Friday, October 20, 2017

Laporan Pendahuluan Stroke Hemoragic

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang
Stroke atau gangguan peredaran darah otak (GPDO) merupakan penyakit neurologis yang sering dijumpai dan harus ditangani secara cepat dan tepat.               Stroke merupakan kelainan fungsi otak yang timbul mendadak yang disebabkan karna terjadinya gangguan peredaran darah otak dan bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja (Arif Muttaqin, 2008).
Faktor-faktor resiko stroke menurut (Arif muttaqin) adalah:
1.1.1        Hipertensi
1.1.2        Penyakit kardiovaskular-embolisme serebral berasal dari jantung
1.1.3        Kolesterol tinggi.
1.1.4        Obesitas.
1.1.5        Peningkatan hematokrit meningkatkan risiko infark serebral.
1.1.6        Diabetes-terkait dengan aterogenesis terakselerasi.
1.1.7        Kontrasepsi oral (khususnya dengan hipertensi, merokok, dan kadar estrogen tinggi).
1.1.8        Merokok.
1.1.9        Penyalahgunaan obat (khususnya kokain).
1.1.10    Konsumsi alkohol.

Menurut WHO (World Health Organization) tahun 2012, kematian akibat stroke sebesar 51% di seluruh dunia disebabkan oleh tekanan darah tinggi. Selain itu, diperkirakan sebesar 16% kematian stroke disebabkan tingginya kadar glukosa darah dalam tubuh. Tingginya kadar gula darah dalam tubuh secara patologis berperan dalam peningkatan konsentrasi glikoprotein, yang merupakan pencetus beberapa penyakit vaskuler. Kadar glukosa darah yang tinggi pada saat stroke akan memperbesar kemungkinan meluasnya area infark karena terbentuknya asam laktat akibat metabolisme glukosa secara



anaerobik yang merusak jaringan otak. (Diakses pada tanggal 16 Mei 2016,http://eprints.ums.ac.id/32390/2/)

Di Indonesia stroke merupakan penyakit nomor tiga yang mematikan setelah  jantung dan kanker. Bahkan, menurut survei tahun 2014 stroke merupakan  pembunuh nomor 1 di RS pemerintah di seluruh penjuru Indonesia. Survei Departemen kesehatan RI pada 987.205 subjek dari 258.366 rumah tangga di 33  provinsi mendapatkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian utama pada usia >45 tahun. (Diakses pada tanggal 16 Mei 20016,http:// www. academia. edu/ 8777353/ Web_ causation_stroke)

Data penderita stroke yang didapatkan berdasarkan kelompok umur dari Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2015, angka kejadian stroke hemoragik di Kalimantan Selatan yaitu untuk perempuan tertinggi umur 45 sampai dengan 54 tahun berjumlah 172 orang, untuk laki-laki umur 55 sampai dengan 64 tahun berjumlah 132 orang. Data dari Rumah Sakit Islam Banjarmasin dengan penderita stroke dari bulan januari-maret 2016 dengan jumlah keseluruhan yaitu 42 orang.

Berdasarkan data di atas banyaknya jumlah penderita stroke dan besarnya dampak yang ditimbulkan, penulis tertarik mengangkat topik terkait dengan judul “Asuhan Keperawatan pada Ny. S dengan Kasus Stroke Hemoragik” untuk membandingkan antara konsep dengan kenyataan dan mencoba untuk mengambil garis besar konsep dari stroke dan menyediakan perawatan komprehensif terhadap klien dengan stroke hemoragik.


BAB 2
TINJAUAN TEORITIS

2.1    Tinjauan Teoritis Medis
2.1.1        Anatomi Fisiologi Otak dan Sistem Persyarafan

 
 

Description: Description: brain-2.jpg



Gambar 2.1 Anatomi Otak


Otak dibagi menjadi dua yaitu otak besar (Serebrum) dan otak kecil (Serebelum). Otak besar terdiri dari Lobus Frontalis, Lobus Parientalis, Lobus Oksipitalis dan Lobus Temporalis. Permukaan otak bergelombang dan berlekuk-lekuk membentuk seperti sebuah lekukan yang disebut girus.
Sereberum (otak besar) merupakan pusat dari:
Motorik : implus yang diterima diteruskan oleh sel saraf kemudian menuju ke pusat kontraksi otot.


Sensorik : setiap implus sensorik dihantarkan melalui akson sel saraf yang selanjutnya akan mencapai otak antara lain ke korteks serebri.
Refleks : berbagai kegiatan refleks berpusat di otak dan batang otak sebagian lain dibagian medula spinalis.
Kesadaran : bagian batang otak yang disebut formasi retikularis bersama bagian lain dari korteks serebri menjadi pusat kesadaran utama.
Fungsi luhur : pusta berfikir, berbicara berhitung dan lain-lain. Pada bagian anterior sulkus sentralis merupaka bagian motorik penggerak otot (Fransisca B. Batticaca, 2008).
Lobus frontalis, merupakan lobus terbesar yang terletak pada fosa anterior. Area ini mengontrol perilaku individu, membuat keputusan, kepribadian dan menahan diri. Lobus Parietal, disebut juga lobus sensorik. Area ini menginterpretasikan sensasi. Sensasi rasa yang tidak berpengaruh adalah bau. Lobus parietal mengatur individu untuk mengetahui posisi dan letak bagian tubuhnya. Lobus temporal berfungsi mengintegrasikan sensasi pengecapan, penciuman, dan pendengaran. Memori jangka pendek sangat berhubungan dengan daerah ini. Lobus oksipitalis terletak pada lobus posterior hemisfer serebri. Bagian ini bertanggung jawab menginterpretasikan penglihatan.

Sereblum (Otak kecil) merupakan pusat keseimbangan dan koordinasi gerakan. Pada daerah serebelum terdapat sirkulasi Willisi, pada dasar otak disekitar kelenjar hipofisis, sebuah lingkaran arteri terbentuk diatara rangkaian arteri cartoid interna dan verbal, lingkaran inilah yang disebut sirkulasi Willisi yang dibentuk dari cabang-cabang arteri karotis interna.

Medula spinalis merupakan pusat refleks, menerus  sensorik ke otak sekaligus tempat masuknya saraf sensorik. menerus implus motorik dari otak ke saraf sensorik. Pusat pola gerakan sederhana yang telah lama di pelajari. Saraf somatik merupakan saraf tepi berupa saraf sensorik dari perifer ke pusat dan saraf motorik dari pusat ke perifer.
Berdasarkan tempat keluarnya dibagi menjadi saraf otak dan saraf spinal. Saraf otak ada 12 pasang :
Saraf olfaktorious : untuk penciuman
Saraf optikus : saraf penglihatan
Saraf okulomotorius : saraf motorik penggerak otot bola mata
Saraf trokselaris : motorik penggerak bola mata
Saraf trigeminus : merupakan saraf sensorik dan motorik dengan 4 cabang yaitu bagian optical, maksilaris dan mandibularis
Saraf abdusens : motorik penggerak bola mata
Saraf fasialis : sensorik daerah wajah
Saraf auditorius : sensorik pendengaran dan keseimbangan
Saraf glosofaringeus : sensorik dan motorik sekitar lidah dan faring
Saraf vagus : merupakan saraf otonom terutama pada paru, jantung lambung, usus halus dan sebagian usus besar
Saraf asesorius : motorik penggerak otot sekitar leher
Saraf hipoglosus : motorik otot lidah.
Saraf Spinal, dari medulla spinalis keluar pasangan saraf kiri dan kanan vertebra: Saraf servikal 8 pasang, saraf torakal 12 pasang, saraf lumbal 5 pasang, saraf sacrum/sacral 5 pasang, saraf koksigeal 1 pasang

Saraf spinal mengandung saraf sensorik dan motorik, serat sensorik masuk medulla spinalis melalui akar belakang dan serat motorik keluar dari medulla spinalis melalui akar depan kemudian bersatu membentuk saraf spinal. Saraf ini sebagian berkelompok membentuk pleksus (anyaman) dan terbentuklah berbagai saraf (nervus) seperti saraf iskiadikus untuk sensorik dan motorik daerah tungkai bawah.

Saraf Otonom, sistem saraf ini mempunyai kemampuan kerja otonom, seperti jantung, paru, serta alat pencernaan. Sistem otonom dipengaruhi saraf simpatis dan parasimpatis. Peningkatan aktifitas simpatis meperlihatkan: Kesiagaan meningkat, denyut jantung meningkat, pernafasan meningkat, tonus otot meningkat, gerakan saluran cerna menurun, metabolisme tubuh meningkat. Semua ini menyiapkan individu untuk bertempur atau lari, semua itu tampak pada manusia apabila menghadapi masalah, bekerja, olahrga, cemas dan lain-lain. Pada keadaan ini terjadi peningkatan penggunaan energi/katabolisme. Penigkatan aktifitas parasimpatis memperlihatkan: Kesiagaan menurun, denyut jantung melambat, pernafasan tenang, tonus otot menurun, gerakan saluran cerna meningkat, metabolisme tubuh menurun.
Hal ini terjadi penyimpanan energi dan terihat apabila individu sedang istirahat.Pusat saraf simpatis berada di medula spinalis begian torakal dan lumbal, sedangkan pusat parasimpatis berada di bagian medula oblongata dan medula spinalis bagian sacral. Pusat ini masih dipengaruhi oleh pusat yang lebih tinggi yaitu hipotalamus sebagai pusat emosi.

Fisiologi sistem peredaran darah otak, suplay darah ke otak bersifat konstan untuk kebutuhan normal otak seperti nutrisi dan metabolisme. Hampir 1/3 kardiak  output dan 20% oksigen dipergunakan oleh otak. Otak memerlukan suplay darah kira-kira 750 ml/menit. Kekurangan suplay darah ke otak akan menimbulkan kerusakan jaringan otak yang menetap. Otak secara umum diperdarahi oleh dua pasang arteri utama yaitu Arteri vertebra dan arteri karotis interna. Kedua arteri ini membentuk jaringan pembuluh darah kolateral yang disebut Circle Willis. Arteri vertebra memenuhi kebutuhan darah otak bagian posterior, diensefalon,batang otak, secebelum dan oksipital. Arteri karotis bagian interna untuk memenuhi sebagian besar hemisfer kecuali oksipital, basal ganglia dan 2/3 di atas encephalon (Tarwoto, 2013).


2.1.2             Pengertian Stroke
Stroke merupakan kelainan fungsi otak yang timbul mendadak yang disebabkan karena terjadinya gangguan peredaran darah otak dan bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja. (Arif Muttaqin, 2008).
Stroke adalah suatu sindroma yang mempunyai karakteristik suatu serangan yang mendadak, nonkonvulsif yang disebabkan karena gangguan darah dan otak non traumatik (Tarwoto, 2013).

Stroke adalah suatu keadaan yang timbul karena terjadi gangguan peredaran darah di otak yang menyebabkan terjadinya kematian jaringan otak sehingga mengakibatkan seseorang menderita kelumpuhan atau kematian. (Fransisca B. Batticaca, 2008).

According to World Health Organitation (WHO), stroke is a meniefestation clinies of limb paralysis that caused of impairred serebral functions local or global during arround 24 hours or more in the someone, with unknown other cause, except of impairred vascular there and can causes someone death (Arif, muttaqin. 2008: 128).

Stroke occurs when there is ischemia to a part of the brain or hemorrhage into the brain that result in brain cell death. Functions, such as movement, sensation, or emotions, that were controlled by the affected brain area are lost or impaired.(Shannon ruff Dirksen. 2007).

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa stroke adalah suatu gangguan peredaran darah di otak di sebabkan karena pecahnya pembuluh darah yang terjadi kapan saja dimana saja, dan otak mengalami hipoksia, berakhir dengan kelumpuhan.
2.1.2.1      Klasifikasi stroke menurut patologi:
a.    Stroke hemoragik merupakan perdarahan serebri dan mungkin merupakan perdarahan subarachnoid. Disebabkan pecahnya pembuluh darah otak pada daerah otak tertentu. Perdarahan otak terbagi dua:
1)      Perdarahan intra serebri (PIS) itu merupakan pecahnya pembuluh darah (mikroanuerisma) tertama karena hipertensi mengakibatkan darah masuk kedalam jaringan otak, membentuk massa yang menekan jaringan otak dan menimbulkan edema otak.
2)      Perdarahan subarachnoid (PSA) perdarahan ini berasal dari pecahnya aneurisma berry atau AVM. Aneurisma yang pecah ini berasal dari pembuluh darah sirkulsi Willisi dan cabang-cabangnya yang diluar parenkim otak.
b.    Stoke Non Hemoragik dapat berupa iskemia atau emboli trombosis serebri baisanya terjadi saat lama beristirahat, baru bangun tidur, atau dipagi hari.

2.1.2.2      Klasifikasi stroke menurut perjalanan penyakit:
a.    TIA. Gangguan neurologis lokal yang terjadi selama beberapa menit sampai beberapa jam saja. Gejala yang timbul akan hilang dengan spontan dan sempurna dalam waktu kurang dari 24 jam.
b.    Stroke Involusi. Stroke yang terjadi masih terus berkembang, gangguan neurologis terlihat semakin berat dan bertambah buruk. Proses dapat berjalan 24 jam atau beberapa hari.
c.    Stroke komplet.  Gangguan neurologis yang timbul sudah menetap atau permanen. Sesuai dengan istilahnya stroke komplet dapat diawali oleh serangan TIA berulang. (Arif Muttaqin, 2008)

2.1.3        Etiologi Stroke
Etiologi stroke menurut Arif Muttaqin (2008) adalah:
2.1.3.1      Trombosis Serebri
Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami okulasi sehingga menyebabkan iskemia jaringan otak yang dapat menimbulkan edema dan kongesti disekitarnya.
2.1.3.2      Emboli
Merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh bekuan darah, lemak, dan udara. Pada umumya emboli berasal dari trombus di jantung yang terlepas dan menyumbat sistem arteri serebri.
2.1.3.3      Hemoragik
Perdarahan intrakranial atau intraserebri meliputi perdarahan di dalam ruang subraschnoid atau di dalam jaringan otak sendiri.
2.1.3.4      Hipoksia Lokal
Beberapa penyebab yabg berhubungan dengan hipoksia setempat adalah:
a.       Spasme arteri serebri yang disertai perdarahan subarachnoid.
b.      Vasokontriksi arteri otak disertai sakit kepala migren
2.1.3.5      Hipoksia umum
2.1.3.6      Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia umum adalah:
a.       Hipertensi yang parah
b.      Henti jantung parah
c.       Curah jantung turun akibat anemia.
Faktor risiko dari klien dengan stroke hemoragik antara lain: hipertensi, riwayat stroke dalam keluarga, riwayat serangan iskemia sepintas (transient ischaemic attack, TIA) (lihat memahami TIA), penyakit jantung termasuk aritmia, penyakit arteri koronaria, infark miokard akut, kardiomiopati diatasi dan penyakit vaskuler, diabetes, hyperlipidemia familial, kebiasaan merokok, kebiasaan minum minuman keras, obesiatas, penggunaan kontrasepsi oral (pil KB), (Jennifer P. Kowalak. 2013).

2.1.4                  Patofisiologi Stroke
Infark serebri adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak. Luasnya infark bergantung pada faktor seperti lokasi dan besarnya pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai oleh pembuluh darah yang tersumbat.
Suplai darah ke otak dapat berubah (makin lambat atau makin cepat) pada gangguan lokal (trombus, emboli, perdarahan dan spasme vascular) atau karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan paru dan jantung). Aterosklerosis seringkali merupakan factor penting untuk otak trombus dapat bersalah dari plak arterosklerosis, atau darah dapat beku pada area yang stenosis, tempat aliran darah akan lambat atau terjadi turbulensi. Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah dan terbawa sebagai emboli dalam aliran darah. Trombus dapat mengakibatkan iskemia jaringan otak pada area yang disuplai oleh pembuluh darah yang bersangkutan dan edema atau kongesti di sekitar area. Area edema ini menyebabkan disfungsi yang lebih besar dari area infark sendiri. Edema dapat berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kdang sesudah beberapa hari. Dengan berkurangya edema klien mulai menunjukkan perbaikan.

Karena trombosis biasanya tidak fatal, bila tidak terjadi perdarahaan massif. Okulasi pada pembuluh darah serebri oleh embolus menyebabkan edema dan nekrosis diikuti trombosis. Jika terjadi infeksi akan meluas pada dinding pembuluh darah, maka akan terjadi abses atau ensefalitis, atau jika infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat menyebabkan perdarahan serebri.
Perdarahan pada otak lebih disebakan oleh rupture arteroskelerotik dan hipertensi pembuluh darah. Perdarahan intraserebri yang sangat luas akan menyebabkkan kematian dibandingkan dari keseluruhan penyakit serebrovaskuler, karena perdarahan yang luas terjadi destruksi masa otak, peningkatan tekanan intrakranial dan yang  lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada falks serebri atau lewat foramen megnum. (Arif Muttaqin, 2008).

Menurut DR. M.N Bustan (2007) patofisiologi stroke iskemik yaitu: Iskemik otak adalah suatu keadaan dimana terdapat gangguan pemasokan darah ke otak yang iskemik menjadi nekrosis akibat berkurangnya suplai darah sampai ada tingkat lebih rendah dari titik kritis yang dierlukan untuk kehidupan sel sehingga disertai gangguan fungsional dan struktural yang menetap.
Terdapat 2 penyebab utama infark otak, yaitu trombus dan emboli. Kebanyakan kasus infark otak terjadi setelah adanya trombosis pada pembuluh darah yang aterosklerotik. Dengan demikian trombosis menyerang individu-individu yang memiliki satu atau lebih faktor risiko yang memacu terbentuknya aterosklerosis. Seperti diketahui bahwa aliran darah yang melalui suatu arteria mengikuti hukum dari Hagen Poisseuile, dimana dinyatakan bahwa kecepatan aliran darah (Q) berbanding lurus dengan naik-turunnya tekanan perfusi (P), jari-jari penampang arteri pangkat 4 (r) dan berbanding terbalik dengan viskositas darah (N), dan panjang arteri (L). Kelainan dari faktor-faktor tersebut akan mengakibatkan terjadinya iskemia dan berakhir dengan kematian jaringan otak.





(Sumber: Arif Muttaqin 2008)

2.1.5        Manifestasi Klinis Stroke
Gambaran klinis stroke cukup beragam bergantung pada arteri yang terkena serta daerah otak yang diperdarahi, intensitas kerusakan dan luas sirkulasi kolateral yang terbentuk. Stroke pada satu hemisfer otak akan menimbulkan tanda dan gejala pada sisi tubuh yang berlawanan. Stroke yang menyarang nervus kranialis akan mempengaruhi struktur pada sisi yang sama dengan sisi infark. (Jennifer P. Kowalak, 2013).
2.1.5.1      Keluhan dan gejala umum stroke meliputi:
a.       Kelemahan ekstremitas yang unilateral
b.      Kesulitan bicara
c.       Patirasi pada salah satu sisi tubuh
d.      Sakit kepala
e.       Gangguan penglihatan (diplopia, hemianopsia, ptosis)
f.       Rasa pening atau dizziness
g.      Kecemasan (ansietas)
h.      Perubahan tingkat kesadaran
2.1.5.2      Di samping itu, keluhan dan gejala stroke bisa diklasifikasikan berdasarkan pembuluh arteri yang terkena. Tanda dan gejala yang menyertai lesi pada arteri serebri medulla meliputi:
a.       Afasia
b.      Disfasia
c.       Defisit pada lapangan penglihatan
d.      Hemiparesis pada sisi lesi (lebih berat dari wajah dan lengan dibandingkan pada tungkai).
2.1.5.3      Gejala yang menyertai lesi pada arteri karotis meliputi:
a.       Kelemahan
b.      Paralisis
c.       Patirasi
d.      Perubahan sensorik
e.       Gangguan penglihatan pada sisi lesi
f.       Perubahan tingkat kesadaran
g.      Bruits
h.      Sakit kepala
i.        Afasia
j.        Ptosis
2.1.5.4      Gejala yang menyertai lesi pada arteri vertebrobasilaris meliputi:
a.       Kelemahan pada sisi yang terkena
b.      Patirasa di sekitar mulut dan bibir
c.       Defisit pada lapangan penglihatan
d.      Diplopia koordinasi yang buruk
e.       Disfagia
f.       Bicara pelo
g.      Rasa pening
h.      Nistagmus
i.        Amnesia
j.        Ataksia
2.1.5.5      Tanda dan gejala yang menyertai lesi pada arteri serebri posterior meliputi:
a.       Defisit lapangan penglihatan (hemianopsia homonim)
b.      Kerusakan sensorik
c.       Disleksia
d.      Perseverasi (jawaban yang itu-itu saja ketika ditanya)
e.       Koma
f.       Kebutaan kortikal
g.      Keadaan tanpa paralsis (biasanya)

2.1.6        Pemeriksaan Penunjang
Menurut Arif Muttaqin (2008) pemeriksaan diagnostic yang diperlukan dalam membantu mengakkan diagnosis klien stroke meliputi:
2.1.6.1  Angiografi serebri: membantu menemukan penyebab dari stroke secara spesifik, seperti perdarahan arteriovena atau adanya rupture dan untuk mencari sumber perdarahan seperti aneurisma dan malformasi vaskuler.
2.1.6.2  Lumbal fungsi: tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah pada cairan lumbal menujukkan adanya hemoragik pada subarachnoid atau perdarahan pada intracranial. Peningkatan jumlah protein menunjukkan adanya proses inflamasi. Hasil pemeriksaan likuor yang merah biasanya dijumpai pada perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil biasanya warna likuor masih normal sewaktu hari pertama.
2.1.6.3  CT Scan: memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi hematoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia, serta posisinya yang pasti. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan hiperdens fokal, kadang-kadang masuk ke ventrikel, atau menyebar ke permukaan otak.
2.1.6.4  USG Doppler: untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah sistem karotis).
2.1.6.5  Pemeriksaan darah rutin.
2.1.6.6  Pemeriksaan kimia darah: pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia, gula darah dapat mencapai 250 mg dalam serum dan kemudian berangsur-angsur turun kembali.
2.1.6.7  Pemeriksaan darah lengkap: untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri.

2.1.7        Komplikasi Stroke
Menurut Arif Muttaqin (2008), setelah mengalami stroke klien mungkin akan mengalami komplikasi, komplikasi dapat dikelompokkan:
2.1.7.1  Dalam hal imobilisasi: infeksi pernafasan, nyeri tekan, konstipasi dan   tromboflebitits.
2.1.7.2  Dalam hal paralisis nyeri pada daerah punggung, dislokasi sendi, deformitas dan terjatuh.
2.1.7.3  Dalam hal kerusakan otak, epilepsi dan sakit kepala
2.1.7.4  Hidrosepalus

2.1.8        Penatalaksanaan Medis Stroke
Menurut Arif Muttaqin (2008), penatalaksaan medis pada klien dengan stroke adalah untuk mengobati keadaan akut perlu diperhatikan.
2.1.8.1      Faktor-faktor kritis sebagai berikut:
a.         Berusaha menstabilkan tanda-tanda vital, pertama memperhatikan saluran nafas yang paten, yaitu sering melakukan pengisapan lender, oksigenasi. Kedua mengontrol tekanan darah berdasarakan kondisi klien.
b.         Berusaha menemukan dan memperbaiki aritmia jantung.
c.         Menempatkan klien pada posisi yang tepat. Posisi klien harus diubah tiap 2 jam dan dilakukan latihan gerakan pasif.
2.1.8.2      Pengobatan Konsevatif
a.         Vasodilator meningkatkan aliran darah dari serebri secara percobaan.
b.         Dapat diberikan histamine, aminophilin, asetazolamid, papaverin intraarterial.
c.         Medikasi antitrombosit dapat diresepkan karena trombosit yang memainkan peran sangat penting dalam pembentukan trombus dan embolisasi.
2.1.8.3      Pengobatan pembedahan
a.         Endosterektomi karotis membentuk kembali aliran  karotis, yaitu dengan membuka arteri karotis dileher
b.         Revaskularisasi terutama merupakan tindakan pebedahan dan manfaatnya paling dirasakan oleh klien TIA
c.         Evaluasi bekuan darah dilakukan pada stroke akut
2.1.9        Prognosis Stroke
Menurut George Dewanto, (2009) prognosis pada klien stroke adalah bergantung pada jenis stroke dan sindrom klinis stroke. Kemungkinan hidup setelah menderita stroke bergantung pada lokasi, ukuran, patologi lesi, serta usia pasien dan penyakit yang menyertai sebelum stroke. Stroke hemoragik memiliki prognosis buruk. Pada 30 hari pertama resiko meninggal 50%, sedangkan pada stroke iskemik hanya 10%.

2.2    Tinjauan Teoritis Asuhan Keperawatan
2.2.1   Pengkajian
Menurut Arif Muttaqin, (2008) Asuhan keperawatan pada pasien stroke dilakukan melalui pengkajian keperawatan stroke meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial.
Anamnesis
Identitas klien meliputi nama, usia, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor register, dan diagnosis medis.
Riwayat Penyakit saat Ini: Serangan stroke hemoragik sering kali berlangsung saat mendadak pada saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah, bahkan kejang sampai tidak sadar selain gejala kelumpuhan separuh badan atau gangguan fungsi otak yang lain. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dalam hal perubahan di dalam intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif, dan koma.
Riwayat Penyakit Dahulu: adanya  riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes mellitus, penyakit jantung, anemia, trauma kepala, konstrasepsi oral yang lama, penggunaan obat antikagulan, aspirin dan kegemukan. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih lanjut dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.
Pemeriksaan Fisik: Setelah melakukan anamnesa yang mengarah pada keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3(Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
Keadaan Umum: Umumnya mengalami penurunan kesadaran. Suara bicara kadang mengalami gangguan, yaitu sukar dimengerti, kadang tidak bisa bicara, dan tanda-tanda vital tekanan darah meningkat, denyut nadi bervariasi.
B-1 (BREATHING): Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak nafas, penggunaan obat bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernafasan. Aukultasi sekret dan kemampuan batuk yang menurun sering didapatkan pada klien stroke dengan penurunan tingkat kesadaran koma.
B-2 (BLOOD): Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan syok hipovolemik yang sering terjadi pada klien stroke. Tekanan darah biasanya meningkat terdapat adanya hipertensi massif.
B-3 (BRAIN): Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis bergantung pada lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Lesi otak yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya. Pengkajian B3 merupakan pemeriksaan terfokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
Tingkat Kesadaran: Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat kesadaran klien dan respon terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk mendeteksi disfungsi sistem persyarafan. Beberapa sistem digunakan untuk membuat peringkat perubahan dan kewaspadaan dan kesdaran. Pada tingkat lanjut, tingkat kesadaran klien stroke biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien sudah mengalami koma maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evalusai untuk pemantauan pemberian asuhan.
Fungsi Serebri: Status mental observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien, observasi ekpresi wajah klien, dan aktifitas motorik dimana pada klien stroke tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan.
Fungsi intelektual: didapatkan penurunan dalam tingkatan dan memori jangka pendek maupun kalkulasi. Pada beberapa kasus klien mengalami kerusakan otakm yaitu kesukaran untuk mengenal persamaan dan perbedaan yang tidak begitu nyata.
Kemampuan bahasa: penurunan kemampuan bahasa tergantung dari daerah hemisfer yang dominan pada bagian posterior dari girus temporalis superior (area Wernicke) didapatkan disfasia reseptif, yaitu klien tidak dapat memahami bahasa lisan atau bahsa tertulis. Sedangkan lesi pada bagian posterior dari girus frontalis inferior (area broca) didapatkan disfagia ekpresif dimana klien mengerti, tetapi tidak dapat menjawab dengan tepat dan bicaranya tidak lancar.
Lobus Frontal: krusakan fungsi kognitif dan efek psikologis didapatkan bila kerusakan telah terjadi pada lobus frontal kapasitas, memori, atau fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak. Disfungsi ini mungkin didapatkan bila kerusakan telah terjadi pada lobus frontal kapasitas, memori, atau fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak. Disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa, dan kurang motivasi, yang menyebabkan klien menghadapi masalah frustasi dalam program rehabilitasi.
Hamisfer: stroke hamisfer kanan menyabebakan hemiparase sebelah kiri tubuh, pemilaian buruk, dan mempunyai kerentanan terhadap sisi kolateral sehingga kemungkinan terjatuh ke sisi yang berlawanan tersebut. Stroke pada hemifer kiri, mengalami hemiparase kanan, perilaku lambat dan sangat hati-hati, kelainan lapang pandang sebelah kanan, disfagia global, afasia, dan mudah frustasi.
Pemeriksaan Saraf Kranial
Saraf I : Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan pada fungsi penciuman.
Saraf II : Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensorik priemer di antara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering terlihat pada klien dengan hemiplegia kiri. Klien mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa bantuan karena ketidakmampuan untuk mencocokkan ke bagian tubuh.
Saraf III, IV, dan VI : Apabila akibat stroke mengakibatkan paralisis seisi otot-otot okularis didapatkan penurunan kemampuan gerakan kinjugat unilateral di sisi yang sakit.
Saraf V : Pada bebrapa keadaan stroke menyebabkan paralisis saraf trigenimus, didapatkan penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah. Penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral dan kelumpuhan seisi otot-otot eksternus.
Saraf VII : Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris, otot wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat.
Saraf VIII : Tidak ditemukan adanya tuli  konduktif dan tuli persepsi.
Saraf XI dan X : Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka mulut.
Saraf XI : Tidak ada atrofi otot trapezius.
Saraf XII : Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi. Indra pengecapan normal.
Sistem Motorik: stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Karena neuron motor atas melintas, gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang berlawanan dari otak.
Inspeksi umum didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparasis atau kelemahan salah satu tubuh adalah tanda lain, fasikulasi didapatkan pada otot-otot ekstremitas, tonus otot didapakan meningkat.
Kekuatan otot, pada penilaian dengan nilai kekuatan otot pada sisi yang sakit didapatkan nilai 0, keseimbangan dan koordinasi, mengalami gangguan keran hemiparase dan hemiplegia.
Pemeriksaan Refleks: Pemeriksaan fisik dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau periosterum derajat refleks pada respons normal. Pemeriksaan refleks patologis, pada fase akut refleks fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali didahului dengan refleks patologis.
Gerakan Involunter: Tidak ditemukannya tremor, TIC (kontraksi saraf berulang), dan distonia. Pada keadaan tertentu, klien biasanya menglami kejang umum, terutama pada anak dengan stroke disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Kejang berhubungan sekunder akibat area fokal kortikal yang peka.
Sistem Sensorik: Dapat terjadi hemihipestesi. Persepsi adalah ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi. Disfungsi persepsi visual karena ganguan jarak sensorik primer di antara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual spasial sering terlihat pada klien dengan hemiplegia kiri. Klien mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa bantuan karena ketidakmampuan untuk mencocokkan pakaian ke bagian tubuh.
B4 (BLADDER): Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinesia urine sementara karena kionfusi dan ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan. Kadang-kadang kontrol sfingter urinarius ekternal berkurang.
B5 (BOWEL): Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual dan muntah pada fase akut. Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defikasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
B6 (BONE): Stroke adalah penyakit neuron atas dan mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Karena neuron motor atas melintas, gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada neurin motor atas pada sisi yang berlawanan dari otak. Disfungsi motor paling umum adalah hemiplegia (kelemahan pada salah satu sisi) karena lesi pada otak yang berlawanan. Hemiparesis, atau kelemahan salah satu sisi tubuh adalah tanda lain. Pada kulit, jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan kekurangan cairan maka turgor kulit akan jelek. Disamping itu perlu juga dikaji tanda-tanda dekubitus, terutama pada daerah yang menonjol karena klien stroke mengalami masalah mobilitas fisik. Adanya kesukaran untuk beraktifitas karena kelemahan, kehilangan sensorik, atau paralesis/hemiplegia, mudah lelah dan menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat.

2.2.2   Diagnosa Keperawatan dan Intervensi Keperawatan
Menurut Arif Muttaqin (2008) diagnosis keperawatan stroke yaitu:
2.2.2.1       Risiko peningkatan TIK berhubungan dengan peningkatan volume intrakranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri.
2.2.2.2       Perubahan perfusi jaringan otak berhubungan dengan pendarahan intraserebri, vasospasme, dan edema otak.
2.2.2.3       Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi sekret, kemampuan batuk menurun, penurunan mobilitas fisik sekunder, perubahan tingkat kesadaraan.
2.2.2.4       Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese atau hemiplagia, kelemahan neuromaskular pada ekstrimitas.
2.2.2.5       Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan neuromuskular, menurunnya kekuatan dan kesadaran, kehilangan kontrol atau koordinasi otot.
2.2.2.6       Risiko ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan  kelemahan otot dalam mengunyah dan menelan.
2.2.2.7       Gangguan eliminasi alvi (Konstipasi) berhubungan dengan imobilisasi, asupan cairan yang tidak adekuat.
2.2.2.8       Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan efek dari kerusakan pada area bicara pada hemisfer otak, kehilangan kontrol tonus otak atau oral, dan kelemahan secara umum.
2.2.2.9       Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem pertahana primer, malnutrisi, tindakan invasif.
2.2.2.10   Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring yang lama.
2.2.2.11   Gangguan harga diri  berhubungan dengan perubahan psikososial, perubahan persepsi kognitif, perubahan aktual dalam struktur dan fungsi, perubahan penerimaan respons verbal dan nonverbal.
2.2.2.12   Kecemasan berhubungan dengan ancaman, kondisi dan perubahan kesehatan.

2.2.3   Rencana Asuhan Keperawatan
2.2.3.1       Risiko peningkatan TIK berhubungan dengan peningkatan volume intrakranial, penekanan jaringan otak, edema serebri.
a.       Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan atau penyebab khusus penurunan perfusi serebral dan potensial terjadinya peningkatan TIK.
Rasional: mempengaruhi penetapan intervensi kerusakan/ kemunduran tanda atau gejala neurologis.
b.      Pantau tanda-tanda vital.
Rasional: variasi mugkin terjadi karena tekanan/trauma serebral pada daerah vasomotor otak.
c.       Evaluasi pupil, catat ukuran, bentuk, kesamaan dan reaksinya terhadap cahaya.
Rasional: reaksi pupil diatur oleh saraf kranial Okulomotor (III) dan berguna dalam menentukan apakah batang otak masih baik.  Ukuran dan kesamaan pupil ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan simpatis dan parasimpatis yang mempersarafinya.
d.      Catat perubahan dalam penglihatan, seperti adanya kebutaan, gangguan lapang pandang atau kedalaman persepsi.
Rasional: gangguan penglihatan yang spesifik mencerminkan daerah otak yang terkena, mengindikasikan keamanan yang harus mendapat perhatian dan mempengaruhi intervensi yang dilakukan.
e.       Pertahankan keadaan tirah baring; ciptakan lingkungan yang tenang, batasi pengunjung atau aktivitas klien sesuai indikasi.
Rasional: aktivitas atau stimulasi yang kontinu dapat meningkatkan TIK.  Istirahat total dan ketenangan mungkin di-perlukan untuk pencegahan perdarahan dalam kasus hemoragik atau perdarahan lainnya.


f.       Kepala agak ditinggikan (30°).
Rasional: menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan drainase dan meningkatkan sirkulasi atau perfusi serebral.

2.2.3.2       Perubahan perfusi jaringan otak berhubungan dengan pendarahan intra serebri, vasospasme, dan edema otak.
a.       Kaji tanda-tanda status neurologis dengan GCS.
Rasional: dapat mengurangi kerusakan otak lebih lanjut.
b.      Baringkan klien dengan posisi terlentang tanpa bantal.
Rasional: perubahan pada tekanan intrakranial menyebabkan risiko terjadinya herniasi otak .
c.       Anjurkan klien untuk mengeluarkan napas apabila bergerak atau berbalik ditempat tidur.
Rasional: mengeluarkan napas sewaktu bergerak atau merubah posisi dapat melindungi diri dari efek valsava.
d.      Anjurkan klien untuk menghindari batuk dan mengejan berlebihan.
Rasional: batuk dan mengejan dapat meningkatkan intrakranial dan potensi terjadi pendarahan ulang.
e.       Berikan terapi sesuai indikasi dokter, seperti steroid, aminofel.
Rasional: menurunkan pemeabilitas kafiler, menurunkan edema serebri.

2.2.3.3       Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi sekret, kemampuan batuk menurun, penurunan mobilitas fisik sekunder, perubahan tingkat kesadaraan.
a.       kaji keadaan jalan nafas.
Rasional: obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh akumulasi sekret, sisa cairan mukus.

b.      Ubah posisi secara teratur (tiap 2 jam).
Rasional: mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi segmen paru-paru, mengurangi resiko atelektasis.
c.       Berikan minum hangat jika keadaan memungkinkan.
Rasional: membantu pengenceran sekret dan ventilasi segmen paru-paru, mengurangi sekret.
d.      Lakukan fisioterapi sesuai indikasi .
Rasional: mengatur ventilasi segmen paru-paru dan mengeluarkan sekret.
e.       Kolaborasi pemberian obat bronkodilator sesuai indikasi.
Rasional: megatur ventilasi dan melepaaskan sekret karena relaksasi otot atau bronkospasme.

2.2.3.4       Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese, kelemahan neuromaskular pada ekstremitas.
a.       Kaji mobilitas yang ada dan observasi terhadap peningkatan kerusakan.
Rasional: mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktifitas.
b.      Ajarkan klien untuk melakukan latihan gerak aktif pada ekstremitas  yang tidak sakit.
Rasional: gerakan aktif memberikan tonus massa, tonus, dan kekuatan otot, serta memperbaiki fungsi jantung dan pernafasan.
c.       Lakukan gerakan pasif pada ekstemitas yang sakit.
Rasional: otot volunter akan kehilangan tonus dan kekuatannya bila tidak dilatih untuk digerakkan.
d.      Pantau kulit dan membran mukosa terhadap iritasi, kemerahan, atau lecet.
Rasional: deteksi dini adanya gangguan sirkulasi dan hikangnya sensasi risiko tinggi kerusakan integritas kulit.
e.  Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk dan latihan fisik klien.
Rasional: peningkatan kemampuan dalam mobilisasi ekstremitas dapat ditingkatkan dengan latihan fisik dari tim fisioterafi.

2.2.3.5       Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan neuromuskular, menurunnya kekuatan dan kesadaran, kehilangan kontrol atau koordinasi otot.
a.       Kaji kemampuan (dengan menggunakan skala) dan tingkat kekurangan  untuk melakukan kebutuhan sehari-hari.
Rasional: membantu dalam mengantisipasi atau merencanakan pemenuhan kebutuhan secara maksimal.
b.      Hindari melakukan sesuatu untuk klien yang dapat dilakukan sendiri tetapi, berikan bantuan sesuai kebutuhan.
Rasional: klien mungkin menjadi sangat ketakutan dan sangat tergantung meskipun bantuan yang diberikan bermanfaat dalam mencegah frustasi, penting bagi klien untuk melakukan  sesuatu hal sebanyak mungkin bagi diri sendiri  dan untuk mempertahankan harga diri serta meningkatkan pemulihan.
c.       Bawa klien ke kamar mandi dengan teratur atau interval waktu tertentu untuk berkemih jika memungkinkan.
Rasional: klien mungkin mengalami gangguan saraf kandung kemih, dan tidak dapat mengatakan kebutuhannya, tetapi biasanya dapat mengontrol kembali fungsi ini sesuai perkembangan proses penyembuhan.
d.      Identifikasi kebiasaan defekasi sebelumnya dan kembalikan pada kebiasaan pola normal tersebut.
Rasional: mengkaji perkembangan program latihan  (mandiri) dan membantu dalam pencegahan konstipasi dan sembelit.

2.2.3.6       Risiko ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan  kelemahan otot dalam mengunyah dan menelan.
a.       Tetapkan metode visual untuk mengkomunikasikan adanya klien yang mengalami disfagia.
Rasional: risiko terjadi aspirasi dapat dikurangi.
b.      Rencanakan waktu makan saat klien dalam keadaan segar, seperti tidak saat lelah, tidak mengantuk, dll.  Pastikan alat suksion selalu siap tersedia saat klien makan.
Rasional: keletihan dapat meningkatkan risiko aspirasi.
c.       Atur bagian kepala tempat tidur dalam posisi semi fowler atau fowler tinggi dengan leher agak fleksi ke depan dan dagu menunduk.
Rasional: posisi ini menggunakan kekuatan gravitasi untuk membantu perpindahan makanan ke bawah dan menurunkan risiko aspirasi.
d.      Mulai untuk memberikan makanan peroral setengah cair, makanan lunak ketika klien dapat menelan air.  Pilih atau bantu klien untuk memilih makanan yang kecil atau tidak perlu mengunyah dan mudah ditelan, contoh: telur, agar-agar, makanan kecil yang lunak lainnya.
Rasional: makanan lunak atau cairan kental lebih mudah untuk mengendalikannya di dalam mulut, menurunkan risiko terjadinya aspirasi.
e.       Anjurkan klien menggunakan sedotan untuk meminum cairan.
Rasional: menguatkan otot fasial dan otot menelan serta menurunkan risiko tesedak.
f.       Anjurkan untuk berpartisipasi dalam program latihan atau kegiatan.
Rasional: dapat meningkatkan pelepasan endorfin dalam otak yang meningkatkan perasaan senang dan meningkatkan nafsu makan.       

2.2.3.7       Gangguan eliminasi alvi (Konstipasi) berhubungan dengan imobilisasi, asupan cairan yang tidak adekuat.
a.       Kaji bising usus.
Rasional: bising usus menandakan sifat aktifitas peristaltik.
b.      Anjurkan klien untuk makan makanan yang mengadung serat.
Rasional: diet seimbang tinggi serat merangsang konsistensi feses .
c.       Lakukan mobilisasi sesuai keadaan klien.
Rasional: aktifitas fisik reguler membantu eliminasi dengan memperbaiki tonus otot.
d.      Berikan penjelasan pada klien dan keluarga tentang penyebab konstipasi.
Rasional: klien dan kelurga akan mengerti tentang penyebab konstipasi.
e.       Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian pelunak feses.
Rasional: pelunak feses membantu eliminasi .

2.2.3.8       Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan efek dari kerusakan pada area bicara pada hemisfer otak, kehilangan kontrol tonus otak atau oral, dan kelemahan ecara umum.

a.       Kaji tipe disfungsi.
b.      Lakukan metode percakapan yang baik dan lengkap, beri kesempatan klien untuk mengklarifikasi.
c.       Perintahkan klien untuk menyebut nama atau benda yang diperintahkan.
d.      Perdengarkan bunyi yang sederhana seperti ”sh......cat”.
e.       Kolborasi dengan konsultasikan ke ahli terapi bicara.

2.2.3.9       Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem pertahanan primer, malnutrisi, tindakan invasif.
a.       Kaji warna, bau, dan karakteristik sputum.
b.      Catat faktor-faktor risiko untuk infeksi.
c.       Auskultasi suara napas.
d.      Anjurkan klien untuk membuang sputum dengan tepat seperti dengan tisu.
e.       Kolaborasi pemeriksaan sputum kultur sesuai indikasi .

2.2.3.10   Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring yang lama.
a.       Kaji atau observasi terhadap eritema dan kepucatan dan palpasi area sekitar terhadap kehangatan dan pelunakan jaringan tiap mengubah posisi.
b.      Anjurkan untuk melakukan latihan ROM dan mobilisasi jika mungkin.
c.       Lakukan masase pada daerah yang menojol yang baru mengalami tekanan  pada waktu mengubah posisi.
d.      Ubah posisi  tiap 2 jam.
e.       Jaga kebersihan kulit dan seminamal mungkin hindari trauma, panas terhadap kulit.

2.2.3.11   Gangguan harga diri  berhubungan dengan perubahan psikososial, perubahan persepsi kognitif, perubahan aktual dalam struktur dan fungsi, perubahan penerimaan respons verbal dan nonverbal.
a.       Kaji perubahan daari gangguan persepsi dan hubungan dengan derajat ketidakmampuan.
b.      Identifikasi arti dari kehilangan atau disfungsi pada klien.
c.       Anjurkan klien untuk mengekpresikan perasaan termasuk hostility dan kemarahan.
d.      Catat ketika klien mengatakan terpengaruh sepertik sekarat atau mengingkari dan menyatakan inilah kematian.
e.       Bantu dan anjurkan perawat yang baik dan memperbaiki kebiasaan.
f.       Monitor gangguan tidur peningkatan kesulitan konsentrasi, letargi, dan menarik diri. 

2.2.3.12   Kecemasan berhubungan dengan ancaman, kondisi dan perubahan kesehatan.
a.       Bantu klien mengekspresikan perasaan marah, kehilangan, dan takut.
b.      Kaji tanda verbal dan non verval kecemasan, dampingi klien dan lakukan tindakan bila menunjukan perilaku merusak.
c.       Beri lingkungan yang tenang dan suasana penuh istirahat.
d.      Tingkatkan kontrol sensasi klien.
e.       Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan kecemasan.
f.       Berikan privasi untuk klien dan orang terdekat.



2.2.4   Evaluasi
2.2.4.1       Risiko peningkatan TIK berhubungan dengan peningkatan volume intrakranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri. Evaluasi:
a.       Tanda-tanda vital normal.
1)      TD: 120/80 mmHg
2)      N : 60-100 kali/menit.
3)      RR: 16-24 kali/menit.
4)      T : 36,5-37,5 0C.
2.2.4.2       Perubahan perfusi jaringan otak berhubungan dengan pendarahan intraserebri, vasospasme, dan edema otak. Evaluasi:
a.       GCS kompos mentis.
1)      E = 4 : Membuka mata spontan.
2)      V = 5 : Orientasi verbal baik.
3)      M = 6 : Motorik mengikuti perintah.
2.2.4.3       Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi sekret, kemampuan batuk menurun, penurunan mobilitas fisik sekunder, perubahan tingkat kesadaraan. Evaluasi:
a.       Tidak ada akumulasi sekret.
2.2.4.4       Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese atau hemiplagia, kelemahan neuromaskular pada ekstremitas. Evaluasi:
a.       Aktivitas klien mandiri.
b.      Tidak memperlihatkan adanya kontraktor.
c.       Skala kekuatan otot    5555   5555
                                       5555   5555
5= Gerakan normal penuh menentang gravitasi dengan tahanan penuh.
2.2.4.5       Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan neuromuskular, menurunnya kekuatan dan kesadaran, kehilangan kontrol atau koordinasi otot. Evaluasi:
a.       Kebersihan diri baik.
b.      Berpartisipasi dalam aktivitas perawatan diri.
2.2.4.6       Risiko ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan  kelemahan otot dalam mengunyah dan menelan. Evaluasi:
a.       Asupan nutrisi adekuat.
b.      BB ideal.
2.2.4.7       Gangguan eliminasi alvi (Konstipasi) berhubungan dengan imobilisasi, asupan cairan yang tidak adekuat. Evaluasi:
a.       Frekuensi BAB normal.
b.      Tidak ada gangguan eliminasi.
2.2.4.8       Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan efek dari kerusakan pada area bicara pada hemisfer otak, kehilangan kontrol tonus otak atau oral, dan kelemahan secara umum. Evaluasi:
a.       Komunikasi verbal baik: Suara terdengar jelas.
2.2.4.9       Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem pertahana primer, malnutrisi, tindakan invasif. Evaluasi:
a.       Tidak terjadi infeksi: Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti merah, panas, bengkak, sakit, dan gangguan fungsi.
2.2.4.10   Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring yang lama. Evaluasi:
a.       Tidak ada kerusakan integritas kulit.
1)      Tidak ada lesi.
2)      Kulit tampak lembab.
2.2.4.11   Gangguan harga diri  berhubungan dengan perubahan psikososial, perubahan persepsi kognitif, perubahan aktual dalam struktur dan fungsi, perubahan penerimaan respons verbal dan nonverbal. Evaluasi:
a.       Harga diri meningkat: Klien dapat menerima penyakit yang dideritanya sekarang dengan ikhlas.
2.2.4.12   Kecemasan berhubungan dengan ancaman, kondisi dan perubahan kesehatan. Evaluasi:

a.       Tidak terjadi kecemasan: Tidak tampak gelisah.

DAFTAR PUSTAKA

Arif, M. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Bustan, (2007). Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Rineka Cipta.

Fransisca, B.B. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

George, D. 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC.

Kowalak, J.P. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: ECG

Robert, P. (2012). Pengkajian Fisik Keperawatan. Edisi 2. Jakarta: ECG

Shannon, R.D. 2007. Medical Surgical Nursing. Edisi 8. United States of      America.

Tarwoto. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan. Edisi II Jakarta: Sagung seto.

(Data pada dinas kesehatan provinsi tahun 2015)

(Diakses pada tanggal 16 Mei 2016,http://eprints.ums.ac.id/32390/2/)

(Diakses pada tanggal 16 Mei 20016,http:// www. academia. edu/ 8777353/ Web_ causation_stroke)

No comments:

Post a Comment