BAB
1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Fraktur adalah terputusnya
kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya. Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma atau aktivitas fisik
dimana terdapat tekanan yang berlebihan
pada tulang. Fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki dari pada perempuan
dengan umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga,pekerjaan atau luka disebabkan oleh
kecelakaan kendaraan bermotor. Jumlah korban kecelakaan lalu lintas di
Indonesia cenderung menurun yaitu 47,401 orang pada tahun 1989 menjadi 32.815
orang pada tahun 1995. Rasio jumlah korban cedera sebesar 16,80 per 100.000
penduduk dan rasio korban meninggal sebesar 5,63 per 100.000 penduduk. Angka
kematian tertinggi berada diwilayah Kalimantan Timur yaitu 11,07 per 100.000
penduduk dan terendah di Jawa Tengah yaitu sebesar 2,67 per 100.000 penduduk
(Lukman & Ningsih, 2012).
World
Health Organization (WHO) pada tahun 2010 mencatat terdapat
lebih dari 7 juta orang meninggal di karenakan insiden kecelakaan dan sekitar 2 juta orang mengalami kecacatan
fisik. Usman (2012) menyebutkan bahwa hasil data riset kesehatan dasar
(RIKERDAS) tahun 2011, di Indonesia terjadinya fraktur yang disebabkan oleh
cedera yaitu karena jatuh,kecelakaan lalu lintas dan trauma tajam atau tumpul.
Dari 45.987 peristiwa terjatuh yang mengalami fraktur sebanyak 1.775 orang (3,8
%) dari 20.829 kasus kecelakaan lalu lintas,mengalami fraktur sebanyak 1.770
orang (8,5 %), dari 14.127 trauma benda
tajam atau tumpul,yang mengalami fraktur
sebanyak 236 orang (1,7%) (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia {Depkes RI}, 2009).
Berdasarkan
dari laporan tahunan dinas provinsi Kalimantan Selatan diketahui 20 penyakit
terbanyak tahun 2012 akibat kecelakaan lalu lintas adalah fraktur. Angka
kejadian yang berakibat fraktur
berjumlah 8040 kasus (Dinas Kesehatan Provinsi, 2012). Berdasarkan data
yang didapatkan dari rumah Sakit Umum Dr.H.Moch Ansari Saleh Banjarmasin di
Ruang Kumala pada tahun 2015 dari 10 penyakit yang ada di ruangan fraktur
menempati urutan kedua sebanyak 61 orang.
Secara
fisik penderita cedera pada tubuhnya yang dapat menyebabkan rasa
sakit,kerusakan fungsi, adanya perubahan bentuk pada daerah fraktur,
terbatasnya gerakan dan adanya perdarahan pada tempat cedera. Perawat perlu
memprioritaskan keperawatan yang dilakukan yaitu dengan mencegah cedera tulang
atau jaringan lebih lanjut, menghilangkan nyeri, mencegah terjadinya komplikasi dan memberikan informasi tentang
kondisi atau prognosis atau kebutuhan pengobatannya, dalam melakukan asuhan
keperawatan perawat harus mampu mengelola pasien fraktur Humerus dengan
komprehensif dan tetap memandang pasien sebagai manusia yang utuh baik
psikososial, sosial kultural maupun spiritual.
Berdasarkan hal tersebut maka
penulis tertarik untuk mengambil kasus
fraktur humerus tertutup sebagai Karya Tulis Ilmiah dengan alasan agar
penulis bisa memberikan asuhan keperawatan
secara mendalam dan kelak bila penulis telah menjadi tenaga kesehatan
mempunyai pengetahuan kemampuan
penanganan pada pasien fraktur humerus secara umum. Sebagai tenaga kesehatan
penulis dapat menentukan langkah-langkah dan penanganan yang tepat pada pasien
dengan kasus fraktur humerus.
BAB
2
TINJAUAN
TEORITIS
2.1 Tinjauan Teoritis Medis
Gambar 2.1
Rangka manusia
Sumber:
Syaifuddin, (2010)
2.1.1 Anatomi
dan fisiologi sistem pergerakan
Menurut Suratun dkk. (2008) anatomi
dan fisiologi sistem pergerakan:
2.1.1.1 Tulang
Tulang membentuk rangka penunjang
dan pelindung bagi tubuh dan menjadi tempat melekatnya otot-otot yang
mengerakan kerangka tubuh.Tulang adalah jaringan yang terstruktur dengan baik
yang menpunyai fungsi yakni:
a. Formasi kerangka: Tulang-tulang
membentuk rangka tubuh untuk menentukan bentuk dan ukuran tubuh
b. Formasi sendi: Tulang-tulang membentuk
persendian yang bergerak dan tidak bergerak tergantung pada kebutuhan
fungsional, sendi yang bergerak menghasilkan bermacam-macam pergerakan.
c. Perlekatan otot: tulang-tulang
menyediakan permukaan untuk tempat melekatnya otot,tendon dan legamentum.
d.
Sebagai pengungkit untuk bermacam-macam
aktivitas pergerakan.
e.
Menyokong berat badan: Memelihara sikap
tegak tubuh manusia dan menahan gaya tarikan dan gaya tekanan yang terjadi pada
tulang sehingga dapat menjadi kaku atau lentur.
f. Proteksi: Tulang membentuk rongga yang
mengandung dan melindungi struktur-sruktur yang halus seperti otak,medulla
spinalis,jantung,paru,alat-alat dalam perut dan panggul.
g.
Hemopoiesis: Sumsum tulang tempat
pembentukan sel-sel darah.
h.
Fungsi imunologi: Limfosit “B” dan
magrofag-magrofag dibentuk dalam sistem retikuloendotel sumsum tulang. Limfosit
B di ubah menjadi sel-sel plasma membentuk antibody guna keperluan kekebalan
kimiawi,sedangkan magrofag merupakan pagositotik.
i.
Penyimpanan kalsium: Tulang mengandung
97% kalsium yang terdapat dalam tubuh baik dalam bentuk anorganik maupun
garam-garam terutama kalsium folat
Secara garis besar,
Tulang dibagi menjadi enam,yakni:
1)
Tulang panjang
Tulang panjang
(misalnya femur,humerus) bentuknya silindris dan berukuran panjang seperti
batang (diafisis) tersusun atas tulang kompakta, dengan kedua ujungnya
berbentuk bulat (epifisis) tersusun atas tulang kanseleus.
2)
Tulang pendek
Tulang pendek (misalnya
falang,carfal) bentuk nya hamper sama dengan tulang panjang ,tetapi bagian
distal lebih kecil daripada bagian proksimal,serta berukuran pendek dan kecil
3)
Tulang pipih
Tulang
pipih (misalnya sternum,kepala,scapula,panggul) bentuknya gepeng,berisi sel-sel
pembentuk darah,dan melindungi organ vital dan lunak dibawahnya.Tulang pipih
terdiri atas dua lapisan tulang kompakta dan dibagian tengahnya terdapat
lapisan spongiosa.Tulang ini juga dilapisi oleh periosteum yang dilewati oleh
dua kelompok pembuluh darah menembus tulang untuk menyuplai tulang kompakta dan
tulang spongiosa.
4)
Tulang tidak beraturan
Tulang
tidak beraturan (misalnya vertebra,telinga tengah) mempunyai bentuk yang unik
sesuai fungsinya. Tulang tidak beraturan terdiri tulang spongiosa yang
dibungkus oleh selapis tipis tulang kompakta.Tulang ini diselubungi periosteum
kecuali pada permukaan sendinya seperti tulang pipih.Periosteum ini memberi dua
kelompok pembuluh darah untuk menyuplai tulang kompakta dan tulang spongiosa
Tulang
berguna untuk:
a)
Melindungi struktur vital
b)
Menopang tubuh
c)
Mendasari gerak secara mekanis
d)
Membentuk sel darah (sumsum tulang merah adalah tempat dibentuknya sel darah
merah ,beberapa limfosit, sel darah putih granulosit dan trombosit)
2.1.1.2
Sendi
Sendi
adalah suatu ruangan,tempat atau dua tulang berada saling berdekatan. Fungsi
utama sendi adalah memberi pergerakan dan fleksibilitas dalam tubuh.
2.1.1.3
Otot
Otot
ialah jaringan yang mempuyai kemampuan khusus yaitu berkontraksi dan dengan
jalan demikian maka gerakan terlaksana. otot dibagi dalam tiga kelompok, dengan
fungsi utama untuk kontraksi dan menghasilkan pergerakan sebagian atau seluruh
tubuh.
2.1.1.4
Ligamen
Ligamen
adalah sekumpulan jaringan fibrosa yang tebal merupakan akhir dari suatu otot
dan berfungsi mengikat suatu tulang.
2.1.1.5
Tendon
Tendon
adalah suatu perpanjangan dari pembungkus fibrosa yang membungkus setiap otot
dan berkaitan dengan periosteum jaringan penyambung yang mengelilingi
tendon,khususnya pada pergelangan tangan dan tumi
2.1.1.6
Fasia
Fasia
adalah suatu permukaan jaringan penyambung
longgar yang didapatkan langsung dibawah kulit sebagai fasia superfisial
(sebagai pembungkus tebal) jaringan penyambung fibrosa yang membungkus otot , saraf dan pembuluh
darah.
Humerus
adalah kedua tulang terbesar pada lengan dan satu-satunya tulang di lengan
atas.Banyak otot yang kuat yang memanipulasi lengan atas pada bahu dan lengan
bawah pada siku yang bertumpu pada humerus. Gerakan humerus sangat penting
untuk semua kegiatan bervariasi dari lengan, seperti melempar, mengangkat, dan
menulis.
Gambar
2.2 Tulang aggota gerak atas
Sumber:
Suryati, (2008)
2.1.2
Pengertian
Fraktur
adalah patah tulang,biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik.kekuatan
dan sudut dari tenaga tersebut,keadaan tulang,dan jaringan lunak disekitar
tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak
lengkap (Price & Wilson, 2006).
“Fraktur adalah
terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa
“(Rosyidi, 2013). Fraktur Humerus adalah fraktur pada tulang humerus yang
disebabkan oleh benturan atau trauma langsung maupun tidak langsung (De Jong,
2010). Fraktur batang humerus tertutup adalah terputusnya hubungan tulang
batang humerus tanpa disertai luka terbuka fragmen tulang yang disebabkan oleh
cidera dari trauma lngsung atau tidak langsung yang mengenai lengan atas, dan
kondisi fraktur patologis akibat metastasis pada tulang humerus (Muttaqin, 2011
).
“Fracture is a partial or complete break in the continuity of a bone” (Wilson & Susan, 2008) yang
artinya fraktur adalah istirahatnya kontinuitas pada tulang baik secara parsial
atau lengkap.“Afracture is a break or
distruption in the continuity of a bone. Fracture occur when a bone is
subjected to more stress” (Gulanick & Myers, 2014) yang artinya fraktur
adalah istirahat atau distruption
dalam kelangsungan tulang.Fraktur terjadi ketika tulang dikenai stress.
Atas dasar pernyataan
diatas maka dapat disimpulkan bahwa,Fraktur batang humerus tertutup adalah
terputusnya hubungan tulang batang humerus tanpa disertai luka terbuka fragmen
tulang yang disebabkan oleh trauma langsung atau tidak langsung. Secara klinis
fraktur batang humerus terdiri dari fraktur batang humerus terbuka dan fraktur
batang humerus tertutup (Muttaqin, 2011).
2.1.3
Klasifikasi
Menurut
Rosyidi (2013) pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang
berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
2.1.3.1
Tingkat 0: Fraktur biasa dengan sedikit
atau tanpa cedera jaringan lunak sekitarnya.
2.1.3.2
Tingkat 1 : Fraktur dengan abrasi dangkal atau memar
kulit dan jaringan subkutan.
2.1.3.3
Tingkat 2 : Fraktur yang lebih berat
dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan.
2.1.3.4
Tingkat 3 :Cedera berat dengan kerusakan
jaringan lunak yang nyata dan ancaman sindrom kompartement.
2.1.4
Etiologi
Etiologi
berdasarkan kekerasan Menurut Rosyidi (2013) yaitu:
2.1.4.1
Kekerasan langsung
Kekerasan
langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.Fraktur
demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau
miring.
2.1.4.2
Kekerasan tidak langsung
Kekerasan
tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat
terjadinya kekerasan.Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam
jalur hantaran vektor kekerasan.
2.1.4.3
Kekerasan akibat tarikan otot
Patah
tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran,penekukan, dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
2.1.5
Patofisiologi
Patofisiologi
fraktur batang humerus menurut Muttaqin (2011) Fraktur batang humerus terjadi
akibat akibat jatuh pada tangan yang dapat memuntir humerus dan menyebabkan
fraktur spiral. Jatuh pada siku saat lengan dalam posisi abduksi dapat merusak
tulang dan menyebabkan fraktur oblik atau melintang. Pukulan langsung pada lengan menyebabkan fraktur melintang dan kominutif.
Fraktur batang pada klien lansia dapat
terjadi akibat suatu metastasis.
Kelumpuhan
saraf radialis (wrist-drop) dan paralisis ekstensor metakarpofalangeal dapat
terjadi pada fraktur batang humerus. Penyatuan yang lambat dapat terjadi pada
fraktur melintang, terutama jika digunakan terlalu banyak traksi (gips mengantung tidak boleh terlalu
berat) atau jika klien belum melatih fleksor dan ekstensor siku secara aktif.
Kombinasi yang berbahaya adalah penyatuan yang tidak lengkap dan sendi yang
kaku. jika gerakan siku atau bahu
dipaksakan sebelum konsolidasi, humerus dapat mengalami fraktur kembali, dan
non union dapat terjadi.
Kondisi
klinis fraktur batang humerus tertutup menimbulkan berbagai masalah keperawatan
pada klien, meliputi respon nyeri hebat akibat rusaknya jaringan lunak dan
kompresi saraf, resiko tinggi cedera jaringan akibat kerusakan vaskuler dengan
pembengkakan lokal yang menyebabkan sindrom kompartemen dan hambatan mobilitas
fisik sekunder akibat kerusakan fragmen
tulang. Pada beberapa keadaan , perawat sering melakukan asuhan keperawatan
klien fraktur humerus dengan komplikasi lanjut seperti malunion, non union, dan delayed union.
Intervensi
medis dengan penatalaksanaan pemasangan
fiksasi interna menimbulkan masalah resiko tinggi infeksi paska-bedah, nyeri
akibat trauma jaringan lunak, dampak psikologis ansietas sekunder akibat
rencana bedah dan prognosis penyakit serta pemenuhan informasi.
Fatway
fraktur batang humerus tertutup
Gambar:
2.3 Fatway fraktur batang humerus tertutup
Sumber:
Muttaqin, (2011)
2.1.6
Tanda dan gejala
Menurut Lukman & Ningsih (2012) tanda dan gejala
fraktur adalah sebagai berikut:
2.1.6.1
Nyeri
Nyeri
terus menerus dan bertambah berat sampai fragmen tulang di imobilisasi. Spasme
otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk
memanimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2.1.6.2
Kehilangan fungsi
Setelah
terjadi fraktur , Bagian-bagian yang mengalami tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara tidak almiah
(Gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran
fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat
maupun teraba) ekstrimitas yang bisa diketahui dengan membandingkan ekstrimitas
normal. Ekstrimitas tak dapat berfungsi
dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat
melekatnya otot.
2.1.6.3
Pemendekan ekstrimitas
Pada
fraktur tulang panjang terjadi pemendekkan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan
dibawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5-5 cm (1-2 inci)
2.1.6.4
Krepitus
Saat
ekstrimitas diperiksa dengan tangan,teraba adanya derik tulang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainny. Uji
krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.
2.1.6.5 Pembengkakan
lokal dan perubahan warna
Pembengkakan dan
perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan
yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa jam atau
hari setelah cidera.
2.1.7
Pemeriksaan diagnostik
Menurut
(Rosyidi, 2013) pemeriksaan penunjang yang dilakukan sebagai berikut:
2.1.7.1
Pemeriksaan Rontgen: Menentukan lokasi
atau luasnya Fraktur atau trauma, dan jenis fraktur.
2.1.7.2
Sken tulang, tomogram, CT SCAN/MRI:
memperlihatkan tingkat keparahan fraktur, juga dapat untuk mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak.
2.1.7.3
Arteriogram:dilakukan bila dicurigai
adanya kerusakan vaskuler.
2.1.7.4
Hitung darah lengkap:Ht mungkin
meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur
atau organ jauh pada multiple trauma).Peningkatan jumlah SDP adalah proses
stress normal setelah trauma.
2.1.7.5
Kreatinin: trauma otot meningkat beban
kreatinin untuk klien ginjal.
2.1.7.6
Profil koagulasi: perubahan dapat
terjadi pada kehilangan darah, tranfusi multiple atau cidera hati.
2.1.8
Penatalaksanaan medis
Menurut
Muttaqin (2011) tindakan untuk fraktur batang humerus, meliputi penaganganan di Rumah Sakit yaitu :
2.1.8.1
Gips mengantung (hanging cast). Fraktur tersebut tidak membutuhkan reduksi yang
sempurna atau imobilisasi, beratnya
lengan beserta gips luarnya biasanya cukup untuk menarik fragmen sehingga
berjajar. Gips mengantung dipasang dari bahu sampai pergelangan tangan dengan
siku yang berfleksi 90 derajat dan bagian lengan bawah tergantung pada kain
gendongan yang melingkar pada leher klien. Gips ini dapat diganti setelah 2-3
minggu dengan gips yang pendek (dari bahu
kesiku) atau suatu penahan polipropilen fungsional yang dipakai selama 6
minggu selanjutnya. Pergelangan tangan
dan jari diberi latihan sejak awal. Latihan bahu dengan pemberat dimulai dalam
seminggu, tetapi abduksi aktif ditunda hingga fraktur telah menyatu.
2.1.8.2
Traksi, pilihan lainnya, fraktur dapat
dipertahankan tereduksi dengan fiksator luar dan memulai pembebanan dini
(pembebanan membantu penyembuhan).Traksi yang digunakan adalah double skin
traction.
2.1.8.3
Tindakan operatif dengan pemasangan
plate dan screw atau pin dengan adanya indikasi operasi, yaitu terjadi lesi
nervus radialis setelah dilakukan reposisi (jepitan nervus radialis),
non-union, dan klien yang segera ingin kembali bekerja secara aktif. Terapi operatif terdiri dari:
a.
Reposisi terbuka, fiksasi interna (open
reduction internal fixation) ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan
pemasangan internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi orif
untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak
mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa intra medullari nail biasanya
digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur tranversal.
b.
Reposisi tertutup dengan kontrol
radiologis diikuti dengan fiksasi eksterna (open reduction eksternal fixation)
OREF adalah metode alternatif manajemen fraktur dengan fiksasi eksternal
biasanya pada ekstrimitas dan untuk fraktur lama.
2.1.9
Prognosis
Rosyidi
(2013) mengatakan bahwa, tulang bisa bergenerasi sama seperti jaringan tubuh
yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan
jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tualng. Tulang baru di
bentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang,
yaitu:
2.1.9.1 Stadium
Satu (Pembentukan Hematoma)
Pembuluhan darah robek dan
terbentuk hematoma di sekitar daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin
guna melindungi tulang yang rusak dan sebagian tempat tumbuhnya kapiler baru
dan fibroblast. stadium ini berlangsung 24 - 28 jam dan perdarahan berhenti
sama sekali.
2.1.9.2 Stadium
Dua (Proliferasi Seluler)
Pada stadium ini terjadi
proliferasasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari
periosteum, endosteum, dan bone marrow yang telah mengalami trauma.Sel-sel yang
mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan
disanalah osteoblast bergenerasi dan terjadi proses osteogenesis.Dalam beberapa
hari terbentuk tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang
patah.Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai,
tergantungnya frakturnya.
2.1.9.3 Stadium
Tiga (Pembentukan Kalus)
Sel-sel yang berkembang memiliki
potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel
itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. populasi sel ini
dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi
mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati.Sementara tulang yang imatur anyaman
tulang menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada
4 minggu setelah fraktur menyatu.
2.1.9.4 Stadium
Empat (Konsolidasi)
Bila aktifitas osteoklas dan
osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah lamellar. Sistem ini sekarang
cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis
fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoklas mengisi celah-celah yang terisi
diantara fragmen dengan tulang yang baru.Ini adalah proses yang lambat dan
mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang
normal.
2.1.9.5 Stadium
Lima (Remodelling)
Fraktur telah di jembatani oleh
suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bualan atau tahun, pengerasan kasar ini di bentuk ulang oleh
proses resorbsi dan pembentukan tualng
yang terus menerus. Lamellae yang lebih tebal diletakkan pada tempat yang tekanannya
lebih tinggi, dibandingkan yang tidak di kehendaki dibuang, rongga sumsum
dibentuk, dan akhirnya di bentuk
struktur yang mirip dengan normalnya.
Tabel 2.1 Faktor-faktor Penyembuhan
Fraktur
Faktor
|
Deskriftif
|
Umur
penderita
|
Waktu
penyembuhan tulang pada anak-anak jauh lebih cepat dari pada orang dewasa.
Hal ini terutama disebab kan karena aktifitas proses osteogenesis pada
periosteum dan endosteum setra proses remodeling tulang.
|
Lokalisasi
dan konfigurasi fraktur
|
Lokalisasi
fraktur memegang peran penting. Fraktur metafisis penyembuhan lebih cepat
dari pada diafisis.
|
Pergeseran
awal fraktur
|
Lokalisasi
fraktur memegang peran penting. Fraktur metafisis penyembuhannya lebih cepat
dari pada diafisis.
|
Vaskularisasi
pada kedua fragmen
|
Apabila
kedua mempunyai vaskularisasi yang baik, maka penyembuhan biasanya tanpa
komplikasi.
|
Reduksi
serta imobilisasi
|
Reposisi
fraktur akan memberikan kemungkinan untuk vaskularisasi yang lebih baik dalam
bentuk asalnya.
|
Waktu imobilisasi
|
Jika
imobilisasi tidak dilakukan sesuai waktu penyembuhan sebelum terjadi tautan
(union), maka kemungkinan terjadinya non_union sanagt besar.
|
Ruang
diantara kedua fragmen serta interposisi oleh jaringan lunak
|
Jika
ditemukan interposisi jaringan baik berupa perosterum maupuan otot atau
jaringan fibrosa lainnya, maka akan menghambat vaskularisasi kedua ujung
fraktur.
|
Faktor
adanya infeksi dan keganasan local
|
Infeksi
dan keganasan akan memperpanjang proses inflamasi lokal yang akan menghambat
proses penyembuhan dari fraktur.
|
Cairan
sinovia
|
Pada
persendian terdapat cairan sinovia, merupakan hambatan dalam penyembuhan
fraktur.
|
Gerakan
aktif dan pasif pada anggota gerak
|
Gerakan
aktif dan pasisf pada anggota gerak akan meningkatkan vaskularisasi daerah fraktur,
tetapi gerakan yang dilakukan pada daerah fraktur tanpa imobilisasi yang baik
juga akan mengganggu vaskularisasi.
|
Nutsisi
|
Asuhan
nutrisi yang optimal dapat memberikan suplai kebutan protein untuk proses
perbaikan. Pertumbuhan tulang menjadi lebih dinamis bila ditunjang dengan
asuhan nutrisi yang optimal.
|
Vitamin
D
|
Vitamin
D mempengaruhi deposisi dan absorpsi dan tulang. Vitamin D dalam jumlah besar
dapat menyebabkan absorpsi tulang seperti yang terlihat pada kadar hormon
paratiroid yang tinggi
|
Sumber: Muttaqin, (2008)
2.1.10
Komplikasi
Menurut
Rosyidi (2013) komplikasi dari fraktur
yaitu:
2.1.10.1
Komplikasi Awal
a
Kerusakan arteri
Pecahnya
arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun,
sianosis bagian distal, hematoma yang
lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi
splinting,perubahan posisi pada yang sakit,tindakan reduksi,dan pembedahan.
b
Kompartement sindrom
Kompartement
sindrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang
, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan perut. ini disebabkan oleh odema
atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah.selain itu karena
tekanan dari luar seperti gips dan pembebatan yang terlalu kuat.
c
Fat embolism syndrom
Fat
embolism syndrome (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus
fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow
kuning masuk kealiran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah
yang ditandai dengan gangguan pernafasan, takikardi, hipertensi,
takepnea,demam.
d
Infeksi
Sistem
pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedik
infeksi dimulai pada kulit (superfisial) dan masuk kedalam.Ini biasanya terjadi
pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e
Avaskuler nekrosis
Avaskuler
nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ketulang rusak atau terganggu yang
bisa menyebabkan nekrosis tulang dan
diawali dengan adanya volkman’s Ischemia.
f
Shock
Shock
terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler
yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi.Ini biasanya terjadi pada fraktur.
2.1.10.2 Komplikasi
Dalam Waktu Lama
a Delayed Union
Delayed
union merupakan kegagalan fraktur berkonsulidasi (bergabung) sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan
suplai darah ke tulang.
b Nonunion
Nonunion
merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang
lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya
pergerakan yang berlebihan pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau
pseudoarthrosis. ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c Malunion
Malunion
merupakan penyembuhan tulang di tandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan
perubahan bentuk (deformitas).Malunion dilakukan
dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
2.2 Tinjauan Teoritis Asuhan
Keperawatan Fraktur Humerus Tertutup
Menurut
Rosyidi (2013) di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan sistem atau
metode proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya terdiri dari:
2.2.1
Pengkajian
2.2.1.1
Identitas klien
Meliputi
nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, suku,s tatus perkawinan, pendidikan ,
pekerjaan, golongan darah, nomor register, tanggal MRS, diagnosa medis.
2.2.1.2
Keluhan Utama
Pada
umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.Nyeri tersebut bisa
akut atau kronik tergantung lama nya serangan.untuk memperoleh pengkajian yang
lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
a.
Provoking
incedent :Apakah ada peristiwa yang menjadi faktor
fredisposisi nyeri
b.
Quality
of pain:seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c.
Region:Radiation,
relief: apakah rasa sakit bisa reda ,apakah rasa sakit menjalar atau menyebar
,dan dimana rasa sakit terjadi.
d.
Severity
(scale) of pain : seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa
jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e.
Time:berapa
lama nyeri berlangsung, kapan , apakah bertambah buruk pada malam hari atau
siang hari.
2.2.1.3
Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan
data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu
dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut
sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana
yang terkena. selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan
bisa diketahui luka kecelakaan yang lain.
2.2.1.4
Riwayat Penyakit Dahulu
Pada
pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk
berapa lama tulang tersebut akan menyambung. penyakit-penyakit tertentu seperti
kanker tulang dan penyakit paget’s yang
menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain
itu, penyakit diabetes dengan luka
dikaki sangat berisiko terjadinya osteomylilitis akut maupun kronik dan juga
diabetes menghambat proses penyembuhan tulang.
2.2.1.5
Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit
keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor
prediposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering
terjadi pada beberapa keturunan dan kanker tulang yang cenderung diturunkan
secara genitik.
2.2.1.6
Riwayat Psikososial
Merupakan
respon emosi klien terhadap penyakit yang diderita nya dan peran klien dalam
keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruh nya dalam kehidupan
sehari-hari baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
2.2.1.7
Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a.
Pola persepsi dan tata laksana hidup
sehat
Pada
kasus fraktur akan timbul ketakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan
harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulang ,
selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaaan
obat steroid (anti inflamasi) yang dpat menganggu metabolisme kalsium,
pengkonsumsian alkohol yang bisa mengangu keseimbangan nya dan apakah klien
melakukan olahraga atau tidak.
b.
Pola nutrisi dan metabolisme
Pada klien fraktur
harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium,
zat besi, protein, vit c dan lainya untuk membantu proses penyembuhan tulang.
Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskolokeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat
terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang
merupakan factor predisposisi masalah
muskoloskeletal terutama pada lansia, selain itu obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien.
c.
Pola eliminasi
Untuk
kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi , tapi walaupun
begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsestensi, warna serta bau feces pada
pola eliminasi alvi. sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi ,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada
kesulitan atau tidak.
d.
Pola tidur dan istirahat
Semua
klien fraktur timbul rasa nyeri ,keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat
menganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga , pengkajian
dilaksanakan pada lama nya tidur , suasana lingkungan , kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
e.
Pola aktivitas
Karena
timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi
berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak di bantu oleh orang lain.Hal lain
yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien.
Karena ada beberapa bentuk pekerjaan berisiko untuk terjadinya fraktur
dibanding pekerjaan yang lain.
f.
Pola hubungan dan peran
Klien
akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus
menjalani rawat inap.
g.
Pola persepsi dan konsep diri
Dampak
yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketakutan akan kecacatan akibat
frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan
untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya
yang salah.
h. Pola
sensori dan kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya
berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedangkan pada indera yang lain
tidak timbul gangguan. Begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan.
Selain itu juga timbul rasa nyeri akibat fraktur.
i.
Pola reproduksi seksual
Dampak pada klien
fraktur yaitu klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus
menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami
klien.selain itu juga perlu dikaji
status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya.
j.
Pola penanggulangan stress
Pada klien fraktur
timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya yaitu ketakutan timbul kecacatan pada
diri dan fungsi tubuh nya .mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
k.
Pola tata nilai dan keyakinan
Untuk klien fraktur
tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan
konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.
2.2.2
Pemeriksaan Fisik
2.2.2.1
Gambaran Umum
a.
Keadaan Umum
1)
Kesadaran penderita: apatis, sopor,
koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien
2)
Kesakitan, keadaan penyakit: akut,
kronik, ringan, sedang , berat, dan pada kasus fraktur biasanya akut
3)
Tanda-tanda vital tidak normal karena
ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
b.
Secara sistemik dari kepala sampai
kelamin
1)
Sistem integument:terdapat eritema, suhu
sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, odema, nyeri tekan.
2)
Kepala:tidak ada gangguan yaitu
semetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
3)
Leher:tidak ada gangguan yaitu semetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
4)
Muka:Wajah terlihat menahan sakit ,
lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk, tidak ada lesi, simetris,
tidak odema.
5)
Mata:Tidak ada gangguan seperti
konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan).
6)
Telinga: tes bisik atau weber masih
dalam keadaan normal, tidak ada lesi atau nyeri tekan.
7)
Hidung:tidak ada deformitas, tidak ada
pernapasan cuping hidung
8)
Mulut dan faring: tidak ada pembesaran tonsil,
gusi tidak terjadi perdarahan , mukosa mulut tidak pucat.
9)
Thoraks:tidak ada pergerakan otot
intercostae, gerakan dada simetris.
10)
Paru
a)
Inspeksi:pernafasan meningkat, regular
atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
b) Palpasi:
pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
c) Perkusi
: suara ketok sonor, tidak ada redup, suara tambahan lainnya.
d)
Auskultasi:suara napas normal, tidak ada
wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi
11)
Jantung
a)
Inspeksi: tidak tampak iktus jantung
b)
Palpasi: Nadi meningkat, iktus tidak
teraba
c)
Perkusi:Sonor
d)
Auskultasi: suara s1 dan s2 tunggal,
tidak ada mur-mur
12)
Abdomen
a)
Inspeksi: bentuk datar , simetris,tidak
ada hernia
b)
Palpasi: turgor baik, tidak ada defands
muskuler (nyeri tekan pada seluruh lapang abdomen), hepar tidak teraba
c)
Perkusi: suara timpani, ada pantulan
gelembang cairan
d)
Auskultasi: Peristaltik usus normal
kurang lebih 20 kali permenit.
13)
Inguinal-Genetalia-Anus
Tak
ada hernia , tak ada pembesaran limfe, tak ada kesulitan BAB.
2.2.2.2
Keadaan Lokal
Pemeriksaan
pada sistem muskoloskeletal adalah:
a
Look (inspeksi)
Perhatikan
apa yang dapat dilihat antara lain
1)
Sikatrik (jaringan parut baik yang alami
maupun buatan seperti bekas operasi
2)
Cape au lait spot (tanda lahir)
3)
Fistulae (luka bernanah)
4)
Warna kemerahan atau kebiruan
(livide) atau hiperpegmentasi
5)
Benjolan , pembengkakan, atau cekungan
dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal)
6)
Posisi dan bentuk dari ekstrimitas
(deformitas)
7)
Posisi jalan (pola berjalan,waktu masuk kekamar
periksa)
b
Feel (palpasi)
Pada
saat akan dipalpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari
posisi netral (posisi anatomi), pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang
memberikan informasi dua arah,baik pemeriksaan maupun klien
Yang
perlu dicatat adalah:
1)
Perubahan suhu disekitar trauma (hangat)
dan kelembabankulit , CRT (capillary refill time) nomal <3 detik
2)
Apabila ada pembengkakan , apakah
terdapat fluktuasi atau odema terutama disekitar persendian
3)
Nyeri tekan (tenderness), krepitasi,
catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal).
Otot:tonus
pada waktu relaksasi atau kontraksi,benjolan yang terdapat dipermukaan atau
melekat pada tulang.selain itu juga diperiksa status neurovaskuler.apabila ada
benjolan ,maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaan nya,nyeri atau
tidak ,dan ukurannya
c
Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah
melakukan pemeriksaan fell,kemudian diteruskan dengan mengerakan ekstrimitas
dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan . pencatatan lingkup
gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya.Gerakan
sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik
0 (posisi netral) atau dalam ukuran metric. pemeriksaan ini menentukan apakah
ada Gangguan gerak (mobilisasi) atau
tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
2.2.3
Diagnosa Keperawatan
Menurut
Muttaqin (2011) Diagnosa keperawatan yang muncul pada fraktur yaitu:
2.2.3.1
Nyeri yang berhubungan dengan kompresi
saraf, kerusakan neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang.
2.2.3.2
Resiko tinggi sindrom kompartemen yang berhubungan dengan
terjebaknya pembuluh darah , saraf, dan jaringan lunak lainnya akibat
pembengkakan.
2.2.3.3
Hambatan mobilitas fisik yang berhubugan
dengan respon nyeri, kerusakan neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang.
2.2.3.4
Resiko tinggi infeksi yang berhubungan
dengan port de entrée luka fraktur terbuka, luka pasca-bedah
2.2.3.5
Resiko tinggi trauma yang berhubungan
dengan ketidakmampuan menggerakkan tungkai atas, penurunan kekuatan otot, dan
ketidaktahuan cara mobilisasi yang adekuat.
2.2.3.6
Ansietas berhubungan dengan krisis
situasional (rencana tindakan pembedahan)
2.2.4
Intervensi Keperawatan
Menurut
Muttaqin (2011) intervensi keperawatan yang muncul pada fraktur yaitu:
2.2.4.1
Nyeri yang berhubungan dengan kompresi
saraf, kerusakan neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang
a. Tujuan:Dalam
waktu 1x24 jam,nyeri berkurang atau teradaptasi
b. Kriteria
Hasil:Secara subjektif, klien melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi,
dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien
tidak gelisah, skala nyeri 0-1 atau teradaptasi
c. Intervensi:
1)
Kaji nyeri dengan skala 0-5
Rasional:
Nyeri merupakan respon subjektif yang dapat dikaji dengan menggunakan skala
nyeri.klien melaporkan nyeri biasanya diatas tingkat cedera
2)
Pantau keluhan nyeri local, apakah
disertai pembengkakan
Rasional:
Deteksi dini untuk mengetahui adanya tanda sindrom kompartemen
3)
Lakukan manajemen nyeri keperawatan:atur
posisi imobilisasi pada paha
Rasional:
Imobilisasi yang adekuat dapat mengurangi pergerakan fragmen tulang yang menjadi unsur utama
penyebab nyeri pada paha
4)
Manajemen lingkungan:Lingkungan
tenang,batasi pengunjung,dan istirahatkan klien
Rasional:Lingkungan
tenang akan menurunkan stimulus nyeri eksternal dan pembatasan pengunjung akan
membantu meningkatkan kondisi O2 ruangan yang akan berkurang apabila banyak
pengunjung yang berada diruangan. Istirahat akan menurunkan kebutuhan O2
jaringan perifer.
5)
Lakukan manajemen nyeri: ajarkan teknik relaksasi
napas dalam ketika nyeri muncul
Rasional:meningkatkan
asupan O2 sehingga akan menurunkan nyeri sekunder akibat iskemia
6)
Lakukan manajemen nyeri: ajarkan teknik
distraksi pada saat nyeri
Rasional:Distraksi
(pengalihan perhatian) dapat menurunkan stimulus internal dengan mekanisme
peningkatan produksi endorfin dan enkefalin yang dapat memblok reseftor nyeri
agar tidak dikirimkan ke korteks serebri sehingga menurunkan persepsi nyeri
7)
Lakukan manajemen sentuhan
Rasional:manajemen
sentuhan pada saat nyeri berupa sentuhan
dukungan psikologis dapat membantu menurunkan nyeri, masase ringan dapat
meningkatkan aliran darah dan
membantu suplai darah dan oksigen
kearea nyeri
8)
Pemberian analgesik
Rasional:Aanalgesik
memblok lintasan nyeri sehingga nyeri akan berkurang
9)
Pemasangan traksi skeletal
Rasional:
penarikan dengan traksi skeletal dapat mengurangi pergerakan fragmen tulang
yang dapat menekan jaringan saraf sehingga dapat menurunkan respon nyeri
10)
Operasi untuk pemasangan fiksasi interna
(ORIF) dan fiksasi eksterna (OREF)
Rasional:intervensi
medis berupa stabilisasi dengan melakukan fiksasi pada tulang yang patah akan
dapat menurunkan stimulus nyeri akibat cedera jarinagan lunak,kompresi saraf
dan pergerakan fragmen tulang
2.2.4.2
Resiko tinggi sindrom kompartemen yang berhubungan dengan
terjebaknya pembuluh darah ,saraf,dan jaringan lunak lainnya akibat
pembengkakan.
a.
Tujuan:Dalam waktu 1x24 jam, risiko
sindrom kompartemen tidak terjadi
b.Kriteria
hasil: klien tidak mengeluh nyeri local hebat,skala nyeri 0-1,CRT <3
detik,akral pada sisi lesi hangat ,nadi pada sisi lesi sama dengan sisi yang
sehat.
c. Intervensi:
1)
Pantau pulsasi nadi,perpusi perifer,dan
CRT pada sisi lesi setiap jam
Rasional:Perubahan
nadi,Perfusi,dan meningkatnya CRT pada sisi lesi menunjukan tanda awal tidak
baiknya sistem vaskuler akibat pembengkakan.
2)
Pantau status nyeri setiap jam
Rasional:Keluhan nyeri
local hebat pada klien fraktur disertai pembengkakan merupakan peringatan pada
perawat tentang gejala sindrom kompartemen
3)
Kaji dan bebaskan apabila ada bagian
pembebatan yang kuat pada bagian proksimal
Rasional:Pembebatan
merupakan stimulus yang dapat meningkatkan respon penjepitan pada pembuluh
darah dan jaringan lunak lainnya sehingga harus dibebaskan
4)
Debridemen dan fasiotomi
Rasional:intervensi
untuk menurunkan dan menghilangkan respon penjepitan pada bagian proksimal
2.2.4.3
Hambatan mobilitas fisik yang
berhubungan dengan respon nyeri,kerusakan neuromuskuloskeletal,pergerakan
fragmen tulang
a. Tujuan:Dalam
waktu 1x24 jam, klien mampu melaksanakan aktivutas fisik sesuai dengan
kemampuannya.
b.Kriteria
hasil: klien dapat ikut serta dalam program latihan , tidak terjadi kontraktur
sendi, klien menunjukan tindakan untuk meningkatkan mobilitas.
c. Intervensi:
1) Kaji
mobilitas yang ada dan observasi peningkatan kerusakan .kaji secara teratur
fungsi motorik
Rasional: mengetahui
tingkat kemampuan klien dalam melakukan
aktivitas
2) Atur
posisi imobilisasi pada lengan dengan kain bergantung setelah dilakukan reduksi
tertutup.
Rasional: imobilisasi
yang adekuat dapat mengurangi pergerakan fragmen tulang yang menjadi unsur
utama penyebab nyeri pada lengan atas
3) Lakukan
pemasangan gips spalk atau gips sirkulir
Rasional: fiksasi
tertutup dengan gips mengurangi pergerakan fragmen tulang sehingga dapat
mengurangi respon atau stimulus nyeri dan dapat meningkatkan mobilitas
4) Ajarkan
latihan rentang gerak sejak dini
Rasional: dengan
mempraktikkan latihan aktif pada bahu ,siku, dan jari sejak dini setelah
terjadi perbaikan fragmen tulang,sendi-sendi pada lengan tidak mengalami
kontraktur
5) Lakukan
support system
Rasional: dukungan
psikologis dapat memberikan motivasi pada klien untuk melakukan mobilisasi
sesuai batas toleransi
2.2.4.4
Resiko tinggi infeksi yang berhubungan
dengan port de entrée luka fraktur tertutup,luka pasca-bedah.
a. Tujuan :Dalam waktu 10x24 jam,risiko infeksi tidak
terjadi
b.Kriteria
hasil:Tidak ada tanda dan gejala infeksi, pengangkatan jahitan paska bedah ORIF dapat dilakukan pada hari ke 10
c. Intervensi:
1)
Kaji faktor-faktor yang memungkinkan
terjadinya infeksi yang masuk ke port de entrée
Rasional:Faktor
port de entrée fraktur femur adalah luka
terbuka dari fraktur, luka pasca bedah
sisi luka dari traksi tulang, setiap sisi besi pada fiksasi eksterna .faktor-faktor
ini harus dipantau oleh perawat dan dilakukan perawatan luka steril
2)
Lakukan manajemen keperawatan:lakukan
perawatan luka steril pada hari ke-2
pasca bedah ORIF atau apabila kasa terlihat kotor
Rasional:perawatan
luka steril dilakukan idealnya pada hari ke 2 dan perawatan selanjutnya tidak
setiap hari.biasanya dilakukan setiap 2 hari sekali atau apabila kasa terlihat
kotor,dapat dilakukan setiap hari
3)
Lakukan manajemen keperawatan: lakukan
perawatan luka secara steril pada luka pasca
bedah ORIF dengan iodin providum
dan dibersihkan dengan alcohol 70% dengan teknik swabbing dari arah dalam
keluar
Rasional:teknik
swabbing secara steril dapat membersihkan sisa nekrotik,debris,dan dapat
mengurangi kontaminasi kuman
4)
Lakukan manajemen keperawatan: Desinfeksi
daerah pemasangan fiksasi eksterna dengan iodin providum dan dibilas dengan
alcohol 70%
Rasional:desinfeksi
dengan iodin providum dapat menghilangkan kuman pada sekitar logam yang masuk
ke kulit pada fiksasi eksterna .pembersihan iodin providum dengan alcohol dapat
mengurangi dampak iritasi pada kulit sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan
jaringan
5)
Tutup luka ORIF dengan kasa gulung
Rasional:
menghindari kontak dengan udara luar
6)
Pantau kondisi luka.apabila kasa
terlihat kotor atau ada sisa perdarahan pasca bedah segera lakukan ganti
balutan
Rasional:kasa
yang kotor akibat sisa perdarahan pasca bedah merupakan stimulus yang dapat
meningkatkan risiko infeksi
7)
Pantau /batasi kunjungan
Rasional:mengurangi
risiko kontak infeksi dari orang lain
8)
Tingkatkan asupan nutrisi tinggi kalori
dan tinggi protein
Rasional:meningkatkan
imunitas tubuh secara umum dan membantu menurunkan risiko infeksi
9)
Beri antibiotic sesuai indikasi
Rasional:satu atau
beberapa agens diberikan yang bergantung pada sifat pathogen dan infeksi yang
terjadi
2.2.4.5
Resiko tinggi trauma yang berhubungan
dengan ketidakmampuan menggerakkan lengan, penurunan kekuatan otot, dan
ketidaktahuan cara mobilisasi yang adekuat.
a. Tujuan:
Dalam waktu 1x24 jam , klien mengenal faktor yang meningkatkan risiko trauma atau
cedera , baik cedera dini maupun cedera lanjut , dan klien kooperatif untuk
ikut serta dalam menghindari risiko trauma
b. Kriteria
hasil: Secara subjektif,klien mampu mengulang kembali faktor-faktor yang
menyebabkan trauma dan terlihat melaksanakan kegiatan intervensi menghindari
trauma
c. Intervensi:
1)
Kaji tingkat pengetahuan klien tentang
faktor yang berisiko menyebabkan trauma pada fraktur humerus tertutup
Rasional:
sebagai data dasar untuk melaksanakan intervensi sesuai dengan tingkat
pengetahuan yang klien miliki
2)
Lakukan manajemen fiksasi eksterna: Atur
posisi fiksasi eksterna
Rasional:
posisi yang ideal pada fiksasi eksterna dapat menghindari risiko trauma
.biasanya dengan meletakan bantal pada lipat siku tangan dapat meningkatkan
rasa nyaman klien
3)
Lakukan manajeman fiksasi eksterna:
Anjurkan klien untuk tidak memaksimalkan gerak tangan yang masih terpasang OREF
Rasional;
Penyembuhan penyambungan tulang pada fraktur humerus tertutup agar dapat
menahan berat tubuh dapat mencapai 3 bulan sehingga sebelum waktu tersebut
klien dianjurkan untuk menggunakan alat bantu ,apabila melakukan mobilisasi
guna menghindari fraktur berulang atau terjadinya delayed union,malunion,dan non-union akibat
fragmen tulang yang sering bergeser
4)
Lakukan manajemen fiksasi eksterna: fiksasi
eksterna jaringan ditutup dengan selimut
Rasional:ketidaktahuan
akan adanya fiksasi eksterna dapat
meningkatkan risiko cedera
5)
Lakukan manajemen fiksasi eksterna: Beri
penumpul pada bagian logam yang tajam
Rasional:
untuk mengurangi respon cedera jaringan lunak pada sisi yang sehat akibat
tergores bagian tajam dari fiksasi ekstern
6)
Lakukan dukungan psikologis
Rasional:pengaturan
posisi kadang memberikan stimulus nyeri sehingga klien sering malas untuk
melakukan fleksi telapak tangan
7)
Kolaborasi pemberian antibiotik
Rasional:
antibiotik dapat menurunkan invasi kuman yang dapat meningkatkan risiko cedera
jaringan lunak
2.2.4.6
Ansietas berhubungan dengan krisis
situasional(rencana tindakan pembedahan)
a.
Tujuan:Dalam 1x24 jam perawatan,
ansietas dapat berkurang
b.
Kriteria Hasil:Klien mampu
mengidentifikasi dan mengungkapkan dan
menunjukan teknik untuk mengontrol cemas
c.
Intervensi:
1)
Kaji tingkat kecemasan klien
Rasional:kecemasan
yang berlebihan dapat mengakibatkan stres yang berlebihan
2)
Observasi tanda-tanda vital
Rasional:mengetahui
keadaan umum klien
3) Informasikan klien atau keluarga
terdekat tentang peran perawat advokat,perawat intra operasi
Rasional:mengembangkan
rasa percaya diri klien sehingga menurunkan rasa takut
4)
Identifikasi penyebab rasa takut pra
operasi
Rasional:rasa
takut yang berlebihan akan mengakibatkan stress yang berlebihan
5)
Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi
Rasional:mengurangi
ansietas dan membuat lebih rileks
6)
Kaji respon verbal klien setelah
dilakukan intervensi distraksi dan relaksasi
Rasional:mengetahui
rasa takut yang berlebihan
7)
Validasi sumber rasa takut,berikan
informasi yang akurat dan aktual
Rasional:mengidentifikasi
rasa takut yang spesifik akan membantu klien menghadapi nya secara realistis
8)
Beri tahu klien kemungkinan dilakukannya
anestesi umum atau spinal
Rasional:mengurangi
ansietas atau rasa takut bahwa mungkin klien sadar saat dilakukan prosedur
2.2.5
Evaluasi Keperawatan
2.2.3.1Nyeri yang berhubungan dengan kompresi
saraf, kerusakan neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang.
Kriteria
evaluasi:
a.
Klien melaporkan nyeri berkurang
b.Skala
nyeri 0-1 atau teradaptasi
2.2.3.2
Resiko tinggi sindrom kompartemen yang berhubungan dengan
terjebaknya pembuluh darah , saraf, dan jaringan lunak lainnya akibat
pembengkakan.
Kriteria
evaluasi:
a.
Klien tidak mengeluh nyeri lokal hebat
b.
CRT <3 detik
c.
Akral pada sisi lesi hangat
2.2.3.3
Hambatan mobilitas fisik yang
berhubungan dengan respon nyeri, kerusakan neuromuskuloskeletal, pergerakan
fragmen tulang.
Kriteria
evaluasi:
a.
Klien menunjukan tindakan untuk
meningkatkan mobilitas
b.
Tidak terjadi kontraksi sendi
2.2.3.4
Resiko tinggi infeksi yang berhubungan
dengan port de entrée luka fraktur terbuka, luka pasca-bedah
Kriteria
evaluasi:
a.
Tidak ada tanda dan gejala infeksi
seperti (Tomur, Kalor ,Dolor, Robor, Fungsio Laesa).
b.
Pengangkatan jahitan paska bedah ORIF
dapat dilakukan pada hari ke 10
2.2.3.5 Resiko
tinggi trauma yang berhubungan dengan ketidakmampuan menggerakkan tungkai atas,
penurunan kekuatan otot, dan ketidaktahuan cara mobilisasi yang adekuat.
Kriteria evaluasi:
a. Klien
terlihat melaksanakan kegiatan intervensi menghindari resiko trauma.
2.2.3.6 Ansietas
berhubungan dengan krisis situasional (rencana tindakan pembedahan)
Kriteria evaluasi:
a. Klien
mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan dan menunjukan teknik untuk mengontrol
cemas.
DAFTAR
RUJUKAN
Corwin, J Elisabet. (2009). Buku
Saku Patofisiologi, Edisi 9. Jakarta :
EGC
De Jong. (2010). Buku Ajar Ilmu
Bedah. Editor : Syamsuhidayat. Jakarta: EGC
Gulanick, M. & Myers, J, L.
(2014).Nursing Care Plans. Diagnosis,
Intervention, And Outcomes.
Philandelphia: Elsevier
Hairuddin. (2006). Pengantar Ilmu
Bedah Orthopedi. Makasar : Lintang Imumpasue.
Herdman, T. Heather. 2013. Nanda
Internasional. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Buku
Kedokteran : EGC
Judit M. Wilkinson, Nency R.
Ahern. (2012). Buku Saku Diagnosa Nanda. Intervensi Nic. Kriteria Hasil Noc,
Edisi 9. Jakarta :EGC
Lukman & Ningsih,N. (2012).
Asuhan keperawatan pada klien dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta:
Salemba Medika
Manjoer, Arif. (2010). Kapita Selekta Kedokteran Edisi. 3,
Jakarta: Media Aesculapius.
Muttaqin, A.
(2011). Buku Saku Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta:EGC
Muttaqin, A. (2008). Buku Ajar Asuhan keperawatan Klien gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta: EGC.
Nurarif & Kusuma. (2013). Aplikasi
Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda Nic-Noc. Jilid
2.Yogyakarta:EGC
Price & Wilson. (2006). Buku
Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Priharjo, R (2012), Buku Pengkajian
Fisik Keperawatan. Edisi 2.Jakarta: Buku Kedokteran EGC
http://
prestasiherfen, blogpot. co.id /2008/10/ sistem rangka manusia, html (Diakses 5
Mei 2016).
http;//www.Depkes
RI.go.id/2009//blogspot.com (Diakses 7 Mei 2016).
Rosyidi
K. (2013). Muskuloskeletal, Jakarta: TIM
Saferi,A, w &Mariza, Y, P.
(2013). KMB 2 Keperawatan Medikal Bedah (Keperawatan Dewasa). Yogyakarta: Nuha
Medika
Smeltzer, Suzanne C, dan Branda
G. (2009). Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8. Jakarta: EGC
Suratun, Heryati, dan Manurung S
(2008). Asuhan keperawatan pada klien gangguan sistem musculoskeletal. Jakarta:
EGC
Syaifuddin
(2010). Anatomi dan Fisiologi Tubuh Manusia. Edisi 3, Jakatra: EGC
Usman,P (2012). Asuhan keperawatan pada
klien gangguan sistem musculoskeletal. Jakarta: EGC
Wilson,Susan
F, (2008). Health Assessment For Nursing
Practice. Mosby. Inc
No comments:
Post a Comment