BAB
1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Penyakit Diabetes merupakan
salah satu penyakit degeneratif yang terkait langsung dengan gaya hidup atau life style. Sekalipun ada faktor lain
diluar gaya hidup, namun dari berbagai hasil penelitian mengungkapkan bahwa
peningkatan kualitas gaya hidup dapat menurunkan risiko terjadinya Diabetes
(Rumahorbo, 2012).
Diabetes Mellitus atau
disebut Diabetes saja merupakan penyakit gangguan metabolik menahun akibat pankreas
tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang
diproduksi secara efektif. Insulin adalah hormon yang mengatur keseimbangan
kadar gula darah (Kementrian Kesehatan RI [KemenKes RI], 2014).
Diabetes Mellitus
merupakan salah satu masalah kesehatan yang besar. Data dari studi global
menunjukan bahwa jumlah penderita Diabetes Mellitus pada tahun 2011 telah
mencapai 366 juta orang. Jika tidak ada tindakan yang dilakukan, jumlah ini
diperkirakan akan meningkat menjadi 552 juta pada tahun 2030 (Trisnawati &
Setyorogo, 2013). Laporan data Epidemiologi McCarty dan Zimmet menunjukan,
bahwa jumlah penderita Diabetes Mellitus di dunia dari 110,4 juta pada tahun
1994 melonjak 1,5 kali lipat (175,4 juta) pada tahun 2000, dan akan melonjak
dua kali lipat (239, 3 juta) pada tahun
2010 (Tjokroprawiro, 2011).
Sekitar 16 juta orang
di Amerika terdiagnosis Diabetes Mellitus. Prevalensinya adalah 6% sampai 7%
pada orang usia 45 sampai 65 tahun dan 10% sampai 12% pada orang yang berusia
lebih dari 65 tahun. Sekitar 90% diantaranya menderita Diabetes Mellitus tipe 2.
Sekitar 9,7 juta wanita di
Amerika menderita
Diabetes Mellitus. Diabetes Mellitus tipe II berkembang pada usia umur bahkan
pada masa anak maupun remaja (Betteng et
al., 2014).
Data lain menunjukan, lebih dari 80
juta Diabetes Mellitus Tipe II (orang dengan diabetes) berada di wilayah
Pasifik Barat dan Asia Tenggara (Sari, 2008). Berdasarkan data dari WHO
menyebutkan bahwa pada tahun 2011 jumlah penderita Diabetes Mellitus diseluruh
dunia sebanyak 346 juta orang dan diperkirakan akan meningkat menjadi 366 juta
pada tahun 2030 (Hairi et al., 2013).
Indonesia masuk ke dalam peringkat
6 angka kejadian Diabetes Mellitus terbanyak di dunia. International Diabetes
Federation (IDF) tercantum perkiraan penduduk Indonesia di atas 20 tahun
sebesar 125 juta dan dengan asumsi prevalensi DM 4,6 %, diperkirakan pada tahun
2000 berjumlah 5,6 juta (Betteng et al.,
2014).
Hasil riset kesehatan
dasar pada tahun 2008, menunjukkan prevalensi DM di Indonesia membesar sampai
57%. Tingginya prevalensi Diabetes Mellitus tipe II disebabkan oleh faktor
resiko yang tidak dapat berubah misalnya jenis kelamin, umur, dan faktor
genetik yang kedua adalah faktor resiko yang dapat diubah misalnya kebiasaan
merokok, konsumsi alkohol (Fatimah, 2015).
Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan
Selatan, dari data prevalensi penyakit tidak menular pada tahun 2015, terdapat
4.629 kasus penyakit Diabetes Mellitus. Dari data tersebut ditemukan bahwa penyakit
Diabetes Mellitus menempati urutan kedua dari sepuluh penyakit terbanyak di
kota Banjarmasin pada tahun 2015.
Berdasarkan data dari
Instalasi Rawat Inap RSUD Ulin Banjarmasin pada tahun 2016 di ruang Tulip III B
(Penyakit Dalam Wanita) Diabetes Mellitus menempati urutan pertama 10 penyakit
terbanyak. Pada periode Januari-Maret 2016 didapatkan data bahwa sebanyak 50
orang menderita penyakit Diabetes Mellitus.
Salah satunya Ny. P berdasarkan uraian
dari masalah Diabetes Mellitus, yaitu
meningkatnya prevalensi penderita Diabetes Mellitus yang diakibatkan oleh
beberapa faktor yaitu, faktor resiko yang
tidak dapat berubah misalnya jenis kelamin, umur, dan faktor genetik yang kedua
adalah faktor resiko yang dapat diubah misalnya kebiasaan merokok, konsumsi
alkohol. Maka penulis tertarik untuk melakukan asuhan
keperawatan dengan judul Asuhan Keperawatan Diabetes Mellitus pada pasien Ny. P
di ruang Tulip III B (Penyakit Dalam Wanita) RSUD Ulin Banjarmasin sebagai
Karya Tulis Ilmiah, dengan alasan agar penulis bisa memberikan asuhan
keperawatan secara mendalam dan kelak bila
telah menjadi tenaga kesehatan, mempunyai pengetahuan dan kemampuan
penanganan pada pasien dengan masalah Diabetes Mellitus, dan sebagai tenaga
kesehatan penulis dapat menentukan langkah yang tepat dan menangani pasien
dengan kasus tersebut.
1.2.
Tujuan
Penulisan
1.2.1 Tujuan
Umum
Tujuan umum dari penulisan karya tulis ilmiah ini
adalah untuk mengetahui gambaran dari asuhan keperawatan terhadap pasien dengan
diagnosa medis Diabetes Mellitus dalam praktek nyata di lapangan dengan
pendekatan proses keperawatan yang meliputi pengkajian sampai pendokumentasian.
BAB
2
TINJAUAN
TEORITIS
2.1
Tinjauan
Teoritis Medis
2.1.1
Anatomi Pankreas
Gambar
2.1 Pankreas (Putz & Pabst, 2006).
Pankreas adalah organ
pipih yang berada dibelakang lambung dalam abdomen, panjangnya kira-kira 20 -
25 cm, tebal + 2.5 cm dan beratnya sekitar 80 gram, terbentang dari atas sampai
ke lengkungan besar dari abdomen dan dihubungkan oleh dua saluran ke duodenum.
Struktur organ ini lunak dan berlobulus, tersusun atas kepala pankreas
merupakan bagian yang paling lebar terletak di sebelah kanan rongga abdomen dan
di dalam lekukan duodenum yang praktis
melingkarinya, badan
pankreas merupakan bagian utama pada organ ini letaknya di belakang lambung dan
di depan vertebra lumbalis pertama, ekor pankreas bagian yang runcing di
sebelah kiri dan berdekatan/menyentuh limpa (Tarwoto et al., 2012).
Kelenjar endokrin atau
kelenjar buntu adalah kelenjar yang mengirimkan hasil sekresinya langsung dalam
darah yang beredar dalam jaringan. Kelenjar tanpa melewati duktus atau saluran
dan hasil sekresinya disebut hormon. Beberapa dari organ endokrin ada yang
menghasilkan satu macam hormon (hormon tunggal). Di samping itu juga ada yang
menghasilkan lebih dari satu macam hormon
atau hormon ganda, misalnya kelenjar hipofise sebagai pengatur kelenjar
yang lain. Berasal dari sel-sel kapitel yang melakukan proliferasi ke arah
pengikat sel epitel yang telah berproliferasi dan membentuk sebuah kelenjar
endokrin, tumbuh dan berkembang dalam
pembuluh kapiler. Zat yang dihasilkannya disebut hormon, dialirkan langsung ke
dalam darah. Dalam keadaan fisiologis hormon mempunyai pengaturan sendiri
sehingga kadarnya selalu dalam keadaan optimum untuk menjaga keseimbangan dalam
organ yang berada dibawah pengaruhnya, mekanisme pengaturan ini disebut sistem
umpan balik negatif (Syaifuddin, 2006).
2.1.1.1
Hasil sekresi pankreas
a.
Hormon insulin
Hormon insulin ini
langsung dialirkan ke dalam darah tanpa melewati duktus. Sel-sel kelenjar yang
menghasilkan insulin ini termasuk sel-sel kelenjar endokrin. Kumpulan dari
sel-sel ini berbentuk seperti pulau-pulau yang disebut pulau langerhans.
b.
Getah pankreas
Sel-sel yang
memproduksi getah pankreas ini termasuk kelenjar eksokrin. Getah pankreas ini
dikirim ke dalam duodenum melalui duktus. Duktus ini bermuara pada papilla
vateri yang terletak pada dinding duodenum (Rumahhorbo, 2012).
2.1.1.2
Pankreas memiliki 2
fungsi penting yaitu :
a.
Fungsi eksokrin
Fungsi eksokrin pankreas
berupa sekresi beberapa jenis enzim yang berguna dalam proses pencernaan, 3
jenis nutrient utama yaitu karbohidrat, lemak, dan protein. Enzim masuk ke
dalam duodenum melalui saluran pankreas
(Rumahhorbo, 2012).
Kelenjar pankreas
hampir 99 persen tersusun dari sel asini yang merupakan penghasilkan getah
pankreas atau cairan pankreas. Setiap hari pankreas menghasilkan 1.200 - 1.500
ml cairan. Cairan pankreas jernih dan tidak berwarna, mengandung air, beberapa
garam, sodium bikarkonat dan enzim (Tarwoto et
al., 2012).
b.
Fungsi endokrin
Fungsi endokrin pankreas
berupa sekresi beberapa hormon yang berfungsi untuk mengatur metabolisme
nutrisi selular baik karbohidrat, protein maupun lemak. Hormon yang disekresi
oleh pankreas dicurahkan langsung ke dalam pembuluh darah menuju organ target (Rumahhorbo,
2012).
Kelenjar endokrin dalam
pankreas adalah pulau Langerhans yang menghasilkan hormon. Hormon merupakan zat
organik yang mempunyai sifat khusus untuk pengaturan fisiologis terhadap
kelangsungan hidup suatu organ atau sistem (Tarwoto et al., 2012).
2.1.1.3
Pankreas terdiri atas 2 jenis
jaringan utama yaitu:
a.
Sel asini, yang
mensekresi enzim pencernaan ke dalam duodenum.
a. Pulau
langerhans terdiri dari 3 jenis sel yaitu alpha yang
menghasilkan glukagon, sel beta menghasilkan insulin dan sel delta menghasilkan
somatostain. Pulau langerhans ditunjukan pada gambar berikut ini:
Gambar
2.2 Pankreas (Agur & Arthur, 2009)
1) Sel
alpha yang menghasilkan Glukagon
Sekresi
glukagon dirangsang oleh penurunan kadar glukosa darah dan peningkatan kadar
asam amino darah. Dalam sistem kerjanya glukagon merupakan mekanisme humoral
yang menyediakan energi untuk jaringan, bilamana tidak ada makanan yang
tersedia untuk diabsorpsi. Glukagon merangsang pemecahan glikogen cadangan,
mempertahankan produksi glukosa hati dari pemecahan asam amino (glukoneolisis).
Glukagon bersifat glukogenilitik, glukoneogenetik, lipolitik dan katogenik.
2) Sel
Beta yang menghasilkan Insulin
Insulin
adalah suatu protein yang terdiri dari 51 asam amino yang terkandung dalam dua
rantai peptide. Fungsi utama insuli adalah memudahkan penyimpanan zat-zat gizi
di hati, otot dan lemak melalui proses glikogenesis.
a)
Hati
Hati
adalah organ pertama yang dicapai insulin melalui aliran darah. Insulin bekerja
pada hati melalui dua jalur utama antara lain:
(1) insulin
membantu anabolisme
pada
fungsi ini insulin membantu sintesis dan penyimpangan glikogen dan pada saat
bersamaan mencegah pemecahannya, insulin meningkatkan sintesis protein,
trigliserida dan VLDL di hati, insulin juga menghambat glukoneogenesis, dan
membantu glikolisis.
(2) insulin
membantu katabolisme
insulin
bekerja untuk menekan peristiwa katabolic pada fase post absorptive dengan
menghambat glikogenolisis, ketogenesis dan glukoneogenesis di hati.
b)
Otot
Insulin
membantu sintesis protein di otot dengan meningkatkan transport asam amino dan
merangsang sintesis protein ribosomal. Di samping itu insulin juga membantu
sintesis glikogen untuk menggantikan cadangan glikogen yang telah dihabiskan
oleh aktivitas otot, meningkatkan transport glukosa ke dalam sel otot, menurunkan katabolisme protein, menurunkan
pelepasan asam amino glukoneogenik, meningkatkan ambilan keton, dan
meningkatkan ambilan kalium.
c)
Lemak
Insulin
bekerja membantu penyimpanan trigliserida dalam adiposit melalui sejumlah
mekanisme yaitu meningkatkan masuknya glukosa, meningkatkan sintesis gliserol
fosfat, mengaktifkan lipoprotein lipase, menghambat lipase peka hormon dan
meningkatkan ambilan kalium.
3) Sel
Delta yang menghasilkan Somatostain
Hormon
ini berfungsi memperlambat pengosongan lambung, menurunkan produksi asam
lambung dan gastrin, mengurangi sekresi pancreas eksokrin, menurunkan aliran
darah alat-alat dalam (Rumahhorbo, 2012).
2.1.2
Definisi Diabetes
Mellitus
Diabetes Mellitus
merupakan kondisi kronis yang ditandai dengan peningkatan konsentrasi glukosa
darah disertai munculnya gejala utama yang khas, yakni urin yang berasa manis
dalam jumlah besar (Bilous &
Donelly, 2014).
Diabetes Mellitus adalah
gangguan metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemi yang berhubungan dengan
abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh
penurunan sekresi insulin atau penurunan sensitivitas insulin atau keduanya dan
menyebabkan komplikasi kronis mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropati (Nurarif
& Kusuma, 2013).
Diabetes
Mellitus is a chronic, progressive disease characterized by the body’s
inability to metabolize carbohydrates, fats, and proteins,leading to hyperglycemia(high
blood glucose level). Diabetes mellitus is sometimes referred to as “high
sugars” by both clients and health care providers (Black & Hawks, 2009).
Diterjemahkan: Diabetes Mellitus
adalah penyakit progresif kronis, yang ditandai dengan ketidakmampuan tubuh
untuk melakukan metabolisme kaebohidrat, lemak dan protein, yang menyebabkan
hiperglikemia (kadar gula yang tinggi dalam darah). Diabetes kadang disebut
sebagai “gula yang tinggi” dari keduanya klien dan layanan kesehatan.
Kesimpulannya, Diabetes Mellitus
adalah suatu penyakit gangguan metabolisme yang ditandai dengan ketidakmampuan
tubuh melakukan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein sehingga menyebabkan
terjadinya hiperglikemia, yaitu peningkatan kadar glukosa darah yang disebabkan
oleh penurunan sekresi insulin atau penurunan sensitivitas insulin atau
keduanya.
2.1.3
Etiologi
2.1.3.1 Dm tipe I
Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)
Diabetes yang tergantung
insulin ditandai dengan penghancuran sel-sel beta pankreas yang disebabkan oleh:
a. Faktor
genetik penderita tidak mewarisi Diabetes tipe itu sendiri, tetapi mewarisi
suatu predisposisi atau kecendrungan genetik kearah terjadinya Diabetes
Mellitus tipe I.
b. Faktor
imunologi (autoimun)
c. Faktor
lingkungan: virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang
menimbulkan estruksi sel beta.
2.1.3.2 Dm tipe
II Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
Disebabkan oleh kegagalan
relatif sel beta dan resistensi insulin. Faktor yang berhubungan dengan proses
terjadinya diabetes mellitus tipe II: usia, obesitas, riwayat dan keluarga.
(Nurarif & Kusuma, 2013).
2.1.3.3 Type 1
Diabetes Mellitus
Previously
called IDDM or juvenile-onset diabetes mellitus, is characterized by
destruction of pancreatic beta cells, leading to absolute insulin deficiency. Type 1 diabetes mellitus is inherited as a
heterogeneous, multigenic trait. An association also exists between type 1
diabetes mellitus and several human leukocyte antigens (HLAs). Environmental
factors such as viruses appear to trigger an autoimmune process that destroys
beta cells. Islet cell antibodies (ICAs) then appear, Increasing in amount over
months to years as beta cells are destroyed. Fasting hyperglycemia (elevated
blood glucose level) occurs when 80 % to 90% of beta-cells mass has been destroyed.
Identification of ICAs has made it possible detect type 1 diabetes mellitus in
its preclinical stage. Enough insulin to sustain life. The client then becomes
dependent on exogenous insulin (produced outside body) administration to surviv
(Black & Hawks, 2009).
Diterjemahkan: Diabetes Mellitus tipe 1
Sebelumnya disebut IDDM atau onset remaja diabetes
mellitus, ditandai
dengan kerusakan sel beta pankreas, yang menyebabkan kekurangan insulin secara absolut.
Diabetes Mellitus tipe 1 diwariskan secara heterogen, yang bersifat multigeni. Dari sebuah asosiasi juga ada perantara antara Diabetes Mellitus tipe 1 dengan beberapa antigen leukosit manusia (HLAs). Faktor lingkungan seperti virus muncul untuk memicu proses autoimun yang menghancurkan sel beta. Antibodi sel islet (ICAS) kemudian muncul, peningkatan dalam jumlah selama beberapa bulan sampai ke tahun sel beta dapat dihancurkan. Puasa hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) terjadi saat 80% sampai 90% dari sel-beta massa telah dihancurkan. Identifikasi ICAS telah memungkinkan mendeteksi Diabetes Mellitus tipe 1 dalam tahap praklinis nya. Kecukupan insulin untuk mempertahankan hidup. Klien kemudian menjadi tergantung pada insulin eksogen (diproduksi di luar tubuh) sebagai administrasi untuk bertahan hidup.
Diabetes Mellitus tipe 1 diwariskan secara heterogen, yang bersifat multigeni. Dari sebuah asosiasi juga ada perantara antara Diabetes Mellitus tipe 1 dengan beberapa antigen leukosit manusia (HLAs). Faktor lingkungan seperti virus muncul untuk memicu proses autoimun yang menghancurkan sel beta. Antibodi sel islet (ICAS) kemudian muncul, peningkatan dalam jumlah selama beberapa bulan sampai ke tahun sel beta dapat dihancurkan. Puasa hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) terjadi saat 80% sampai 90% dari sel-beta massa telah dihancurkan. Identifikasi ICAS telah memungkinkan mendeteksi Diabetes Mellitus tipe 1 dalam tahap praklinis nya. Kecukupan insulin untuk mempertahankan hidup. Klien kemudian menjadi tergantung pada insulin eksogen (diproduksi di luar tubuh) sebagai administrasi untuk bertahan hidup.
2.1.3.4 Type 2
Diabetes Mellitus
The
pathogenesis of type 2 diabetes mellitus differs significantly from that of
type 1. A limited beta-cell response to hyperglycemia appears to be a major
factor in its development. Beta cells chronically exposed to high blood levels
of glucose become progressively less efficient when responding to further
glucose elevations. This phenomenon, termed desensitization, is reversible by
normalizing glucose levels. The ratio of proinsulin (a precursor to insulin) to
insulin secreted also increases.
A
second pathophysiologic process in type 2 diabetes mellitus is resistance to
the biologic activity of insulin in both the liver and peripheral tissues. This
state is known as insulin resistance. People with type 2 diabetes mellitus have
a decreased sensitivity to glucose levels, which result in continued hepatic
glucose production, even with high blood glucose levels. This is coupled with
an inability of muscle and fat tissues to increase glucose uptake. The
mechanism causing peripheral insulin resistance is not clear, however, it
appears to occur after insulin binds to a receptor on the cell surface (Black & Hawks, 2009).
Diterjemakan: Tipe 2 Diabetes Mellitus Patogenesis Diabetes Mellitus tipe 2 berbeda secara signifikan dari yang tipe
1. Sebuah respon
sel-beta
yang terbatas untuk hiperglikemia tampaknya menjadi faktor utama dalam pembangunan.
Sel-sel beta kronis terkena tingkat tingginya kadar glukosa darah menjadi semakin kurang efisien ketika
menanggapi peningkatan glukosa lebih lanjut. Fenomena ini, disebut
desensitisasi, reversibel dengan menormalkan kadar glukosa. Rasio proinsulin
(prekursor terhadap insulin) untuk insulin yang disekresikan juga meningkat.
2.1.4
Patofisiologi
2.1.4.1 Sebagian
besar gambaran patologik dari DM dapat dihubungkan dengan salah satu efek utama
akibat kurangnya insulin berikut: berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel-sel
tubuh yang mengakibatkan naiknya konsentrasi glukosa darah setinggi 300 - 1.200
mg/dl. Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah penyimpanan lemak yang
menyebabkan terjadinya metabolisme lemak yang abnormal disertai dengan endapan
kolestrol pada dinding pembuluh darah dan akibat dari berkurangnya protein
dalam jaringan tubuh.
Pasien-pasien yang mengalami
defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang
normal atau toleransi sesudah makan. Pada hiperglikemi yang parah yang melebihi
ambang ginjal normal (konsentrasi glukosa darah sebesar 160 - 180 mg/100 ml),
akan timbul glikosuria karena tubulus-tubulus renalis tidak dapat menyerap
kembali semua glukosa. Glukosuria ini akan mengakibatkan dieresis osmotik yang
menyebabkan poliuri disertai kehilangan sodium, klorida, potassium, dan pospat.
Adanya poliuri menyebabkan dehidrasi dan timbul polidipsi. Akibat glukosa yang
keluar bersama urin maka pasien akan mengalami keseimbangan protein negatif dan
berat badan menurun serta cenderung terjadi polifagi. Akibat yang lain adalah
asthenia atau kekurangan energi sehigga pasien menjadi cepat lelah dan
mengantuk yang disebabkan oleh berkurangnya
atau hilangnya protein tubuh dan juga berkurangnya penggunaan
karbohidrat untuk energi.
Hiperglikemia yang lama
akan menyebabkan arterosklerosis, penebalan membran basalis dan perubahan pada saraf
perifer. Ini akan memudahkan terjadinya gangren pasien yang mengalami
defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa yang normal, atau
toleransi glukosa sesudah makan karbohidrat, jika hiperglikemianya parah dan
melebihi ambang ginjal, maka timbul glukosoria. Glukosoria ini akan
mengakibatkan dieresis osmotik yang meningkatkan mengeluarkan kemih (poliuria)
harus testimulasi, akibatnya pasien akan minum dalam jumlah banyak karena
glukosa hilang bersama kemih, maka pasien mengalami keseimbangan kalori
negative dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia)
timbul sebagai akibat kekurangan kalori (Wijaya & Putri, 2013).
Diabetes Mellitus tipe
I terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas
telah dihancurkan oleh proses autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi akibat
produksi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Disamping itu, glukosa yang
berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada
dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia postprandial (sesudah makan), jika
konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap
kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul
dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebih dieksresikan dalam urin,
eksresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan,
pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus
(polidipsi) (Brunner & Suddarth, 2006).
Defisiensi insulin juga
mengganggu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat
badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera makan (polifagia) akibat
menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan.
Proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut turut menimbulkan
hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak. Badan keton
merupakan asam yang mengganggu keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya
berlebihan. Ketoasidosis yang diakibatkannya dapat menyebabkan tanda dan gejala
seperti nyeri abdominal, mual, muntah, hiperventilasi, nafas berbau aseton dan
bila tidak di tangani akan menimbulkan perubahan kesadaraan, koma bahkan
kematian.
Diabetes Mellitus tipe
2 terdapat dua masalah yang berhubungan dengan insulin, yaitu resistensi
insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan
reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan
reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa
didalam sel. Resistensi insulin pada Diabetes Mellitus tipe 2 disertai dengan
penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif
untuk menstimulus pengambilan glukosa oleh jaringan. Akibat intoleransi glukosa
yang berlangsung lambat dan progresif maka awitan Diabetes Mellitus tipe 2
dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut
sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria,
polidipsia, luka yang lama sembuh,
infeksi vagina atau pandangan yang kabur (jika kadar glukosanya sanggat tinggi)
(Brunner & Suddarth, 2006).
Gambar: 2.3
(Sumber: Nurarif
& Kusuma, 2013).
2.1.6
Manifestasi Klinis
2.1.6.1 Manifestasi
klinis Diabetes Mellitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi
insulin.
a. Kadar
glukosa puasa tidak normal
b. Hiperglikemia
berat akibat glukosuria yang akan menjadi dieresis osmotik yang meningkatkan
pengeluaran urin (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsi)
c. Rasa
lapar yang semakin besar (polifagia), BB
berkurang
d. Lelah
dan mengantuk
e. Gejala
lain yang dikeluhkan adalah kesemutan, gatal, mata kabur, impotensi, periuritas
vulva.
(Nurarif & Kusuma, 2013).
2.1.6.2 Tanda Dan Gejala
a. Sering kencing atau meningkatnya frekuensi buang air kecil
(poliuria) adanya hiperglikemia menyebabkan sebagian glukosa di keluarkan oleh
ginjal bersama urin karena keterbatasan kemampuan filtrasi ginjal dan kemampuan
reabsorpsi dari tubulus ginjal. Untuk mempermudah pengeluaran glukosa tubulus
ginjal. Untuk mempermudah pengeluaran glukosa maka diperlukan banyak air,
sehingga frekuensi miksi menjadi meningkat.
b. Meningkatnya rasa haus (polidipsi) banyaknya
miski menyebabkan tubuh kekurangan cairan (dehidrasi), hal ini merangsang pusat
haus yang mengakibatkan peningkatan rasa haus.
c.
Meningkatnya rasa lapar (polipagia) meningkatnya katabolisme pemecahan glikogen untuk energi menyebabkan
energi berkurang keadaan ini menstimulasi pusat lapar.
d. penurunan berat badan disebabkan karena
banyaknya kehilangan cairan, glikogen dan cadangan trigliserida serta massa
otot.
e. kelainan pada mata, penglihatan kabur pada
kondisi kronis keadaan hiperglikemia menyebabkan aliran darah menjadi lambat, sirkulasi
ke vaskuler tidak lancar, termasuk pada mata yang dapat merusak retina serta
kekeruhan pada lensa.
f. kulit gatal, infeksi kulit, gatal-gatal
disekitar penis dan vagina peningkatan glukosa darah mengakibatkan penumpukan
pula pada kulit sehingga menjadi gatal, jamur, dan bakteri mudah menyerang
kulit.
g. ketonuria ketika glukosa tidak lagi di
gunakan untuk energi, maka digunakan asam lemak untuk energi, asam lemak akan
dipecah menjadi keton yang kemudian berada pada darah dan dikeluarkan melalui
ginjal.
h. Kelemahan dan keletihan, kurangnya cadangan
energi adanyakelaparan sel, kehilangan potassium menjadi akibat pasien mudah
lelah dan letih.
i. Terkadang tanpa gejala pada keadaan
tertentu, tubuh sudah dapat beradaptasi dengan peningkatan glukosa darah (Tarwoto
et al., 2012).
2.1.7
Penatalaksanaan
2.1.7.1 Penatalaksanaan
Menurut Tarwoto et al. (2012) menyebutkan bahwa
penatalaksanaan Diabetes Mellitus adalah:
a.
Managemen diet Diabetes
Mellitus
Kontrol nurisi, diet dan berat badan merupakan dasar
penanganan pasien Diabetes Mellitus. Tujuan yang paling penting dalam managemen
nutrisi dan diet adalah mengontrol total kebutuhan kalori tubuh, intake yang
dibutuhkan, mencapai kadar serum lipid normal. Komposisi nutrisi pada diet
Diabetes Mellitus adalah kebutuhan kalori, karbohidrat, lemak, protein dan
serat.
1)
Kebutuhan kalori
Kebutuhan kalori
tergantung berat badan (kurus, ideal, obesitas), jenis kelamin, usia, aktivitas
fisik.
2)
Kebutuhan karbohidrat
Karbohidrat merupakan
komponen terbesar dari kebutuhan kalori tubuh, yaitu sekitar 50% - 60 %
3)
Kebutuhan protein
Untuk adekuatnya
cadangan protein, diperlukan kira-kira 10% - 20% dari kebutuhan kalori atau 0.8g/kg/hari.
4)
Kebutuhan lemak
Kebutuhan lemak kurang
dari 30% dari total kalori, sebaiknya dari lemak nabati dan sedikit dari lemak
hewani.
5)
Kebutuhan serat
Serat dibutuhkan
sekitar 20 - 35 g perhari dari berbagai bahan makanan atau rata-rata 25 g/hari.
b.
Latihan fisik
Latihan fisik bagi
penderita Diabetes Mellitus sangat dibutuhkan, karena pada saat latihan fisik
energi yang dipakai adalah glukosa dan asam lemak bebas. Latihan fisik
bertujuan:
1)
Menurunkan gula darah
dengan meningkatkan metabolisme karbohidrat.
2)
Menurunkan berat badan
dan mempertahankan berat badan normal.
3)
Meningkatkan
sensitifitas insulin.
4)
Meningkatkan kadar High
density lipoprotein (HDL) dan menurunkan kadar trigliserida.
5)
Menurunkan tekanan
darah.
c.
Jenis latihan fisik
diantaranya adalah olah raga seperti latihan aerobik, jalan, lari, bersepeda,
berenang. Hal yang perlu diperhatikan dalam latihan fisik Diabetes Mellitus
adalah frekuensi, intensitas, durasi waktu dan jenis latihan. Misalnya pada
olah raga sebaiknya secara teratur 3x/minggu, dengan intensitas 60 - 70% dari heart rate maximum (220 - umur), lamanya
20 - 45 menit.
d.
Obat-obatan
1)
Obat antidiabetik oral
atau Hypoglikemik Agent (OHO) efektif
pada Diabetes Mellitus Tipe II, jika managemen nutrisi dan latihan gagal.
Jenis obat-obatan
antidiabetik oral:
a)
Sulfonylurea: bekerja
dengan merangsang beta sel pankreas untuk melepaskan cadangan insulinnya. Yang
termasuk obat jenis ini adalah Glibenklamid, Tolbutamid, Klorpropamid.
b)
Biguanida: bekerja
dengan menghambat penyerapan glukosa di usus, misalnya glukophage.
2)
Pemberian hormon
insulin
Pasien dengan Diabetes
Mellitus tipe I tidak mampu memproduksi insulin dalam tubuhnya, sehingga sangat
tergantung pada pemberian insulin. Berbeda dengan Diabetes Mellitus tipe II
yang tidak tergantung pada insulin, tetapi memerlukannya sebagai pendukung
untuk menurunkan glukosa darah dalam mempertahankan kehidupan.
Tujuan pemberian
insulin adalah meningkatkan transport glukosa ke dalam sel dan menghambat
konversi glikogen dan asam amino menjadi glukosa. Berdasarkan daya kerjanya
insulin dibedakan menjadi:
a)
Insulin dengan masa
kerja pendek (2 - 4 jam) seperti regular insulin, actrapid.
b)
Insulin dengan masa
kerja menengah (6 - 12 jam) seperti Neutral Protamine Hagedorn (NPH) insulin, lente insulin.
c)
Insulin dengan masa
kerja panjang (18 - 24 jam) seperti protamine zinc insulin dan ultralente
insulin.
d) Insulin
campuran yaitu kerja cepat dan menengah, misalnya 70% NPH, 30% regular.
e.
Pendidikan kesehatan
Hal penting yang harus
dilakukan pada pasien Diabetes Mellitus adalah pendidikan kesehatan. Beberapa
hal penting yang perlu disampaikan pada pasien Diabetes Mellitus adalah
1)
Penyakit Diabetes
Mellitus yang meliputi pengertian, tanda dan gejala, penyebab, patofisiologi
dan test diagnosis.
2)
Diet atau managemen
diet pada pasien Diabetes Mellitus.
3)
Aktivitas sehari-hari
termasuk latihan dan olahraga.
4)
Pencegahan terhadap
komplikasi Diabetes Mellitus diantaranya penatalaksanaan hipoglikemia,
pencegahan terjadi gangren pada kaki dengan latihan senam.
5)
Pemberian obat-obatan
dan cara injeksi insulin.
6)
Cara monitoring dan
pengukuran glukosa darah secara mandiri.
f.
Monitoring glukosa
darah
Pasien dengan Diabetes
Mellitus perlu diperkealkan tanda dna gejala hiperglikemi dan hipoglikemia
serta yang paling penting adalah bagaimana memonitor glukosa darah secara
mandiri. Pemeriksaan
glukosa darah dapat
dilakukan secara mandiri dengan menggunakan glukometer. Pemeriksaan ini penting
untuk memastikan glukosa darah dalam keadaan stabil.
2.1.7.2
Tujuan utama penatalaksanaan klien dengan Diabetes Mellitus adalah untuk mengatur glukosa darah dan mencegah
timbul nya komplikasi akut dan kronis Penatalaksaan jangka panjang diarahkan untuk mencegah dan
mengurangi progresitas komplikasi makrovaskuler, mikrovaskuler dan neuropati.
Penatalaksaan Diabetes dikelompokkan atas 4 pilar
menurut Rumahorbo, 2012 yaitu:
a.
Edukasi
Edukasi penyandang Diabetes dimaksudkan untuk memberi informasi tentang gaya
hidup yang perlu diperbaiki secara khusus memperbaiki pola makan dan pola
latihan fisik. Informasi yang cukup akan memperbaiki keterampilan dan sikap
penyandang diabetes. Melalui edukasi yang tepat diharapkan penyandang Diabetes akan memiliki keyakinan diri dalam bertindak
sehingga terbentuk motivasi dalam bertindak. Dalam melaksanakan edukasi, media
dan metoda serta pendekatan yang digunakan menjadi faktor penentu keberhasilan
edukasi. Menggunakan tekhnik komunikasi yang terapeutik seperti empati akan
sangat membantu oleh karena perubahan gaya hidup bukanlah hal yang mudah untuk
dilakukan sehingga dibutuhkan edukator yang dapat memahami kesulitan pasien,
karena dengan melakukan pemantauan kadar glukosa secara
mandiri (self-monitoring of blood
glucose), penyandang Diabetes dapat mengatur terapinya untuk mengendalikan
kadar glukosa darah secara optimal. Cara ini memungkinkan deteksi dan
pencegahan hipoglikemia serta hiperglikemi dan mencegah komplikasi Diabetes Mellitus.
b.
Terapi gizi
Memformulasi paket gizi yang berguna dalam menyeimbangkan
intake kalori yang masuk dan yang dibutuhkan tubuh merupakan salah satu upaya
dalam membantu menyeimbangkan kadar glukosa dalam darah.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
1) Karbohidrat
a) Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 50
- 60%
dari total asupan kalori
b) Pembatasan karbohidrat total < 130 g/hari tidak
dianjurkan
c) Makanan mengandung karbohidrat terutama yang mengandung
serat tinggi
d) Sukrosa tidak boleh lebih dari 5 dari total asupan kalori
e) Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula
asal tidak melebihi batas aman konsumsi harian
f) Makan 3 kali sehari atau lebih, namun kalorinya tidak
melebihi kebutuhan tubuh. Kalau perlu ada selingan makanan yang kalorinya telah
diperhitungkan dari kalori harian
2) Lemak
a) Asupan lemak yang dianjurkan sekitar 20
- 35%
dari total kebutuhan kalori
b) Sebaiknya dari lemak nabati dan sedikit dari
lemak hewani.
3) Protein
a) Dibutuhkan sebesar 10
- 20%
total asupan kalori atau 0.8 g/kg/hari.
b) Sumber protein antara lain sea food, daging tanpa lemak, ayam tanpa
kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan seperti juga tahu dan tempe
c) Bila ada nefropati, perlu dilakukan
pembatasan protein seperti anjuran medis.
4) Serat
Serat dibutuhkan sekitar 20 - 35
g/hari dari berbagai jenis makanan.
c.
Latihan fisik
Latihan fisik sangat penting dalam penatalaksaan Diabetes karena efeknya dapat menurunkan kadar glukosa
darah dan mengurangi faktor resiko kardiovaskuler. Latihan juga akan mengubah
kadar lemak darah yaitu meningkatkan kadar HDL kolesterol dan menurunkan kadar
kolesterol total serta trigliserida. Pemilihin jenis dan intensitas latihan
fisik memerlukan advis tenaga kesehatan.
d.
Farmakoterapi (jika
diperlukan)
Penggunaan obat golongan hipoglikemik merupakan upaya
terakhir setelah upaya-upaya lain tidak berhasil membantu menyeimbangkan kadar
glukosa darah penyandang Diabetes. Obat hipoglikemik dapat diberikan dalam bentuk tablet atau injeksi. Obat Hipoglikemik Oral (OHO) tersedia dalam bentuk tablet. Berdasarkan cara
kerjanya OHO dibagi atas 4 golongan yaitu:
1)
Pemicu sekresi
insulin seperti sulfonil urea dan glinid
2)
Penambah
sensitivitas terhadap insulin seperti metformin dan tiazolindion
3)
Penghambat glukoneogenesis
4)
Penghambat absorbsi
glukosa seperti penghambat glukosidase alfa.
Obat hipoglikemik injeksi yang lazim disebut insulin,
dibagi berdasarkan cara dan lama kerja seperti insulin cepat kerja (rapid
acting insulin), insulin kerja pendek (short
acting insulin), insulin kerja menengah (intermediate acting insulin), insulin kerja panjang
(long acting insulin)
dan insulin campuran.
2.1.8
Data Penunjang
2.1.8.1 Menurut Riyadi & Sukarmin ( 2008) Pemeriksaan gula darah pada pasien Diabetes Mellitus
antara lain:
a. Gula
darah puasa (GDP) 70 - 110 mg/dl
Kriteria diagnostik untuk DM
> 140 mg/dl paling sedikit dalam dua kali pemeriksaan atau > 140 mg/dl
disertai gejala klasik hiperglikemia, atau IGT 115 - 140 mg/dl.
b. Gula
darah 2 jam post prondial < 140 mg/dl
Digunakan untuk skrining atau
evaluasi pengobatan bukan di diagnostik.
c. Gula
darah sewaktu < 140 mg/dl
Digunakan untuk skrining
bukan diagnostik.
d. Tes
Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
GD <115 mg/dl ½ jam, 1
jam, 1 ½ jam < 200 mg/dl, 2 jam < 140 mg/dl. TTGO dilakukan hanya pada
pasien yang telah bebas dan diet dan beraktivitas fisik 3 hari sebelum tes
tidak dianjurkan pada
1)
Hiperglikemi yang sedang
puasa
2)
Orang yang mendapat thiazide,
dilantin, propanolol, lasik, thyroid, estrogen, pil KB, steroid.
3)
Pasien yang dirawat atau
sakit akut atau pasien inaktif.
e. Tes
Toleransi Glukosa Intravena (TTGI)
Dilakukan jika TTGO merupakan
kontraindikasi atau terdapat kelainan gastrointestinal yang mempengaruhi
absorbsi glukosa.
f. Tes
Toleransi Kortison Glukosa
Digunakan jika TTGO tidak bermakna,
kortison menyebabkan peningkatan kadar gula darah abnormal dan menurunkan
penggunaan gula darah perifer pada orang yang berpredisposisi menjadi DM kadar
glukosa darah 140 mg/dl pada akhir 2 jam dianggap sebagai hasil positif.
g. Glycosatet
Hemoglobin
Berguna dalam memantau kadar
glukosa dengan rata-rata selam lebih dari 3 bulan.
h. C-Peptide
1 - 2 mg/dl (puasa) 5 - 6 kali meningkat setelah pemberian glukosa
Untuk mengukur proinsulin
(produk samping yang tak aktif secara biologis) dari pembentukan insulin dapat
membantu mengetahui sekresi insulin.
i. Insulin
serum puasa: 2 - 20 mu/ml post glukosa sampai 120 mu/ml, tidak digunakan secara
luas dalam klinik, dapat digunakan dalam diagnosa hipoglikemia atau dalam
penelitian Diabetes.
2.1.8.2 Untuk menetukan penyakit Diabetes
Mellitus, disamping dikaji tanda dan gejala yang dialami pasien juga yang
penting adalah dilakukan tes diagnostik diantaranya:
a. pemeriksaan Gula Darah Puasa atau Fasting
Blood Sugar
tujuan: menentukan jumlah glukosa darah
pada saat puasa.
Pembatasan: tidak makan selama 12 jam
sebelum test biasanya jam 08.00 pagi sampai jam 20.00, minum boleh.
Prosedur: darah diambil dari vena dan
dikirim ke laboratorium
Hasil: Normal 80 - 120 mg/100 ml serum,
abnormal 140 mg/100 ml atau lebih.
b. pemeriksaan gula darah postprandial
tujuan: menentukan gula darah setelah
makan
pembatasan tidak ada
prosedur: pasien diberi
makan kira-kira 100 gr karbohidrat, dua jam kemudian diambil darah venanya.
Hasil: normal kurang
dari 120 mg/100 ml serum, abnormal lebih dari 200 mg/100 ml atau lebih.
c. Pemeriksaan toleransi glukosa oral/oral
glukosa tolerance test (OGTT)
Tujuan: menentukan
toleransi terhadap respons pembelian glukosa.
Pembatasaan: pasien
tidak makan 12 jam sebelum test dan selama test, boleh minum air putih, tidak
merokok, ngopi atau minum teh selama pemeriksaan ( untuk mengukur respon tubuh
terhadap karbohidrat), sedikit aktivitas, kurangi stres (keadaan banyak
aktivitas dan stres menstimulasi epinephrine dan kortisol dan berpengaruh
terhadap peningkatan gula darah melalui peningkatan glukoneogenesis).
Prosedur: pasien diberi
makanan tinggi karbohidrat selama 3 hari sebelum test, ambil darah puasa dan
urin untuk pemeriksaan. Berikan 100 gr glukosa ditambah juice lemon melalui
mulut, periksa darah dan urin ½, 1, 2, 3, 4, dan 5 jam setelah pemberian
glukosa.
Hasil: normal puncaknya
jam pertama setelah pemberian 140 mg/dl dan akan kembali normal 2 atau3 jam
kemudian, abnormal: peningkatan glukosa pada jam pertama tidak kembali setelah
2 atau 3 jam, urin positif glukosa.
d.
Pemeriksaan urin
Pemeriksaan ini kurang
akurat karena hasil pemeriksaan ini banyak dipengaruhi oleh berbagai hal
misalnya karena obat-obatan seperti aspirin, vitamin C dan beberapa antibiotik,
adanya kelainan ginjal dan pada lansia dimana ambang ginjal meningkat. Adanya glukosuria
menunjukan bahwa ambang ginjal terhadap glukosa terganggu.
e.
Pemeriksaan keton urin
Badan keton merupakan
produk sampingan proses pemecahan lemak, dan senyawa ini akan menumpuk pada
darah dan urin. Jumlah keton yang besar pada urin akan merubah pereaksi pada
strip menjadi keunguan. Adanya ketonuria menunjukan ketoasidosis.
f.
Pemeriksaan kolestrol
dan kadar serum trigliserida, dan meningkat karena ketidakadekuatan kontrol
glikemik (Tarwoto et al., 2012).
2.1.9
Komplikasi
2.1.9.1 Menurut
Baradero et al., (2009) Komplikasi
Diabetes mellitus diklasifikasi menjadi akut dan kronis. Yang termasuk dalam
komplikasi akut adalah hipoglikemia, Diabetes Ketoasidosis, dan hyperglycemic hyperosmolar nonketotic coma yang
termasuk dalam komplikasi kronis adalah retinopati diabetic, nefropati
diabetic, neuropati, dispidemia, dan hipertensi
a. Komplikasi
Akut
1) Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah
keadaan dengan kadar glukosa darah dibawah 60 mg/dl, yang merupakan komplikasi
potensial terapi insulin atau obat hipoglikemik oral. Penyebab hipoglikemia
pada pasien yang sedang menerima pengobatan insulin eksogen atau hipoglikemik
oral antara lain:
a) Regimen
insulin yang tidak fisiologis
b) Overdosis
insulin atau sulfonylurea
c) Tidak
makan
d) Tidak
mengonsumsi kudapan yang telah diirencanakan
e) Gerak
badan tanpa konpensasi makanan
f) Penyakit
ginjal stadium akhir
g) Penyakit
hati stadium akhir
h) Konsumsi
alkohol
2) Diabetes
ketoasidosis
Diabetes ketoasidosis
adalah akibat yang berat dari deficit insulin yang berat dari jaringan adipose,
otot skeletal, dan hepar. Jaringan tersebut termasuk sangat sensitive terhadap
kekurangan insulin. DKA dapat dicetuskan oleh infeksi (penyakit).
1)
Pemantauan
a) Glukosa
darah finger-stick setiap jam
b) Kalium
serum setiap jam
c) Bikarbonat
setiap dua jam
d) Gas
darah arteri setiap 2 - 4 jam
e) EKG
kalau perlu
f) Tambahan
pemantauan bergantung pada keadaan pasien (pemantauan jantung, tekanan vena
sental, intubasi nasogastrik, dan kateter foley)
g) Asupan
dan keluaran.
2)
Rehidrasi melalui IV
a) Defisit
cairann bisa lebih enam liter
b) Salin
normal 500 ml/jam dalam satu jam pertama,kemudian 250 ml/jam
c) Hindari
larutan hipotonik (salin normal 0,45%) karena bisa meningkatkan resiko untuk
edema serebral.
3)
Beri insulin IV untuk
mengendalikan glukoneogenesis, lipolisis, ketogenesis serta meningkatkan
pemakaian glukosa otot skeletal.
a) Insulin
harus diberikan lewat IV, mulai dengan kecepatan 0,1 U/kg berat badan. Apabila
tidak ada masalah dengan volume cairan seperti adanya gagal kongestif, larutkan
50 ml insulin regular dalam 50 ml salin normal kemudian 1 U 10 ml. atur tetesan
per jam 0,1 U (1 ml) sampai glukosa darah mencapai 70 - 150 ml/dl.
b) Insulin
reguler IV bolus mempunyai efek hanya
dalam lima menit sehingga tidak bermanfaat.
c) Apabila
pasien sudah bisa menerima cairan karbohidrat per oral, tambahan insulin
diberikan secara subkutan.
d) Apabila
pasien sudah bisa makan, teruskan program insulin yang dipakainya sebelum
terjadi ketoasidosis. Jangan hentikan IV insulin (infus) sampai dua jam setelah
insulin subkutan diberikan untuk mencegah hilangnya kendali hepar terhadap
glukosa.
4)
Penggantian elektrolit
yang hilang
a) Kalium
IV apabila keluaran urin sudah membaik ≤3 mEq/L, beri 40 - 60 mEq/jam, 3 - 4
mEq/L, beri 30 mEq/jam, 4 - 5 mEq/L, 20 mEq/jam, ≥6 mEq/L, jangan beri kalium.
b) Beri
separuh sebagian kalium fosfat klorida dan separuh sebagai kalium fosfat untuk
mengganti fosfat yang hilang.
c) Bikarbonat
diberikan hanya apabila pH darah adalah ≤7,0 dan pasien mengalami hipotensi,
syok, atau disritmia. Harus diberikan IV pelan-pelan dan dihentikan apabila
pH≥7,0. Komplikasi bikarbonat adalah edema serebral yang fatal.
5)
Hitung leukosit dan
diferensial. Leukositosis bisa timbul.
6)
Tangani penyebab sepsis
(IM silent). Pasien dengan Dm akut,
perlu diperhitungkan kemungkinan IM silent.
7)
Penyuluhan kesehatan
tentang cara pencegahan dan penanganan secara dini.
Hyperglycemic
Hyperosmolar Nonketotic Coma (HHNC).
HHNC adalah komplikasi
akut DM tipe II.
1)
Dehidrasi berat pasien
bisa mengalami defisit cairan sebanyak 8 - 9 liter.
2)
Tingkat hiperglikemia
juga lebih berat, bisa 600 - 2.000 mg/dl.
3)
Osmolaritas serum
adalah 350 mOsm/L atau lebih.
4)
Tidak ada ketosis
karena orang yang Diabetes Mellitus Tipe II mempunyai cukup insulin.
5)
Biasanya, ada gangguan
dasar pada sistem saraf sentral (serebrovaskular) yang bisa menganggu
persepsi pasien terhadap rasa haus
sehingga cairan yang hilang tidak dapat diganti dan dehidrasi bertambah berat.
Biasanya, ada infeksi
atau penyakit.
HHNC merupakan kondisi
kedaruratan medis. Penanganan utama adalah rehidrasi dengan larutan hipotonik
intravena (salin normal 0.45%). Pasien ini diberikan larutan hipotonik karena
masalah hiperglikemia juga akan teratasi. Pasien tidak perlu diberi insulin.
b. Komplikasi
kronis
Klasifikasi komplikasi
kronis adalah mikrovaskular (menyangkut pembuluh darah kecil) dan makrovaskular
(menyangkut pembuluh darah besar). Komplikasi ini adalah akibat lama dan
beratnya hiperglikemia. Perubahan pada pembuluh darah mengakibatkan retinopati
diabetic, nefropati diabetik, neuropati
perifer dan autonomic, penyakit vascular perifer, penyakit serebrovaskular
(stroke), serta penyakit arteri koroner. Komplikasi mikrovaskular dari Diabetes
Mellitus Tipe II jarang ditemukan dal 5 -
10 tahun setelah penyakit diketahui. Rokok bisa mempercepat timbulnya
komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular.
1)
Retino diabetik
Lesi paling awal yang
timbul adalah mikroaneurisma pada pembuluh retina. Terdapat pula bagian
iskemik, yaitu retina akibat berkurangnya aliran darah retina. Respons terhadap
iskemik retina ini adalah pembentukan pembuluh darah baru, tetapi pembuluuh
darah tersebut sangat rapuh sehingga mudah pecah dan menyebabkan perdarahan
vitreous (perdarahan dalam cairan vitreous). Perdarahan ini bisa mengakibatkan
ablasio retina (lepasnya retina) atau berulang yang mengakibatan kebutaan
permanen. Pengobatan dengan laser fotokoagulasi pada tahap awal dapat mencegah
kebutaan. Laser fotokoagulasi dapat menutupi kebocoran pembuluh darah retina.
2)
Nefropati diabetik
Lesi renal yang khas
dari nefropati diabetic adalah glomerulosklerosis yang nodular yang tersebar di
kedua ginjal yang disebut sindrom Kommelstiel-Wilson.
Glomerulosklerosis
nodular dikaitkan dengan proteinuria, edema, dan hipertensi. Lesi sindrom
Kommelstiel-Wilson ditemukan hanya pada DM. sekitar 10 - 35 % pasien dengan DM
menderita komplikasi ini. Permulaan nefropati diabetik adalah hipertropi dan
hiperfiltrasi glomerulus.
3)
Neuropati
Neuropati diabetik
tterjadi pada 60 - 70 % individu DM. Neuropatik diabetik yang paling sering
ditemukan adalah neuropatik perifer dan autonomik.
Polineuropati
sensori perifer simetris. Pada polineuropati
sensori perifer simetris, terjadi perubahan sensori dan hilangnya sensori
secara sistematis, yang terjadi pada kedua kaki dan kedua tangan. Biasanya ekstrimitas bawah yang terkena
pertama karena ekstrimitas bawah mempunyai saraf yang paling panjang diseluruh
tubuh, yang termasuk dalam sensori yang abnormal adalah parastesia (sensasi
kesemutan, rasa seperti ditusuk dengan jarum den kebas). Sensasi yang abnormal
ini menjadi lebih berat pada malam haru dan bisa mengganggu tidur pasien.
Neuropati
perifer yang nyeri. Neurotransmitter yang menyebabkan nyeri telah diketahui, yaitu
substansi pemakaian narkotik untuk nyeri yang kronis tidak dianjurkan selain
tidak bisa menghilangkan nyeri, obat narkotik dapat membuat pasien menjadi
bergantung pada obat. Neuropati auttonomik
gangguan pada sistem autonomik bisa
juga timbul dan mengakibatkan perubahan pada sistem tubuh.
4)
Dislipidemia
50% individu dengan
diabetes mellitus mengalami dislipidemia. Ada peningkatan kolesterol Low Density Lipoprotein (LDL) dan
trigliserida yang bisa mengakibbatkan aterosklirosis. Karena resistensi
insulin, profil lipid pasien dengan DM tipe II adalah hipertrigliseridemia dan
hiperkolerterolemia.
5)
Hipertensi
Sebanyak 60% - 65%
pasien dengan DM mengalami hipertensi. Hipertensi pada pasien dengan DM Tipe I
menunjukan penyakit ginjal, mikroalbuminuria, atau proteinuria. Pada pasien DM
tipe II, hipertensi bisa menjadi hipertensi esensial. Hipertensi harus secepat mungkin diketahui dan ditangani
secara agresif karena bisa memperberat retinopati, nefropati, dan penyakit
makrovaskular. Tujuan penanganan hipertensi adalah tekanan darah mencapai
130/85 mmHg.
2.2
Tinjauan
Teoritis Keperawatan
2.2.1
Menurut Riyadi &
Sukarmin. (2008) menyatakan Konsep
Asuhan Keperawatan meliputi Pengkajian:
2.2.1.1 Usia
Umumnya manusia mengalami
perubahan fisiologi secara drastis menurun dengan cepat setelah usia 40 tahun.
Diabetes sering muncul setelah memasuki usia tersebut terutama setelah
seseorang memasuki usia 45 tahun terlebih pada orang dengan overweight.
2.2.1.2 Pendidikan
dan Pekerjaan
Pada orang dengan pendapatan tinggi
cenderung untuk mempunyai pola hidup dan pola makan yang salah. Cenderung untuk
mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung gula dan lemak yang berlebihan,
serta tingginya konsumsi makanan yang berat serta aktivitas fisik yang sedikit.
Oleh karena itu penyakit ini biasanya banyak dialami pegawai perkantoran, bos
perusahaan dan pejabat pemerintahan.
2.2.1.3 Keluhan
Utama
Penderita biasanya datang dengan keluhn menonjol
badan terasa sangat lemas sekali disertai penglihatan yang kabur. Meskipun
muncul keluhan banyak kencing (poliura) kadang penderita belum tahu kalau itu
slaah satu tanda penyakit Diabetes Mellitus.
2.2.1.4 Riwayat
Penyakit
Riwayat penyakit ini biasanya yang dominan
adalah munculnya sering buang air kecil (poliuria), sering lapar dan haus
(polidipsi dan polifagia), sebelumnya penderita mempunyai berat badan yang
berlebih. Biasanya penderita belum menyadari kalau itu merupakan perjalanan
penyakit Diabetes Mellitus. Penderita baru tahu kalau sudah memeriksakan diri
di pelayanan kesehatan.
2.2.1.5 Riwayat
Kesehatan Dahulu
Diabetes dapat terjadi saat kehamilan,
yang terjadi hanya saat hamil saja dan biasanya tidak dialami setelah
melahirkan namun perlu diwaspadai akan kemungkinan mengalami diabetes yang
sesungguhnya dikemudian hari. Diabetes sekunder umumnya digambarkan sebagai
kondisi penderita yang pernah mengalami suatu penyakit dan mengkonsumsi
obat-obatan atau zat kimia tertentu. Penyakit yang dapat menjadi pemicu Diabetes
Mellitus dan perlu dialkukan pengkajian diantaranya:
a. Penyakit
prankeas
b. Gangguan
penerimaan insulin
c. Gangguan
hormonal
d. Pemberian
obat - obatan seperti:
1) Glukokortikoid (sebagai obat radang)
2) Furosemid (sebagai diuretik)
3) Thiazid (sebagai diuretik)
4) Beta bloker (untuk mengobati gangguan
jantung)
5) Produk yang mengandung estrogen (kontrasepsi
oral dan terapi sulih hormon)
2.2.1.6 Riwayat
Kesehatan Keluarga
Diabetes dapat menurun menurut silsilah
keluarga yang mengidap Diabetes, karena kelainan gen yang mengakibatkan
tubuhnya tak dapat menghasilkan insulin dengan baik akan disampaikan
informasinya pada keturunan berikutnya.
2.2.2
Pengkajian pola kebutuhan
2.2.2.1 (Menurut
model Virginia Handerson dilengkapi kebutuhan menurut pola Maslow pada
pengkajian aspek psikologi. Pengkajian menggunakan model menurut Virginia
Handerson, dalam (Riyadi & Sukarmin, 2008).
a. Kebutuhan nafas
Data pernafasan yang sangat mungkin
terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus adalah munculnya peningkatan
pernafasan sebagai kompensasi penurunan metabolisme sel yang melibatkan oksigen
(respirasi aerob) dengan irama dalam dan cepat karena banyak benda keton yang
dibongkar.
b. kebutuhan
nutrisi
penderita Dibetes Mellitus
mengeluh ingin selalu makan tetapi berat badannya justru turun karena glukosa
tidak dapat diotarik ke dalam sel dan terjadi penuruna masa sel. Pada
pengkajian intake cairan pasien akan terkaji banyak minum (sehari 2.500 - 4.000
cc).
c. Kebutuhan
eliminasi
Data eliminasi untuk buang air besar (BAB)
pada pasien Diabetes Mellitus tidak ada perubahan yang mencolok. Frekuensi
seperti biasa 1 - 2 kali/hari, dengan warna kekuningan. Sedangkan pada
eliminasi buang air kecil (BAK) akan dijumpai jumlah urin yang banyak baik
secara frekuensi maupun volumenya (pada frekuensi biasanya > 10 kali/hari,
sedangkan volume mungkin mencapai 2.500 - 3.000 cc/hari). Untuk warna mungkin
tidak ada perubahan sedangkan bau barangkali ada aroma unsur gula.
d. Kebutuhan
gerak dan keseimbangan/aktivitas
Penderita dengan Diabetes Mellitus akan
mengalami penurunan gerak karena kelemahan fisik, kram otot dan penurunan tonus
otot. Penderita juga dapat mudah jatuh karena penurunan glukosa pada otak akan
berakibat penurunan kerja pusat keseimbangan (di serebelum/otak kecil).
e. Kebutuhan
istirahat dan tidur
Sering muncul perasaan tidak enak efek
dari gangguan yang bersifat sistemik yang berdampak pada gangguan tidur
(insomnia). Penderita juga sering terbangun karena frekuensi kencing yang
meningkat pada malam hari. Rata- rata
tidur penderita pada malam hari.
f. Kebutuhan
berpakaian
Kebutuhan berpakian mungkin tidak
terganggu kecuali pada periode kelemahan fisik (skor kekuatan otot 2 - 0) atau
terjadi penurunan kesadaran (apatis sampai koma).
g. Mempertahankan
temperatur atau sirkulasi
Data yang sering muncul adalah klien
mengeluh kesemutan pada ekstremitas (atas maupun bawah) yang berarti terjadi
penurunan sirkulasi karena terjadi peningkatan viskositas darah oleh glukosa
tetapi sulit masuk sel. Pada ekstremitasnya akral juga teraba dingin akibat
penurunan sirkulasi. Suhu tubuh biasanya masih berkisar normal kecuali sudah
ada infeksi (terjadi kenaikan suhu tubuh diatas 37ºc).
h. Kebutuhan
personal hygiene
Pasien Diabetes dengan kadar gula yang
terkontrol (tidak naik drastis) masih dapat melakukan kegiatan ganti pakaian
sendiri tanpa bantuan.
i. Kebutuhan
rasa aman dan nyaman
Pasien dengan Diabetes Mellitus
mengalami gangguan rasa nyeri panas pada punggung kaki tetapi dengan skala yang
ringan dan dapat ditoleransi sehingga tidak terlalu mengganggu aktivitas
sehari-hari (untuk kebutuhan rasa nyaman) sampai yang berat terasa sangat panas
dan mengganggu aktivitas seperti berjalan. Sedangkan kebutuhan aman pasien
mengalami resiko mudah terjadi perlukaan pada ekstremitas terutama bawah.
j. Berkomunikasi
dengan orang lain dan mengekspresikan emosi. Pada perjalanan yang cukup lama
(lebih satu bulan) pasien mengalami penurunan optimisme dan cenderung emosi
labil, mudah tersinggung dan marah. Sedangkan pada tahap awal emosi pasien
masih stabil dan mampu mengekspresikan emosi dengan baik.
k. Kebutuhan
spiritual
Kegiatan ibadah semakin terlihat meningkat
sebagai bentuk kompensasi kejiwaan untuk mencari kesembuhan dari Tuhan Yang
Maha Esa, kegiatan itu dapat berupa peningkatan sholat, berdo’a atau pergi ke
tempat ibadah.
l. Kebutuhan
bekerja
Kebutuhan bekerja pada pasien Diabetes Mellitus
telah mengalami penurunan karena penderita mudah mengalami kelelahan.
m. Kebutuhan
bermain dan rekreasi
Kebutuhan bermain dan
rekreasi pada pasien diabetes mellitus perlu dikaji bagaimana selera, kondisi
klien untuk bermain, kaji keadaan penyakit klien apakah berpengaruh pada
keinginan untuk bermain, kaji bagaimana klien memenuhi kebutuhan bermainnya.
Untuk kebutuhan yang ini masing-masing pasien berbeda.
n. Kebutuhan
belajar
Kebutuhan belajar yang meningkat adalah
bagaimana cara menurunkan kadar gula darah, bagaimana cara mengkonsumsi makanan
yang aman dan bagaimanan cara menghindari komplikasi seperti tekanan darah
tinggi.
Pengkajian pola kebutuhan
memakai hirarki kebutuhan Maslow (sebagai pelengkap kebutuhan menurut Virginia
Handerson):
1) Kebutuhan fisiologi (seperti oksigenasi,
makan minum, eliminasi, suhu tubuh, sirkulasi dan lainnya sudah dijelaskan pada
pola diatas)
2) Kebutuhan rasa aman dan nyaman (sudah
dijelaskan di atas)
3) Kebutuhan dicintai dan mencintai
Pasien diabetes mellitus ada yang
dikucilkan istri karena komplikasi dari organ reproduksi yang berupa impotensi
untuk laki-laki dan penurunan gairah seksual untuk wanita. Kondisi ini akan
mempengaruhi rasa cinta terhadap pasangan. Sedangkan bagi anak-anaknya mungkin
karena terjadi penurunan aktivitas atau pendapatan ada yang menganggap orang
tuanya tidak terlalu berguna lagi. Bukti klinik sedikit atau tidak ada anggota
keluarga yang menemani. Untuk penderita kadang tidak merasa berguna sendiri
sehingga kurang respek terhadap anggota keluarga.
4) Kebutuhan harga diri
Sering mengalami penurunan harga diri
karena perubahan penampilan, perubahan identitas diri akibat tidak bekerja,
perubahan gambaran diri karena mengalami amputasi atau gangren, perubahan peran
karena tidak mampu menjalankan tugas dengan baik sebagai orang tua.
5) Aktualisasi diri
Kebutuhan ini sebagai puncak dari hirarki
kebutuhan menurut Maslow, kalau pasien sudah mengalami penurunan harga diri
maka pasein sulit untuk melakukan aktualisasi diri. Pasien tampak tidak bergairah,
bingung bahkan kadang terlihat sering menyendiri (Riyadi & Sukarmin, 2008).
2.2.3 Pemeriksaan Fisik
2.2.3.1 Pemeriksaan
yang dilakukan menurut Riyadi & Sukarmin (2008) antara lain:
a. Status penampilan kesehatan: yang sering
muncul adalah kelemahan fisik
b. Tingkat kesadaran: normal, letargi, stupor,
koma (tergantung kadar gula yang dimiliki dan kondisi fisiologi untuk melakukan
kompensasi kelebuhan gula darah).
c. Tanda-tanda vital
Frekuensi nadi dan tekanan darah: takikardi
(terjadi kekurangan energi sel sehingga jantung melakukan kompensasi untuk
meningkatkan pengiriman), hipertensi (karena peningkatan viskositas darah oleh
glukosa sehingga terjadi peningkatan tekanan pada dinding pembuluh darah dan
resiko terbentuknya plak pada pembuluh. Kondisi ini terjadi pada fase diabetes
mellitus yang sudah lama atau penderita yang memang mempunyai hipertensi).
Frekuensi pernafasan: takhipnea (pada kondisi ketoasidosis)
Suhu tubuh: demam (pada
penderita dengan komplikasi infeksi pada luka atau pada jaringan lain),
hipotermia (pada penderita yang tidak mengalami infeksi atau penurunan metabolik
akibat menurunnya masukkan nutrisi secara drastis).
d. Berat badan melalui penampilan atau pengukuran
: kurus ramping (pada Diabetes Mellitus fase lanjutan dan lama tidak mengalami
terapi). Gemuk padat, gendut (pada fase awal penyakit atau penderita lanjutan
dengan pengobatan yang rutin dan pola makan yang masih tidak terkontrol).
e. Kulit
1) Warna: perubahan-perubahan pada melanin,
kerotemia (pada penderita yang mengalami peningkatan trauma mekanik yang
berakibat luka sehingga menimbulkan gangren. Tampak warna kehitam-hitaman
disekitar luka. Daerah yang sering terkena dalah ekstremitas bawah).
2) Kelembaban: lembab (pada penderita yang
tidak mengalami diuresis osmosis dan tidak mengalami dehidrasi), kering (pada
pasein yang mengalami diuresis osmosis dan dehidrasi).
3) Suhu: dingin (pada penderita yang tidak
mengalami infeksi dan menurunnya masukan nutrisi), hangat (mengalami infeksi
atau kondisi intake nutrisi normal sesuai aturan diet).
4) Tekstur: Halus (cadangan lemak dan glikogen
belum banyak di bongkar), kasar (terjadi pembongkaran lemak, protein, glikogen
otot untuk produksi energi).
5) Turgor: Menurun pada dehidrasi.
f. Kuku
Warna: Pucat, sianosis
(penurunan perfusi pada kondisi ketoasidosis atau komplikasi infeksi saluran
pernafasan).
g. Rambut
1) Kuantitas: tipis (banyak yang rontok karena
kekurangan nutrisi dan buruknya sirkulasi), lebat.
2) Penyebaran: jarang atau alopesia total.
3) Tekstur: halus atau kaasar.
h. Mata dan kepala
1) Kepala
Rambut: termasuk kuantitas,
penyebaran dan tekstur antara lain: kasar dan halus
2) Kulit kepala: termasuk benjolan atau lesi,
antara lain : kista pilar dan psoriasis (yang rentan terjadi pada penderita Diabetes
Mellitus karena penurunan antibodi).
3) Wajah: termasuk simestris dan ekspresi wajah,
antara lain: paralisi wajah (pada penderita dengan komplikasi stroke) dan
emosi.
4) Mata
Yang perlu dikaji lapang pandang
dan uji ketajaman pandang dari masing-masing mata (ketajaman menghilang).
Inspeksi
a) Posisi dan kesejajaran mata: mungkin muncul
eksoftalmus, strabismus.
b) Alis mata: dermatitis, seborea (penderita
sangat beresiko tumbuhnya mikroorganisme dan jamur pada kulit).
c) kelopak mata
d) Aparatus akrimalis: mungkin ada pembengkakan
sakus lakrimalis.
e) Sklera dan konjungtiva: sclera mungkin
ikterik. Konjungtiva anemia pada derita yang sulit tidur karena banyak kencing
pada malam hari).
f) Kornea, iris dan lensa: opaksitas atau
katarak (penderita Diabetes Mellitus sangat beresiko pada kekeruhan lensa
mata).
g) Pupil: miosis, midriosis atau anisokor.
i. Telinga
1) Daun telinga dilakukan inspeksi: masih
simetris antara kanan dan kiri
2) Lubang hidung dan gendang telinga
a) Lubang telinga: produksi serumen tidak
sampai mengganggu diameter lubang
b) Gendang telinga: kalau tidak tertutup
serumen berwarna putih keabuan, dan masih dapat bervibrasi dengan baik apabila
tidak mengalami ineksi sekunder.
j. Pendengaran
Pengkajian ketajaman pendengaran terhadap
bisikan atau tes garputala dapat mengalami penurunan.
k. Hidung
Jarang terjadi pembesaran
polip dan sumbatan hidung kecuali ada infeksi sekunder seperti influenza.
l. Mulut dan faring
Inspeksi pada bibir (sianosis, pucat apabila
mengalami asidosis atau penurunan perfusi ringan pada stadium lanjut), Mukosa
oral (kering dalam kondisi dehidrasi akibat diuresis osmosis), gusi,
langit-langit mulut, lidah, dan faring.
m. Leher
Pada inspeksi jarang tampak
distensi vena jugularis, pembesaran kelenjar limfe leher dapat muncul apabila
ada infeksi sistemik.
n. Toraks dan paru-paru
1) Inspeksi frekuensi: irama, kedalaman dan
upaya bernafas, antara lain: takipnea, hipernea, dan pernafasan chyne stoke (pada kondisi ketoasidosis).
2) Amati bentuk dada: normal atau tidak.
3) Dengarkan pernafasan pasien
a) Stridor pada obstruksi jalan nafas
b) Mengi
(apabila penderita sekaligus mempunyai riwayat astma atau bronchitis kronik).
o. Dada
1) Dada posterior
a) inspeksi: defoemitas, atau asimetris dan
retruksi inspirasi abdomen.
b) Palpasi: adanya nyeri tekan atau tidak
c) Perkusi: pekak terjadi apabila cairan atau
jaringan padat menggantikan bagian paru yang normalnya terisi udara (terjadi
pada penderita dengan penyakit lain seperti effuse pleura, tumor atau pasca
penyembuhan TBC).
d) Auskultasi: bunyi nafas vesikuler, bronco
vesikuler (dalam kondisi normal)
2) Dada anterior
a) Inpeksi: defoemitas, atau asimetris
b) Palpasi: adanya nyeri tekan, ekspensi
pernafasan
c) Perkusi: pada penderita normal area paru
terdengar sonor
d) Auskultasi: bunyi nafas vesikuler, bronco
vesikuler (dalam kondisi tanpa penyerta penyakit lain).
p. Aksila
1) Inpeksi terhadap kemerahan, infeksi dan
pigmentasi
2) Palpasi kelenjar aksila sentralis apakah ada
linfodenopati.
q. Sistem kardiovaskuler
Adanya riwayat hipertensi,
infark miokard akut, takikardi, tekanan darah yang cenderung meningkat,
disritmea, nadi yang menurun, rasa kesemutan dan kebas pada ekstremitas
merupakan tanda gejala dari penderita Diabetes Mellitus.
r. Abdomen
1) Inspeksi: pada kulit apakah strie dan simetris
adanya pembesaran organ (pada penderita dengan penyerta penyakit sirosis hepatik
atau hepatomegali dan splenomegali).
2) Auskultasi: bising usus apakah terjadi
penurunan atau peningkatan motilitas.
3) Perkusi:
tympani
4) Palpasi: apakah ada nyeri tekan/massa.
s. Ginjal
Palpasi ginjal apakah ada
nyeri tekan sudut kosta veterbral.
t. Genetalia
Penis: ada inspeksi apakah ada
timosis pada prepusium dan apakah ada hipospadia pada meatus uretara, apakah
ada kemerahan pada kulit skrotum.
u. Sistem musculoskeletal
Inspeksi persendian dan jaringan sekitar
saat anda memeriksa berbagai kondisi tubuh. Amati kemudahan dan rentang gesekan
kondisi jaringan sekitar, setiap deformitas muskuloskletal, termasuk kurvatura
abnormal dari tulang belakang. Sering mengalami penurunan kekuatan
musculoskeletal dibuktikan dengan skor kekuatan otot yang menurun dari angka 5.
v. Sistem neurosensori
Penderita Diabetes Mellitus biasanya merasakan gejala seperti:
1) Pusing
2) Sakit kepala
3) Kesemutan, kebas kelemahan pada otot,
parestesia
4) Gangguan penglihatan
2.2.4 Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
2.2.4.1 Kekurangan volume cairan berhubungan dengan
diuresis osmotik (dari hiperglikemia) atau kehilangan gastrik berlebihan.
Tujuan:
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 hari keperawatan masalah Kekurangan
volume cairan dapat teratasi
Kriteria evaluasi :
a. Tanda vital stabil (dan mendekati aman nadi
80 - 88 x/menit, tekanan darah 100 - 140/80
- 90 MmHg, suhu tubuh 36,5 - 37,4º celcius, respiratory rate 20 - 22 x/menit.
b. Nadi perifer teraba pada arteri radialis,
arteri brakialis, arteri dorsalis pedis.
c. Tugor kulit dan pengisisan kapiler baik
dibuktikan dengan capillary refille
kurang dari 2 detik.
d. Keluaran urine dalam kategori aman (lebih
dari 100 cc/hari sampai batas normal 1.500 cc - 1.700 cc/hari)
e. Kadar elektrolit urine dalam batas normal
dengan nilai natrium 130 - 220 meq/24 jam, kalium 25 - 100 meq/24 jam, klorida
120 - 250 meq/liter, magnesium 1,0 - 2,5 mg/dl.
Intervensi untuk etiologi diuresis
osmosis:
1) Dapatkan riwayat pasien/orang terdekat
tentang lama dan frekuensi urine
Rasional: membantu dalam memperkirakan
kekurangan volume total. Semakin tinggi lama frekuensi urine maka semakin
banyak resiko kehilangan cairan
2) Pantau tanda-tanda vital, catat adanya
perubahan tekanan darah
Rasional: penurunan volume cairan darah
(hipovolemi) akibat diuresis osmosis dapat dimanisfestasikan oleh hipotensi,
takikardi, nadi teraba lemah
3) Kaji suhu, warna, tugor kulit dan
kelembabannya
Rasional: dehidrasi yang disertai demam
akan teraba panas, kemerahan dan kering di kulit. Sedangkan penurunan tugor
kulit sebagai indikasi penurunan volume cairan pada sel.
4) Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, tugor
kulit dan membrane mukosa
Rasional: nadi yang lemah, pengisian
kapiler yang lambat sebagai indikasi penurunan cairan dalam tubuh. Semakin
lemah dan lambat dalam pengisian semakin tinggi derajat kekurangan cairan.
5) Pantau masukan dan pengeluaran , catat berat
jenis urin
(1) Balance cairan = (jumlah 1 intake + jumlah 2 +
jumlah 3) – (jumlah 1 output + jumlah 2 + jumlah 3)
(2) Jumlah 1, 2 ,3 untuk memudahkan jumlah setiap
shift jaga
(3) Apabila dalam pengurangan didapatkan hasil
plus (berlebih) atau minus (kurang) maka dimasukkan ke table hari berikutnya
Rasional:
memberikan perkiraan kebutuhan akan cairan pengganti dan membaiknya fungsi
ginjal.
6) Ukur berat badan setiap hari
Rasional: memberikan gambaran status
cairan dalam tubuh (60 - 70 % berat badan berasal dari cairan)
7) Pertahankan untuk memberikan cairan 1.500 - 2.500
ml atau dalam batas yang dapat ditoleransi jantung jika pemasukan cairan
melalui oral sudah dapat diberikan
Rasional: mempertahankan komposisi cairan
dalam tubuh, volume sirkulasi dan menghindari over load jantung.
8) Batasi intake cairan yang mengandung gula dan
lemak misalnya cairan dari buah yang manis seperti semangka atau dari minuman
seperti susu.
Rasional: menghindari kelebihan ambang
ginjal menurunkan tekanan osmosis.
Intervesi keperawatan untuk etiologi
peningkatan rangsangan gastrik:
(1) Batasi intake cairan ynag merangsang gaster
dan saluran pencernaan seperti soda, kopi.
Rasional: menghindari rangsangan lambung
yang berlebihan.
(2) Catat hal-hal yang dilaporkan seperti mual,
nyeri abdomen, muntah dan distensi lambung
Rasional: kekurangan cairan dan elektrolit
mengubah mobilitas jantung, yang sering kali akan menimbulkan muntah atau
secara potensial akan menimbulkan muntah dan kekurangan cairan
Kolaborasi
(a) Berikan terapi cairan normal satu atau
setengah normal salin dengan atau tanpa dektrosa
Rasional: untuk mengganti cairan dengan
cepat. Tipe dan jumlah dari cairan tergantung pada derajat kekurangan cairan
dan respon pasien secara individual.
(b)
Pemasangan kateter urine (kalau perlu)
Rasional: memberikan pengukuran yang tepat
atau akurat terhadap pengukuran pengeluaran urine.
(c) Pantau pemeriksaan laboratorium seperti
hematokrit, osmolaritas darah, natrium
Rasional: hematokrit (mengkaji tingkat
hidrasi dan seringkali meningkat akibat kenaikan kemokonsentrasi yang terjadi
setelah diuresis osmotik), osmolaritas darah (meningkat sehubungan dengan
adanya hiperglikemi dan dehidrasi), natrium (kadar natrium yang tinggi
mencerminkan kehilangan cairan/dehidrasi berat atau reabsorbsi natrium dalam
berespon terhadap sekrei aldosteron)
(d) Berikan kalium atau elektrollit yang lain
melalui IV dan atau melalui oral sesuai indikasi
Rasional: kekurangan kalium dan elektrolit
akan mempengaruhi sistem tubuh misalnya penurunan eksitasi persarafan. Kalium
harus ditambahkan pada intravena untuk mencegah hipokalemia
(e) Kolaborasi pemberian obat anti emetik seperti
metokloperamid dan obat diare non spesifik seperti loperamid HCL. Furazolidone
dan obat antibiotik diare seperti metronidazol, tetrasiklin (disesuaikan dengan
jenis mikroorganismenya)
Rasional: mengurangi stimulus gaster. Obat
diare membantu memadatkan tinja dan membatasi pertumbuhan mikroorganisme
2.2.4.2 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan ketidakcukupan insulin atau penurunan masukan oral
Tujuan:
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 hari keperawatan masalah Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dapat
teratasi
Kriteria
evaluasi:
a. Pasien tidak lemah atau penurunan tingkat
kelemahan
b. Peningkatan berat badan atau berat badan ideal
atau normal
c. Lingkar lengan meningkat atau mendekati 10 cm
d. Nilai laboratorium hemoglobin untuk pria 13 - 16
gr/dl, untuk wanita 12 - 14 gr/dl.
Untuk etiologi ketidakcukupan insulin
ktiteria hasil ditambah dengan:
e. Nilai laboratorium yang terkait Diabetes Mellitus
normal (terutama GDS 60 - 100 mg/dl, kolesterol total 150 - 250 mg/dl, protein
total 6 - 7,0 gr/dl)
Sedangkan untuk etiologi penurunan masukan
oral criteria hasil ditambahkan dengan:
f. Pasien habis 1 porsi makan setiap kali makan
(sesuai jumlah kalori yang dianjurkan)
g. Pasien tidak mengeluh mual lagi
Intervensi
untuk etiologi kekurangan insulin:
1) Timbang berat badan atau ukur lingkar lengan
setiap hari sesuai dengan indikasi
Rasional: mengkaji indikasi
terpenuhinya kebutuhan nutrisi dan menentukan jumlah kalori yang harus
dikonsumsi penderita Diabetes Mellitus
2) Tentukan program diet dan pola makan pasien
sesuai dengan kadar gula yang dimiliki (dengan memakai rumus kebutuhan kalori
untuk laki-laki = berat badan ideal x 30, sedangkan untuk wanita berat badan
ideal x 25)
Rasional: menyesuaikan antara
kebutuhan kalori dan kemampuan sel untuk mengambil glukosa
3) Libatkan keluarga pasien pada dalam memantau
waktu makan, jumlah nutrisi
Rasional: meningkatkan
partisipasi keluarga dan mengontrol masukan nutrisi sesuai dengan kemampuan
untuk menarik glukosa dalam sel.
4) Observasi tanda-tanda hipoglikemi (perubahan
tingkat kesadaran, kulit lembab/dingin, denyut nadi cepat, lapar, peka
rangsang, cemas, sakit kepala, pusing, sempoyongan)
Rasional: karena metabolisme
karbohidrat mulai terjadi, gula darah akan berkurang dan sementara pasien tetap
diberikan insulin maka hipoglikemi dapat terjadi.
Kolaborasi:
a) Pantau pemeriksaan laboratorium seperti
glukosa darah, aseton, PH dan HCO3.
Rasional:
Gula darah akan menurun perlahan dengan penggunaan terapi insulin terkontrol.
Dengan pemberian insulin dosis optimal glukosa dapat masuk ke dalam sel dan
digunakan untuk sumber kalori. Peningkatan aseton, PH dan HCO3 sebagai indikasi
kelebihan benda keton.
b) Berikan pengobatan insulin secara teratur
dengan tehnik intravena secara intermitten atau secara continue.
Rasional: insulin regular
memiliki awitan cepat dan karenanya dengan cepat pula dapat membantu
memindahkan ke dalam sel, pemberian melalui intravena merupakan rute pilihan
utama karena absorbsi dari jaringan subkutan mungkin tidak mennetu/sangat
lambat.
c) Lakukan konsultasi dengan ahli diet
Rasional: kebutuhan diet
penderita harus disesuaikan dengan jumlah kalori karena kalau tidak terkontrol
akan beresiko hiperglikemia.
d) Berikut diet 60 % karbohidrat, 20 % protein,
dan 20 % lemak dan penataan makan dan pemberian makanan tambahan
Rasional: intake kompleks
karbohidrat (jagung, wortel, brokoli, buncis, gandum) berdampak pada penekanan
kadar glukosa darah, kebutuhan insulin, menurunkan kadar kolesterol, dan
meningkatkan rasa kenyang.
Intervensi untuk etiologi
penurunan intake oral:
a) Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri
abdomen/perut kembung, mual, muntah
Rasional: peningkatan
peristaltik usus sebagai indikasi peningkatan rangsang gaster
b) Libatkan keluarga pasien pada pencernaan
makanan sesuai dengan indikasi
Rasional: meningkatkan rasa
keterlibatannya memberikan informasi pada keluarga untuk memahami kebutuhan
nutrisi pasien
c) Anjurkan pasien makan makanan sedikit dan
sering (sesuai dengan jumlah kalori yang boleh dikonsumsi)
Rasional: menurunkan beban
kerja gaster dan usus sehingga rangsangan gastrointestinal menjadi berkurang.
Kolaborasi:
(1) Pemberian anti mual dan muntah (seperti
metocloperamid)
Rasional: mengurangi
rangsangan gaster untuk mengeluarkan makanan atau minuman yang masuk
2.2.4.3 Nyeri akut (misalnya kaki) berhubungan dengan
agen fisik
Tujuan:
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 jam keperawatan masalah Nyeri
akut (misalnya kaki) dapat teratasi
Kriteria
evaluasi:
a. Pasien melaporkan nyeri berkurang/hilang
dalam 48 jam
b. Ambulasi secara normal menahan beban berat
badan sempurna sempurna saat pulang
c. Ekspresi wajah pasien tidak terlihat
meringis kesakitan
d. Nadi 80 - 84 x/menit
e. Skala nyeri 0 atau 1 atau 2 atau 3
Intervensi:
1) Tentukan karakteristik nyeri berdasarkan
deskripsi pasien (tergantung pada pasien yang mengekspresikan)
Rasional: menetapkan dasar
untuk mengkaji perbaikan/perubahan pada nyeri
2) Letakkan ayunan kaki di atas tempat
tidur/anjurkan untuk menggunakan pakaian tidur yang longgar saat bangun
Rasional: menghindari tekanan
langsung pada area yang cidera yang dapat mengakibatkan
vasokontriksi/peningkatan nyeri
3) Berikan analgetik per oral setiap 8 jam sesuai
kebutuhan
Rasional: menurunkan ambang
nyeri yang dialami oleh pasien melalui serabut syaraf
4) Anjurkan pasien untuk memulai aktivitas tidak
tergesa dan mendadak
Rasional: meningkatkan rasa
perhatian terhadap benda sekililing dan mengurangi kekakuan otot
2.2.4.4 Resiko infeksi berhubungan dengan perlukaan
jaringan
Tujuan:
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 jam keperawatan masalah Resiko
infeksi dapat teratasi.
Kriteria hasil:
a. Tidak terdapat tanda-tanda peradangan dan
infeksi seperti rubor, kalor, dolor, tumor, fungtioleisa, dan angka leukosit
dalam batas 5.000 - 11.000 ul.
b. Suhu tubuh tidak tinggi (36,5 - 37ºc)
c. Hitung jenis leukosit: Basofil (0-1), eosinofil
(1 - 3), neutrofil batang (2 - 6), neutrofil segemn (50 - 70), limfosit (20 - 40),
monosit (2 - 8)
Intervensi:
1) Observasi tanda-tanda infeksi dan peradangan
Rasional: memastikan kondisi
pasien pada periode peradangan atau sudah terjadi infeksi. Terjadinya sepsis
dapat dicegah lebih awal
2) Tingkatkan upaya pencegahan dengan melakukan
cuci tangan, memakai handscoon, masker, kebersihan lingkungan
Rasional: meminimalkan invasi
mikroorganisme
3) Pertahankan tehnik aseptik dan sterilisasi
alat pada prosedur invasif
Rasional: invasi alat dapat
menjadi mediator masuknya mikroorganisme
4) Anjurkan untuk makan sesuai jumlah kalori yang
dianjurkan terutama membatasi masuknya gula
Rasional: menurunkan resiko
kadar gula darah tinggi yang merupakan media terbaik untuk pertumbuhan
mikroorganisme
5) Bantu pasien untuk personal hygiene
Rasional: menurunkan resiko
invasi mikroorganisme
Kolaborasi:
a) Berikan obat antibiotik yang sesuai
Rasional: penanganan awal
dapat membantu mencegah timbulnya sepsis
b) Lakukan pemeriksaan kultur dan sensitivitas
sesuai dengan indikasi
Rasional: untuk
mengidentifikasi organisme sehingga dapat memilih atau memberikan terapi
antibiotik yang terbaik.
2.2.4.5 Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
tekanan perubahan status metabolik atau kerusakan sirkulasi
Tujuan:
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 jam keperawatan masalah Kerusakan
integritas kulit dapat teratasi.
Kriteria
hasil:
a. Terjadi perbaikan status metabolik yang
dibuktikan oleh gula darah dalam batas normal dalam 36 jam.
b. Bebas dari drainase purulen dalam 48 jam
c. Menunjukan tanda-tanda penyembuhan dengan
tepi luka bersih dalam 60 jam
d. Tidak terdapat pembengkakan pada luka
Intervensi untuk etiologi perubahan status
metabolik:
1) Kaji kondisi luka pada jaringan pasien
(terutama area kaki dan punggung)
Rasional: mengidentifikasi
tingkat metabolisme jaringan dan tingkat disintegritas
2) Rendam kaki atau punggung (kalau memungkinkan
dengan ember khusus) dalam air steril pada suhu kamar dengan larutan betadin
(yang diencerkan) atau perhidrol 3 kali sehari selama 15 menit
Rasional: membersihkan luka,
efektif untuk membantu penyembuhan dan meningkatkan sirkulasi metabolik
3) Rawat luka dengan tehnik steril dan kaji area
luka setiap kali mengganti balutan
Rasional: mencegah
peningkatan presentasi mikroorganisme akibat kelainan metabolik (glukosa
tinggi) dan memberikan informasi tentang efektifitas terapi
4) Balut luka dengan kassa steril
Rasional: menjaga kebersihan
luka/meminimalkan kontaminasi asing
5) Berikan 15 unit insulin humulun N, SC pada
siang hari setelah contoh darah harian diambil
Rasional: mengobati disfungsi
metabolik yang mendasari menurunkan hiperglikemia dan meningkatkan penyembuhan.
Intervensi
untuk etiologi kerusakan sirkulasi :
a) Dapatkan kultur drainase luka saat masuk
Rasional: mengidentifikasi
pathogen penyebab disintegrasi kulit dan terapi pilihan
b) Berikan dilokasasilin 500 mg per awal setiap 6
jam, mulai jam 10.00 malam amati tanda-tanda hipersensitivitas
Rasional:
pengobatan infeksi/pencegahan komplikasi
c) Kaji area luka setiap kali merawat luka dan
mengganti balutan
Rasional: mengidentifikasi
tingkat sirkulasi pada luka (Riyadi & Sukarmin, 2008).
DAFTAR
RUJUKAN
Agur & Arhur F.D. (2009), Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis.
Canada. Hal: 135.
Baradero, Dayrit M, & Siswadi M. (2009), Klien Gangguan Endokrin: Seri Asuhan
Keperawatan. Edisi 1. Jakarta: EGC.
Betteng
R, Pangemanan D, & Mayulu N. (2014), Analisis Faktor Resiko Penyebab
Terjadinya Diabetes Mellitus Tipe 2 Pada Wanita Usia Produktif Dipuskesmas
Wawonasa. Jurnal e-Biomedik Vol. 2.
No. 2.Hal.145. (Internet). Termuat
Dalam:
<https://www.google.com/search?q=Betteng+et+al.%2C+2014&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a&gws_rd=ssl> (Di
akses tanggal 20 April 2016).
Bilous. R & Donelly.R . (2014), Buku Pegangan Diabetes. Edisi 4. Cetakan
1. Jakarta: Bumi Medika.
Brunner
& Suddarth. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses - Proses Penyakit.
Edisi 6. Cetakan 1. Jakarta:EGC.
Black M.
J & Hawks H. J. (2009). Medical
Surgical Nursing. Eighth Edition. Vol. 1. Singapore: Elsevier.
Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan.
(2015). Rekapitulasi Jumlah Penyakit
Diabetes Mellitus.
Fatimah Noor, F. (2015). Jurnal Korespondensi: Diabetes Mellitus Tipe 2. Vol.4. Hal.
93.
Hairi,
L., Apriatmoko R & Sari L. (2013), Jurnal Kesehatan. Hubungan antara tingkat pengetahuan
tentang Diabetes Mellitus dengan gaya hidup penderita Diabetes Mellitus
Tipe II di desa Nyatnyono. Vol. 1. Hal. 96. (Internet). Termuat dalam:
<https://www.google.com/search?q=angka+kejadian+diabetes+melitus+menurut+who&cad=h> (Diakses tanggal 20 April 2016).
Hidayat, A.A (2008), Pengantar Konsep Keperawatan. Edisi 2. Jakarta: Salemba Musika.
Kemenkes
RI. (2014), Infodatin. Pusat Data - Data Dan Informasi Kementrian Kesehatan RI:
Situasi Dan Analisis Diabetes.
<http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/infodatin-diabetes.pdf>
(Diakses tanggal 20 April 2016).
Kusuma, H & Nurarif, A.H. (2012). Handbook Health Student. Yogyakarta: Med
Action.
Maryunani, A. (2015). Perawatn Luka (Modern Woundcare) Terlengkap dan Terkini. Jilid 1.
Jakarta: In Media.
Medical Record RSUD Ulin Banjarmasin. (2016). Rekapitulasi Penyakit Diabetes Mellitus Di
Ruang Tulip III B (Penyakit Dalam Wanita).
MIMS
Indonesia. (2013). MIMS Petunjuk
Konsultasi. Edisi 13. BIP Kelompok Gramedia.
Nurarif, H.A & Kusuma, H. (2013). Asuhan Keperawatan berdasarkan Diagnosa
Medis & Nanda. Edisi Revisi. Jilid 1. Yogyakarta: Med Action.
Nurjannah & Intansari. (2014). ISDA Intan’s
Screening Diagnosis Assesment. Yogyakarta: Mocomedia.
Putz, R
& Pabst, R. (2006). Atlas Anatomi
Manusia. Edisi 22. Jilid 2. Jakarta: EGC.
Rumahorbo, H. (2012). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Endokrin. Jakarta:
EGC.
Saputra, L. (2013). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Tangerang: Binarupa Aksara.
Sari,
R.W (2008). Bahaya Makanan Cepat Saji Dan
Gaya Hidup Sehat. Yogyakarta: O2. (Internet). Termuat dalam:
<https://books.google.co.id/books?id=D69FeLzDJ2EC&pg=PA9&dq=diabetes+mellitus+di+asia+tenggara&hl=id&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=diabetes%20mellitus%20di%20asia%20tenggara&f=false>
(Diakses tanggal 20 April 2016).
Syaifuddin. (2006). Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Edisi 3. Jakarta:
EGC.
Riyadi, S & Sukarmin. (2008). Asuhan Keperawatan pada pasien dengan
Gangguan Eksokrin dan Endokrin pada Pankreas. Edisi 1. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Tarwoto, Wartonah, Taufiq, I. & Mulyati, L.
(2012). Keperawatan Medika Bedah Gangguan
sistem Endokrin. Edisi 1. Jakarta: Trans Info Media.
Trinawati, K. S & Setyorogo, S. (2013).
Jurnal Ilmiah Kesehatan: Faktor Resiko
Kejadian Diabetes Mellitus Tipe II Di Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta
Barat Tahun 2012. Hal. 06.
Tjokroprawiro A. (2011). Hidup Sehat Bersama Diabetes: Panduan Lengkap Pola Makan untuk
Penderita Diabetes. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Wijaya, A.S & Putri, Y.M (2013). KMB 2 Keperawatan Medikal Bedah (Keperawatan Dewasa). Cetakan
Pertama. Yogyakarta: Nuha Medika.