan jaringan. Tekanan parsial
karbondioksida dalam cairan jaringan lebih besar dari pada tekanannya dalam
darah, dan karenanya karbondioksida mengalir dari cairan jaringan kedalam
darah.
2.2
Tinjauan
Teoretis Pneumonia
2.2.1. Pengertian
Pneumonia adalah
inflamasi parenkim paru yang disebabkan oleh berbagai mikroorganisme termasuk
bakteri, mikrobakteria, jamur, dan virus. (Brunner & Suddarth, 2013: 457)
Pneumonia adalah proses
inflamasi parenkim paru yang terdapat konsolidasi dan terjadi pengisian rongga
alveoli oleh eksudart yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan
benda-benda asing. (Muttaqin, 2007: 116)
Pneumonia adalah salah
satu penyakit infeksi saluran pernafasan bawah akut (ISBA) dengan gejala batuk
dan disertai dengan sesak nafas yang disebabkan agen infeksius seperti virus,
bakteri, mycoplasma (fungi), dan aspirasi substansi asing, berupa radang
paru-paru yang disertai eksudasi dan konsolidasi. (Nanda NIC-NOC, 2013: 482)
Pneumonia
is an inflammation of the lung parenchyma. It can occuras a primary or a
secondary diseas. Pneumonia can be classified by anatomic distribution or by
the agents that cause them. Environment, immune system status, and the child’s
age are factors in the pathogenesis of the disease (James,
2013: 503 ).
2.2.2. Etiologi
Faktor penyebab Pneumonia (Wahid &
Suprapto, 2013)
2.2.3.1 Bakteri:
Streptococcus Pneumonia, Staphylococcus Aureus.
2.2.3.2 Virus:
Infuenza, Parainfluenza, Adenovirus, Virus Sinsisial Pernafasan, Hantara
Virus,Virus Herves Simpleks, Citomegalos Virus, Mycoplasma, Pneumococus,
streptococcus, Staphylococcus.
2.2.3.3 Jamur:
Candididasis, Histoplasmosis, Aspergifosi, Blastomyces Dermatitis,
Cryptococcus, Coccidimmitis.
2.2.3.4 Kimiawi:
aspirasi hidrokarbon Alifatik.
2.2.3. Patofisiologi
Menurut Brunner &
Suddarth (2013: 457) Reaksi inflamasi dapat terjadi dialveoli, yang
menghasilkan eksudat yang mengganggu difusi oksigen dan karbondioksida.
bronkhopasme juga dapat terjadi apabila pasien menderita penyakit jalan nafas
reaktif. Bronkhopneumonia, bentuk pneumonia yang paling umum, menyebar dalam
model bercak yang meluas dari bronchi keparenkim paru sekitarnya. Pneumonia
lobar adalah istilah yang digunakan jika pneumonia mengenai bagian subtansial
pada satu atau lebih lobus. Pneumonia disebabkan oleh berbagai agen mikroba
diberbagai tatanan. Perjalanan penyakit Pneumonia diuraikan dalam skema sebagai
berikut :
Gambar
2.2 Skema Patofisiologi
Sumber:
Muttaqin (2007 ; 124)
2.2.5.
Manifestasi Klinis
Meurut Brunner & Suddarth (2013:
458) Gambaran klinis beragam bergantung pada organisme dan penyebab penyakit
pasien.
2.2.6.1 Menggigil
mendadak dan cepat berlanjut menjadi demam (38,5ºC sampai 40,5ºC).
2.2.6.2 Nyeri
dada pleuritik yang semakin berat ketika bernafas dan batuk. Pasien yang sakit
pernah mengalami takipnea yang berat (25 sampai 45 kali pernafasan/menit) dan
dyspnea, ortopnea ketika disangga.
2.2.6.3 Nadi
cepat dan memantul dapat menigkat 10 kali/menit per 1º peningkatan suhu tubuh
(Celcius).
2.2.6.4 Bradikardi
relatif untuk tingginya demam menujukkan infeksi virus, infeksi mikroplasma
atau infeksi organisme Legionela.
2.2.6.5 Tanda
lain : infeksi saluran nafas atas, sakit kepala, demam derajat rendah, neri
npleuritik, myalgia, ruam, dan faringitis, setelah beberapa hari sputum mukoid
dan mukopurulen dikeluarkan.
2.2.6.6 Pneumonia
berat : pipi merah, bibir dan bantalan kuku menunjukkan sianosis sentral.
2.2.6.7 Sputum
purulent, berwarna seperti karat, bercampur darah, kental, atau hijau
bergantung pada agen penyebab.
2.2.6.8 Nafsu
makan buruk, dan pasien mengalami diforesis serta mudah lelah.
2.2.6.9 Tanda
dan gejala pneumonia dapat juga bergantung pada kondisi utama pasien (misal
tanda berbeda dijumpai pada pasien dengan kondisi seperti kanker, dan pada
mereka yang menjalani terapi imunopresan yang menurunkan resistensi terhadap
infeksi).
2.2.6.
Pemeriksaan Penunjang
Menurut Somantri (2009 : 79) pemeriksaan
penunjang pada klien dengan pneumonia adalah :
2.2.7.1 Foto
rontgen dada (chest x-ray): teridentifikasi penyebaran,
misalnya lobus, bronchial, dapat juga menunjukkan multiple abses atau
infiltrate, empyema (staphylococcus);
penyebaran atau lokasi infiltrasi (bacterial); atau penyebaran ekstensif nodul
infiltrate (sering kali viral);pada pneumoniamycoplasma, gambaran chest x-ray mungkin bersih.
2.2.7.2 ABGs/Pulse
Oximetry, abnormalitas mungkin timbul bergantung pada luasnya kerusakan paru.
2.2.7.3 Kultur
sputum dan darah atau gram stain: didapatkan dengan needle biopsy,
transtracheal aspiration, fiberoptic bronchoscopy atau biopsy paru terbuka
untuk mengeluarkan organisme penyebab. Akan didapatkan lebih dari satu jenis
kuman, seperti Diplococcus Pneumonia, Staphulococcus Aureus, A. Hemolytic
Streptococcus, dan Haemophilus influenza.
2.2.7.4 Hitung
darah lengkap/ complete blood count
(CBC): leukoitisis biasanya timbul meskipun nilai SDP rendah pada infeksi
virus.
2.2.7.5 Tes
serologic: membantu membedakan diagnosis pada organisme secara spesifik.
2.2.7.6 Laju
endap darah (LED): meningkat.
2.2.7.7 Pemeriksaan
fungsi paru: volume mungkin menurun (kongesti dan kolaps alveolar), tekanan
saluran udara meningkat, compliance
menurun, dan akhirnya dapat terjadi hipoksemia.
2.2.7.8 Elektrolit:
sodium dan klorida mungkin rendah.
2.2.7.9 Bilirubin:
mungkin menngkat.
2.2.7.
Penatalaksanaan Medis
Menurut Muttaqin (2007
: 123) penatalaksanaan pada klien dengan pneumonia adalah klien diposisikan
dalam keadaan fowler dengan sudut 45º. Kematian seringkali berhubungan dengan
hipotensi, hipoksia, aritmia kordis, dan penekanan system saraf pusat, maka
penting untuk dilakukan pengaturan keseimbangan cairan elektrolit dan asam basa
dengan baik, pemberian oksigen yang adekuat untuk menurunkan perbedaan oksigen
yang adekuat untuk menurunkan perbedaan oksigen dialveoli-arteri, dan mencegah
hipoksia seluler. Pemberian oksigen sebaiknya dalam konsentrasi yang tidak
beracun (PO240) untuk mempertahankan PO2 arteri sekitar
60-70 mmHg dan juga penting mengawasi perikaan analisa gas darah.
Pemberian cairan
intravena IV line dan pemenuhan
kebutuhan hidrasi tubuh untuk mencegah penurunan dan volume cairan tubuh secara
umum. Bonkodilator seperti Aminofilin dapat diberikan untuk memperbaiki dranase
secret dan distribusi ventilasi. Kadang-kadang mungkin timbul dilatasi lambung
mendadak, terutama jika pneumonia mengenai lobus bawah yang dapat menyebabkan
hipotensi. Jika hipotensi terjadi, segera atasi hipoksemia arteri dengan cara
memperbaiki volume intravaskuler dan melakukan dekompresi lambung. Kalau
hipotensi tidak dapat diatasi, dapat dipasang kateter swan-Ganz dan infus
Dopmin (2-5µ/kg/menit). Bila perlu dapat diberikan analgesik untuk mengatasi
nyeri pleura.
Pemberian antibiotik
terpilih seperti penisilin diberikan secara intramuscular 2 x 600.000 unit
sehari. Penisilin diberikan sekurang-kurangnya seminggu sampai klien tidak
mengalami sesak nafas lagi selama 3 hari dan tidak ada komplikasi lain. Untuk
klien yang alergi terhadap penisilin dapat diberikan Eritromisin. Tetrasiklin
jarang digunakan untuk pneumonia karena banyak yang resisten.
Pemberian Sefalosporin
harus hati-hati untuk klien untk alergi tehadap Penisilin karena dapat
menyebabkan reaksi hipersensitif silangterutama pada tipe anafilaksis. Dalam 12
sampai 36 jam, setelah pemberian Penisilin, suhu, denyut nadi, frekuensi
pernafasan menurun serta nyeri pleura menghilang. Pada ± 20 % klien, demam
berlanjut sampai lebih dari 48 jam setelah obat dikonsumsi.
2.2.8.
Komplikasi
Menurut Brunner & Suddarth (2013:
460), komplikasi yang terjadi pada pasien dengan pneumonia antara lain:
2.2.9.1 Gejala
berlanjut setelah terapi
2.2.9.2 Syok
2.2.9.3 Gagal
nafas
2.2.9.4 Atelektasis
2.2.9.5 Efusi
pleura
2.2.9.6 Konfusi
2.3
Tinjauan
Teoretis Asuhan Keperawatan Pneumonia
2.3.1
Pengkajian
Menurut Muttaqin (2007:
118) pengkajian pada pasien dengan pneumonia adalah sebagai berikut:
2.3.1.1 Anamnesa
Keluhan utama
yang sering mucul menjadi alas an klien dengan Pneumonia untuk meminta
pertolongan kesehatan adalah sesak napas, batuk, dan peningkatan suhu
tubuh/demam.
2.3.1.2 Riwayat penyakit saat ini
Pada klien
dengan Pneumonia, keluhan batuk biasanya btimbul mendadak dan tidak berkurang
setelah minum obat batuk yang biasa ada dipasaran. Pada awalnya keluhan batuk
tidak produktif, tapi selanjutnya akan berkembang menjadi batuk produktif
dengan mocus purulent kekuning-kuningan, kehijau-hijauan, kecoklatan atau
kemerahan dan sering kali berbau busuk. Klien biasanya mengeluh mengalami demam
tinggi dan menggigil (onset mungkin
tiba-tiba berbahaya). Adanya nyeri dada pleuritis, sesak napas, peningkatan
frekuensi pernafasan, lemas dan nyeri kepala.
2.3.1.3 Riwayat
penyakit dahulu
Pengkajian
diarahkan pada waktu sebelumnya, apakah klien pernah mengalami infeksi saluran
nafas atas (ISPA) dengan gejala seperti itu luka tenggorokkan, kongesti nasa,
bersin dan demam ringan.
2.3.1.4 Pengkajian psikososiospiritual
Pengkajian
psikologis klien meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan perawat untuk
memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku
klien. Pada kondisi klinis, klien dengan Pneumonia sering mengalami kecemasan
bertingkat sesuai dengan keluhan yang dialaminya. Hal yang perlu ditanyakan
adalah kondisi pemukiman dimana klien bertempat tinggal, klien dengan Pneumonia
sering dijumpai bertempat tinggal dilingkungan dengan sanitasi buruk.
2.3.1.5 Pemeriksaan fisik
a.
Keadaan umum
Keadaan umum pada klien
dengan pneumonia dapat dilakukan selintas pandang dengan menilai keadaan fisik
tiap bagian tubuh. Selain itu, perlu dinilai secara umum tentang kesadarn yang
terdiri atas compos mentis, apatis, samnoles, stupor, sporokoma, atau koma.
Hasil pemeriksaan vital sign klien dengan pneumonia biasanya
didapatkan peningkatan suhu tubuh klien lebih dari 40ºC, frekuensi nafas
meningkat dari frekuensi normal, denyut nadi biasanya meningkat seirama
peninkata suhu tubuh dan frekuensi pernafasan, dan apabila tidak melibatkan
infeksi sistemis yang berpengaruh ada hemodinamika kardiovaskular tekanan darah
biasanya tidak ada masalah.
b.
B1 (breathing)
1) Inspeksi
Bentuk dada dan
pergerakan pernafasan. Gerakan pernafasan simetris. Pada klien denganpneumonia
sering ditemukan peningkatan frejuensi nafas cepat dan dangkal, serta adanya
retraksi dinding sternum dan intercostal
space (ICS). Nafas cuping hidung pada
sesak berat dialami oleh anak-anak. Batuk dan sputum. Saat dilakukan pengkajian
batuk pada klien dengan pneumonia, biasanya diapatkan batuk produktif disertai
dengan adanya peningkatan produksi secret dan sekresi sputum yang purulen.
2) Palpasi
Gerakan dinding dada
thoraks anterior/eksrusi pernafasan. Pada palpasi klen dengan pneumonia,
gerakan dinding dadasaat bernafas biasanya normal dan seimbang antara kanan dan
kiri. Getaran suara (fremitus vocal). Biasanya normal.
3) Perkusi
Klien dengan pneumonia
tanpa disertai komplikasi, biasanya didapatkan bunyi resonan atau sonor pada
seluruh lapang paru. Bunyi redup perkusi pada klien dengan pneumonia didapatkan
apabila broncho- pneumonia menjadi suatu sarang (kunfluens).
4) Auskultasi
Pada klien dengan
pneumonia, didapatkan bunyi nafas melemah dan bunyi nafas tambahan ronkhi basah
pada sisi yang sakit. Pentingnya bagi perawat untuk mendokumentasikan hasil
auskultasi didaerah mana didapatkan adanya ronkhi.
c.
B2 (Blood)
1) Inspeksi
Didapatkan adanya
kelemahan fisik secara umum.
2) Palpasi
Denyut nadi perifer
melemah
3) Perkusi
Batas jantung tidak
mengalami pengerasan
4) Auskultasi
Tekanan darah biasanya
normal. Bunyi jantung tambahan biasanya tidak didapatkan.
d.
B3 (brain)
Klien dengan pneumonia
yang sangat beat seringterjadi penurunan kesadaran, didapatkan sianosis perifer
apabila gangguan perfusi jaringan berat. Pada pengkajian objektif, wajah klien tampak
meringis, menangis, merintih, meragang, dan menggeliat.
e.
B4 (bladder)
Pengukuran volume
output urine berhubungan dengan intake cairan. Oleh karena itu, perawat perlu
memonitor keadaan adanya oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal
syok.
f.
B5 (bowel)
Klien biasanya
mengalami mual, muntah, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan.
g.
B6 (bone)
Kelemahan dan kelelahan
fisi secara umum sering menyebabkan ketergantungan klien terhadap bantuan orang
lain dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
2.3.2
Diagnosis keperawatan
Nanda NIC-NOC (2013) diagnosis
keperawatan yang muncul antara lain :
2.3.2.1 Ketidakefektifan
bersihan jalan napas yang berhubungan dengan inflamasi dan obstruksi jalan
nafas
2.3.2.2 Ketidak
efektifan pola nafas.
2.3.2.3 Kekurangan
volume cairan yang berhubungan dengan intake oral tidak adekuat, takipnea,
demam.
2.3.2.4 Intoleransi
aktivitas yang berhubungan dengan isolasi respiratory.
2.3.2.5 Defisiensi
pegetahuan yang berhubungan dengan perawatan anak pulang.
2.3.3
Intervensi Keperawatan
Nanda NIC-NOC (2013), intervensi
keperawatan antara lain:
2.3.3.1
Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan inflamasi dan obstuksi jalan
nafas.
Intervensi :
Mandiri
a.
Kaji fungsi pernafasan (bunyi nafas, kecepatan, irama, kedalaman, dan
penggunaan otot bantu nafas).
Rasional: penurunan
bunyi nafas menunjukkan atelectasis, roknkhi menunjukkan akumulasi secret dan
ketidakefektifan pengeluaran sekresi yang selanjutnya dapat menimbulkan
penggunaan otot bantu nafas dan peningkatan kerja nafas.
b.
Kaji kemampuan klien
mengeluarkan sekresi. Lalu catat karakter dan volume sputumRasional:
pengeluaran sulit bila secret sangat kental . ( efek infeksi dan hidrasi yang
tidak adekuat).
c.
Berikan posisi semifowler
atau fowler tinggi dan bantu klien latihan nafas dalam dan batuk yang efektif.
Rasional: semifowler
memaksimalkan ekspansi paru dan upaya bernafas. Ventilasi maksimal membuka area
etelektasi dan meningkatkan gerakan secret kejalan nafas besar untuk dikeluarkan.
d.
Pertahankan intake
cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali tidak diindikasikan.
Rasional: hidrasi yang
adekuat membantu mengencerkan secret dan mengefektifkan pembersihan jalan
nafas.
e.
Bersihkan secret dari mulut
dan trakea, bial perlu lakukan penghisapan (suction).
Rasional: mencegah
obstruksi dan aspirasi. Penghisapan diperlukan bila klie tidak mampu
mengeluarkan secret. Eleminasi lender dengan suction sebaiknya dilakukan dalam
jangka waktu kurang dari 10 menit dengan pengawasan efek samping suction.
Kolaborasi
f.
Pemberian obat sesuai
indikasi (obat antibiotik)
Rasional: pengobatan
antibiotic yang ideal berdasarkan pada tes uji resistensi bakteri terhadap
jenis antibiotic sehingga lebih mudah mengobati pneumonia.
g.
Agen mukolitik
Rasional: agen mukolitik
menurunkan kekentalan dan perlengketan secret paru untuk memudahkan
pembersihan.
h.
Bronkodilator, jenis
aminophilin via intravena
Rasional: bronkodilator
meningkatkan diameter lumen percabangan tracheobronchial sehingga menurunkan
tahanan terhadap aliran udara.
i.
Kortikosteroid
Rasional:
kortikosteroid berguna pada keterlibatan luas dengan hipoksemia dan bila reaksi
inflamasi mengancam kehidupan.
2.3.3.2
Ketidak efektifan pola
nafas
Intervensi :
Mandiri
a.
Kaji fungsi pernafasan (bunyi nafas, kecepatan, irama, kedalaman, dan
penggunaan otot bantu nafas).
Rasional: penurunan
bunyi nafas menunjukkan atelectasis, roknkhi menunjukkan akumulasi secret dan
ketidakefektifan pengeluaran sekresi yang selanjutnya dapat menimbulkan
penggunaan otot bantu nafas dan peningkatan kerja nafas.
b.
Berikan posisi
semifowler atau fowler tinggi dan bantu klien latihan nafas dalam dan batuk
yang efektif.
Rasional: semifowler
memaksimalkan ekspansi paru dan upaya bernafas. Ventilasi maksimal membuka area
etelektasi dan meningkatkan gerakan secret kejalan nafas besar untuk
dikeluarkan.
c.
Pertahankan intake
cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali tidak diindikasikan.
Rasional: hidrasi yang
adekuat membantu mengencerkan secret dan mengefektifkan pembersihan jalan
nafas.
d.
Bersihkan secret dari mulut
dan trakea, bial perlu lakukan penghisapan (suction).
Rasional: mencegah
obstruksi dan aspirasi. Penghisapan diperlukan bila klie tidak mampu
mengeluarkan secret. Eleminasi lender dengan suction sebaiknya dilakukan dalam
jangka waktu kurang dari 10 menit dengan pengawasan efek samping suction.
e.
Berikan Terapi
Oksigenisasi
Rasional :pemberian
terapi oksigen membantu memenuhi kebutuhan oksigen karena pola nafas yang tidak
adekuat
Kolaborasi
f.
Pemberian obat sesuai
indikasi (obat antibiotik)
Rasional: pengobatan
antibiotic yang ideal berdasarkan pada tes uji resistensi bakteri terhadap
jenis antibiotic sehingga lebih mudah mengobati pneumonia.
g.
Agen mukolitik
Rasional: agen
mukolitik menurunkan kekentalan dan perlengketan secret paru untuk memudahkan
pembersihan.
h.
Bronkodilator, jenis
aminophilin via intravena
Rasional: bronkodilator
meningkatkan diameter lumen percabangan tracheobronchial sehingga menurunkan
tahanan terhadap aliran udara Kortikosteroid
Rasional:
kortikosteroid berguna pada keterlibatan luas dengan hipoksemia dan bila reaksi
inflamasi mengancam kehidupan.
2.3.3.3
Kekurangan volume
cairan yang berhubungan dengan intake oral tidak adekuat, takipnea, demam
Intervensi :
Mandiri
a.
Monitoring Vital Sign
Rasional : Tanda vital
menunjukkan kondisi umum pasien
b.
Monitoring masuknya
makanan / cairan dan hitung intake kalori
Rasional : kurangnya
intake mengakibatkan kekurangan cairan
c.
Pertahan kan catatan
intake dan output yang akurat
Rasional : pencatatan
yang akurat dapat menjadi acuan resiko kekurangan cairan
d.
Anjurkan perbanyak
minum
Rasional : perbanyak
minum membantu memenuhi kebutuhan cairan tubuh
Kolaborasi
e.
Pertahankan dalam
pemberian terapi cairan infuse
Rasional :
ketidakseimbangan cairan menyebabkan dehidrasi atau syok
2.3.3.4
Intoleransi aktivitas
yang berhubungan dengan isolasi respiratory
Intervensi :
Mandiri
a.
Monitor frekuensi nadi
dan nafas sebelum dan sesudah aktivitas.
Rasional:
mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari sasaran yang diharapkan.
b.
Tunda aktivitas jika
frekuensi nadi dan nafas meningkat secara cepat dan klien mengeluh sesak nafas
dan kelelahan, meningkatkan intoleransi.
Rasional: Gejala-gejala
tersebut merupakan tanda adanya intoleransi aktivitas. Konsumsi oksigen
meningkat jika aktivitas meningkat dan daya tahan tubuh klien dapat bertahan
lebih lama jika ada waktu istirahat diantara aktivitas.
c.
Bantu klien dalam
melaksanakan aktivitas sesuai sesuai dengan kebutuhannya. Beri klien waktu
beristirahat tanpa diganggu berbagai aktivitas.
d.
Pertahankan terapi
oksigen selama aktivitas dan lakukan tindakan pencegahan terhadap komplikasi
akibat imobilisasi jika lien dianjurkan tirah baring lama.
Rasional: aktifitas
fisik meningkatkan kebetulan oksigen dan system tubuh akan berusaha
menyesuaikan. Keseluruhan system berlangsung dalam tempo yang lebih lambat saat
tidak ada aktivitas fisik (tirah baring). Tindakan perawatan yang spesifik
dapat meminimalkan komplikasi imobilisasi.
e.
Konsultasikan dengan
dokter jika sesak nafas tetap ada atau bertambah berat saat istirahat.
Rasional: hal tersebut
dapat merupakan tanda awal dari komplikasi khususnya gagal nafas.
2.3.3.5
Defisiensi pengetahuan
yang berhubungan dengan perawatan anak pulang
Intervensi:
Mandiri
a.
Kaji fungsi normal
paru, patologi kondisi.
Rasional: menigkatkan
pemahaman situasi yang ada dan penting mrnghubungkannya dengan program
pengobatan.
b.
Diskusikan aspek
ketidak mampuan dari penyakit, lamanya penyembuhan, dan harapan kesembuhan.
Rasional: informasi
dapat meningkatkan koping dan membantu menurunkan ansietas dan masalah
berlebihan. Factor ini dapat berhubungan dengan depresi dan kebutuhan untuk
berbagi bentuk dukungan dan bantuan.
c.
Berikan informasi dalam
bentuk tertulis dan verbal.
Rasional: kelemahan dan
depresi dapat memperngaruhi kemampuan untuk mengasimilasi informasi atau
mengikuti program medik.
d.
Tekankan pentingnya
melanjutkan batuk efektif atau latihan pernafasan.
Rasional: selama awal
6-8 minggu setelah pulang , pasien beresiko besar untuk kmabuh dari pneumonia.
e.
Tekankan perlunya
melajutkan terapi antibiotic selama priode yang dianjurkan.
Rasional: penghentia
dini antibiotic dapat mengakibatkan iritasi mukosa bronkus, dan menghambat
makrofag alveolar, mempengaruhi pertahanan alami tubuh melawan infeksi.
f.
Buat langkah untuk
meningkatkan kesehatan umum dan kesejahteraan, misal; istirahat dan aktivitas
seimbang, diet menghindari kerumunan selama musim pilek dan orang yang
mengalami infeksi saluran nafas atas.
Rasional: meningkatkan
pertahanan alamiah atau imunitas, membatasi terpajan pada pathogen.
g.
Tekanan pentingnya
melajutkan evaluasi medic vaksi/imunisasi dengan tepat.
Rasional: dapat mecegah
kambuhnya pneumonia dan komplikasi yang berhubungan.
h.
Identifikasi gejala
yang memerlukan pelaporan pemberi perawatan kesehatan, missal; peningkatan
dyspnea, nyeri dada, kehilangan berat badan, demam, perubahan mental.
Rasional: upaya
evaluasi dan intervensi tepat waktu dapat menecegah komplikasi.
DAFTAR RUJUKAN
Brunner & Suddrarth. (2013). Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 12.
Jakarta: EGC
James, S. R & Nelson, K. N (2013). Nursing Care of Chilidren : Principles and
Practice 4 TH Edition. China : ELSEVER SAUNDERS.
Manurung, S et
al. (2013). Gangguan Sistem
Pernafasan Akibat Infeksi. Jakarta:TIM
Muttaqin,
A. (2007). Asuhan Keperawatan Klien
Gangguan Sistem Pernafasan. Banjarmasin: Salemba Medika
Nanda
NIC-NOC. (2013). Asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa medis dan Nanda. Edisi
Revisi. Jilid 2. Yogyakarta.
Osharinanda, M., Finny, F.
& Yuniar, L. (2015. Profil Pasien Pneumonia Komunitas di Bagian Anak RSUP
DR. M. Djamil Padang Sumatera Barat. Jurnal
Kesehatan Andalas, 4 (1). Hal 2.
Sherwood,
L. (2014). Fisiologi Manusia Dari Sel ke
Sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC
Somantri, I. (2009). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Edisi
2. Jakarta: Salemba Medika
Wahid, A & Suprapto, I. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Asuhan Keperawatan
Pada Gangguan Sistem Respirasi. Jakarta: CV Trans Info Media.
(http;//www.data.unicef.org
diakses Minggu, 10 April 2016 jam 10.30 WITA).
(http;//www.litbang.depkes.go.id)
diakses Minggu 10 April 2016 jam 13.30 WITA).
(http;//who.int
diakses Minggu, 10 April 2016 jam 10.00 WITA)
(Rekam
medic RSU Asari Shaleh Banjarmasin, 2015)
(Data
Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan selatan, 2013-2015)
No comments:
Post a Comment