Thursday, October 19, 2017

Laporan Pendahuluan Prilaku Kekerasan Keperawatan Jiwa

BAB 1
PENDAHULUAN


1.1         Latar Belakang
Kesehatan jiwa adalah berbagai karakteristik positif yang menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan kepribadiannya. Menurut WHO, Kondisi seseorang yang terus tumbuh berkembang dan mempertahankan keselarasan dalam pengendalian diri, serta terbebas dari stress yang serius (Direja, 2011: 1).

Gangguan jiwa merupakan keadaan terganggunya fungsi kejiwaan, fungsi kejiwaan meliputi proses berfikir, emosi, kemauan dan perilaku psikosomatik. Bentuk penyimpangan perilaku akibat adanya distori emosi sehingga ditemukan ketidak wajaran dalam tingkah laku, hal ini terjadi karena menurunnya semua fungsi kejiwaan (Jaya, 2015: 87).

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat memebahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Sering juga disebut gaduh gelisah  atau amuk dimana seseorang marah berespon terhadap suatu stressor dengan gerakan motorik yang tidak terkontrol (Yosep, 2010 dalam Damaiyanti, 2014: 95).

Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2012 angka gangguan jiwa mengkhawatirkan secara global, sekitar 450 juta penderita gangguan jiwa ditemukan di dunia. Orang yang mengalami gangguan jiwa sepertiganya tinggal di negara berkembang, sebanyak 8 dari 10 penderita gangguan mental itu tidak mendapatkan perawatan (Kementrian Kesehatan 2012).

Jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia pada tahun 2013 mencapai    1. 728 orang, adapun proposi rumah tangga yang pernah memasung gangguan jiwa berat sebesar 1.655 rumah tangga dari 14,3% terbanyak tinggal di pedasaan, sedangkan yang tinggal diperkotaan sebanyak 0,7%. Selain itu prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk umur lebih dari 15 tahun di Indonesia secara nasional adalah 6.0% , 37. 728 orang dari subjek yang dianalisis. Provinsi dengan prevalensi gangguan mental emosional tertinggi adalah Sulawesi Tengah (11, 6%), Sedangkan yang terendah di lampung (Riset Kesehatan Dasar, 2013).

Berdasarkan data yang diperoleh di RSJ Sambang Lihum Provinsi Kalimantan Selatan bahwa jumlah pasien gangguan jiwa pada tahun 2013 tercatat sebanyak 1.440, pada tahun 2014 tercatat sebanyak 2.011 pasien gangguan jiwa, pada tahun 2015 tercatat sebanyak 1.601. Pasien rawat inap dengan diagnosa medis skizofrenia tidak terinci 937, skizofrenia paranoid 111, skizofrenia hibefrenik 163, skizofrenia residual 145, gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat multiple dan penggunaan zat psikoaktif dengan gangguan psikotik 112, gangguan psikotik polymurtik akut dengan gejala skizofrenia 36, episode depresif berat dengan simptom psikotik 28, skizofrenia katatonik 24, kelainan mental karena kerusakan dan disfungsi otak serta penyakit fisik spesifik lain 23, kelainan mental tingkah laku karena pemakain zat psikoaktif lain dengan sindrom dependen 17.

Ruang Transit Pria RSJ Sambang Lihum Provinsi Kalimantan Selatan, pasien menderita perilaku kekerasan pada tahun 2016 pada bulan Februari 1 orang yang menderita, pada bulan Maret 2 orang yang menderita, pada bulan april 2 orang yang menderita perilaku kekerasan. Di ruang transit menyebutkan bahwa pasien yang menderita Perilaku Kekerasan dalam  3 bulan terakhir berjumlah 5 orang.


Berdasarkan data tersebut di atas maka penulis mengangkat Asuhan Keperawan pada pasien dengan Perilaku Kekerasan di RSJ Sambang Lihum Provinsi Kalimantan Selatan guna membantu pasien untuk mencegah resiko menciderai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.


BAB  2
TINJAUAN TEORITIS

2.1         Tinjauan Teoritis Perilaku Kekerasan
2.1.1        Pengertian
Perilaku merupakan respons atau reaksi yang ditunjukkan oleh individu dalam menghadapi respon dari luar, bentuknya berupa kegiatan atau aktivitas manusia yang dapat diamati maupun tidak (Notoatmodjo, 2010 dalam Jaya, 2015: 44).

Kekerasan  berarti  penganiayaan, penyiksaan,atau perlakuan salah dan  penggunaan  kekuatan fisik, kekuasaan serta ancaman  (Bagong, 2008).

Resiko perilaku kekerasan adalah perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan masih terkontrol (Keliat, 2011: 181).

Menurut Direja (2011: 131) “Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri orang lain maupun lingkungan”.

Perilaku kekerasan merupakan salah satu respon marah yang diekspresikan dengan melakukan ancaman, mencederai orang lain, dan atau merusak lingkungan. Respon tersebut biasanya muncul akibat adanya stressor. Respon ini dapat menimbulkan kerugian baik diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan (Keliat B.A, 2011: 180).

Perilaku Kekerasan  adalah suatu keadaan emosi yang merupakan campuran perasaan prustasi dan benci atau amarah. Hal ini didasari

keadaan emosi secara mendalam dari setiap orang sebagai bagian penting dari keadaan emosional kita yang dapat diproyeksikan ke lingkungan, kedalam diri atau secara destruktif (Paatricia D. Barry1998, dalam Yosep, 2014: 151).

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Sering juga disebut gaduh gelisah  atau amuk dimana seseorang marah terhadap suatu stressor dengan gerakan motorik yang tidak terkontrol (Yosep, 2010 dalam Damaiyanti, 2014: 95).

Jadi dari beberapa pengertian diatas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa perilaku kekerasan adalah ungkapan perasaan marah dan bermusuhan yang mengakibatkan hilangnya control diri dimana  individu berperilaku menyerang yang dapat membahayakan baik diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.
2.1.2        Etiologi
2.1.2.1       Rentang  respon marah
Perilaku kekerasaan merupakan status  rentang  emosi dan  ungkapan kemarahan yang di manifestikan dalam bentuk fisik. Kemarahan tersebut merupakan suatu  bentuk komunikasi dan proses penyampaian pesan dari  individu.   Orang yang mengalami kemarahaan sebenarnnya  ingin  menyampaikan  pesan bahwa ia   “tidak setuju,  tersinggung, merasa tidak di anggap tidak di turuti atau di remehkan” rentang respon kemarahan individu dimulai dari  respon normal  (asertif) sampai  pada  respon tidak normal (maladaptive) (Damaiyanti, 2014: 95).  



                                    Keterangan:
a.         Asertif
Individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain dan memberikan kelegaan.
b.        Frustasi
Individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak dapat menemukan alternatif.
c.         Pasif
Individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya, tidak berdaya dan menyerah
d.        Agresif
Individu menngekspresikan secara fisik, tapi masih  terkontrol, mendorong orang lain dengan ancaman.
e.         Kekerasan
Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat dan hilang kontrol, disertai amuk,merusak lingkungan.

Kemarahan diawali oleh adanya sressor yang berasal dari internal atau eksrernal. Stressor internal seperti penyakit, hormonal, dendam, kesal. Sedangkan stressor eksternal bisa berasal dari ledekan, cacian, makian hilangnya benda berharga, tertipu, penggusuran, bencana dan sebagainya. Keberhasilan individu dalam berespon terhadap kemarahan dapat menimbulkan respon asertif. Respon menyesuaikan merupakan respon adaptif. Kemarahan atau rasa tidak setuju yang dinyatakan atau diungkapkan tanpa menyakiti orang lain akan memberi kelegaan pada individu dan tidak akan menimbulkan masalah. Kegagalan yang menimbulkan frustasi dapat menimbulkan respon pasif dan melarikan diri atau respon melawan dan menentang. Respon melawan dan menentang merupakan respon yang maladaftif yaitu agresif-kekerasan. Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan. Dalam keadaan ini tidak ditemukan alternatif lain. Pasif adalah suatu keadaan dimana individu tidak mampu untuk mengungkapkan perasaan yang sedang dialami untuk menghindari suatu tuntutan nyata. Agresif adalah perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan masih terkontrol. Sedangkan kekerasan adalah  perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan kontrol diri. Individu dapat merusak diri sendiri, orang lain, dan  lingkungan.
2.1.2.2        Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi dan faktor presipitasi dari perilaku kekerasan (Yosep, 2014: 152) yaitu:  
a.    Faktor Psikologis
1)        Psychoanalytical Theory; Teori ini mendukung bahwa perilaku agresif merupakan akibat dari instinctual drives. Freud berpendapat bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua insting. Kesatu insting hidup yang diekspresikan dengan seksualitas, dan kedua insting kematian yang di ekspresikan dengan agresivitas.
2)        Frustation-aggresion theory; Teori yang dikembangkan oleh pengikut Freud ini berawal dari asumsi, bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan maka akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustasi. Jadi hampir semua orang yang melakukan tindakan agresif mempunyai riwayat perilaku agresif.
3)        Pandangan psikologi lainnya mengenai  perilaku agresif, mendukung pentingnya peran dari perkembangan predisposisi atau pengalaman hidup. Ini menggunakan pendekatan bahwa manusia mampu memilih mekanisme koping yang sifatnya tidak merusak. Beberapa contoh dari pengalaman tersebut:
a)        Kerusakan otak organik, retardasi mental, sehingga tidak mampu untuk menyelesaikan secara efektif.
b)        Severe emotional deprivation atau rejeksi yang berlebihan pada masa kanak-kanak, atau seduction parental, yang mungkin telah merusak hubungan saling percaya (trust) dan harga diri.
c)        Terpapar kekerasan selama masa perkembangan dalam keluarga, sehingga membentuk pola pertahanan atau koping.
b.      Faktor Sosial Budaya
1)   Social-Learning Theory; Teori yang dikembangkan oleh Bandura (1997) ini mengemukakan bahwa agresi tidak berbeda dengan respon-respon yang lain. Agresi dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan maka semakin besar kemungkinan untuk terjadi. Jadi seseorang akan berespon terhadap keterbangkitan emosionalnya secara agresif sesuai dengan respon yang dipelajarinya. Pembelajaran ini bisa internal atau eksternal. Contoh internal: Orang yang mengalami keterbangkitan seksual karena menonton film erotis menjadi lebih agresif dibandingkan mereka yang tidak menonton film tersebut; Seorang anak yang marah karena tidak boleh beli es kemudian ibunya membeli es agar si anak berhenti marah. Anak tersebut akan belajar bahwa ia marah maka ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan. Contoh eksternal: Seorang anak menunjukkan perilaku agresif setelah melihat seorang dewasa mengekspresikan berbagai bentuk perilaku agrresif terhadap sebuah boneka.
2)   Kultural dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma dapat mendefinisikan ekspresi agresif mana yang dapat diterima atau tidak dapat diterima. Sehingga dapat membantu individu untuk mengekspresikan marah dengan cara agresif.
c.         Faktor Biologis
1)   Penelitian neurobiologi mendapatkan bahwa adanya pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus (yang berada di tengah sistem limbik) binatang ternyata menimbulkan perilaku agresif. Perangsangan yang diberikan terutama pada nukleus periforniks hipotalamus dapat menyebabkan seekor kucing mengeluarkan cakarnya, mengangkat ekornya, mendesis, bulunya berdiri, menggeram, matanya terbuka lebar, pupil berdilatasi, dan hendak menerkam tikus atau objek yang ada di sekitarnya. Jadi kerusakan fungsi sistem limbik (untuk emosi dan perilaku), lobus frontal (untuk pemikiran rasional), dan lobus temporal (untuk interpretasi indera penciuan dan memori).
2)   Neurotransmitter yang sering dikaitkan dengan perilaku agresif: serotonin, dopamin, norepinefrin, asetilkolin, dan amino GABA.
                                               Faktor yang mendukung:
a)    Masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan
b)   Sering mengalami kegagalan
c)    Kehidupan yang penuh tindakan agresif
d)   Lingkungan yang tidak kondusif (bising,padat).
2.1.2.3        Faktor presipitasi
Secara umum, seseorang akan berespons dengan marah apabila merasa dirinya terancam. Ancaman tersebut dapat berupa injury secara psikis, atau lebih dikenal dengan adanya ancaman terhadap diri seseorang. Ketika seseorang merasa terancam, mungkin dia tidak menyadari sama sekali apa yang menjadi sumber kemarahannya. Oleh karena itu, baik perawat maupun pasien harus bersama-sama mengidentifikasikannya. Ancaman dapat berupa internal atau eksternal. Contoh stressor eksternal: serangan secara psikis, kehilangan hubungan yang dianggap bermakna, dan adanya kritikan dari orang lain. Sedangkan contoh dari stressor internal: merasa gagal dalam bekerja, merasa kehilangan orang yang dicintai, dan ketakutan terhadap penyakit yang diderita.
2.1.3        Patofisiologi Terjadinya Marah

  


(Beck, Rawlins, Williams, 1986 dikutip oleh Keliat dan Sinaga,1991 dalam Yusuf, 2015: 130)
Amuk merupakan respons kemarahan yang paling maladaptif ditandai dengan perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai hilangnya kontrol, yang individu dapat merusak diri sendiri, orang lain, atau lingkungan. Amuk adalah respon marah terhadap adanya stress, rasa cemas, harga diri rendah, rasa bersalah, putus asa, dan ketidakberdayaan.
Respons marah dapat diekspresikan secara internal atau eksternal. Secara internal dapat berupa perilaku yang tidak asertif dan merusak diri, sedangkan secara eksternal dapat berupa perilaku destruktif agresif.
Mengekspresikan rasa marah dengan perilaku  konstruktif dengan menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti orang lain akan memberikan kelegaan pada individu. Apabila perasaan marah diekspresikan dengan perilaku agresif dan menantang, biasanya dilakukan karena ia merasa kuat. Cara ini menimbulkan masalah yang berkepanjangan dan dapat menimbulkan tingkah laku yang destruktif dan amuk (Yusuf, 2015: 131).
2.1.4             Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala perilaku kekerasan (Direja, 2011: 132) yaitu:
2.1.4.1.  Fisik
Mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang menutup, wajah memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.
            2.1.4.2. Verbal
Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan nada keras, kasar, ketus.
2.1.4.3.    Perilaku
Menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak lingkungan, amuk/agresif.
 2.1.4.4.    Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam, jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan, dan menuntut.
2.1.4.5.    Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan tidak jarang mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
2.1.4.6.    Spritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral, dan kreativitas terhambat.
2.1.4.7.    Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan sindiran.
2.1.4.8.    Perhatian
Bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan seksual.
2.1.4.9.    Tanda ancaman kekerasan adalah:
Tanda ancaman kekerasan (Yusuf, 2015) yaitu:
a.    Tindakan kekerasan belum lama, termasuk kekerasan terhadap barang milik sendiri dan orang lain.
b.    Ancaman verbal atau fisik.
c.    Membawa sejata atau benda lain yang dapat digunakan sebagai senjata (misalnya: garpu, asbak).
d.   Agitasi psikomotor progresif.
e.    Intoksikasi alkohol atau zat lain.
f.     Ciri paranoid pada pasien psikotik.
g.    Halusinasi perilaku kekerasan tetapi tidak semua pasien berada pada resiko tinggi.
h.    Penyakit otak, global, atau dengan temuan lobus fantolis, lebih jarang pada temuan lobus temporalis (kontroversial).
i.      Kegembiraan katatonik.
j.      Episode manik tertentu.
k.    Episode depresi teragitasi tertentu.
l.      Gangguan kepribadian (kekerasan, penyerangan, atau diskontrul impuls).
2.1.5     Proses Terjadinya Perilaku Kekerasan
Faktor predisposisi dan faktor presipitasi dari perilaku kekerasan (Yosep, 2014: 251)  yaitu:
2.1.5.1      Faktor Predisposisi
a.    Teori Biologis
1)      Neurologic factor yaitu beragam komonen dari system syaraf seperti sinap, neurotransmitter, dendrit,ekson terminalis mempunyai peran mempasilitasi atau menghambat rangsangan dan pesan-pesan yang mempengaruhi sifat agresif. System limbic sangat terlibat dalam menstimulasi timbunya perilaku bermusuhan dan respon agresif
2)      Genetic factor yaitu  adanya factor gen yang di turunkan melalui orang  tua, menjadi potensi perilaku agresif
3)      Cycardian  rytim (irama sikardian tubuh) memmegang peranan pada individu. Menurut penelitian pada jam-jam sibuk seperti menjelang masuk kerja dan menjelang berakhir pekerjaan sekitar jam 9 dan jam 13 pada  jam tertentu  orang mudah terstimulasi untuk bersikap agresif
4)      Biochemistry factor (factor biokimia tubuh) seperti neurotransmitter di otak (epineprin, norepineprin, dopamine, assetilkolin dan serotonin)sangat berperaan dalam penyampaian informasi melalui sistim persarapan dalam tubuh, adanya stimulus dari luar tubuh yang di anggap mengancam atau membahayakan akan dihantar melalui implus neurotransmitter ke otak dan meresponnya melalui serabut efferent, peningkatan hormone androgen dan norepineprin serta penurunan  serotoin dan GABA pada cairan cerebrospinal vertebra dapat menjadi factor predisposisi  terjaadinya perilaku agresif.
5)      Brain area disorder yaitu gangguan pada system limbic dan lobus temporal sindrom otak organik, tumor otak, trauma otak, penyakit  ensepatis , epilepsy di temukan sangat berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan
b.      Teori  psikologis
1)      Teori psikoanalisa yaitu agresivitas dan kekerasan dapat  dipengaruhi oleh riwayat tumbuh kembang seseorang (life  span  histori). Teori ini menjelaskan bahwa adanya ketidakpuasan fase oral antara usia 0  - 2 tahun di mana  anak tidak mendapat kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan air susu yang cukup  cenderung menggembangkan sikap agresif. dan bermusuhan setelah dewasa sebagai kompensasi adanya ketidakberdaayaan  pada lingkungan. Tidak berkembangnya ego dan membuat  konsep  diri yang rendah.
2)      Imitation, modeling, and  information  prosessing  teori yaitu menurut teori ini perilaku kekerasan bisa berkembaang dalam lingkungan yang mentollitir kekerasan, adanya contoh model  dan  perilaku yang ditiru dari media atau  lingkungan sekitar memungkinkan individu meniru perilaku tersebut. Dalam suatu penelitian beberapa anak di kumpulkan untuk  menonton tayangan pemukulaan akan di beri coklat.
3)      Learning  theory  yaitu perilaku kekerasan merupakan  hasil  belajar individu  terhadap lingkungan  terdekat nya, ia  mengamati bagaimana respon  ayah menerima kekecewaan dan mengamati  bagaimana respon ibu saat marah.
4)      Teori sosiokultural
Dalam budaya tertentu seperti rebutan berkah, rebutan uang receh, sesaji atau kotoran kerbau di keraton, serta ritual-ritual yang cenderung mengarah kepada kemusyrikan secara tidak langsung turut memupuk sikap agresif dan ingin menang sendiri. Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku kekerasan sebagai cara penyelasaian masalah dalam masyarakat merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan. Hal ini dipicu juga dengan maraknya demonstrasi, film-film kekerasan, mistik, tahayul, dan perdukunan (santet, teluh) dalam tayangan televisi.
5)       Aspek religiusitas
Dalam tinjauan religiusitas, kemarahan dan agresivitas merupakan dorongan dan bisikan syetan yang sangat menyukai kerusakan agar manusia menyesal (devil support). Semua bentuk kekerasan adalah bisikan syetan melalui pembuluh darah ke jantung, otak dan organ vital manusia lain yang dituruti manusia sebagai bentuk kompensasi bahwa kebutuhan dirinya terancam dan harus segera dipenuhi tetapi tanpa melibatkan akal dan norma agama.
2.1.5.2     Faktor Presipitasi
Faktor-faktor presipitasi dari perilaku kekerasan sering kali berkaitan dengan (Yosep, 2014: 253) yaitu:
a.    Ekspansi diri, ingin menunjukan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian massal dan sebagainya.
b.    Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
c.    Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak membiasakan dialog dalam menyelesaikan masalah cenderung melakukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d.   Ketidaksiapan seorang ibu dalm merawat anaknya dan ketidakmampuan menempatkan dirinya sebagai seorang dewasa.
e.    Adanya riwayat perilaku antisosial meliputi penyalah gunaan obat dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi.
f.     Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.

hal-hal yang dapat menimbulkan perilaku kekerasan atau penganiayaan (Fitria, 2014) antara lain sebagai berikut:
1)   Kesulitan kondisi sosial ekonomi.
2)   Kesulitan dalam mengomunikasikan sesuatu.
3)   Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya
dan ketidakmampuannya dalam menempatkan diri
sebagai orang yang dewasa.
4)   Pelaku mungkin mempunyai riwayat antisosial seperti
penyalahgunaan obat dan alkohol serta tidak mampu
mengontrol emosi pada saat menghadapi rasa frustasi.
5)   Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga



2.1.6          Penatalaksanaan
2.6.1.1      Tindakan Keperawatan
mengemukakan cara khusus yang dapat dilakukan oleh keluarga dalam mengatasi marah klien yaitu:
a.    Berteriak, menjerit, memukul, terima marah klien, diam  sebentar, arahkan klien untuk memukul barang yang tidak mudah rusak seperti bantal, kasur.
b.    Latihan relaksasi
Bantu klien latihan relaksasi misalnya latihan fisik maupun olahraga. Latihan pernafasan 2x/hari, tiap kali 10 kali tarikan dan hembusan nafas..
2.6.1.2    Terapi Medis
Psikofarmaka adalah terapi menggunakan obat dengan tujuan untuk mengurangi atau menghilangkan gejala gangguan jiwa.
terapi farmakologi yang dapat diberikan untuk klien dengan perilaku kekerasan (Yosep, 2014: 156)  adalah:
a.    Antianxiety dan Sedative-hipnotics. Obat-obatan ini dapat digunakan mengendalikan agitasi yang kuat. Benzodiazepines seperti lorazepam dan clonazepam, sering digunakan dalam kedaluratan psikiatrik untuk menenangkan perlawanan klien. Tapi obat ini tidak direkomendasikan untuk penggunaaan dalam waktu lama karena dapat menyebabkan kebingungan dan ketergantungan, juga bisa memperburuk simptom depresi. Selanjutnya, pada beberapa klien yang mengalami diisinhibiting effect dari benzodiazepine, dapat meningkatkan perilaku agresif. Buspirone obat antianxiety, efektif dalam mengendalikan perilaku kekerasan yang berkaitan dengan kecemasan dan depresi.
b.    Antidepressants, penggunaan obat ini mampu mengiontrol impulsif dan perilaku agresif klien yang berkaitan dengan perubahan mood. Amitriptyline dan Trazadone, efektif untuk menghilangkan agresivitas yang berhubungan dengan cedera kepala dan gangguan mental organik.
c.    Mood stabilizers, penelitian menunjukan bahwa pemberian Lithium efektif untuk agresif karena manik. Pada beberapa kasus, pemberiannya untuk menurunkan perilaku agresif yang disebabkan oleh gangguan lain seperti RM, cedera kepala, skizofrenia, gangguan kepribadian. Pada klien dengan epilepsi lobus temporal, bisa meningkatkan perilaku agresif.
d.   Pemberian Carbamazepines dapat mengendalikan perilaku agresif pada klien dengan kelainan EEGs (electroencephalograms).
e.    Antipsychotic, obat-obatan ini biasanya dipergunakan untuk perawatan perilaku agresif. Bila agitasi terjadi karena delusi, halusinasi, atau perilaku psikotik lainnya, maka pemberian obat ini dapat membantu, namun dibeikan hanya untuk 1-2 minggu sebelum efeknya dirasakan.

Diambil dari buku Nursing Drug Reference (Roth L.S, 2012).
a.    Chlorpromazin
1)   Indikasi:
Psychotic disorder, nausa, vomiting, schizophrenia,preoperativeapprehension.
Gangguan psikotik, naua, vomiting, skizoprenia, ketakutan sebelum operasi.
2)   Kontraindikasi:
Hypersensitivitas, coma, severe hypotension, coronary disease, bone marrow depression.
Hipersensivitas, koma, hopotensi berat, penyakit koroner, depressi tulang.
3)   Efek Samping:
Akatsia, dystonia, parkinsonism, neuroleptic malignant syndrome,dizziness.
Akatsia, distoni, parkinsonisme, sindrome, pusing.
b.    Trihexyphenidyl
1)   Indikasi:
Parkinson symptoms, drug induced extrapyramidal symptoms.
Gejala Parkinson, obat diinduksi
2)   Kontraindikasi:
Hypersensitivity, closed-angel glaucoma, myasthenia.
Hypersensitivitas, glaucoma tertutup, myasthenia
3)   Efek samping:
Confusion, anxiety, restlessness, irritability, delusions, hallucination, sedation, depression.
Kebingungan, cemas, kegelisahan, marah, khayalan, sedasi depresi.
c.      Fenitoin
1)   Indikasi:
Status epilepticus, anticonvulsant.
Status epilepsi, antikonvulsan.
2)   Kontraindikasi:
Hypersensitivitas, psychiatric condition, bradycardia, adams syndrome, hepatic failure.

Hypersensitivitas, kondisi kejiwaan, bradikardia, gagal hati.
3)   Efek samping:
Drowsiness, insomnia, paraesthesias, depression, aggression, headache, confusion.
Kantuk, insomnia, paraesthesias, depresi agresis                                                                                      
d.     Clozapin
1)   Indikasi:
Management of psychotic symptoms in schizophrenic patients for whom other antipsychotics have failed.
Managemen gejala pikotik pada pasien skizoprenia untuk antipsikotik lainnya yang telah gagal.
2)   Kontraindikasi:
Hypersensitivity, severe granulocytopenia.
Hypersensitivitas, Granulocytopenia parah
3)   Efek samping:
Neuroleptic maligna syndrome, sadation, salivation, dizziness, tremor, akinesia.
Sindrom Maligna neuroleptik, sadation, keluar air liur, pusing, getaran, akinesia
e.      Clobazam
1)   Indikasi:
Anxiety.
Kegeliahan
2)   Kontraindikasi:
History of hypersensitivity to drug or ingredient.
Riwayat hipersesitivity terhadap obat
3)   Efek samping:
Somnolence, pyrexia, drooling, insomnia, ataxia.
Somnolen, pireksia, drooling, insomnia, ataxia.
2.2         Konsep Asuhan Keperawatan Pasien dengan Perilaku Kekerasan
Tahap-tahap proses keperawatan terdiri atas pengkajian, diagnosis keperawatan, rencana tindakan, intervensi, implementasi, evaluasi.
2.2.1        Pengkajian
Pengkajian pada klien dengan perilaku kekerasan adalah sebagai berikut:
2.2.1.2       Faktor predisposisi
Terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskan tentang faktor predisposisi perilaku kekerasan (Fitria, 2014: 146) adalah sebagai berikut:
a.    Faktor psikologik
1)   Terdapat asumsi bahwa seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan akan timbul dorongan agresif yang memotivasi Perilaku Kekerasn
2)   Berdasarkan penggunaan mekanisme koping individu dan masa kecil yang tidak menyenangkan.
3)   Rasa frustasi.
4)   Adanya kekerasan dalam rumah tangga, keluarga atau lingkungan.
5)   Teori psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang rendah. Agresi dan kekerasan dapat memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri serta memberikan arti dalam kehidupannya. Teori lainnya berasumsi bahwa perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaannya dan rendahnya harga diri pelaku tindakan kekerasan.
6)   Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang dipelajari, individu yang memiliki pengaruh biologik terhadap perilaku kekerasan lebih cenderung untuk dipengaruhi oleh contoh peran eksternal dibandingkan anak-anak tanpa faktor predisposisi biologik.

b.    Faktor sosial budaya
Seseorang akan berespon terhadap peningkatan emosionalnya secara agresif sesuai dengan respon yang dipelajarinya. Sesuai dengan teori menurut Bandura bahwa agresif tidak berbeda dengan respon-respon yang lain. Faktor ini dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan maka semakin besar kemungkinan terjadi. Budaya juga dapat mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma dapat membantu mendifiniskan ekspresi marah yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima.Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah dalam masyarakat merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan.
c.   Faktor biologik
    Berdasarkan hasil penelitian pada hewan, adanya pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus (sistem limbik) ternyata menimbulkan perilaku agresif, dimana jika terjadi kerusakan fungsi limbik (untuk emosi dan perilaku), lobus frontal (untuk pemikiran rasional), dan lobus temporal (untuk pemikiran rasional), dan lobus temporal (untuk interpretasi indera penciuman dan memori) akan menimbulkan mata terbuka lebar, pupil berdilatasi, dan hendak menyerang objek yang ada disekitarnya.

    Selain itu berdasarkan teori biologik, ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi seseorang melakukan perilaku kekerasan yaitu:
1)        Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen sistem neurologis mempunyai implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik sangat terlibat dalam menstimulasi tibulnya perilaku bermusuhan dan respon agresif.
2)        Pengaruh biokimia, menurut Goldstein dalam Townsend (1996) menyatakan bahwa berbagai neurotransmitter (epiniprin, norepineprin, dopamine, asetilkolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Peningkatan hormone androgen dan norefineprin serta penurunan serotonin dan GABA (6 dan 7) pada, cairan serebrospinal merupakan faktor predisposisi penting yang menyebabkan timbunya perilaku agresif pada seseorang.
3)        Pengaruh genetik, menurut penelitian perilaku agresif sangat erat kaitannya dengan genetik termasuk genetik tipe kariotipe XYY, yang umumnya dimiliki oleh penghuni penjara tindak criminal (narapidana).
4)        Gangguan otak, sindrom otak organic berhubungan dengan berbagai gangguan serebral, tumor otak (khususnya pada limbic dan lobus temporal), trauma otak, penyakit ensefalitis, epilepsy (epilepsy lobus temporal) terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
d.   Sosiokultural
Norma-norma cultural dapat digunakan untuk membantu memahami ekspresi agresif individu. Teori lingkungan sosial mengemukakan bahwa norma yang memperkuat perilakunya disebabkan oleh ekspresi marah yang pernah dialami sebelumnya. Mmenurut Madden, orang-orang yang pernah memiliki riwayat ditipu mudah marah; yang disebut Acting Out  terhadap marah. Bila privacy/pribadi terganggu oleh kondisi sosial maka responnya berupa agresif/amuk. Tingkah laku agresif dipelajari sebagai bagian proses sosial. Agresif dipelajari dengan cara imitasi terhadap pengalaman langsung. Pola subkultural cenderung menyababkan imitasi tingkah laku agresi yang mengarah pada amuk. Ahli teori sosial berpendapat bahwa komponen biologi tingkah laku agresif berhubungan dengan aspek-aspek psisosial.
2.2.1.2    Faktor presipitasi
Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam, berupa injuri secara fisik, psikis, atau ancaman konsep diri. Beberapa faktor pencetus perilaku kekerasan adalah sebagai berikut:
a.    Klien: kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kehidupan yang penuh dengan agresif, dan masa lalu yang tidak menyenangkan.
b.    Interaksi: Penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang berarti, konflik, merasa terancam baik internal dari permasalahan diri klien sendiri maupun eksternal dari lingkungan.
c.    Lingkungan: panas, padat, dan bising.
Hal-hal yang dapat menimbulkan perilaku kekerasan atau penganiayaan (Fitria, 2014: 148) sebagai berikut:
1)        Kesulitan kondisi sosial ekonomi.
2)        Kesulitan dalam mengomunikasikan sesuatu.
3)        Ketidaksiapan seorang ibu dalam  merawat anaknya dan ketidakmampuannya dalam menempatkan diri sebagai orang yang dewasa.
4)        Pelaku mungkin mempunyai riwayat antisosial seperti penyalahgunaan obat dan  alkohol serta tidak mampu mengontrol emosi pada saat menghadapi rasa frustasi.
5)        Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.
2.2.2        Mekanisme Koping
Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping klien, sehingga dapat membantu klien untuk mengembangkan mekanisme koping yang konstruktif dalam  mengekspresikan kemarahannya. Mekanisme koping yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego seperti displacement, sublimasi, proyeksi, represif, denial, dan reaksi formasi (Direja, 2011: 137)
2.2.2.1   Perilaku yang berkaitan dengan perilaku  kekerasan antara                            lain:
a.       Menyerang atau menghindar
Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegitan sistem syaraf otonom bereaksi terhadap sekresi epineprin  yang menyebabkan tekanan darah meningkat, takikardi, wajah merah, pupil melebar, mual, sekresi HCL meningkat, paristaltic gaster menurun, pengeluaran urin dan saliva meningkat, konstipasi, kewaspadaan juga meningkat, tangan mengepal, tubuh  menjadi  kaku dan disertai reflek yang cepat.
b.      Menyatakan secara asertif
Perilaku yang sering ditampilkan individu mengekspresikan kemarahannya yaitu dengan perilaku pasif, agresif dan asertif. Perilaku asertif adalah cara yang terbaik, individu dapat mengekspresikan rasa marahnya tanpa menyakiti orang lain secara fisik maupun psikologis dan dengan perilaku tersebut individu juga dapat mengembangkan diri.
c.       Memberontak
Perilaku yang muncul biasanya disertai kekerasan akibat konflik perilaku untuk menarik perhatian orang lain.
d.      Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kapada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.

  
2.2.3        Pohon Masalah

2.2.4    Diagnosa Keperawatan
a. Menyatakan diagnosa yang sering muncul pada klien dengan  perilaku kekerasan (Fitria, 2014: 150),  adalah:
2.2.4.1    Perilaku  kekerasan
2.2.4.2       Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan   lingkungan
2.2.4.3    Perubahana persepsi sensori (Halusinasi)
2.2.4.4    Harga diri rendah kronis
2.2.4.5    Isolasi sosial
2.2.4.6    Berduka disfungsional
2.2.4.7    Inefektif proses terapi
2.2.4.8    Koping keluarga inefektif
b.  Menyatakan diagnosa yang sering muncul pada klien dengan perilaku kekerasan (Damaiyanti, 2014: 105) adalah:
2.2.4.1  Perilaku kekerasan
2.2.4.2  Resiko perilaku kekerasan (pada diri sendiri, orang lain dan llingkungan
2.2.4.3  Harga diri rendah kronis
2.2.5        Perencanaan Keperawatan
Menyatakan  perencanaan keperawatan pada klien dengan perilaku kekerasan (Fitria, 2014: 152) adalah:
2.2.5.1       Tujuan khusus SP 1: Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
2.2.5.2       Kriteria hasil: setelah 2 kali interaksi Klien dapat  mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasaan
2.2.5.3       Intervensi:
a.         Identifikasi penyebab perilaku kekerasaan klien
       Rasional:  menentukan mekanisme koping yang dimiliki klien dalam menghadapi masalah serta sebagai langkah awal dalam menyusun strategi berikutnya. 
2.2.5.4       Tujuan khusus SP 1: Klien dapat mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasaan.
2.2.5.5       Kriteria hasil: setelah 2 kali interaksi Klien dapat mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasaan.
2.2.5.6       Intervensi:
Indentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan klien
     Rasional: deteksi dini dapat mencegah tindakan yang dapat membahyakan klien dan lingkungan sekitar.
2.2.5.7       Tujuan khusus SP 1: Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasaan yang dilakukan
2.2.5.8       Kriteria hasil: setelah 2 kali interaksi Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasaan yang dilakukan
2.2.5.9       Intervensi:
a.         Identifikasi perilaku kekerasan yang dilakukan klien.
Rasional: Melihat mekanisme koping klien dalam menyelesaikan           masalah yang dihadapi.
2.2.5.10   Tujuan khusus SP 1: Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
2.2.5.11   Kriteria hasil: setelah 2 kali interaksi Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
2.2.5.12   Intervensi:
a.    Identifikasi akibat perilaku kekerasan yang telah dilakukan klien..
Rasional: Membantu klien melihat dampak yang ditimbulkan akibat perilaku kekerasan yang dilakukan klien
2.2.5.13   Tujuan khusus SP 1: Klien dapat menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasan.
2.2.5.14   Kriteria hasil: setelah 2 kali interaksi klien dapat menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasan.

2.2.5.15   Intervensi:
a.       Dorong klien untuk menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasan.
Rasional: Menurunkan perilaku destruktif yang akan mencederai klien dan lingkungan sekitar.
2.2.5.16   Tujuan khusus SP 1: Klien dapat mempraktikkan latihan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik I (tarik napas dalam).
2.2.5.17   Kriteria hasil: setelah 2 kali interaksi klien dapat mempraktikkan latihan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik I (tarik napas dalam).
2.2.5.18   Intervensi:
a.     Dorong klien untuk mempraktikkan latihan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik I (tarik napas dalam).
Rasional: Tarik napas dalam dapat mengurangi keinginan klien untuk melakukan perilaku kekerasan
2.2.5.19   Tujuan khusus SP 1: Klien dapat memasukan latihan cara fisik I ke dalam jadwal kegiatan harian.
2.2.5.20   Kriteria hasil: setelah 2 kali interaksi klien dapat memasukan latihan cara fisik I ke dalam jadwal kegiatan harian.
2.2.5.21   Intervensi:
a.         Anjurkan klien untuk memasukan latihan cara fisik I ke dalam jadwal kegiatan harian.
Rasional: Memasukan kegiatan mengontrol perilaku kekerasan ke dalam jadwal kegiatan harian merupakan upaya untuk membiasakan diri melatih dan mengaplikasikan cara fisik I saat klien marah.
2.2.5.22   Tujuan khusus SP 2: Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.
2.2.5.23   Kriteria hasil: setelah 2 kali interaksi klien dapat mengavaluasi latihan cara fisik I di dalam kegiatan harian.
2.2.5.24   Intervensi:
a.         Evaluasi jadwal kegiatan harian klien.
Rasional: Evaluasi sangat penting untuk membuat rencana selanjutnya.
2.2.5.25   Tujuan khusus SP 2: Klien dapat mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik II (memukul bantal/benda lain yang empuk)
2.2.5.26   Kriteria hasil: Setelah 2 kali interaksi klien dapat mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik II (memukul bantal/benda lain yang empuk) .
2.2.5.27   Intervensi:
a.         Latih klien untuk mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik II (memukul bantal/benda lain yang empuk).
     Rasional: Memukul benda yang empuk berupa bantal atau guling dapat mengurangi keinginan klien utnuk melakukan perilaku kekerasan.
2.2.5.28   Tujuan khusus SP 2: Klien dapat memasukan latihan perilaku kekerasan cara fisik II dalam jadwal kegiatan harian.
2.2.5.29   Kriteria hasil: Setelah 2 kali interaksi klien dapat memasukan latihan perilaku kekerasan cara fisik II dalam jadwal kegiatan harian.
2.2.5.30   Intervensi:       
a.         Dorong klien untuk memasukkan latihan perilaku kekerasan cara fisik II dalam jadwal kegiatan harian.
       Rasional: Memasukkan kegiatan untuk mengontrol perilaku kekerasan ke dalam jadwal kegiatan harian merupakan upaya untuk membiasakan diri melatih mengaplikasikan cara fisik II saaat klien marah.
2.2.5.31   Tujuan khusus SP 3: Klien dapat mengevaluasi latihan mengontrol perilaku kekerasan cara fisik II ke dalam jadwal kegiatan hariannya.
2.2.5.32   Kriteria hasil: Setelah 2 kali interaksi klien dapat mengevaluasi latihan mengontrol perilaku kekerasan cara fisik II ke dalam jadwal kegiatan hariannya.
2.2.5.33   Intervensi:       
a.         Dorong klien untuk mengevaluasi latihan mengontrol perilaku kekerasan cara fisik II ke dalam jadwal kegiatan hariannya.
Rasional: Evaluasi sangat penting untuk membuat rencana selanjutnya.
2.2.5.34   Tujuan khusus SP 3: Klien dapat mengontrol perilaku kekerasan dengan cara verbal.
2.2.5.35   Kriteria hasil: Setelah 2 kali interaksi klien dapat mengontrol perilaku kekerasan dengan cara verbal
2.2.5.36   Intervensi:
a.    latih klien untuk mengontrol perilaku kekerasn dengan cara verbal.
Rasional: Cara verbal (mengungkapkan/menolak dengan cara yang baik) dapat mengurangi keinginana klien untuk melakukan perilaku kekerasan.
2.2.5.37   Tujuan khusus SP 3: Klien dapat memasukan latihan mengontrol perilaku kekerasan dengan cara verbal ke dalam jadwal kegiatan harian.
2.2.5.38   Kriteria hasil: Setelah 2 kali interaksi klien dapat memasukan latihan mengontrol perilaku kekerasan dengan cara verbal ke dalam jadwal kegiatan harian.

2.2.5.39   Intervensi:
a.    Dorong klien untuk memasukkan latihan mengontrol perilaku kekerasan dengan cara verbal ke dalam jadwal harian.
Rasional: Memasukan kegiatan untuk mengontrol perilaku kekerasan ke dalam jadwal harian merupakan upaya untuk membiasakan diri melatih mengaplikasikan cara verbal saat klien marah.
2.2.5.40   Tujuan khusus SP 4: Klien dapat mengevaluasi latihan mengontrol perilaku kekerasan dengan cara verbal ke dalam jadwal kegiatan hariannya.
2.2.5.41   Kriteria hasil: Setelah 2 kali interaksi klien dapat mengevaluasi latiahan mengontrol perilaku kekerasan dengan cara verbal ke dalam jadwal kegiatan hariannya.

2.2.5.42   Intervensi:
a.    Dorong klien untuk mengevaluasi latiahan mengontrol perilaku kekerasan dengan cara verbal ke dalam jadwal kegiatan hariannya.
Rasional: Evaluasi sangat penting untuk membuat rencana selanjutnya.
2.2.5.43   Tujuan khusus SP 4: Klien dapat mengontrol perilaku kekerasan dengan cara spritual.
2.2.5.44   Kriteria hasil: Setelah 2 kali interaksi klien dapat mengontrol perilaku kekerasan dengan cara spritual.
2.2.5.45   Intervensi:
a.         Latih klien untuk mengontrol perilaku kekerasan dengan cara spiritual.
Rasional: Cara spiritual (berwudu atau solat) dapat mengurangi keinginan klien untuk melakukan perilaku kekerasan.
2.2.5.46   Tujuan khusus SP 4: Klien dapat memasukkan latihan mengontrol perilaku kekerasan dengan cara spiritual ke dalam jadwal kegiatan hariannya.
2.2.5.47   Kriteria hasil: Setelah 2 kali interaksi Klien dapat memasukkan latihan mengontrol perilaku kekerasan dengan cara spiritual ke dalam jadwal kegiatan hariannya.
2.2.5.48   Intervensi:
a.         Dorong klien untuk memasukkan latihan mengontrol perilaku kekerasan dengan cara spiritual ke dalam jadwal kegiatan hariannya.
Rasional: Memasukkan kegiatan untuk mengontrol perilaku kekerasan ke dalam jadwal kegiatan harian merupakan upaya untuk membiaskan diri melatih mengaplikasikan cara spiritual saat klien marah.
2.2.5.49   Tujuan khusus SP 5: Klien dapat mengevaluasi latihan mengontrol perilaku kekerasan dengan cara spiritual di dalam jadwal kegiatan hariannya.
2.2.5.50   Kriteria hasil: Setelah 2 kali interaksi klien dapat mengevaluasi latiahan mengontrol perilaku kekerasan dengan cara spiritual ke dalam jadwal kegiatan hariannya.
2.2.5.51   Intervensi:
a.    Dorong klien untuk mengevaluasi latiahan mengontrol perilaku kekerasan dengan cara spiritual di dalam jadwal kegiatan hariannya.
Rasional: Evaluasi sangat penting untuk membuat rencana selanjutnya.
2.2.5.52   Tujuan khusus SP 5: Klien dapat mengontrol perilaku kekerasan dengan cara minum obat.
2.2.5.53   Kriteria hasil: setelah 2 kali interaksi klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara minum obat.

2.2.5.54   Intervensi:
a.    Latih klien untuk mengontrol perilaku kekerasan dengan cara minum obat.
Rasional : Meminum obat dapat mengurangi keinginan    klien untnuk melakukan perilaku kekerasan.
2.2.5.55   Tujuan khusus SP 5: Klien dapat memasukkan latihan mengontrol perilaku kekerasan dengan cara minum obat ke dalam jadwal kegiatan harian.
2.2.5.56   Kriteria hasil: setelah 2 kali interaksi klien memasukkan latihan mengontrol perilaku kekerasan dengan cara minum obat ke dalam jadwal kegiatan harian.
2.2.5.57   Intervensi:
a.    Dorong klien untuk memasukkan latihan mengontrol perilaku kekerasan cara dengan minum obat ke dalam jadwal kegiatan harian.
Rasional: Memasukkan kegiatan mengontrol perilaku kekerasan cara dengan minum obat ke dalam jadwal kegiatan harian merupakan upaya untuk membiasakan diri melatih mengaplikasikan minum obat saat klien marah .

Pedoman asuhan keperawatan Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum
SP 1: Membina hubungan saling percaya, mengidentifikasikan penyebab marah, tanda dan gejala yang dirasakan, perilaku kekerasan yang dilakukan, akibat, dan cara mengendalikan perilaku kekerasan dengan cara fisik I (latihann napas dalam
SP  2:  Pasien  latihan mengendalikan perilaku kekerasan dengan obat
SP   3:    Pasien latihan mengendalikan perilaku kekerasan dengan cara fisik II (evaluasi latihan napas dalam, latihan mengendalikan perilaku kekerasan dengan cara fisik II (pukul kasur dan bantal).
SP 4: Latihan mengendalikan perilaku   kekerasan secara sosial/verbal
SP     5: Latihan mengendalikan perilaku kekerasan secara spritual
2.2.6      Implementasi
Menyatakan perencanaan keperawatan pada klien dengan perilaku kekerasan (Fitria, 2014) adalah:
2.2.6.1    SP 1:     
Membina hubungan saling percaya, mengidentifikasikan penyebab marah, tanda dan gejala yang dirasakan, perilaku kekerasan yang dilakukan, akibat, dan cara mengendalikan perilaku kekerasan dengan cara fisik I (latihann napas dalam).
2.2.6.2       SP 2:
Membantu pasien latihan mengendalikan perilaku kekerasan dengan cara fisik II (evaluasi latihan napas dalam, latihan mengendalikan perilaku kekerasan dengan cara fisik II (pukul kasur dan bantal), menyusun jadwal kegiatan harian cara kedua).
2.2.6.3       SP 3:
Membantu pasien latihan mengendalikan perilaku   kekerasan secara sosial/verbal (evaluasi jadwal kegitan harian tentang kedua cara fisik mengendalikan perilaku kekerasan, latihan mengungkapkan rasa marah secara vebal [menolak dengan baik, meminta dengan baik, mengungkapkan perasaan dengan baik], susun jadwal latihan mengungkapkan marah secara verbal).
2.2.6.4       SP 4:    
Bantu pasien latihan mengendalikan perilaku kekerasan secara spritual (diskusikan hasil latihan mengendalikan perilaku kekerasan secara fisik dan sosial/verbal, latihan beribadah dan berdoa, buat jadwal latihan ibadah/berdoa.
2.2.6.5  SP 5:
                          Membantu  pasien  latihan mengendalikan perilaku kekerasan dengan obat (bantu pasien minum obat secara teratur dengan lima prinsip benar [benar nama   /pasien, benar nama obat, benar cara minum obat, benar waktu minum obat, dan benar dosis obat] disertai penjelasan guna obat dan akibat berhenti minum obat, susun jadwal minum obat secara teratur).
2.2.6.6       SP 1 keluarga:     
Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat klien. Menjelaskan pengertian perilaku kekerasan.
2.2.6.7       SP 2 keluarga:         
Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat klien dengan perilaku kekerasan. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada klien perilaku kekerasan.
2.2.6.8       SP 3 keluarga:          
Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum obat (discharge planning). Menjelaskan follow up klien setelah pulang.
2.2.7       Evaluasi
Evaluasi yang terjadi pada pasien yang mengalami Perilaku Kekerasan yaitu:
2.2.7.1           Pasien dapat membina hubungan saling percaya dengan    perawat.
2.2.7.2         Pasien dapat mengontrol perilaku kekerasannya.
2.2.7.3         Pasien mampu berinteraksi dengan orang lain.
2.2.7.4         Pasien tidak mengamuk lagi.
2.2.7.5         Tidak ada tanda-tanda marah pada pasien.


DAFTAR RUJUKAN

Bagong, S. (2008). (internet). Termuat dalam: <http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22787/4/Chapter%20II.  pdf>(Diakses 8 Mei 2016 pukul 16.45 Wita).

Damaiyanti, M., Iskandar. (2014: 95,105). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT.Rafika Aditama.

Direja, A.H.S. (2011: 1,131,132,137). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.

Fitria, N. (2014: 146,148,150,152). Laporan pendahuluan dan strategi pelaksanaan. Jakarta: Salemba Medika.

<http://www.abualbanicentre.com/artikel/skizofrenia-paranoid> (Diakses tanggal 6 Mei 2016 pukul 20.00 Wita).

Jaya, K. (2015: 44,87). Keperawatan Jiwa. Tangerang Selatan: Binarupa Aksara.

Keliat, B.A., Akemat, H.N. & Nurhaeni, H. (2011: 180,181). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta: EGC.

Kementrian Kesehatan. (2012). (internet). Termuat dalam: <http://eprintis.ums.ac.id> (Diakses tanggal 6 Mei 2016 pukul 18.00 Wita).

Riset Kesehatan Dasar.  (2013). (internet). Termuat dalam: <http://www.depkes.go.id/pdf> (Diakses tanggal 6 Mei 2016 pukul 18.00 Wita).

Roth, L.S. (2012). Nursing Drug Reference. St. Louis, Missouri: Elsevier Mosby.

Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum. (2016). Pedoman Diagnosis Asuhan Keperawatan Jiwa. Ruang Transit Pria.

Yosep, I., Sutini, T. (2014: 119,151,152,156,251,253,254). Keperawatan jiwa. Bandung: PT. Refika Aditama.

Yusuf, A.H., Fitryasari, R. & Nihayati, H.E. (2015: 130,131). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

No comments:

Post a Comment