Tuesday, March 7, 2017

Laporan Pendahuluan Diabetes Mellitus / Kencing Manis



BAB 1
PENDAHULUAN


1.1.  Latar Belakang
Penyakit Diabetes merupakan salah satu penyakit degeneratif yang terkait langsung dengan gaya hidup atau life style. Sekalipun ada faktor lain diluar gaya hidup, namun dari berbagai hasil penelitian mengungkapkan bahwa peningkatan kualitas gaya hidup dapat menurunkan risiko terjadinya Diabetes (Rumahorbo, 2012).

Diabetes Mellitus atau disebut Diabetes saja merupakan penyakit gangguan metabolik menahun akibat pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif. Insulin adalah hormon yang mengatur keseimbangan kadar gula darah (Kementrian Kesehatan RI [KemenKes RI], 2014).

Diabetes Mellitus merupakan salah satu masalah kesehatan yang besar. Data dari studi global menunjukan bahwa jumlah penderita Diabetes Mellitus pada tahun 2011 telah mencapai 366 juta orang. Jika tidak ada tindakan yang dilakukan, jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 552 juta pada tahun 2030 (Trisnawati & Setyorogo, 2013). Laporan data Epidemiologi McCarty dan Zimmet menunjukan, bahwa jumlah penderita Diabetes Mellitus di dunia dari 110,4 juta pada tahun 1994 melonjak 1,5 kali lipat (175,4 juta) pada tahun 2000, dan akan melonjak dua kali lipat (239, 3 juta) pada tahun  2010 (Tjokroprawiro, 2011).

Sekitar 16 juta orang di Amerika terdiagnosis Diabetes Mellitus. Prevalensinya adalah 6% sampai 7% pada orang usia 45 sampai 65 tahun dan 10% sampai 12% pada orang yang berusia lebih dari 65 tahun. Sekitar 90% diantaranya menderita Diabetes Mellitus tipe 2. Sekitar 9,7 juta wanita di


Amerika menderita Diabetes Mellitus. Diabetes Mellitus tipe II berkembang pada usia umur bahkan pada masa anak maupun remaja (Betteng et al., 2014).
Data lain menunjukan, lebih dari 80 juta Diabetes Mellitus Tipe II (orang dengan diabetes) berada di wilayah Pasifik Barat dan Asia Tenggara (Sari, 2008). Berdasarkan data dari WHO menyebutkan bahwa pada tahun 2011 jumlah penderita Diabetes Mellitus diseluruh dunia sebanyak 346 juta orang dan diperkirakan akan meningkat menjadi 366 juta pada tahun 2030 (Hairi et al., 2013).

Indonesia masuk ke dalam peringkat 6 angka kejadian Diabetes Mellitus terbanyak di dunia. International Diabetes Federation (IDF) tercantum perkiraan penduduk Indonesia di atas 20 tahun sebesar 125 juta dan dengan asumsi prevalensi DM 4,6 %, diperkirakan pada tahun 2000 berjumlah 5,6 juta (Betteng et al., 2014).

Hasil riset kesehatan dasar pada tahun 2008, menunjukkan prevalensi DM di Indonesia membesar sampai 57%. Tingginya prevalensi Diabetes Mellitus tipe II disebabkan oleh faktor resiko yang tidak dapat berubah misalnya jenis kelamin, umur, dan faktor genetik yang kedua adalah faktor resiko yang dapat diubah misalnya kebiasaan merokok, konsumsi alkohol (Fatimah, 2015).

Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan, dari data prevalensi penyakit tidak menular pada tahun 2015, terdapat 4.629 kasus penyakit Diabetes Mellitus. Dari data tersebut ditemukan bahwa penyakit Diabetes Mellitus menempati urutan kedua dari sepuluh penyakit terbanyak di kota Banjarmasin pada tahun 2015.

Berdasarkan data dari Instalasi Rawat Inap RSUD Ulin Banjarmasin pada tahun 2016 di ruang Tulip III B (Penyakit Dalam Wanita) Diabetes Mellitus menempati urutan pertama 10 penyakit terbanyak. Pada periode Januari-Maret 2016 didapatkan data bahwa sebanyak 50 orang menderita penyakit Diabetes Mellitus.
Salah satunya Ny. P berdasarkan uraian dari  masalah Diabetes Mellitus, yaitu meningkatnya prevalensi penderita Diabetes Mellitus yang diakibatkan oleh beberapa faktor yaitu, faktor resiko yang tidak dapat berubah misalnya jenis kelamin, umur, dan faktor genetik yang kedua adalah faktor resiko yang dapat diubah misalnya kebiasaan merokok, konsumsi alkohol. Maka penulis tertarik untuk melakukan asuhan keperawatan dengan judul Asuhan Keperawatan Diabetes Mellitus pada pasien Ny. P di ruang Tulip III B (Penyakit Dalam Wanita) RSUD Ulin Banjarmasin sebagai Karya Tulis Ilmiah, dengan alasan agar penulis bisa memberikan asuhan keperawatan secara mendalam dan kelak bila  telah menjadi tenaga kesehatan, mempunyai pengetahuan dan kemampuan penanganan pada pasien dengan masalah Diabetes Mellitus, dan sebagai tenaga kesehatan penulis dapat menentukan langkah yang tepat dan menangani pasien dengan kasus tersebut.
 
1.2.  Tujuan Penulisan
1.2.1   Tujuan Umum
              Tujuan umum dari penulisan karya tulis ilmiah ini adalah untuk mengetahui gambaran dari asuhan keperawatan terhadap pasien dengan diagnosa medis Diabetes Mellitus dalam praktek nyata di lapangan dengan pendekatan proses keperawatan yang meliputi pengkajian sampai pendokumentasian.



BAB 2
TINJAUAN TEORITIS


2.1  Tinjauan Teoritis Medis
2.1.1        Anatomi Pankreas

 


Gambar 2.1 Pankreas (Putz  & Pabst,  2006).

Pankreas adalah organ pipih yang berada dibelakang lambung dalam abdomen, panjangnya kira-kira 20 - 25 cm, tebal + 2.5 cm dan beratnya sekitar 80 gram, terbentang dari atas sampai ke lengkungan besar dari abdomen dan dihubungkan oleh dua saluran ke duodenum. Struktur organ ini lunak dan berlobulus, tersusun atas kepala pankreas merupakan bagian yang paling lebar terletak di sebelah kanan rongga abdomen dan di dalam lekukan duodenum yang praktis


melingkarinya, badan pankreas merupakan bagian utama pada organ ini letaknya di belakang lambung dan di depan vertebra lumbalis pertama, ekor pankreas bagian yang runcing di sebelah kiri dan berdekatan/menyentuh limpa (Tarwoto et al., 2012).

Kelenjar endokrin atau kelenjar buntu adalah kelenjar yang mengirimkan hasil sekresinya langsung dalam darah yang beredar dalam jaringan. Kelenjar tanpa melewati duktus atau saluran dan hasil sekresinya disebut hormon. Beberapa dari organ endokrin ada yang menghasilkan satu macam hormon (hormon tunggal). Di samping itu juga ada yang menghasilkan lebih dari satu macam hormon  atau hormon ganda, misalnya kelenjar hipofise sebagai pengatur kelenjar yang lain. Berasal dari sel-sel kapitel yang melakukan proliferasi ke arah pengikat sel epitel yang telah berproliferasi dan membentuk sebuah kelenjar endokrin, tumbuh dan  berkembang dalam pembuluh kapiler. Zat yang dihasilkannya disebut hormon, dialirkan langsung ke dalam darah. Dalam keadaan fisiologis hormon mempunyai pengaturan sendiri sehingga kadarnya selalu dalam keadaan optimum untuk menjaga keseimbangan dalam organ yang berada dibawah pengaruhnya, mekanisme pengaturan ini disebut sistem umpan balik negatif (Syaifuddin,  2006).

2.1.1.1            Hasil sekresi pankreas
a.         Hormon insulin
Hormon insulin ini langsung dialirkan ke dalam darah tanpa melewati duktus. Sel-sel kelenjar yang menghasilkan insulin ini termasuk sel-sel kelenjar endokrin. Kumpulan dari sel-sel ini berbentuk seperti pulau-pulau yang disebut pulau langerhans.
 
b.        Getah pankreas
Sel-sel yang memproduksi getah pankreas ini termasuk kelenjar eksokrin. Getah pankreas ini dikirim ke dalam duodenum melalui duktus. Duktus ini bermuara pada papilla vateri yang terletak pada dinding duodenum (Rumahhorbo, 2012).

2.1.1.2            Pankreas memiliki 2 fungsi penting yaitu :
a.         Fungsi eksokrin
Fungsi eksokrin pankreas berupa sekresi beberapa jenis enzim yang berguna dalam proses pencernaan, 3 jenis nutrient utama yaitu karbohidrat, lemak, dan protein. Enzim masuk ke dalam duodenum melalui saluran pankreas (Rumahhorbo, 2012).

Kelenjar pankreas hampir 99 persen tersusun dari sel asini yang merupakan penghasilkan getah pankreas atau cairan pankreas. Setiap hari pankreas menghasilkan 1.200 - 1.500 ml cairan. Cairan pankreas jernih dan tidak berwarna, mengandung air, beberapa garam, sodium bikarkonat dan enzim (Tarwoto et al., 2012).  
b.        Fungsi endokrin
Fungsi endokrin pankreas berupa sekresi beberapa hormon yang berfungsi untuk mengatur metabolisme nutrisi selular baik karbohidrat, protein maupun lemak. Hormon yang disekresi oleh pankreas dicurahkan langsung ke dalam pembuluh darah menuju organ target (Rumahhorbo, 2012).

Kelenjar endokrin dalam pankreas adalah pulau Langerhans yang menghasilkan hormon. Hormon merupakan zat organik yang mempunyai sifat khusus untuk pengaturan fisiologis terhadap kelangsungan hidup suatu organ atau sistem (Tarwoto et al., 2012).
2.1.1.3           Pankreas terdiri atas 2 jenis jaringan utama yaitu:
a.         Sel asini, yang mensekresi enzim pencernaan ke dalam duodenum.
a.       Pulau langerhans terdiri dari 3 jenis sel yaitu alpha yang menghasilkan glukagon, sel beta menghasilkan insulin dan sel delta menghasilkan somatostain. Pulau langerhans ditunjukan pada gambar berikut ini:



Gambar 2.2 Pankreas (Agur & Arthur,  2009)

1)   Sel alpha yang menghasilkan Glukagon
Sekresi glukagon dirangsang oleh penurunan kadar glukosa darah dan peningkatan kadar asam amino darah. Dalam sistem kerjanya glukagon merupakan mekanisme humoral yang menyediakan energi untuk jaringan, bilamana tidak ada makanan yang tersedia untuk diabsorpsi. Glukagon merangsang pemecahan glikogen cadangan, mempertahankan produksi glukosa hati dari pemecahan asam amino (glukoneolisis). Glukagon bersifat glukogenilitik, glukoneogenetik, lipolitik dan katogenik.
2)   Sel Beta yang menghasilkan Insulin
Insulin adalah suatu protein yang terdiri dari 51 asam amino yang terkandung dalam dua rantai peptide. Fungsi utama insuli adalah memudahkan penyimpanan zat-zat gizi di hati, otot dan lemak melalui proses glikogenesis.
a)        Hati
Hati adalah organ pertama yang dicapai insulin melalui aliran darah. Insulin bekerja pada hati melalui dua jalur utama antara lain:
(1)      insulin membantu anabolisme
pada fungsi ini insulin membantu sintesis dan penyimpangan glikogen dan pada saat bersamaan mencegah pemecahannya, insulin meningkatkan sintesis protein, trigliserida dan VLDL di hati, insulin juga menghambat glukoneogenesis, dan membantu glikolisis.
(2)      insulin membantu katabolisme
insulin bekerja untuk menekan peristiwa katabolic pada fase post absorptive dengan menghambat glikogenolisis, ketogenesis dan glukoneogenesis di hati.
b)        Otot
Insulin membantu sintesis protein di otot dengan meningkatkan transport asam amino dan merangsang sintesis protein ribosomal. Di samping itu insulin juga membantu sintesis glikogen untuk menggantikan cadangan glikogen yang telah dihabiskan oleh aktivitas otot, meningkatkan transport glukosa ke dalam sel otot,   menurunkan katabolisme protein, menurunkan pelepasan asam amino glukoneogenik, meningkatkan ambilan keton, dan meningkatkan ambilan kalium.
c)        Lemak
Insulin bekerja membantu penyimpanan trigliserida dalam adiposit melalui sejumlah mekanisme yaitu meningkatkan masuknya glukosa, meningkatkan sintesis gliserol fosfat, mengaktifkan lipoprotein lipase, menghambat lipase peka hormon dan meningkatkan ambilan kalium.
3)   Sel Delta yang menghasilkan Somatostain
Hormon ini berfungsi memperlambat pengosongan lambung, menurunkan produksi asam lambung dan gastrin, mengurangi sekresi pancreas eksokrin, menurunkan aliran darah alat-alat dalam (Rumahhorbo, 2012).

2.1.2             Definisi Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus merupakan kondisi kronis yang ditandai dengan peningkatan konsentrasi glukosa darah disertai munculnya gejala utama yang khas, yakni urin yang berasa manis dalam jumlah besar  (Bilous & Donelly, 2014).

Diabetes Mellitus adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemi yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh penurunan sekresi insulin atau penurunan sensitivitas insulin atau keduanya dan menyebabkan komplikasi kronis mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropati (Nurarif & Kusuma, 2013).

Diabetes Mellitus is a chronic, progressive disease characterized by the body’s inability to metabolize carbohydrates, fats, and proteins,leading to hyperglycemia(high blood glucose level). Diabetes mellitus is sometimes referred to as “high sugars” by both clients and health care providers (Black  & Hawks, 2009).
            Diterjemahkan: Diabetes Mellitus adalah penyakit progresif kronis, yang ditandai dengan ketidakmampuan tubuh untuk melakukan metabolisme kaebohidrat, lemak dan protein, yang menyebabkan hiperglikemia (kadar gula yang tinggi dalam darah). Diabetes kadang disebut sebagai “gula yang tinggi” dari keduanya klien dan layanan kesehatan.

           Kesimpulannya, Diabetes Mellitus adalah suatu penyakit gangguan metabolisme yang ditandai dengan ketidakmampuan tubuh melakukan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein sehingga menyebabkan terjadinya hiperglikemia, yaitu peningkatan kadar glukosa darah yang disebabkan oleh penurunan sekresi insulin atau penurunan sensitivitas insulin atau keduanya.
 


2.1.3        Etiologi
2.1.3.1      Dm tipe I Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)
Diabetes yang tergantung insulin ditandai dengan penghancuran sel-sel beta pankreas yang disebabkan oleh:
a.       Faktor genetik penderita tidak mewarisi Diabetes tipe itu sendiri, tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecendrungan genetik kearah terjadinya Diabetes Mellitus tipe I.
b.      Faktor imunologi (autoimun)
c.       Faktor lingkungan: virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang menimbulkan estruksi sel beta.
2.1.3.2      Dm tipe II Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
Disebabkan oleh kegagalan relatif sel beta dan resistensi insulin. Faktor yang berhubungan dengan proses terjadinya diabetes mellitus tipe II: usia, obesitas, riwayat dan keluarga.
(Nurarif & Kusuma, 2013).
2.1.3.3      Type 1 Diabetes Mellitus
Previously called IDDM or juvenile-onset diabetes mellitus, is characterized by destruction of pancreatic beta cells, leading to absolute insulin deficiency.     Type 1 diabetes mellitus is inherited as a heterogeneous, multigenic trait. An association also exists between type 1 diabetes mellitus and several human leukocyte antigens (HLAs). Environmental factors such as viruses appear to trigger an autoimmune process that destroys beta cells. Islet cell antibodies (ICAs) then appear, Increasing in amount over months to years as beta cells are destroyed. Fasting hyperglycemia (elevated blood glucose level) occurs when 80 % to 90% of beta-cells mass has been destroyed. Identification of ICAs has made it possible detect type 1 diabetes mellitus in its preclinical stage. Enough insulin to sustain life. The client then becomes dependent on exogenous insulin (produced outside body) administration to surviv (Black & Hawks, 2009).
Diterjemahkan: Diabetes Mellitus tipe 1
Sebelumnya disebut IDDM atau onset remaja diabetes mellitus, ditandai dengan kerusakan sel beta pankreas, yang menyebabkan kekurangan insulin secara absolut.
Diabetes
Mellitus tipe 1 diwariskan secara heterogen, yang bersifat multigeni. Dari sebuah asosiasi juga ada perantara antara Diabetes Mellitus tipe 1 dengan beberapa antigen leukosit manusia (HLAs). Faktor lingkungan seperti virus muncul untuk memicu proses autoimun yang menghancurkan sel beta. Antibodi sel islet (ICAS) kemudian muncul, peningkatan dalam jumlah selama beberapa bulan sampai ke tahun  sel beta dapat dihancurkan. Puasa hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) terjadi saat 80% sampai 90% dari sel-beta massa telah dihancurkan. Identifikasi ICAS telah memungkinkan mendeteksi Diabetes Mellitus tipe 1 dalam tahap praklinis nya. Kecukupan insulin untuk mempertahankan hidup. Klien kemudian menjadi tergantung pada insulin eksogen (diproduksi di luar tubuh) sebagai administrasi untuk bertahan hidup.
2.1.3.4      Type 2 Diabetes Mellitus
The pathogenesis of type 2 diabetes mellitus differs significantly from that of type 1. A limited beta-cell response to hyperglycemia appears to be a major factor in its development. Beta cells chronically exposed to high blood levels of glucose become progressively less efficient when responding to further glucose elevations. This phenomenon, termed desensitization, is reversible by normalizing glucose levels. The ratio of proinsulin (a precursor to insulin) to insulin secreted also increases.

A second pathophysiologic process in type 2 diabetes mellitus is resistance to the biologic activity of insulin in both the liver and peripheral tissues. This state is known as insulin resistance. People with type 2 diabetes mellitus have a decreased sensitivity to glucose levels, which result in continued hepatic glucose production, even with high blood glucose levels. This is coupled with an inability of muscle and fat tissues to increase glucose uptake. The mechanism causing peripheral insulin resistance is not clear, however, it appears to occur after insulin binds to a receptor on the cell surface  (Black & Hawks, 2009).

Diterjemakan: Tipe 2 Diabetes Mellitus Patogenesis Diabetes Mellitus tipe 2 berbeda secara signifikan dari yang tipe 1. Sebuah respon sel-beta yang terbatas untuk hiperglikemia tampaknya menjadi faktor utama dalam pembangunan. Sel-sel beta kronis terkena tingkat tingginya kadar glukosa darah menjadi semakin kurang efisien ketika menanggapi peningkatan glukosa lebih lanjut. Fenomena ini, disebut desensitisasi, reversibel dengan menormalkan kadar glukosa. Rasio proinsulin (prekursor terhadap insulin) untuk insulin yang disekresikan juga meningkat.

2.1.4        Patofisiologi
2.1.4.1      Sebagian besar gambaran patologik dari DM dapat dihubungkan dengan salah satu efek utama akibat kurangnya insulin berikut: berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel-sel tubuh yang mengakibatkan naiknya konsentrasi glukosa darah setinggi 300 - 1.200 mg/dl. Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah penyimpanan lemak yang menyebabkan terjadinya metabolisme lemak yang abnormal disertai dengan endapan kolestrol pada dinding pembuluh darah dan akibat dari berkurangnya protein dalam jaringan tubuh.
Pasien-pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal atau toleransi sesudah makan. Pada hiperglikemi yang parah yang melebihi ambang ginjal normal (konsentrasi glukosa darah sebesar 160 - 180 mg/100 ml), akan timbul glikosuria karena tubulus-tubulus renalis tidak dapat menyerap kembali semua glukosa. Glukosuria ini akan mengakibatkan dieresis osmotik yang menyebabkan poliuri disertai kehilangan sodium, klorida, potassium, dan pospat. Adanya poliuri menyebabkan dehidrasi dan timbul polidipsi. Akibat glukosa yang keluar bersama urin maka pasien akan mengalami keseimbangan protein negatif dan berat badan menurun serta cenderung terjadi polifagi. Akibat yang lain adalah asthenia atau kekurangan energi sehigga pasien menjadi cepat lelah dan mengantuk yang disebabkan oleh berkurangnya  atau hilangnya protein tubuh dan juga berkurangnya penggunaan karbohidrat untuk energi.

Hiperglikemia yang lama akan menyebabkan arterosklerosis, penebalan membran basalis dan perubahan pada saraf perifer. Ini akan memudahkan terjadinya gangren pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa yang normal, atau toleransi glukosa sesudah makan karbohidrat, jika hiperglikemianya parah dan melebihi ambang ginjal, maka timbul glukosoria. Glukosoria ini akan mengakibatkan dieresis osmotik yang meningkatkan mengeluarkan kemih (poliuria) harus testimulasi, akibatnya pasien akan minum dalam jumlah banyak karena glukosa hilang bersama kemih, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negative dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) timbul sebagai akibat kekurangan kalori (Wijaya & Putri, 2013).

Diabetes Mellitus tipe I terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Disamping itu, glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia postprandial (sesudah makan), jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebih dieksresikan dalam urin, eksresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsi) (Brunner & Suddarth, 2006).   

Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera makan (polifagia) akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan. Proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut turut menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang mengganggu keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis yang diakibatkannya dapat menyebabkan tanda dan gejala seperti nyeri abdominal, mual, muntah, hiperventilasi, nafas berbau aseton dan bila tidak di tangani akan menimbulkan perubahan kesadaraan, koma bahkan kematian.

Diabetes Mellitus tipe 2 terdapat dua masalah yang berhubungan dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa didalam sel. Resistensi insulin pada Diabetes Mellitus tipe 2 disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulus pengambilan glukosa oleh jaringan. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat dan progresif maka awitan Diabetes Mellitus tipe 2 dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia,  luka yang lama sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang kabur (jika kadar glukosanya sanggat tinggi) (Brunner & Suddarth, 2006).  



Gambar: 2.3
(Sumber: Nurarif & Kusuma, 2013).

2.1.6        Manifestasi Klinis
2.1.6.1  Manifestasi klinis Diabetes Mellitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin.
a.       Kadar glukosa puasa tidak normal
b.      Hiperglikemia berat akibat glukosuria yang akan menjadi dieresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urin (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsi)
c.       Rasa lapar  yang semakin besar (polifagia), BB berkurang
d.      Lelah dan mengantuk
e.       Gejala lain yang dikeluhkan adalah kesemutan, gatal, mata kabur, impotensi, periuritas vulva.
(Nurarif & Kusuma, 2013).
2.1.6.2   Tanda Dan Gejala
a.     Sering kencing  atau meningkatnya frekuensi buang air kecil (poliuria) adanya hiperglikemia menyebabkan sebagian glukosa di keluarkan oleh ginjal bersama urin karena keterbatasan kemampuan filtrasi ginjal dan kemampuan reabsorpsi dari tubulus ginjal. Untuk mempermudah pengeluaran glukosa tubulus ginjal. Untuk mempermudah pengeluaran glukosa maka diperlukan banyak air, sehingga frekuensi miksi menjadi meningkat.
b.    Meningkatnya rasa haus (polidipsi) banyaknya miski menyebabkan tubuh kekurangan cairan (dehidrasi), hal ini merangsang pusat haus yang mengakibatkan peningkatan rasa haus.
c. Meningkatnya rasa lapar (polipagia) meningkatnya katabolisme  pemecahan glikogen untuk energi menyebabkan energi berkurang keadaan ini menstimulasi pusat lapar.
d.    penurunan berat badan disebabkan karena banyaknya kehilangan cairan, glikogen dan cadangan trigliserida serta massa otot.
e.     kelainan pada mata, penglihatan kabur pada kondisi kronis keadaan hiperglikemia menyebabkan aliran darah menjadi lambat, sirkulasi ke vaskuler tidak lancar, termasuk pada mata yang dapat merusak retina serta kekeruhan pada lensa.
f.     kulit gatal, infeksi kulit, gatal-gatal disekitar penis dan vagina peningkatan glukosa darah mengakibatkan penumpukan pula pada kulit sehingga menjadi gatal, jamur, dan bakteri mudah menyerang kulit.
g.    ketonuria ketika glukosa tidak lagi di gunakan untuk energi, maka digunakan asam lemak untuk energi, asam lemak akan dipecah menjadi keton yang kemudian berada pada darah dan dikeluarkan melalui ginjal.
h.    Kelemahan dan keletihan, kurangnya cadangan energi adanyakelaparan sel, kehilangan potassium menjadi akibat pasien mudah lelah dan letih.
i.     Terkadang tanpa gejala pada keadaan tertentu, tubuh sudah dapat beradaptasi dengan peningkatan glukosa darah (Tarwoto et al., 2012).

2.1.7        Penatalaksanaan
2.1.7.1      Penatalaksanaan
Menurut Tarwoto et al. (2012) menyebutkan bahwa penatalaksanaan Diabetes Mellitus adalah:
a.         Managemen diet Diabetes Mellitus
Kontrol  nurisi, diet dan berat badan merupakan dasar penanganan pasien Diabetes Mellitus. Tujuan yang paling penting dalam managemen nutrisi dan diet adalah mengontrol total kebutuhan kalori tubuh, intake yang dibutuhkan, mencapai kadar serum lipid normal. Komposisi nutrisi pada diet Diabetes Mellitus adalah kebutuhan kalori, karbohidrat, lemak, protein dan serat.
1)        Kebutuhan kalori
Kebutuhan kalori tergantung berat badan (kurus, ideal, obesitas), jenis kelamin, usia, aktivitas fisik.
2)        Kebutuhan karbohidrat
Karbohidrat merupakan komponen terbesar dari kebutuhan kalori tubuh, yaitu sekitar 50% - 60 %
3)        Kebutuhan protein
Untuk adekuatnya cadangan protein, diperlukan kira-kira 10% - 20%  dari kebutuhan kalori atau 0.8g/kg/hari.
4)        Kebutuhan lemak
Kebutuhan lemak kurang dari 30% dari total kalori, sebaiknya dari lemak nabati dan sedikit dari lemak hewani.
5)        Kebutuhan serat
Serat dibutuhkan sekitar 20 - 35 g perhari dari berbagai bahan makanan atau rata-rata 25 g/hari.
b.         Latihan fisik
Latihan fisik bagi penderita Diabetes Mellitus sangat dibutuhkan, karena pada saat latihan fisik energi yang dipakai adalah glukosa dan asam lemak bebas. Latihan fisik bertujuan:
1)        Menurunkan gula darah dengan meningkatkan metabolisme karbohidrat.
2)        Menurunkan berat badan dan mempertahankan berat badan normal.
3)        Meningkatkan sensitifitas insulin.
4)        Meningkatkan kadar High density lipoprotein (HDL) dan menurunkan kadar trigliserida.
5)        Menurunkan tekanan darah.
c.         Jenis latihan fisik diantaranya adalah olah raga seperti latihan aerobik, jalan, lari, bersepeda, berenang. Hal yang perlu diperhatikan dalam latihan fisik Diabetes Mellitus adalah frekuensi, intensitas, durasi waktu dan jenis latihan. Misalnya pada olah raga sebaiknya secara teratur 3x/minggu, dengan intensitas 60 - 70% dari heart rate maximum (220 - umur), lamanya 20 - 45 menit.
d.        Obat-obatan
1)        Obat antidiabetik oral atau Hypoglikemik Agent (OHO) efektif pada Diabetes Mellitus Tipe II, jika managemen nutrisi dan latihan gagal.
Jenis obat-obatan antidiabetik oral:
a)        Sulfonylurea: bekerja dengan merangsang beta sel pankreas untuk melepaskan cadangan insulinnya. Yang termasuk obat jenis ini adalah Glibenklamid, Tolbutamid, Klorpropamid.
b)        Biguanida: bekerja dengan menghambat penyerapan glukosa di usus, misalnya glukophage.
2)        Pemberian hormon insulin
Pasien dengan Diabetes Mellitus tipe I tidak mampu memproduksi insulin dalam tubuhnya, sehingga sangat tergantung pada pemberian insulin. Berbeda dengan Diabetes Mellitus tipe II yang tidak tergantung pada insulin, tetapi memerlukannya sebagai pendukung untuk menurunkan glukosa darah dalam mempertahankan kehidupan.
Tujuan pemberian insulin adalah meningkatkan transport glukosa ke dalam sel dan menghambat konversi glikogen dan asam amino menjadi glukosa. Berdasarkan daya kerjanya insulin dibedakan menjadi:
a)        Insulin dengan masa kerja pendek (2 - 4 jam) seperti regular insulin, actrapid.
b)        Insulin dengan masa kerja menengah (6 - 12 jam) seperti Neutral Protamine Hagedorn (NPH)  insulin, lente insulin.
c)        Insulin dengan masa kerja panjang (18 - 24 jam) seperti protamine zinc insulin dan ultralente insulin.
d)       Insulin campuran yaitu kerja cepat dan menengah, misalnya 70% NPH, 30% regular.
e.         Pendidikan kesehatan
Hal penting yang harus dilakukan pada pasien Diabetes Mellitus adalah pendidikan kesehatan. Beberapa hal penting yang perlu disampaikan pada pasien Diabetes Mellitus adalah
1)        Penyakit Diabetes Mellitus yang meliputi pengertian, tanda dan gejala, penyebab, patofisiologi dan test diagnosis.
2)        Diet atau managemen diet pada pasien Diabetes Mellitus.
3)        Aktivitas sehari-hari termasuk latihan dan olahraga.
4)        Pencegahan terhadap komplikasi Diabetes Mellitus diantaranya penatalaksanaan hipoglikemia, pencegahan terjadi gangren pada kaki dengan latihan senam.
5)        Pemberian obat-obatan dan cara injeksi insulin.
6)        Cara monitoring dan pengukuran glukosa darah secara mandiri.
f.          Monitoring glukosa darah
Pasien dengan Diabetes Mellitus perlu diperkealkan tanda dna gejala hiperglikemi dan hipoglikemia serta yang paling penting adalah bagaimana memonitor glukosa darah secara mandiri. Pemeriksaan
glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri dengan menggunakan glukometer. Pemeriksaan ini penting untuk memastikan glukosa darah dalam keadaan stabil.
2.1.7.2      Tujuan utama penatalaksanaan klien dengan Diabetes Mellitus adalah untuk mengatur glukosa darah dan mencegah timbul nya komplikasi akut dan kronis Penatalaksaan jangka panjang diarahkan untuk mencegah dan mengurangi progresitas komplikasi makrovaskuler, mikrovaskuler dan neuropati. Penatalaksaan Diabetes dikelompokkan atas 4 pilar menurut Rumahorbo, 2012 yaitu:           
a.         Edukasi
Edukasi penyandang Diabetes dimaksudkan untuk memberi informasi tentang gaya hidup yang perlu diperbaiki secara khusus memperbaiki pola makan dan pola latihan fisik. Informasi yang cukup akan memperbaiki keterampilan dan sikap penyandang diabetes. Melalui edukasi yang tepat diharapkan penyandang Diabetes akan memiliki keyakinan diri dalam bertindak sehingga terbentuk motivasi dalam bertindak. Dalam melaksanakan edukasi, media dan metoda serta pendekatan yang digunakan menjadi faktor penentu keberhasilan edukasi. Menggunakan tekhnik komunikasi yang terapeutik seperti empati akan sangat membantu oleh karena perubahan gaya hidup bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan sehingga dibutuhkan edukator yang dapat memahami kesulitan pasien, karena dengan melakukan pemantauan kadar glukosa secara mandiri (self-monitoring of blood glucose), penyandang Diabetes dapat mengatur terapinya untuk mengendalikan kadar glukosa darah secara optimal. Cara ini memungkinkan deteksi dan pencegahan hipoglikemia serta hiperglikemi dan mencegah komplikasi Diabetes Mellitus.
b.         Terapi gizi
Memformulasi paket gizi yang berguna dalam menyeimbangkan intake kalori yang masuk dan yang dibutuhkan tubuh merupakan salah satu upaya dalam membantu menyeimbangkan kadar glukosa dalam darah.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
1)    Karbohidrat
a)    Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 50 - 60% dari total asupan kalori
b)    Pembatasan karbohidrat total < 130 g/hari tidak dianjurkan
c)    Makanan mengandung karbohidrat terutama yang mengandung serat tinggi
d)    Sukrosa tidak boleh lebih dari 5 dari total asupan kalori
e)    Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula asal tidak melebihi batas aman konsumsi harian
f)    Makan 3 kali sehari atau lebih, namun kalorinya tidak melebihi kebutuhan tubuh. Kalau perlu ada selingan makanan yang kalorinya telah diperhitungkan dari kalori harian
2)    Lemak
a)    Asupan lemak yang dianjurkan sekitar 20 - 35% dari total kebutuhan kalori
b)    Sebaiknya dari lemak nabati dan sedikit dari lemak hewani.
3)    Protein
a)    Dibutuhkan sebesar 10 - 20% total asupan kalori atau 0.8 g/kg/hari.
b)    Sumber protein antara lain sea food, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan seperti juga tahu dan tempe
c)    Bila ada nefropati, perlu dilakukan pembatasan protein seperti anjuran medis.
4)    Serat
Serat dibutuhkan sekitar 20 - 35 g/hari dari berbagai jenis makanan.
c.         Latihan fisik
Latihan fisik sangat penting dalam penatalaksaan Diabetes karena efeknya dapat menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi faktor resiko kardiovaskuler. Latihan juga akan mengubah kadar lemak darah yaitu meningkatkan kadar HDL kolesterol dan menurunkan kadar kolesterol total serta trigliserida. Pemilihin jenis dan intensitas latihan fisik memerlukan advis tenaga kesehatan.
d.        Farmakoterapi (jika diperlukan)
Penggunaan obat golongan hipoglikemik merupakan upaya terakhir setelah upaya-upaya lain tidak berhasil membantu menyeimbangkan kadar glukosa darah penyandang Diabetes. Obat hipoglikemik dapat diberikan dalam bentuk tablet atau injeksi. Obat Hipoglikemik Oral (OHO) tersedia dalam bentuk tablet. Berdasarkan cara kerjanya OHO dibagi atas 4 golongan yaitu:
1)        Pemicu sekresi insulin seperti sulfonil urea dan glinid
2)        Penambah sensitivitas terhadap insulin seperti metformin dan tiazolindion
3)        Penghambat glukoneogenesis
4)        Penghambat absorbsi glukosa seperti penghambat glukosidase alfa.
Obat hipoglikemik injeksi yang lazim disebut insulin, dibagi berdasarkan cara dan lama kerja seperti insulin cepat kerja (rapid acting insulin), insulin kerja pendek (short acting insulin), insulin kerja menengah (intermediate acting insulin), insulin kerja panjang
(long acting insulin) dan insulin campuran.

2.1.8        Data Penunjang
2.1.8.1      Menurut  Riyadi & Sukarmin ( 2008) Pemeriksaan gula darah pada pasien Diabetes Mellitus antara lain:
a.    Gula darah puasa (GDP) 70 - 110 mg/dl
Kriteria diagnostik untuk DM > 140 mg/dl paling sedikit dalam dua kali pemeriksaan atau > 140 mg/dl disertai gejala klasik hiperglikemia, atau IGT 115 - 140 mg/dl.
b.    Gula darah 2 jam post prondial < 140 mg/dl
Digunakan untuk skrining atau evaluasi pengobatan bukan di diagnostik.
c.    Gula darah sewaktu < 140 mg/dl
Digunakan untuk skrining bukan diagnostik.
d.   Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
GD <115 mg/dl ½ jam, 1 jam, 1 ½ jam < 200 mg/dl, 2 jam < 140 mg/dl. TTGO dilakukan hanya pada pasien yang telah bebas dan diet dan beraktivitas fisik 3 hari sebelum tes tidak dianjurkan pada
1)        Hiperglikemi yang sedang puasa
2)        Orang yang mendapat thiazide, dilantin, propanolol, lasik, thyroid, estrogen, pil KB, steroid.
3)        Pasien yang dirawat atau sakit akut atau pasien inaktif.
e.    Tes Toleransi Glukosa Intravena (TTGI)
Dilakukan jika TTGO merupakan kontraindikasi atau terdapat kelainan gastrointestinal yang mempengaruhi absorbsi glukosa.
f.     Tes Toleransi Kortison Glukosa
Digunakan jika TTGO tidak bermakna, kortison menyebabkan peningkatan kadar gula darah abnormal dan menurunkan penggunaan gula darah perifer pada orang yang berpredisposisi menjadi DM kadar glukosa darah 140 mg/dl pada akhir 2 jam dianggap sebagai hasil positif.
g.    Glycosatet Hemoglobin
Berguna dalam memantau kadar glukosa dengan rata-rata selam lebih dari 3 bulan.
h.    C-Peptide 1 - 2 mg/dl (puasa) 5 - 6 kali meningkat setelah pemberian glukosa
Untuk mengukur proinsulin (produk samping yang tak aktif secara biologis) dari pembentukan insulin dapat membantu mengetahui sekresi insulin.
i.      Insulin serum puasa: 2 - 20 mu/ml post glukosa sampai 120 mu/ml, tidak digunakan secara luas dalam klinik, dapat digunakan dalam diagnosa hipoglikemia atau dalam penelitian Diabetes.
2.1.8.2      Untuk menetukan penyakit Diabetes Mellitus, disamping dikaji tanda dan gejala yang dialami pasien juga yang penting adalah dilakukan tes diagnostik diantaranya:
a.    pemeriksaan Gula Darah Puasa atau Fasting Blood Sugar
       tujuan: menentukan jumlah glukosa darah pada saat puasa.
       Pembatasan: tidak makan selama 12 jam sebelum test biasanya jam 08.00 pagi sampai jam 20.00, minum boleh.
       Prosedur: darah diambil dari vena dan dikirim ke laboratorium
       Hasil: Normal 80 - 120 mg/100 ml serum, abnormal 140 mg/100 ml atau lebih.
b.    pemeriksaan gula darah postprandial
       tujuan: menentukan gula darah setelah makan
       pembatasan tidak ada
prosedur: pasien diberi makan kira-kira 100 gr karbohidrat, dua jam kemudian diambil darah venanya.
Hasil: normal kurang dari 120 mg/100 ml serum, abnormal lebih dari 200 mg/100 ml atau lebih.
c.    Pemeriksaan toleransi glukosa oral/oral glukosa tolerance test (OGTT)
Tujuan: menentukan toleransi terhadap respons pembelian glukosa.
Pembatasaan: pasien tidak makan 12 jam sebelum test dan selama test, boleh minum air putih, tidak merokok, ngopi atau minum teh selama pemeriksaan ( untuk mengukur respon tubuh terhadap karbohidrat), sedikit aktivitas, kurangi stres (keadaan banyak aktivitas dan stres menstimulasi epinephrine dan kortisol dan berpengaruh terhadap peningkatan gula darah melalui peningkatan glukoneogenesis). 
Prosedur: pasien diberi makanan tinggi karbohidrat selama 3 hari sebelum test, ambil darah puasa dan urin untuk pemeriksaan. Berikan 100 gr glukosa ditambah juice lemon melalui mulut, periksa darah dan urin ½, 1, 2, 3, 4, dan 5 jam setelah pemberian glukosa.
Hasil: normal puncaknya jam pertama setelah pemberian 140 mg/dl dan akan kembali normal 2 atau3 jam kemudian, abnormal: peningkatan glukosa pada jam pertama tidak kembali setelah 2 atau 3 jam, urin positif glukosa.  
d.    Pemeriksaan urin
Pemeriksaan ini kurang akurat karena hasil pemeriksaan ini banyak dipengaruhi oleh berbagai hal misalnya karena obat-obatan seperti aspirin, vitamin C dan beberapa antibiotik, adanya kelainan ginjal dan pada lansia dimana ambang ginjal meningkat. Adanya glukosuria menunjukan bahwa ambang ginjal terhadap glukosa terganggu.
e.         Pemeriksaan keton urin
Badan keton merupakan produk sampingan proses pemecahan lemak, dan senyawa ini akan menumpuk pada darah dan urin. Jumlah keton yang besar pada urin akan merubah pereaksi pada strip menjadi keunguan. Adanya ketonuria menunjukan ketoasidosis.
f.         Pemeriksaan kolestrol dan kadar serum trigliserida, dan meningkat karena ketidakadekuatan kontrol glikemik (Tarwoto et al., 2012).
2.1.9        Komplikasi
2.1.9.1      Menurut Baradero et al., (2009) Komplikasi Diabetes mellitus diklasifikasi menjadi akut dan kronis. Yang termasuk dalam komplikasi akut adalah hipoglikemia, Diabetes Ketoasidosis, dan hyperglycemic hyperosmolar nonketotic coma yang termasuk dalam komplikasi kronis adalah retinopati diabetic, nefropati diabetic, neuropati, dispidemia, dan hipertensi
a.    Komplikasi Akut
1)    Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah keadaan dengan kadar glukosa darah dibawah 60 mg/dl, yang merupakan komplikasi potensial terapi insulin atau obat hipoglikemik oral. Penyebab hipoglikemia pada pasien yang sedang menerima pengobatan insulin eksogen atau hipoglikemik oral antara lain:
a)    Regimen insulin yang tidak fisiologis
b)    Overdosis insulin atau sulfonylurea
c)    Tidak makan
d)    Tidak mengonsumsi kudapan yang telah diirencanakan
e)    Gerak badan tanpa konpensasi makanan
f)    Penyakit ginjal stadium akhir
g)    Penyakit hati stadium akhir
h)    Konsumsi alkohol
2)    Diabetes ketoasidosis
Diabetes ketoasidosis adalah akibat yang berat dari deficit insulin yang berat dari jaringan adipose, otot skeletal, dan hepar. Jaringan tersebut termasuk sangat sensitive terhadap kekurangan insulin. DKA dapat dicetuskan oleh infeksi (penyakit).
1)        Pemantauan
a)      Glukosa darah finger-stick setiap jam
b)      Kalium serum setiap jam
c)      Bikarbonat setiap dua jam
d)     Gas darah arteri setiap 2 - 4 jam
e)      EKG kalau perlu
f)       Tambahan pemantauan bergantung pada keadaan pasien (pemantauan jantung, tekanan vena sental, intubasi nasogastrik, dan kateter foley)
g)      Asupan dan keluaran.
2)        Rehidrasi melalui IV
a)      Defisit cairann bisa lebih enam liter
b)      Salin normal 500 ml/jam dalam satu jam pertama,kemudian 250 ml/jam
c)      Hindari larutan hipotonik (salin normal 0,45%) karena bisa meningkatkan resiko untuk edema serebral.
3)        Beri insulin IV untuk mengendalikan glukoneogenesis, lipolisis, ketogenesis serta meningkatkan pemakaian glukosa otot skeletal.
a)      Insulin harus diberikan lewat IV, mulai dengan kecepatan 0,1 U/kg berat badan. Apabila tidak ada masalah dengan volume cairan seperti adanya gagal kongestif, larutkan 50 ml insulin regular dalam 50 ml salin normal kemudian 1 U 10 ml. atur tetesan per jam 0,1 U (1 ml) sampai glukosa darah mencapai 70 - 150 ml/dl.
b)      Insulin reguler IV  bolus mempunyai efek hanya dalam lima menit sehingga tidak bermanfaat.
c)      Apabila pasien sudah bisa menerima cairan karbohidrat per oral, tambahan insulin diberikan secara subkutan.
d)     Apabila pasien sudah bisa makan, teruskan program insulin yang dipakainya sebelum terjadi ketoasidosis. Jangan hentikan IV insulin (infus) sampai dua jam setelah insulin subkutan diberikan untuk mencegah hilangnya kendali hepar terhadap glukosa.
4)        Penggantian elektrolit yang hilang
a)      Kalium IV apabila keluaran urin sudah membaik ≤3 mEq/L, beri 40 - 60 mEq/jam, 3 - 4 mEq/L, beri 30 mEq/jam, 4 - 5 mEq/L, 20 mEq/jam, ≥6 mEq/L, jangan beri kalium.
b)      Beri separuh sebagian kalium fosfat klorida dan separuh sebagai kalium fosfat untuk mengganti fosfat yang hilang.
c)      Bikarbonat diberikan hanya apabila pH darah adalah ≤7,0 dan pasien mengalami hipotensi, syok, atau disritmia. Harus diberikan IV pelan-pelan dan dihentikan apabila pH≥7,0. Komplikasi bikarbonat adalah edema serebral yang fatal.
5)        Hitung leukosit dan diferensial. Leukositosis bisa timbul.
6)        Tangani penyebab sepsis (IM silent). Pasien dengan Dm akut, perlu diperhitungkan kemungkinan IM silent.
7)        Penyuluhan kesehatan tentang cara pencegahan dan penanganan secara dini. 


Hyperglycemic Hyperosmolar Nonketotic Coma (HHNC).
HHNC adalah komplikasi akut DM tipe II.
1)        Dehidrasi berat pasien bisa mengalami defisit cairan sebanyak 8 - 9 liter.
2)        Tingkat hiperglikemia juga lebih berat, bisa 600 - 2.000 mg/dl.
3)        Osmolaritas serum adalah 350 mOsm/L atau lebih.
4)        Tidak ada ketosis karena orang yang Diabetes Mellitus Tipe II mempunyai cukup insulin.
5)        Biasanya, ada gangguan dasar pada sistem saraf sentral (serebrovaskular) yang bisa menganggu persepsi  pasien terhadap rasa haus sehingga cairan yang hilang tidak dapat diganti dan dehidrasi bertambah berat.
Biasanya, ada infeksi atau penyakit.
HHNC merupakan kondisi kedaruratan medis. Penanganan utama adalah rehidrasi dengan larutan hipotonik intravena (salin normal 0.45%). Pasien ini diberikan larutan hipotonik karena masalah hiperglikemia juga akan teratasi. Pasien tidak perlu diberi insulin.
b.    Komplikasi kronis
Klasifikasi komplikasi kronis adalah mikrovaskular (menyangkut pembuluh darah kecil) dan makrovaskular (menyangkut pembuluh darah besar). Komplikasi ini adalah akibat lama dan beratnya hiperglikemia. Perubahan pada pembuluh darah mengakibatkan retinopati diabetic, nefropati diabetik,  neuropati perifer dan autonomic, penyakit vascular perifer, penyakit serebrovaskular (stroke), serta penyakit arteri koroner. Komplikasi mikrovaskular dari Diabetes Mellitus  Tipe II jarang ditemukan dal 5 - 10 tahun setelah penyakit diketahui. Rokok bisa mempercepat timbulnya komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular.
1)        Retino diabetik
Lesi paling awal yang timbul adalah mikroaneurisma pada pembuluh retina. Terdapat pula bagian iskemik, yaitu retina akibat berkurangnya aliran darah retina. Respons terhadap iskemik retina ini adalah pembentukan pembuluh darah baru, tetapi pembuluuh darah tersebut sangat rapuh sehingga mudah pecah dan menyebabkan perdarahan vitreous (perdarahan dalam cairan vitreous). Perdarahan ini bisa mengakibatkan ablasio retina (lepasnya retina) atau berulang yang mengakibatan kebutaan permanen. Pengobatan dengan laser fotokoagulasi pada tahap awal dapat mencegah kebutaan. Laser fotokoagulasi dapat menutupi kebocoran pembuluh darah retina.
2)        Nefropati diabetik
Lesi renal yang khas dari nefropati diabetic adalah glomerulosklerosis yang nodular yang tersebar di kedua ginjal yang disebut sindrom Kommelstiel-Wilson.
Glomerulosklerosis nodular dikaitkan dengan proteinuria, edema, dan hipertensi. Lesi sindrom Kommelstiel-Wilson ditemukan hanya pada DM. sekitar 10 - 35 % pasien dengan DM menderita komplikasi ini. Permulaan nefropati diabetik adalah hipertropi dan hiperfiltrasi glomerulus.




3)        Neuropati
Neuropati diabetik tterjadi pada 60 - 70 % individu DM. Neuropatik diabetik yang paling sering ditemukan adalah neuropatik perifer dan autonomik.
Polineuropati sensori perifer simetris. Pada polineuropati sensori perifer simetris, terjadi perubahan sensori dan hilangnya sensori secara sistematis, yang terjadi pada kedua kaki dan kedua tangan.  Biasanya ekstrimitas bawah yang terkena pertama karena ekstrimitas bawah mempunyai saraf yang paling panjang diseluruh tubuh, yang termasuk dalam sensori yang abnormal adalah parastesia (sensasi kesemutan, rasa seperti ditusuk dengan jarum den kebas). Sensasi yang abnormal ini menjadi lebih berat pada malam haru dan bisa mengganggu tidur pasien.

Neuropati perifer yang nyeri. Neurotransmitter yang menyebabkan nyeri telah diketahui, yaitu substansi pemakaian narkotik untuk nyeri yang kronis tidak dianjurkan selain tidak bisa menghilangkan nyeri, obat narkotik dapat membuat pasien menjadi bergantung pada obat. Neuropati auttonomik gangguan  pada sistem autonomik bisa juga timbul dan mengakibatkan perubahan pada sistem tubuh.
4)        Dislipidemia
50% individu dengan diabetes mellitus mengalami dislipidemia. Ada peningkatan kolesterol Low Density Lipoprotein (LDL) dan trigliserida yang bisa mengakibbatkan aterosklirosis. Karena resistensi insulin, profil lipid pasien dengan DM tipe II adalah hipertrigliseridemia dan hiperkolerterolemia.
5)        Hipertensi
Sebanyak 60% - 65% pasien dengan DM mengalami hipertensi. Hipertensi pada pasien dengan DM Tipe I menunjukan penyakit ginjal, mikroalbuminuria, atau proteinuria. Pada pasien DM tipe II, hipertensi bisa menjadi hipertensi esensial. Hipertensi  harus secepat mungkin diketahui dan ditangani secara agresif karena bisa memperberat retinopati, nefropati, dan penyakit makrovaskular. Tujuan penanganan hipertensi adalah tekanan darah mencapai 130/85 mmHg.

2.2  Tinjauan Teoritis Keperawatan
2.2.1        Menurut Riyadi & Sukarmin. (2008) menyatakan Konsep Asuhan Keperawatan meliputi Pengkajian:
2.2.1.1      Usia
Umumnya manusia mengalami perubahan fisiologi secara drastis menurun dengan cepat setelah usia 40 tahun. Diabetes sering muncul setelah memasuki usia tersebut terutama setelah seseorang memasuki usia 45 tahun terlebih pada orang dengan overweight.
2.2.1.2      Pendidikan dan Pekerjaan
      Pada orang dengan pendapatan tinggi cenderung untuk mempunyai pola hidup dan pola makan yang salah. Cenderung untuk mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung gula dan lemak yang berlebihan, serta tingginya konsumsi makanan yang berat serta aktivitas fisik yang sedikit. Oleh karena itu penyakit ini biasanya banyak dialami pegawai perkantoran, bos perusahaan dan pejabat pemerintahan.
2.2.1.3      Keluhan Utama
      Penderita biasanya datang dengan keluhn menonjol badan terasa sangat lemas sekali disertai penglihatan yang kabur. Meskipun muncul keluhan banyak kencing (poliura) kadang penderita belum tahu kalau itu slaah satu tanda penyakit  Diabetes Mellitus.
2.2.1.4      Riwayat Penyakit
      Riwayat penyakit ini biasanya yang dominan adalah munculnya sering buang air kecil (poliuria), sering lapar dan haus (polidipsi dan polifagia), sebelumnya penderita mempunyai berat badan yang berlebih. Biasanya penderita belum menyadari kalau itu merupakan perjalanan penyakit Diabetes Mellitus. Penderita baru tahu kalau sudah memeriksakan diri di pelayanan kesehatan.
2.2.1.5      Riwayat Kesehatan Dahulu
      Diabetes dapat terjadi saat kehamilan, yang terjadi hanya saat hamil saja dan biasanya tidak dialami setelah melahirkan namun perlu diwaspadai akan kemungkinan mengalami diabetes yang sesungguhnya dikemudian hari. Diabetes sekunder umumnya digambarkan sebagai kondisi penderita yang pernah mengalami suatu penyakit dan mengkonsumsi obat-obatan atau zat kimia tertentu. Penyakit yang dapat menjadi pemicu Diabetes Mellitus dan perlu dialkukan pengkajian diantaranya:
  a.  Penyakit prankeas
     b.  Gangguan penerimaan insulin
       c.  Gangguan hormonal
       d.  Pemberian obat - obatan seperti:
1)    Glukokortikoid (sebagai obat radang)
2)    Furosemid (sebagai diuretik)
3)    Thiazid (sebagai diuretik)
4)    Beta bloker (untuk mengobati gangguan jantung)
5)    Produk yang mengandung estrogen (kontrasepsi oral dan terapi sulih hormon)
2.2.1.6      Riwayat Kesehatan Keluarga
      Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap Diabetes, karena kelainan gen yang mengakibatkan tubuhnya tak dapat menghasilkan insulin dengan baik akan disampaikan informasinya pada keturunan berikutnya.

2.2.2        Pengkajian pola kebutuhan
2.2.2.1      (Menurut model Virginia Handerson dilengkapi kebutuhan menurut pola Maslow pada pengkajian aspek psikologi. Pengkajian menggunakan model menurut Virginia Handerson, dalam (Riyadi & Sukarmin, 2008).
a.     Kebutuhan nafas
           Data pernafasan yang sangat mungkin terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus adalah munculnya peningkatan pernafasan sebagai kompensasi penurunan metabolisme sel yang melibatkan oksigen (respirasi aerob) dengan irama dalam dan cepat karena banyak benda keton yang dibongkar.
b.    kebutuhan nutrisi
penderita Dibetes Mellitus mengeluh ingin selalu makan tetapi berat badannya justru turun karena glukosa tidak dapat diotarik ke dalam sel dan terjadi penuruna masa sel. Pada pengkajian intake cairan pasien akan terkaji banyak minum (sehari 2.500 - 4.000 cc).
c.    Kebutuhan eliminasi
     Data eliminasi untuk buang air besar (BAB) pada pasien Diabetes Mellitus tidak ada perubahan yang mencolok. Frekuensi seperti biasa 1 - 2 kali/hari, dengan warna kekuningan. Sedangkan pada eliminasi buang air kecil (BAK) akan dijumpai jumlah urin yang banyak baik secara frekuensi maupun volumenya (pada frekuensi biasanya > 10 kali/hari, sedangkan volume mungkin mencapai 2.500 - 3.000 cc/hari). Untuk warna mungkin tidak ada perubahan sedangkan bau barangkali ada aroma unsur gula.
d.   Kebutuhan gerak dan keseimbangan/aktivitas
      Penderita dengan Diabetes Mellitus akan mengalami penurunan gerak karena kelemahan fisik, kram otot dan penurunan tonus otot. Penderita juga dapat mudah jatuh karena penurunan glukosa pada otak akan berakibat penurunan kerja pusat keseimbangan (di serebelum/otak kecil).
e.    Kebutuhan istirahat dan tidur
      Sering muncul perasaan tidak enak efek dari gangguan yang bersifat sistemik yang berdampak pada gangguan tidur (insomnia). Penderita juga sering terbangun karena frekuensi kencing yang meningkat pada malam hari. Rata- rata  tidur penderita pada malam hari.
f.     Kebutuhan berpakaian
           Kebutuhan berpakian mungkin tidak terganggu kecuali pada periode kelemahan fisik (skor kekuatan otot 2 - 0) atau terjadi penurunan kesadaran (apatis sampai koma).
g.    Mempertahankan temperatur atau sirkulasi
      Data yang sering muncul adalah klien mengeluh kesemutan pada ekstremitas (atas maupun bawah) yang berarti terjadi penurunan sirkulasi karena terjadi peningkatan viskositas darah oleh glukosa tetapi sulit masuk sel. Pada ekstremitasnya akral juga teraba dingin akibat penurunan sirkulasi. Suhu tubuh biasanya masih berkisar normal kecuali sudah ada infeksi (terjadi kenaikan suhu tubuh diatas 37ºc).
h.    Kebutuhan personal hygiene
      Pasien Diabetes dengan kadar gula yang terkontrol (tidak naik drastis) masih dapat melakukan kegiatan ganti pakaian sendiri tanpa bantuan.
i.      Kebutuhan rasa aman dan nyaman
                Pasien dengan Diabetes Mellitus mengalami gangguan rasa nyeri panas pada punggung kaki tetapi dengan skala yang ringan dan dapat ditoleransi sehingga tidak terlalu mengganggu aktivitas sehari-hari (untuk kebutuhan rasa nyaman) sampai yang berat terasa sangat panas dan mengganggu aktivitas seperti berjalan. Sedangkan kebutuhan aman pasien mengalami resiko mudah terjadi perlukaan pada ekstremitas terutama bawah.
j.      Berkomunikasi dengan orang lain dan mengekspresikan emosi. Pada perjalanan yang cukup lama (lebih satu bulan) pasien mengalami penurunan optimisme dan cenderung emosi labil, mudah tersinggung dan marah. Sedangkan pada tahap awal emosi pasien masih stabil dan mampu mengekspresikan emosi dengan baik.
k.    Kebutuhan spiritual
      Kegiatan ibadah semakin terlihat meningkat sebagai bentuk kompensasi kejiwaan untuk mencari kesembuhan dari Tuhan Yang Maha Esa, kegiatan itu dapat berupa peningkatan sholat, berdo’a atau pergi ke tempat ibadah.
l.      Kebutuhan bekerja
      Kebutuhan bekerja pada pasien Diabetes Mellitus telah mengalami penurunan karena penderita mudah mengalami kelelahan.

m.  Kebutuhan bermain dan rekreasi
Kebutuhan bermain dan rekreasi pada pasien diabetes mellitus perlu dikaji bagaimana selera, kondisi klien untuk bermain, kaji keadaan penyakit klien apakah berpengaruh pada keinginan untuk bermain, kaji bagaimana klien memenuhi kebutuhan bermainnya. Untuk kebutuhan yang ini masing-masing pasien berbeda.
n.    Kebutuhan belajar
    Kebutuhan belajar yang meningkat adalah bagaimana cara menurunkan kadar gula darah, bagaimana cara mengkonsumsi makanan yang aman dan bagaimanan cara menghindari komplikasi seperti tekanan darah tinggi.
Pengkajian pola kebutuhan memakai hirarki kebutuhan Maslow (sebagai pelengkap kebutuhan menurut Virginia Handerson):
1)   Kebutuhan fisiologi (seperti oksigenasi, makan minum, eliminasi, suhu tubuh, sirkulasi dan lainnya sudah dijelaskan pada pola diatas)
2)   Kebutuhan rasa aman dan nyaman (sudah dijelaskan di atas)
3)   Kebutuhan dicintai dan mencintai
      Pasien diabetes mellitus ada yang dikucilkan istri karena komplikasi dari organ reproduksi yang berupa impotensi untuk laki-laki dan penurunan gairah seksual untuk wanita. Kondisi ini akan mempengaruhi rasa cinta terhadap pasangan. Sedangkan bagi anak-anaknya mungkin karena terjadi penurunan aktivitas atau pendapatan ada yang menganggap orang tuanya tidak terlalu berguna lagi. Bukti klinik sedikit atau tidak ada anggota keluarga yang menemani. Untuk penderita kadang tidak merasa berguna sendiri sehingga kurang respek terhadap anggota keluarga.
4)   Kebutuhan harga diri
      Sering mengalami penurunan harga diri karena perubahan penampilan, perubahan identitas diri akibat tidak bekerja, perubahan gambaran diri karena mengalami amputasi atau gangren, perubahan peran karena tidak mampu menjalankan tugas dengan baik sebagai orang tua.
5)   Aktualisasi diri
      Kebutuhan ini sebagai puncak dari hirarki kebutuhan menurut Maslow, kalau pasien sudah mengalami penurunan harga diri maka pasein sulit untuk melakukan aktualisasi diri. Pasien tampak tidak bergairah, bingung bahkan kadang terlihat sering menyendiri (Riyadi & Sukarmin, 2008).

2.2.3    Pemeriksaan Fisik
2.2.3.1  Pemeriksaan yang dilakukan menurut Riyadi & Sukarmin (2008) antara lain:
a.  Status penampilan kesehatan: yang sering muncul adalah kelemahan fisik
b.  Tingkat kesadaran: normal, letargi, stupor, koma (tergantung kadar gula yang dimiliki dan kondisi fisiologi untuk melakukan kompensasi kelebuhan gula darah).
c.  Tanda-tanda vital
     Frekuensi nadi dan tekanan darah: takikardi (terjadi kekurangan energi sel sehingga jantung melakukan kompensasi untuk meningkatkan pengiriman), hipertensi (karena peningkatan viskositas darah oleh glukosa sehingga terjadi peningkatan tekanan pada dinding pembuluh darah dan resiko terbentuknya plak pada pembuluh. Kondisi ini terjadi pada fase diabetes mellitus yang sudah lama atau penderita yang memang mempunyai hipertensi).
Frekuensi pernafasan: takhipnea (pada kondisi ketoasidosis)
Suhu tubuh: demam (pada penderita dengan komplikasi infeksi pada luka atau pada jaringan lain), hipotermia (pada penderita yang tidak mengalami infeksi atau penurunan metabolik akibat menurunnya masukkan nutrisi secara drastis).
d.  Berat badan melalui penampilan atau pengukuran : kurus ramping (pada Diabetes Mellitus fase lanjutan dan lama tidak mengalami terapi). Gemuk padat, gendut (pada fase awal penyakit atau penderita lanjutan dengan pengobatan yang rutin dan pola makan yang masih tidak terkontrol).
e.  Kulit
1)    Warna: perubahan-perubahan pada melanin, kerotemia (pada penderita yang mengalami peningkatan trauma mekanik yang berakibat luka sehingga menimbulkan gangren. Tampak warna kehitam-hitaman disekitar luka. Daerah yang sering terkena dalah ekstremitas bawah).
2)    Kelembaban: lembab (pada penderita yang tidak mengalami diuresis osmosis dan tidak mengalami dehidrasi), kering (pada pasein yang mengalami diuresis osmosis dan dehidrasi).
3)    Suhu: dingin (pada penderita yang tidak mengalami infeksi dan menurunnya masukan nutrisi), hangat (mengalami infeksi atau kondisi intake nutrisi normal sesuai aturan diet).
4)    Tekstur: Halus (cadangan lemak dan glikogen belum banyak di bongkar), kasar (terjadi pembongkaran lemak, protein, glikogen otot untuk produksi energi).
5)    Turgor: Menurun pada dehidrasi.
f.  Kuku
Warna: Pucat, sianosis (penurunan perfusi pada kondisi ketoasidosis atau komplikasi infeksi saluran pernafasan).
g.  Rambut
1)  Kuantitas: tipis (banyak yang rontok karena kekurangan nutrisi dan buruknya sirkulasi), lebat.
2)  Penyebaran: jarang atau alopesia total.
3)  Tekstur: halus atau kaasar.
h.  Mata dan kepala
1)  Kepala
Rambut: termasuk kuantitas, penyebaran dan tekstur antara lain: kasar dan halus
2)  Kulit kepala: termasuk benjolan atau lesi, antara lain : kista pilar dan psoriasis (yang rentan terjadi pada penderita Diabetes Mellitus karena penurunan antibodi).
3)  Wajah: termasuk simestris dan ekspresi wajah, antara lain: paralisi wajah (pada penderita dengan komplikasi stroke) dan emosi.
4)  Mata
             Yang perlu dikaji lapang pandang dan uji ketajaman pandang dari masing-masing mata (ketajaman menghilang).
Inspeksi
a)    Posisi dan kesejajaran mata: mungkin muncul eksoftalmus, strabismus.
b)    Alis mata: dermatitis, seborea (penderita sangat beresiko tumbuhnya mikroorganisme dan jamur pada kulit).
c)    kelopak mata
d)    Aparatus akrimalis: mungkin ada pembengkakan sakus lakrimalis.
e)    Sklera dan konjungtiva: sclera mungkin ikterik. Konjungtiva anemia pada derita yang sulit tidur karena banyak kencing pada malam hari).
f)    Kornea, iris dan lensa: opaksitas atau katarak (penderita Diabetes Mellitus sangat beresiko pada kekeruhan lensa mata).
g)    Pupil: miosis, midriosis atau anisokor.
i.   Telinga
1)    Daun telinga dilakukan inspeksi: masih simetris antara kanan dan kiri
2)    Lubang hidung dan gendang telinga
a)    Lubang telinga: produksi serumen tidak sampai mengganggu diameter lubang
b)    Gendang telinga: kalau tidak tertutup serumen berwarna putih keabuan, dan masih dapat bervibrasi dengan baik apabila tidak mengalami ineksi sekunder.
j.   Pendengaran
     Pengkajian ketajaman pendengaran terhadap bisikan atau tes garputala dapat mengalami penurunan.
k.  Hidung
Jarang terjadi pembesaran polip dan sumbatan hidung kecuali ada infeksi sekunder seperti influenza.


l.   Mulut dan faring
    Inspeksi pada bibir (sianosis, pucat apabila mengalami asidosis atau penurunan perfusi ringan pada stadium lanjut), Mukosa oral (kering dalam kondisi dehidrasi akibat diuresis osmosis), gusi, langit-langit mulut, lidah, dan faring.
m. Leher
Pada inspeksi jarang tampak distensi vena jugularis, pembesaran kelenjar limfe leher dapat muncul apabila ada infeksi sistemik.
n.  Toraks dan paru-paru
1)    Inspeksi frekuensi: irama, kedalaman dan upaya bernafas, antara lain: takipnea, hipernea, dan pernafasan chyne stoke (pada kondisi ketoasidosis).
2)    Amati bentuk dada: normal atau tidak.
3)    Dengarkan pernafasan pasien
a)    Stridor pada obstruksi jalan nafas
b) Mengi (apabila penderita sekaligus mempunyai riwayat astma atau bronchitis kronik).
o.  Dada
1)    Dada posterior
a)    inspeksi: defoemitas, atau asimetris dan retruksi inspirasi abdomen.
b)    Palpasi: adanya nyeri tekan atau tidak
c)    Perkusi: pekak terjadi apabila cairan atau jaringan padat menggantikan bagian paru yang normalnya terisi udara (terjadi pada penderita dengan penyakit lain seperti effuse pleura, tumor atau pasca penyembuhan TBC).
d)    Auskultasi: bunyi nafas vesikuler, bronco vesikuler (dalam kondisi normal)

2)    Dada anterior
a)    Inpeksi: defoemitas, atau asimetris
b)    Palpasi: adanya nyeri tekan, ekspensi pernafasan
c)    Perkusi: pada penderita normal area paru terdengar sonor
d)    Auskultasi: bunyi nafas vesikuler, bronco vesikuler (dalam kondisi tanpa penyerta penyakit lain).
p.  Aksila
1)    Inpeksi terhadap kemerahan, infeksi dan pigmentasi
2)    Palpasi kelenjar aksila sentralis apakah ada linfodenopati.
q.  Sistem kardiovaskuler
Adanya riwayat hipertensi, infark miokard akut, takikardi, tekanan darah yang cenderung meningkat, disritmea, nadi yang menurun, rasa kesemutan dan kebas pada ekstremitas merupakan tanda gejala dari penderita Diabetes Mellitus.
r.   Abdomen
1)    Inspeksi: pada kulit apakah strie dan simetris adanya pembesaran organ (pada penderita dengan penyerta penyakit sirosis hepatik atau hepatomegali dan splenomegali).
2)    Auskultasi: bising usus apakah terjadi penurunan atau peningkatan motilitas.
3)    Perkusi:  tympani
4)    Palpasi: apakah ada nyeri tekan/massa.
s.  Ginjal
                  Palpasi ginjal apakah ada nyeri tekan sudut kosta veterbral.
t.   Genetalia
                 Penis: ada inspeksi apakah ada timosis pada prepusium dan apakah ada hipospadia pada meatus uretara, apakah ada kemerahan pada kulit skrotum.
u.  Sistem musculoskeletal
      Inspeksi persendian dan jaringan sekitar saat anda memeriksa berbagai kondisi tubuh. Amati kemudahan dan rentang gesekan kondisi jaringan sekitar, setiap deformitas muskuloskletal, termasuk kurvatura abnormal dari tulang belakang. Sering mengalami penurunan kekuatan musculoskeletal dibuktikan dengan skor kekuatan otot yang menurun dari angka 5.
v.  Sistem neurosensori
Penderita Diabetes Mellitus biasanya merasakan gejala seperti:
1)  Pusing
2)  Sakit kepala
3)  Kesemutan, kebas kelemahan pada otot, parestesia
4)  Gangguan penglihatan

2.2.4    Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
2.2.4.1   Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik (dari hiperglikemia) atau kehilangan gastrik berlebihan.
              Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 hari keperawatan masalah Kekurangan volume cairan dapat teratasi
               Kriteria evaluasi :
a.   Tanda vital stabil (dan mendekati aman nadi 80 - 88 x/menit, tekanan darah  100 - 140/80 - 90 MmHg, suhu tubuh 36,5 - 37,4º celcius, respiratory rate 20 - 22 x/menit.
b.   Nadi perifer teraba pada arteri radialis, arteri brakialis, arteri dorsalis pedis.
c.   Tugor kulit dan pengisisan kapiler baik dibuktikan dengan capillary refille kurang dari 2 detik.
d.   Keluaran urine dalam kategori aman (lebih dari 100 cc/hari sampai batas normal 1.500 cc - 1.700 cc/hari)
e.   Kadar elektrolit urine dalam batas normal dengan nilai natrium 130 - 220 meq/24 jam, kalium 25 - 100 meq/24 jam, klorida 120 - 250 meq/liter, magnesium 1,0 - 2,5 mg/dl.
      Intervensi untuk etiologi diuresis osmosis:
1)   Dapatkan riwayat pasien/orang terdekat tentang lama dan frekuensi urine
      Rasional: membantu dalam memperkirakan kekurangan volume total. Semakin tinggi lama frekuensi urine maka semakin banyak resiko kehilangan cairan
2)   Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan tekanan darah
      Rasional: penurunan volume cairan darah (hipovolemi) akibat diuresis osmosis dapat dimanisfestasikan oleh hipotensi, takikardi, nadi teraba lemah
3)   Kaji suhu, warna, tugor kulit dan kelembabannya
      Rasional: dehidrasi yang disertai demam akan teraba panas, kemerahan dan kering di kulit. Sedangkan penurunan tugor kulit sebagai indikasi penurunan volume cairan pada sel.
4)   Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, tugor kulit dan membrane mukosa
      Rasional: nadi yang lemah, pengisian kapiler yang lambat sebagai indikasi penurunan cairan dalam tubuh. Semakin lemah dan lambat dalam pengisian semakin tinggi derajat kekurangan cairan.
5)   Pantau masukan dan pengeluaran , catat berat jenis urin
(1)  Balance cairan = (jumlah 1 intake + jumlah 2 + jumlah 3) – (jumlah 1 output + jumlah 2 + jumlah 3)
(2)  Jumlah 1, 2 ,3 untuk memudahkan jumlah setiap shift jaga
(3)  Apabila dalam pengurangan didapatkan hasil plus (berlebih) atau minus (kurang) maka dimasukkan ke table hari berikutnya
Rasional: memberikan perkiraan kebutuhan akan cairan pengganti dan membaiknya fungsi ginjal.
6)   Ukur berat badan setiap hari
      Rasional: memberikan gambaran status cairan dalam tubuh (60 - 70 % berat badan berasal dari cairan)
7)   Pertahankan untuk memberikan cairan 1.500 - 2.500 ml atau dalam batas yang dapat ditoleransi jantung jika pemasukan cairan melalui oral sudah dapat diberikan
      Rasional: mempertahankan komposisi cairan dalam tubuh, volume sirkulasi dan menghindari over load jantung.
8)   Batasi intake cairan yang mengandung gula dan lemak misalnya cairan dari buah yang manis seperti semangka atau dari minuman seperti susu.
      Rasional: menghindari kelebihan ambang ginjal menurunkan tekanan osmosis.
      Intervesi keperawatan untuk etiologi peningkatan rangsangan gastrik:
(1)  Batasi intake cairan ynag merangsang gaster dan saluran pencernaan seperti soda, kopi.
      Rasional: menghindari rangsangan lambung yang berlebihan.
(2)  Catat hal-hal yang dilaporkan seperti mual, nyeri abdomen, muntah dan distensi lambung
      Rasional: kekurangan cairan dan elektrolit mengubah mobilitas jantung, yang sering kali akan menimbulkan muntah atau secara potensial akan menimbulkan muntah dan kekurangan cairan
      Kolaborasi
(a)  Berikan terapi cairan normal satu atau setengah normal salin dengan atau tanpa dektrosa
      Rasional: untuk mengganti cairan dengan cepat. Tipe dan jumlah dari cairan tergantung pada derajat kekurangan cairan dan respon pasien secara individual.
(b) Pemasangan kateter urine (kalau perlu)
      Rasional: memberikan pengukuran yang tepat atau akurat terhadap pengukuran pengeluaran urine.
(c)  Pantau pemeriksaan laboratorium seperti hematokrit, osmolaritas darah, natrium
      Rasional: hematokrit (mengkaji tingkat hidrasi dan seringkali meningkat akibat kenaikan kemokonsentrasi yang terjadi setelah diuresis osmotik), osmolaritas darah (meningkat sehubungan dengan adanya hiperglikemi dan dehidrasi), natrium (kadar natrium yang tinggi mencerminkan kehilangan cairan/dehidrasi berat atau reabsorbsi natrium dalam berespon terhadap sekrei aldosteron)
(d) Berikan kalium atau elektrollit yang lain melalui IV dan atau melalui oral sesuai indikasi
      Rasional: kekurangan kalium dan elektrolit akan mempengaruhi sistem tubuh misalnya penurunan eksitasi persarafan. Kalium harus ditambahkan pada intravena untuk mencegah hipokalemia
(e)  Kolaborasi pemberian obat anti emetik seperti metokloperamid dan obat diare non spesifik seperti loperamid HCL. Furazolidone dan obat antibiotik diare seperti metronidazol, tetrasiklin (disesuaikan dengan jenis mikroorganismenya)
      Rasional: mengurangi stimulus gaster. Obat diare membantu memadatkan tinja dan membatasi pertumbuhan mikroorganisme
2.2.4.2   Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakcukupan insulin atau penurunan masukan oral
              Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 hari keperawatan masalah Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dapat teratasi
Kriteria evaluasi:
a.  Pasien tidak lemah atau penurunan tingkat kelemahan
b.  Peningkatan berat badan atau berat badan ideal atau normal
c.  Lingkar lengan meningkat atau mendekati 10 cm
d.  Nilai laboratorium hemoglobin untuk pria 13 - 16 gr/dl, untuk wanita 12 - 14 gr/dl.
     Untuk etiologi ketidakcukupan insulin ktiteria hasil ditambah dengan:
e.  Nilai laboratorium yang terkait Diabetes Mellitus normal (terutama GDS 60 - 100 mg/dl, kolesterol total 150 - 250 mg/dl, protein total 6 - 7,0 gr/dl)
     Sedangkan untuk etiologi penurunan masukan oral criteria hasil ditambahkan dengan:
f.  Pasien habis 1 porsi makan setiap kali makan (sesuai jumlah kalori yang dianjurkan)
g.  Pasien tidak mengeluh mual lagi
Intervensi untuk etiologi kekurangan insulin:
1)    Timbang berat badan atau ukur lingkar lengan setiap hari sesuai dengan indikasi
Rasional: mengkaji indikasi terpenuhinya kebutuhan nutrisi dan menentukan jumlah kalori yang harus dikonsumsi penderita Diabetes Mellitus
2)    Tentukan program diet dan pola makan pasien sesuai dengan kadar gula yang dimiliki (dengan memakai rumus kebutuhan kalori untuk laki-laki = berat badan ideal x 30, sedangkan untuk wanita berat badan ideal x 25)
Rasional: menyesuaikan antara kebutuhan kalori dan kemampuan sel untuk mengambil glukosa
3)    Libatkan keluarga pasien pada dalam memantau waktu makan, jumlah nutrisi
Rasional: meningkatkan partisipasi keluarga dan mengontrol masukan nutrisi sesuai dengan kemampuan untuk menarik glukosa dalam sel.
4)    Observasi tanda-tanda hipoglikemi (perubahan tingkat kesadaran, kulit lembab/dingin, denyut nadi cepat, lapar, peka rangsang, cemas, sakit kepala, pusing, sempoyongan)
Rasional: karena metabolisme karbohidrat mulai terjadi, gula darah akan berkurang dan sementara pasien tetap diberikan insulin maka hipoglikemi dapat terjadi.
Kolaborasi:
a)    Pantau pemeriksaan laboratorium seperti glukosa darah, aseton, PH dan HCO3.
Rasional: Gula darah akan menurun perlahan dengan penggunaan terapi insulin terkontrol. Dengan pemberian insulin dosis optimal glukosa dapat masuk ke dalam sel dan digunakan untuk sumber kalori. Peningkatan aseton, PH dan HCO3 sebagai indikasi kelebihan benda keton.
b)    Berikan pengobatan insulin secara teratur dengan tehnik intravena secara intermitten atau secara continue.
Rasional: insulin regular memiliki awitan cepat dan karenanya dengan cepat pula dapat membantu memindahkan ke dalam sel, pemberian melalui intravena merupakan rute pilihan utama karena absorbsi dari jaringan subkutan mungkin tidak mennetu/sangat lambat.
c)    Lakukan konsultasi dengan ahli diet
Rasional: kebutuhan diet penderita harus disesuaikan dengan jumlah kalori karena kalau tidak terkontrol akan beresiko hiperglikemia.
d)    Berikut diet 60 % karbohidrat, 20 % protein, dan 20 % lemak dan penataan makan dan pemberian makanan tambahan
Rasional: intake kompleks karbohidrat (jagung, wortel, brokoli, buncis, gandum) berdampak pada penekanan kadar glukosa darah, kebutuhan insulin, menurunkan kadar kolesterol, dan meningkatkan rasa kenyang.
Intervensi untuk etiologi penurunan intake oral:
a)    Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen/perut kembung, mual, muntah
Rasional: peningkatan peristaltik usus sebagai indikasi peningkatan rangsang gaster
b)    Libatkan keluarga pasien pada pencernaan makanan sesuai dengan indikasi
Rasional: meningkatkan rasa keterlibatannya memberikan informasi pada keluarga untuk memahami kebutuhan nutrisi pasien
c)    Anjurkan pasien makan makanan sedikit dan sering (sesuai dengan jumlah kalori yang boleh dikonsumsi)
Rasional: menurunkan beban kerja gaster dan usus sehingga rangsangan gastrointestinal menjadi berkurang.
Kolaborasi:
(1)   Pemberian anti mual dan muntah (seperti metocloperamid)
Rasional: mengurangi rangsangan gaster untuk mengeluarkan makanan atau minuman yang masuk
2.2.4.3   Nyeri akut (misalnya kaki) berhubungan dengan agen fisik
              Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 jam keperawatan masalah Nyeri akut (misalnya kaki) dapat teratasi
Kriteria evaluasi:
a.     Pasien melaporkan nyeri berkurang/hilang dalam 48 jam
b.    Ambulasi secara normal menahan beban berat badan sempurna sempurna saat pulang
c.     Ekspresi wajah pasien tidak terlihat meringis kesakitan
d.    Nadi 80 - 84 x/menit
e.     Skala nyeri 0 atau 1 atau 2 atau 3
Intervensi:
1)  Tentukan karakteristik nyeri berdasarkan deskripsi pasien (tergantung pada pasien yang mengekspresikan)
Rasional: menetapkan dasar untuk mengkaji perbaikan/perubahan pada nyeri
2)  Letakkan ayunan kaki di atas tempat tidur/anjurkan untuk menggunakan pakaian tidur yang longgar saat bangun
Rasional: menghindari tekanan langsung pada area yang cidera yang dapat mengakibatkan vasokontriksi/peningkatan nyeri
3)  Berikan analgetik per oral setiap 8 jam sesuai kebutuhan
Rasional: menurunkan ambang nyeri yang dialami oleh pasien melalui serabut syaraf
4)  Anjurkan pasien untuk memulai aktivitas tidak tergesa dan mendadak
Rasional: meningkatkan rasa perhatian terhadap benda sekililing dan mengurangi kekakuan otot
2.2.4.4   Resiko infeksi berhubungan dengan perlukaan jaringan
              Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 jam keperawatan masalah Resiko infeksi dapat teratasi.
Kriteria hasil:
a.     Tidak terdapat tanda-tanda peradangan dan infeksi seperti rubor, kalor, dolor, tumor, fungtioleisa, dan angka leukosit dalam batas 5.000 - 11.000 ul.
b.    Suhu tubuh tidak tinggi (36,5 - 37ºc)
c.     Hitung jenis leukosit: Basofil (0-1), eosinofil (1 - 3), neutrofil batang (2 - 6), neutrofil segemn (50 - 70), limfosit (20 - 40), monosit (2 - 8)
Intervensi:
1)  Observasi tanda-tanda infeksi dan peradangan
Rasional: memastikan kondisi pasien pada periode peradangan atau sudah terjadi infeksi. Terjadinya sepsis dapat dicegah lebih awal
2)  Tingkatkan upaya pencegahan dengan melakukan cuci tangan, memakai handscoon, masker, kebersihan lingkungan
Rasional: meminimalkan invasi mikroorganisme
3)  Pertahankan tehnik aseptik dan sterilisasi alat pada prosedur invasif
Rasional: invasi alat dapat menjadi mediator masuknya mikroorganisme
4)  Anjurkan untuk makan sesuai jumlah kalori yang dianjurkan terutama membatasi masuknya gula
Rasional: menurunkan resiko kadar gula darah tinggi yang merupakan media terbaik untuk pertumbuhan mikroorganisme
5)  Bantu pasien untuk personal hygiene
Rasional: menurunkan resiko invasi mikroorganisme
Kolaborasi:
a)  Berikan obat antibiotik yang sesuai
Rasional: penanganan awal dapat membantu mencegah timbulnya sepsis
b)  Lakukan pemeriksaan kultur dan sensitivitas sesuai dengan indikasi
Rasional: untuk mengidentifikasi organisme sehingga dapat memilih atau memberikan terapi antibiotik yang terbaik.
2.2.4.5   Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan perubahan status metabolik atau kerusakan sirkulasi
              Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 jam keperawatan masalah Kerusakan integritas kulit dapat teratasi.
Kriteria hasil:
a.     Terjadi perbaikan status metabolik yang dibuktikan oleh gula darah dalam batas normal dalam 36 jam.
b.    Bebas dari drainase purulen dalam 48 jam
c.     Menunjukan tanda-tanda penyembuhan dengan tepi luka bersih dalam 60 jam
d.    Tidak terdapat pembengkakan pada luka
    Intervensi untuk etiologi perubahan status metabolik:
1)  Kaji kondisi luka pada jaringan pasien (terutama area kaki dan punggung)
Rasional: mengidentifikasi tingkat metabolisme jaringan dan tingkat disintegritas
2)  Rendam kaki atau punggung (kalau memungkinkan dengan ember khusus) dalam air steril pada suhu kamar dengan larutan betadin (yang diencerkan) atau perhidrol 3 kali sehari selama 15 menit
Rasional: membersihkan luka, efektif untuk membantu penyembuhan dan meningkatkan sirkulasi metabolik
3)  Rawat luka dengan tehnik steril dan kaji area luka setiap kali mengganti balutan
Rasional: mencegah peningkatan presentasi mikroorganisme akibat kelainan metabolik (glukosa tinggi) dan memberikan informasi tentang efektifitas terapi
4)  Balut luka dengan kassa steril
Rasional: menjaga kebersihan luka/meminimalkan kontaminasi asing
5)  Berikan 15 unit insulin humulun N, SC pada siang hari setelah contoh darah harian diambil
Rasional: mengobati disfungsi metabolik yang mendasari menurunkan hiperglikemia dan  meningkatkan penyembuhan.
Intervensi untuk etiologi kerusakan sirkulasi :
a)  Dapatkan kultur drainase luka saat masuk
Rasional: mengidentifikasi pathogen penyebab disintegrasi kulit dan terapi pilihan
b)  Berikan dilokasasilin 500 mg per awal setiap 6 jam, mulai jam 10.00 malam amati tanda-tanda hipersensitivitas
Rasional: pengobatan infeksi/pencegahan komplikasi
c)  Kaji area luka setiap kali merawat luka dan mengganti balutan
Rasional: mengidentifikasi tingkat sirkulasi pada luka (Riyadi  & Sukarmin, 2008).

DAFTAR RUJUKAN

     Agur & Arhur F.D. (2009), Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Canada. Hal: 135.
Baradero, Dayrit M, & Siswadi M. (2009), Klien Gangguan Endokrin: Seri Asuhan Keperawatan. Edisi 1. Jakarta: EGC.
Betteng R, Pangemanan D, & Mayulu N. (2014), Analisis Faktor Resiko Penyebab Terjadinya Diabetes Mellitus Tipe 2 Pada Wanita Usia Produktif Dipuskesmas Wawonasa. Jurnal e-Biomedik Vol. 2. No. 2.Hal.145. (Internet). Termuat Dalam:

Bilous. R & Donelly.R . (2014), Buku Pegangan Diabetes. Edisi 4. Cetakan 1. Jakarta: Bumi Medika.
Brunner & Suddarth. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses - Proses Penyakit. Edisi 6. Cetakan 1. Jakarta:EGC.

Black M. J & Hawks H. J. (2009). Medical Surgical Nursing. Eighth Edition. Vol. 1. Singapore: Elsevier.

Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan. (2015). Rekapitulasi Jumlah Penyakit Diabetes Mellitus.
Fatimah Noor, F. (2015). Jurnal Korespondensi: Diabetes Mellitus Tipe 2. Vol.4. Hal. 93.
Hairi, L., Apriatmoko R & Sari L. (2013), Jurnal Kesehatan. Hubungan antara tingkat pengetahuan  tentang Diabetes Mellitus dengan gaya hidup penderita Diabetes Mellitus Tipe II di desa Nyatnyono. Vol. 1. Hal. 96. (Internet). Termuat dalam:

Hidayat, A.A (2008), Pengantar Konsep Keperawatan. Edisi 2. Jakarta: Salemba Musika.
Kemenkes RI. (2014), Infodatin. Pusat Data - Data Dan Informasi Kementrian Kesehatan RI: Situasi Dan Analisis Diabetes.
<http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/infodatin-diabetes.pdf> (Diakses tanggal 20 April 2016).

Kusuma, H & Nurarif, A.H. (2012). Handbook Health Student. Yogyakarta: Med Action.
Maryunani, A. (2015). Perawatn Luka (Modern Woundcare) Terlengkap dan Terkini. Jilid 1. Jakarta: In Media.
Medical Record RSUD Ulin Banjarmasin. (2016). Rekapitulasi Penyakit Diabetes Mellitus Di Ruang Tulip III B (Penyakit Dalam Wanita).
MIMS  Indonesia.  (2013). MIMS Petunjuk Konsultasi. Edisi 13. BIP Kelompok Gramedia.
Nurarif, H.A & Kusuma, H. (2013). Asuhan Keperawatan berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda. Edisi Revisi. Jilid 1. Yogyakarta: Med Action.
Nurjannah & Intansari. (2014). ISDA Intan’s Screening Diagnosis Assesment. Yogyakarta: Mocomedia.
 Putz, R & Pabst, R. (2006). Atlas Anatomi Manusia. Edisi 22. Jilid 2. Jakarta: EGC.
Rumahorbo, H. (2012). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Endokrin. Jakarta: EGC.
Saputra, L. (2013). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Tangerang: Binarupa Aksara.
Sari, R.W (2008). Bahaya Makanan Cepat Saji Dan Gaya Hidup Sehat. Yogyakarta: O2. (Internet). Termuat dalam:

Syaifuddin. (2006). Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC.  
Riyadi, S & Sukarmin. (2008). Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Gangguan Eksokrin dan Endokrin pada Pankreas. Edisi 1. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Tarwoto, Wartonah, Taufiq, I. & Mulyati, L. (2012). Keperawatan Medika Bedah Gangguan sistem Endokrin. Edisi 1. Jakarta: Trans Info Media.
Trinawati, K. S & Setyorogo, S. (2013). Jurnal Ilmiah Kesehatan: Faktor Resiko Kejadian Diabetes Mellitus Tipe II Di Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat Tahun 2012. Hal. 06.
Tjokroprawiro A. (2011). Hidup Sehat Bersama Diabetes: Panduan Lengkap Pola Makan untuk Penderita Diabetes. Jakarta: Gramedia  Pustaka Utama.  
Wijaya, A.S & Putri, Y.M (2013). KMB 2 Keperawatan  Medikal Bedah (Keperawatan Dewasa). Cetakan Pertama. Yogyakarta: Nuha Medika.