BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai generasi
penerus bangsa, anak perlu mendapatkan perhatian dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
Hal ini dilakukan guna menciptakan generasi anak yang sehat baik secara fisik
maupun mental sejak dini. Keadaan sakit pada anak akan mempengaruhi keadaan
fisiologis dan psikologis dari anak tersebut. Adapun penyakit yang paling
sering terjadi pada anak adalah penyakit infeksi, diantara penyakit infeksi
yang perlu mendapat perhatian adalah penyakit Meningitis yang sangat
mempengaruhi pertumbuhan anak. Selain itu penyakit Meningitis merupakan salah
satu penyebab kematian anak dibanyak negara di dunia terutama di negara-negara
yang sedang berkembang termasuk Indonesia (Mesranti, 2009).
Meningitis
adalah suatu infeksi purulen lapisan otak yang pada orang dewasa biasanya hanya
terbatas didalam ruang subaraknoid, namun pada bayi cenderung meluas sampai
kerongga subdural sebagai suatu efusi atau empiema subdural (lepto Meningitis),
atau bahkan kedalam otak (meningoensefalitis) (Nurarif dan kusuma, 2013).
Meningitis
adalah inflamasi lapisan disekeliling otak dan medulla spinalis yang disebabkan
oleh bakteri atau virus. Meningitis diklasifikasikan sebagai Meningitis septik
dan aseptik, bentuk aseptik merupakan dampak primer atau sekunder dari limfoma,
leukimia, atau HIV. Bentuk aseptik disebabkan oleh bakteri seperti Sterptococcus Pneumoniae dan Neiseria Meningitidis (Brunner dan
Sudarth, 2013).
Meningitis
adalah inflamasi akut pada meningens. Organisme penyebab Meningitis bakterial
memasuki area secara langsung sebagai akibat cidera traumatik atau secara tidak
langsung bila dipindahkan dari tempat lain didalam tubuh ke dalam Cairan
Serebro
Spinal (CSS). Berbagai agens dapat menimbulkan inflamasi
pada meningens termasuk bakteri, virus, jamur, dan zat kimia (Cecily, 2009).
Meningitis
adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal colum
yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi, 2008).
Berdasarkan
penjelasan pengertian Meningitis diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa
Meningitis adalah peradangan pada selaput otak atau meningen, bisa terjadi infeksi
purulen lapisan otak, cairan serebrospinal dan spinal colum.
Data WHO (2009)
memperkirakan jumlah kasus Meningitis dan kasus kecacatan neurologis lainnya
sekitar 500.000 dengan Case Fatality Rate (CFR) 10% di seluruh dunia. Selain
angka kematian yang cukup tinggi, banyak penderita Meningitis yang menjadi
cacat akibat keterlambatan dalam diagnosis dan pengobatan.
<http://repository.usu.ac.id>
(Diakses tanggal 25 April 2016)
Tahun 2009,
Afrika melaporkan 78.416 kasus Meningitis dan 4.053 kematian (CFR=5,2%). Pada
negara-negara berkembang seperti Gambia (2009), diperkirakan 2% dari semua anak
meninggal disebabkan Meningitis sebelum mereka mencapai usia 5 tahun.
<http://repository.usu.ac.id>
(Diakses tanggal 25 April 2016)
Data South East
Asian Medical Information Center (SEAMIC) Health Statistic (2008) melaporkan
bahwa pada tahun 2006 dan 2007 di Indonesia, terdapat masing-masing 1.937 dan
1.667 kasus kematian karena Meningitis dengan CSDR 9,4 dan 8 per 1.000.000
penduduk. Pada tahun 2009, khususnya di Jakarta, Meningitis Purulenta merupakan
penyakit yang masih banyak ditemukan pada bayi dan anak-anak yaitu pada umur 2
bulan – 2 tahun dengan mortalitas 47,8%.
<http://repository.usu.ac.id>
(Diakses tanggal 25 April 2016).
Penelitian yang
dilakukan oleh Mesranti, di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2006 – 2008
terdapat 148 kasus Meningitis dan 71 kasus mengalami kematian (CFR=47,1%)
dengan jumlah penderita Meningitis Purulenta 63 orang (42,6%), sedangkan
penderita Meningitis Serosa 85 orang (57,4%). Penderita paling banyak pada usia
0 – 5 tahun yaitu 56 orang (37,8%) (Mesranti, 2009).
Berdasarkan data
dari ruang rawat inap Tulip II A (ruang anak) Rumah Sakit Umum Daerah Ulin
Banjarmasin pada tahun 2016 dari bulan Januari-Maret, kasus Meningitis pada
anak berjumlah 5 orang. (Rekam Medik Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin
2016).
Berdasarkan fenomena
di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji secara komprehensif pada klien
dengan penyakit Meningitis dan memberikan Asuhan Keperawatan secara
komprehensif, penulis ingin menganalisis
penyebab dari penyakit Meningitis yang terjadi pada anak yang disusun
dalam sebuah Karya Tulis Ilmiah dengan judul Asuhan Keperawatan Meningitis Pada
An. L di ruang anak gedung Tulip II A Rumah Sakit Umum Daerah Ulin
Banjarmasin. Karena penyakit Meningitis
penyakit yang berbahaya bagi anak yang dapat menimbulkan komplikasi terjadinya
ketulian, kebutaan, efusi subdural, peningkatan Hormon Anti Deuritik (ADH),
perkembangan terlambat atau gangguan intelektual,
hidrosefalus, edema serebri, gangguan kejang kronis,
paresis otot-otot wajah
dan kecacatan apabila keterlambatan dalam pengobatan serta dapat mengakibatkan kematian.
Adapun pengobatan
pada penyakit Meningitis yang terjadi pada anak sebagai berikut: Isolasi,
antibiotika yang diberikan berdasarkan pada
hasil kultur, diberikan dengan dosis tinggi melalui intravena,
mengatasi kekurangan cairan dan mencegah kelebihan cairan
yang dapat menyebabkan edema, mengontrol kejang,
mempertahankan ventilasi.
Dengan pendekatan bio, psiko, sosial
dan spiritual berdasarkan proses keperawatan agar klien dapat dirawat secara
optimal. Diharapkan dengan diberikannya Asuhan Keperawatan pada klien dengan
Meningitis secara komprehensif dapat membantu perawatan klien, kesembuhan dan
meningkatkan kemandirian klien selama dirawat di Rumah Sakit.
BAB 2
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Tinjauan
Teoritis Meningitis
2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Persyarafan
Pembagian susunan saraf
pusat:
2.1.1.1 Medula Spinalis
Bagian susunan saraf
pusat yang terletak dalam kanalis vertebralis bersama ganglion radiks posterir
yang terdapat pada setiap foramen intervertebratalis terletak berpasangan kiri
dan kanan. Organ ini mengurus persarafan tubuh, anggota badan serta bagian
kepala. Dimulai dari bagian bawah medula oblongata setinggi korpus vertebra
servikalis I, memanjang sampai ke korpus vertebra (Syaifuddin, 2006).
Dalam medula spinalis
keluar 31 pasang saraf, terdiri dari:
a.
Servikal: 8 pasang
b.
Torakal: 12 pasang
c.
Lumbal: 5 pasang
d.
Sakral: 5 pasang
e.
Koksigal: 1 pasang
Menurut Syaifuddin,
(2006) fungsi medula spinalis sebagai berikut:
a.
Pusat gerakan otot-otot
tubuh terbesar di kornu motorik atau kornu ventralis
b.
Mengurus kegiatan
refleks-refleks spinalis serta refleks lutut
c.
Menghantarkan ransangan
koordinasi dari otot dan sendi ke serebelum
d.
Sebagai penghubung
antar segmen medula spinalis
e.
Mengadakan komunikasi
antara otak dan semua bagian tubuh
2.1.1.2 Otak (Brain)
Otak merupakan alat
tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat komputer dari semua alat
tubuh. Otak merupakan bagian dari syaraf sentral yang terletak di dalam rongga
tengkorak (kranium) dibungkus oleh selaput otak yang kuat (Syaifuddin, 2006).
a.
Meningen
Meningen
adalah selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang belakang, melindungi
struktur saraf halus yang membawa pembuluh darah dan cairan sekresi (cairan
serebrospinalis), memperkecil benturan atau getaran yang terdiri dari tiga
lapisan (Syaifuddin, 2006).
1)
Dura mater (lapisan
paling luar) adalah selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan
ikat tebal dan kuat. Dibagian tengkorak terdiri dari selaput tulang tengkorak
dan dura mater propia dibagian dalam. Dura mater pada tempat tertentu
mengandung rongga yang mengalirkan darah vena dari otak. Rongga ini dinamakan
sinus longitudinal superior, terletak diantara kedua hemisper otak (Syaifuddin,
2006).
2)
Arakhnoid (lapisan
tengah) merupakan selaput halus yang memisahkan dura mater dengan pia mater
membentuk sebuah kantung atau balon berisi cairan otak yang meliputi seluruh
susunan saraf sentral (Syaifuddin, 2006).
3)
Pia mater (lapisan
dalam) merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak. Pia
mater berhubungan dengan arakhnoid melalui struktur-struktur jaringan ikat yang
disebut trabekel (Syaifuddin, 2006).
Pleksus koroid dibentuk
oleh jaringan pembuluh darah kapiler otak tepi, bagian pia mater membelok ke
dalam ventrikel dan menyalurkan ke serebrospinalis. Cairan serebrospinalis
adalah hasil sekresi pleksus koroid, cairan ini bersifat alkali bening mirip
plasma. Cairan ini disalurkan oleh pleksus koroid ke dalam ventrikel yang ada
dalam otak, kemudian cairan masuk ke dalam kanalis sumsum tulang belakang dan
ke dalam ruang subarakhnoid melalui ventrikularis (Syaifuddin, 2006).
Otak terletak dalam
rongga kranium berkembang dari sebuah tabung yang mulanya memperlihatkan tiga
gejala pembesaran otak awal (Syaifuddin, 2006).
a.
Otak depan menjadi
hemisfer serebri, korpus striatum, talamus, serta hipotalamus
b.
Otak tengah, tegmentum,
krus serebrium, korpus kuadrigeminus
c.
Otak belakang menjadi
pons varoli, medula oblongata, dan serebelum.
2.1.1.3 Serebrum (otak besar)
Serebrum merupakan
bagian terluas dan terbesar dari otak, berbentuk telur, mengisi penuh bagian
depan atas rongga tengkorak masing-masing disebut fosa kranialis anterior atas
dan fosa kranialis media, otak mempunyai dua permukaan yaitu permukaan atas dan
bawah, kedua permukaan ini dilapisi oleh lapisan kelabu (zat kelabu) yaitu pada
bagian korteks serebral dan zat putih terdapat pada bagian dalam yang
mengandung serabut saraf (Syaifuddin, 2006).
Menurut Syaifuddin,
(2006) pada otak besar ditemukan beberapa lobus, yaitu:
a.
Lobus frontalis adalah
bagian dari serebrum yang terletak di depan ulkus sentralis
b.
Lobus parientalis
terdapat di depan ulkus sentralis dan dibelakang oleh korako-oksipitalis
c.
Lobus temporalis
terdapat di bawah lateral dari fisura serebralis dan di depan lobus oksipitalis
d.
Oksipitalis yang
mengisi bagian belakang dari serebrum
2.1.1.4 Batang otak
Batang otak ke atas
berhubungan dengan serebrum dan medula oblongata ke bawah dengan medula
spinalis, serebrum melekat pada batang otak di bagian medula oblongata, pons
varoli dan mesensefalon. Hubungan serebelum dengan medula oblongata disebut
korpus retiformi, serebelum dengan pons varoli disebut brakium pontis, dan
serebelum dengan mesensefalon disebut brakium konjung tiva (Syaifuddin, 2006).
Menurut Syaifuddin,
(2006) batang otak terdiri dari:
a.
Diensefalon, bagian
dari batang otak paling atas terdapat diantara serebelum dengan mesensefalon.
Kumpulan dari sel saraf yang terdapat dibagian depan lobus temporalis terdapat
kapsula interna dengan sudut menghadap ke samping. Fungsi dari diensefalon
terdiri dari:
1)
Vasokonstriktor,
mengecilkan pembuluh darah
2)
Respiratori, membantu
proses persarafan
3)
Mengontrol kegiatan
refleks
4)
Membantu kerja jantung
b.
Mesensefalon,
mesensefalon terdiri dari empat bagian yang menonjol ke atas, dua disebelah
atas disebut korpus kuadrigeminus superior dan dua disebelah bawah disebut
korpus kuadrigeminus inferior. Fungsi mesensefalon terdiri dari:
1)
Membantu pergerakan
mata dan mengangkat kelopak mata
2)
Memutar mata dan pusat
pergerakan mata
c.
Pons varoli, brakium
pontis yang menghubungkan mesensefalon dengan pons varoli dengan serebelum,
terletak di depan serebelum diantara otak tengah dan medula oblongata, disini
terdapat premotoksid yang mengatur gerakan pernapasan dan refleks. Fungsi pons
varoli antara lain:
1)
Penghubung antara kedua
bagian serebelum dan juga antara medula oblongata dengan sereblum
2)
Pusat saraf nervus
trigeminus
d.
Medula oblongata
merupakan bagian dari batang otak yang paling bawah yang menghubungkan pons
varoli dengan medula spinalis. Fungsi medula oblongata antara:
1)
Mengontrol kerja
jantung
2)
Mengecilkan pembuluh
darah (vasokonstriktor)
3)
Pusat pernapasan
4)
Mengontrol kegiatan
refleks
2.1.1.5 Serebelum (otak kecil)
Serebelum terletak pada
bagian bawah dan belakang tengkorak dipisahkan dengan serebrum oleh fisura
transversalis dibelakangi oleh pons varoli dan diatas medula oblongata. Organ
ini banyak menerima serabut aferen sensoris, merupakan pusat koordinasi dan
integrasi (Syaifuddin, 2006).
Bentuk serebelum oval,
bagian yang mengecil pada sentral disebut vermis dan bagian yang melebar pada
lateral disebut hemisfer. Serebelum berhubungan dengan batang otak melalui
pendunkulus serebri inferior (korpus retiformi). Permukaan luar serebelum
berlipat-lipat menyerupai serebelum tetapi lipatannya lebih kecil dan lebih
teratur. Permukaan serebelum ini mengandung zat kelabu (Syaifuddin, 2006).
Korteks serebelum
dibentuk oleh substansi grisea, terdiri dari tiga lapisan yaitu granular luar,
lapisan purkinye, lapisan granular dalam. Serabut saraf yang masuk dan yang
keluar dari serebrum harus melewati serebelum (Syaifuddin, 2006).
Tabel
2.1 Saraf Kranial
Urutan
saraf
|
Nama
saraf
|
Sifat
saraf
|
Fungsi
|
I
|
Nervus
Olfdaktorius
|
Sensorik
|
Hidung,
sebagai alat penciuman
|
II
|
Nervus
Optikus
|
Sensorik
|
Bola
mata, untuk penglihatan
|
III
|
Nervus
Okulomotoris
|
Motorik
|
Pergerakan
bola mata dan mengangkat bola mata
|
IV
|
Nervus
Troklearis
|
Motorik
|
Memutar
mata dan pergerakan bola mata
|
V
|
Nervus
Trigeminus
N.
Oltalmus
N.
Maksilaris
N.
Mandibularis
|
Motorik
& sensorik
Motorik
& sensorik
Sensorik
Motorik
& sensorik
|
Kulit
kepala dan kelopak mata atas
Rahang
atas, palatum dan hidung
Rahang
bawah dan lidah
|
VI
|
Nervus
abdusen
|
Motorik
|
Penggoyang
sisi mata
|
VII
|
Nervus
Fasialis
|
Motorik
& sensorik
|
Otot
lidah, menggerakan lidah dan selaput lendir rongga mulut
|
VIII
|
Nervus
auditorius
|
Sensorik
|
Telinga,
rangsangan pendengaran
|
IX
|
Nervus
glosofaringeus
|
Sensorik
& motorik
|
Faring,
tonsil dan lidah, rangsangan citra rasa
|
X
|
Nervus
vagus
|
Sensorik
& motorik
|
Faring,
laring, paru-paru dan esopagus
|
XI
|
Nervus
asesorius
|
Motorik
|
Leher,
otot leher
|
XII
|
Nervus
hipoglosus
|
Motorik
|
Lidah,
citra rasa, dan otot lidah
|
(Sumber:
Syaifuddin, 2006)
2.1.2 Definisi
Meningitis adalah
suatu infeksi purulen lapisan otak yang pada orang dewasa biasanya hanya terbatas didalam ruang
subaraknoid, namun pada bayi cenderung meluas sampai kerongga subdural sebagai
suatu efusi atau empiema subdural (leptoMeningitis), atau bahkan kedalam otak
(meningoensefalitis) (Nurarif dan kusuma, 2013).
Meningitis adalah
inflamasi lapisan disekeliling otak dan medulla spinalis yang disebabkan oleh
bakteri atau virus. Meningitis diklasifikasikan sebagai Meningitis septik dan
aseptik, bentuk aseptik merupakan dampak primer atau sekunder dari limfoma,
leukimia, atau HIV. Bentuk aseptik disebabkan oleh bakteri seperti Sterptococcus Pneumoniae dan Neiseria Meningitidis (Brunner dan
Sudarth, 2013).
Meningitis adalah
terjadinya inflamasi pada otak dan meningen medula spinalis yang dapat menyerang tiga
membran (dura mater, membran araknoid, dan pia meter) (Wolters Kluwer, 2011).
Meningitis adalah
inflamasi akut pada meningens. Organisme penyebab Meningitis bakterial memasuki
area secara langsung sebagai akibat cidera traumatik atau secara tidak langsung
bila dipindahkan dari tempat lain didalam tubuh ke dalam cairan serebrospinal
(CSS). Berbagai agens dapat menimbulkan inflamasi pada meningens termasuk
bakteri, virus, jamur, dan zat kimia (Cecily, 2009).
Meningitis
merupakan inflamasi akut, perkembangan terapi antimikroba telah memberikan efek
yang nyata pada perjalanan proknosis penyakit, walaupun menggunakan vaksin
konjugat melawan Haemophilus influenza
tipe B (vaksin Hib) (Dona L. Wong, 2008).
Meningitis adalah
peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal colum yang
menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi, 2008).
Berdasarkan
penjelasan pengertian Meningitis diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa
Meningitis adalah peradangan pada selaput otak atau meningen, bisa terjadi
infeksi purulen lapisan otak, cairan serebrospinal dan spinal colum.
2.1.3 Etiologi
Menurut Nurarif dan
Kusuma, (2013) Meningitis terjadi karena beberapa faktor:
2.1.3.1 Pada orang dewasa, bakteri penyebab tersering
adalah diplococcus pneumonia dan neiseria meningitidis, stafilokokus, dan
gram negatif.
2.1.3.2 Pada anak-anak bakteri tersering adalah hemophylus influenza, neiseria meningitidis,
diplococcus pneumonia (Nurarif dan kusuma, 2013).
Menurut Suriadi, (2008) Meningitis terjadi karena beberapa faktor:
2.1.3.1 Faktor
predisposisi: jenis kelamin: laki-laki lebih sering dibandingkan dengan wanita.
2.1.3.2 Faktor maternal:
ruftur membran fetal, infeksi maternal pada minggu terakhir kehamilan.
2.1.3.3 Faktor imunologi:
defisiensi mekanisme imun, defisiensi mekanisme imunoglobulin, anak yang
terdapat obat-obatan imunosupresi.
2.1.3.4 Anak-anak dengan
kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injuri yang berhubungan dengan sistem persarafan.
Menurut Lewis,
R., (2008) Meningitis terjadi karena faktor
diantaranya:
2.1.3.1 Bakteri; haemophilus
influenza (tipe b), streptococcus pneumoniae, nesseria Meningitis, hemolytic
streptococcus, staphilococcus aureu, dan ecoli.
2.1.4 Klasifikasi
Menurut Suriadi, (2008) Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan
perubahan yang terjadi pada cairan otak yaitu:
2.1.4.1 Meningitis
Serosa adalah radang selaput otak pada araknoid dan pia
meter yang disertai cairan otak yang jernih. Penyebab
terseringnya adalah Mycobacterium
tuberculosa dan lainnya
(lues Virus, Toxoplasma gondhi dan Ricketsia).
2.1.4.2 Meningitis
Purulenta adalah radang bernanah pada arakhnoid dan pia
meter meliputi otak dan medula spinalis. Penyebabnya
antara lain: Diplococcus pneumoniae,
Neisseria Meningitis, Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus,
Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas
aeruginosa.
2.1.5 Patofisiologi
Menurut Suriadi, (2008) Patofisiologi
sebagai berikut:
2.1.5.1 Efek peradangan akan menyebabkan peningkatan
cairan cerebro spinalis yang dapat menyebabkan obstruksi dan selanjutnya
terjadi hidrosefalus dan peningkatan tekanan intra kranial. Efek patologi dari
peradangan tersebut adalah: hiperemi pada meningen. Edema dan eksudasi yang
kesemuaannya menyebabkan Tekanan Intra Kranial
(TIK).
2.1.5.2 Organisme masuk melalui sel darah merah pada blood brain barrier. Masuknya dapat melalui trauma penetrasi, prosedur pembedahan, atau pecahnya
abses serebral atau kelainan sistem saraf pusat. Otorhea atau rhinorrhea akibat
fraktur dasar tengkorak dapat menimbulkan Meningitis, dimana terjadi hubungan
antara CSF dan dunia luar.
2.1.5.3 Masuknya mikroorganisme kesusunan saraf pusat
melalui ruangan sub-aracnoid dan menimbulkan respon peradangan pada via,
arachnoid, CSF dan ventrikel.
2.1.5.4 Dari reaksi radang muncul eksudat dan
perkembangan infeksi pada ventrikel, edema dan jaringan sekeliling ventrikel
menyebabkan obstruksi pada CSF dan menimbulkan hidrosefalus.
2.1.5.5 Meningitis bakteri: netrofil, monosit dan
yang lainnya merupakan sel respon radang. Eksudat terdiri dari bakteri fibrin
dan lekosit yang dibentuk diruang subarachnoid. Penumpukan pada CSF akan
bertambah dan mengganggu aliran CSF disekitar otak dan medulla spinalis.
Terjadi vasodilatasi yang cepat dari pembuluh darah dapat menimbulkan ruptur
atau trombosis dinding pembuluh darah dan jaringan otak dapat menjadi infarct.
2.1.5.6 Meningitis virus sebagai akibat dari penyakit
virus seperti meales, mump, herpes simplek dan herpes zoster. Pembentukan
eksudat pada umumnya tidak terjadi dan tidak ada mikroorganisme pada kultur
CSF.
2.1.6 Manifestasi
Klinis
Menurut Cecily, (2009)
manifestasi klinis Meningitis dibedakan berdasarkan umur antara lain:
2.1.6.1 Neonatus
b.
Demam biasanya derajat
rendah
c.
Pucat
d.
Letargi
e.
Rewel
f.
Kurang makan dan kurang
mengisap
g.
Muntah
h.
Kejang
i.
Tonus buruk
j.
Diare dan muntah
k.
Fontanel menonjol
l.
Opistotonus
2.1.6.2 Bayi dan anak kecil
a.
Letargi
b.
Iritabilitas
c.
Pucat
d.
Anoreksia
e.
Mual dan muntah
f.
Sering menangis
g.
Peningkatan Tekanan
Intra Kranial (TIK)
h.
Peningkatan lingkar
kepala
i.
Fontanel menonjol
j.
Kejang
k.
Sunset
eyes
2.1.6.3 Anak-anak
a.
Sakit kepala
b.
Demam
c.
Muntah
d.
Iritabilitas
e.
Fotopobia
f.
Kaku kuduk
g.
Tanda kernig dan
brudzinski positif
h.
Opistotonus
i.
Petekie (Meningitis H, influenzae dan meningokokus)
j.
Septikemia
k.
Syok
l.
Koagulasi intravaskular
diseminata (DIC)
m. Konfusi
n.
Kejang
2.1.7 Pemeriksaan
diagnostik
Pemeriksaan yang dapat
dilakukan menurut Nurarif dan Kusuma, (2013):
2.1.7.1 Fungsi lumbal dan kiltur CSS
a.
Jumlah leokosit
(CBC) meningkat
b.
Kadar glukosa darah
menurun
c.
Protein meningkat
d.
Tekanan cairan
meningkat
e.
Asam laktat
meningkat
f.
Glukosa serum
meningkat
g.
Identifikasi
organisme penyebab
2.1.7.2 Kultur darah, untuk menetapkan organisme penyebab
2.1.7.3 Kultur urine, untuk menetapkan organisme penyebab
2.1.7.4 Kultur nasofaring, untuk menetapkan organisme penyebab
2.1.7.5 Elektrolit serum, meningkat jika anak
dehidrasi; Na + naik dan K+ turun.
2.1.7.6 Osmolaritas Urine Meningkat dengan sekresi
ADH.
Pemeriksaan yang dapat
dilakukan menurut Kluwers Wolters, (2011):
2.1.7.1 Hitung leukosit menunjukan leukositosis
2.1.7.2 Kultur darah menunjukan hasil yang positif
terhadap Meningitis bakteri, tergantung pada patogen.
Pemeriksaan yang dapat
dilakukan menurut Suriadi, (2008):
2.1.7.1 Fungsi lumbal: tekanan cairan meningkat,
jumlah sel darah putih meningkat, glukosa menurun, protein meningkat.
2.1.7.2 Kultur darah
2.1.7.3 Kultur swab hidung dan tenggorokan.
2.1.8 Komplikasi
Komplikasi pada penyakit
Meningitis menurut Kluwers Wolters, (2011):
2.1.8.1 Gangguan penglihatan; neuritis optik
2.1.8.2 Paralisis saraf kranial; tuli
2.1.8.3 Paresis atau paralisis
2.1.8.4 Endokarditis
2.1.8.5 Koma
2.1.8.6 Vaskulitis
2.1.8.7 Infark serebral
2.1.8.8 Kejang
Komplikasi pada penyakit
Meningitis menurut Cecily, (2009):
2.1.8.1 Dapat mengakibatkan ketulian
2.1.8.2 Terjadi ke butaan
2.1.8.3 Efusi subdural
2.1.8.4 Peningkatan Hormon Anti Deuritik (ADH)
2.1.8.5 Perkembangan terlambat atau gangguan
intelektual
2.1.8.6 Hidrosefalus
2.1.8.7 Edema serebri
2.1.8.8 Gangguan kejang kronis
2.1.8.9 Paresis otot-otot wajah
Komplikasi pada penyakit
Meningitis menurut Suriadi, (2008):
2.1.8.1 Hidrosefalus obstuktif
2.1.8.2 Meningococcal septicemia (mengingocemia)
2.1.8.3 Sindrome Water Friderichsen (septik syok,
DIC, perdarahan adrenal bilateral)
2.1.8.4 SIADH (Syndrome Inappropriate Antidiuretic
Hormone)
2.1.8.5 Efusi subdural
2.1.8.6 Kejang
2.1.8.7 Edema dan herniasi serebral
2.1.8.8 Cerebral palsy
2.1.8.9 Gangguan mental
2.1.8.10 Gangguan belajar
2.1.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada penyakit
Meningitis menurut Suriadi, (2008):
2.1.9.1 Isolasi
2.1.9.2 Terapi antimikroba: antibiotik yang diberikan
berdasarkan pada hasil kultur, diberikan dengan dosis tinggi melalui intravena.
2.1.9.3 Mempertahankan hidrasi optimum: mengatasi
kekurangan cairan dan mencegah kelebihan cairan yang dapat menyebabkan edema.
2.1.9.4 Mencegah komplikasi: aspirasi efusi subdural
(pada bayi), terapi heparin pada anak yang mengalami DIC
2.1.9.5 Mengontrol kejang: pemberian terapi epilepsi
2.1.9.6 Mempertahankan ventilasi
2.1.9.7 Mengurangi meningkatnya Tekanan Intra Kranial
(TIK)
2.1.9.8 Penatalaksanaan Syok bakterial
2.1.9.9 Mengontrol perubahan suhu lingkungan yang ekstrim
2.1.9.10 Memperbaiki anemia
2.1.10 Prognosis
Prognosis pada anak yang
menderita Meningitis tergantung pada usia anak, tipe organisme penyebab, dan kerusakan neurologik
residual. Pada anak yang dikategorikan masih kecil, berusia kurang dari 2
tahun, dapat menunjukan peningkatan disabilitas neurologik antara lain
kesulitan belajar dan bisa terjadi kejang pada anak (Dona L. Wong, 2008).
2.2 Tinjauan
Teoritis Asuhan Keperawatan Meningitis
2.2.1 Pengkajian
Pengkajian Asuhan keperawatan
menurut Nurarif dan Kusuma, (2013):
2.2.1.1 Riwayat Keperawatan: riwayat kelahiran,
penyakit kronis, neoplasma riwayat pembedah pada otak, dan cidera kepala.
2.2.1.2 Pada neonatus: kaji adanya perilaku menolak
untuk makan, reflek mengisap kurang, muntah atau diare, tonus otot kurang,
kurang gerak dan menangis lemah.
2.2.1.3 Pada anak-anak dan remaja: kaji adanya demam
tinggi, sakit kepala, muntah yang diikuti dengan perubahan sensori, kejang
mudah terstimulasi dan teragitasi, fotofobia, delirium, halusinasi, perilaku
agresif atau maniak, penurunan kesadaran, kaku kuduk, opistotonus, tanda kernig
dan brudzinsky positif, reflek fisiologis hiperaktif, ptechiae atau pruritus.
2.2.1.4 Bayi dan anak-anak (usia 3 bulan hingga 2
tahun): kaji adanya demam, malas makan, muntah, mudah terstimulasi, kejang,
menangis dan merintih, ubun-ubun menonjol, kaku kuduk, dan tanda kernik dan brundzinksy
positif.
Pengkajian Asuhan keperawatan
menurut Muttaqin, (2008):
2.2.1.1 Anamnesa
Keluhan utama
yang sering menjadi alasan klien atau orang tua membawa anaknya untuk meminta
pertolongan kesehatan adalah panas badan tinggi, kejang, dan penurunan tingkat
kesadaran.
2.2.1.2 Riwayat
penyakit saat ini
Faktor riwayat
sangat penting diketahui untuk mengetahui jenis kuman penyebab. Harus diantanya
dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh,
atau bertambah buruk. Pada pengkajian klien Meningitis, biasanya didapatkan
keluhan yang berhubungan dengan akibat dari infeksi dan peningkatan Tekanan
Intra Kranial (TIK).
Keluhan gejala
awal tersebut biasanya sakit kepala dan demam. Sakit kepala dihubungkan dengan
Meningitis yang selalu berat dan sebagai akibat iritasi meningen. Demam umumnya
ada dan tetap tinggi selama perjalanan penyakit. Keluhan kejang perlu mendapat
perhatian untuk dilakukan pengkajian lebih mendalam, bagaimana sifat timbulnya
kejang, stimulus apa yang sering menimbulkan kejang, dan tindakan apa yang
telah diberikan dalam upaya menurunkan keluhan kejang tersebut.
Adanya
penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan Meningitis
bakteri. Disorientasi dan gangguan memori biasanya merupakan awal adanya
penyakit. Perubahan yang terjadi bergantung pada beratnya penyakit, demikian
pula respons individu terhadap proses fisiologis. Keluhan perubahan perilaku
umum terjadi, sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak
responsif dan koma. Pengkajian lainya yang perlu ditanyakan seperti riwayat
selama menjalani perawatan di Rumah Sakit pernahkah menjalani perawatan di
Rumah Sakit, pernahkah menjalani tindakan infasif yang memungkinkan masuknya
kuman ke meningen terutama melalui pembuluh darah.
2.2.1.3 Riwayat
penyakit dahulu
Pengkajian
penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau
menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi: pernahkah klien mengalami
infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, anemia sel sabit dan hemoglobin
nopatis lain, tindakan bedah saraf, riwayat trauma kepala, dan adanya pengaruh
imunologis pada masa sebelumnya. Riwayat sakit Tuberculosis paru perlu
ditanyakan pada klien terutama apabila ada keluhan batuk produktif dan pernah menjalani
pengobatan obat anti Tuberculosis yang sangat berguna untuk mengidentifikasi
Meningitis Tuberkulosa. Pengkajian pemakaian obat-obatan yang sering digunakan
klien, seperti pemakaian obat kortikosteroit, pemakaian jenis-jenis antibiotik
dan reaksinya (untuk menilai resistensi pemakaian antibiotik) dapat menambah
komprehensifnya pengkajian. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian
dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih
jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.
2.2.1.4 Pengkajian
psiko-sosio-spiritual
Pengkajian
psikologis klien Meningitis meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan perawat
untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan
perilaku klien. Sebagian besar pengkajian ini dapat diselesaikan melalui
interaksi menyeluruh dengan klien dalam pelaksanaan pengkajian lain dengan
memberi pertanyaan dan tetap melakukan pengawasan sepanjang waktu untuk
menentukan kelayakan ekspresi emosi dan fikiran. Pengkajian mekanisme koping
yang digunakan klien juga penting untuk menilai respon emosi klien terhadap
penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik
dalam keluarga maupun masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien,
yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidak mampuan
untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan citra tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara
sadar biasa digunakan klien selama masa stress meliputi kemampuan klien untuk
mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui dan perubahan
perilaku akibat stress.
Karena klien
harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini memberi dampak pada status
ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak
sedikit. Perawat juga memasukan pengkajian terhadap fungsi neorologis dengan
dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu.
Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri atas dua masalah, yaitu
keterbatasan yang diakibatkan oleh defisit neurologis dalam hubungannya dengan
peran sosial klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada
gangguan neurologis didalam sistem dukungan individu.
Pada pengkajian
klien anak, perlu diperhatikan dampak hospitalisasi pada anak. Anak dengan
Meningitis sangat rentan terhadap tindakan invasif yang sering dilakukan untuk
mengurangi keluhan, hal ini menyebabkan anak stress dan kurang kooperatif
terhadap tindakan keperawatan dan medis. Pengkajian psikososial yang terbaik
dilaksanakan saat mengobservasi anak-anak bermain atau selama berinteraksi
dengan orang tua. Anak-anak sering kali tidak mampu untuk mengekspresikan perasaan
mereka dan cenderung untuk memperlihatkan masalah mereka melalui tingkah laku.
2.2.1.5 Pemeriksaan
fisik
Setelah
melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik
sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan
fisik sebaiknya dilakukan secara persistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan B3
yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
Pemeriksaan
fisik dimulai dengan memeriksa Tanda-Tanda Vital (TTV). Pada klien Meningitis
biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh lebih dari normal yaitu 38-41°C,
dimulai dari fase sistemik, kemerahan, panas, kulit kering, berkeringat.
Keadaan ini biasanya dihubungkan dengan proses inflamasi dan iritasi meningen
yang sudah mengganggu pusat pengaturan suhu tubuh. Penurunan denyut nadi
terjadi berhubungan dengan tanda-tanda peningkatan Tekanan
Intra Kranial (TIK). Apabila
disertai peningkatan frekuensi pernafasan sering berhubungan dengan peningkatan
laju metabolisme umum dan adanya infeksi pada sistem pernafasan sebelum
mengalami Meningitis. Tekanan darah biasanya normal atau meningkat karena
tanda-tanda peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK).
a.
B1 (Breathing)
Insfeksi apakah
klien batuk, produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan
peningkatan frekuensi pernapasan yang sering didapatkan pada klien Meningitis
yang disertai adanya gangguan pada sistem pernapasan. Palpasi thorak hanya
dilakukan apabila terdapat deformitas pada tulang dada pada klien dengan efusi
pleura massif (jarang terjadi pada klien dengan Meningitis). Auskultasi bunyi
napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan Meningitis Tuberkulosa dengan
penyebaran primer dari paru.
b.
B2 (Blood)
Pengkajian pada
sistem kardiovaskuler terutama dilakukan pada klien Meningitis pada tahap
lanjut seperti apabila klien sudah mengalami renjatan (syok). Infeksi
fulminating terjadi pada sekitar 10% klien dengan Meningitis meningokokus,
dengan tanda-tanda septicemia: demam tinggi yang tiba-tiba muncul, lesi purpura
yang menyebar (sekita wajah dan ekstremitas), syok, dan tanda-tanda koagulasi
intravaskuler di seminata (disseminated intravascular coagulation-DIC).
Kematian mungkin terjadi dalam beberapa jam setelah serangan infeksi.
c.
B3 (Brain)
Merupakan
pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem
lainnya.
d.
B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sistem
perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume keluaran urine, hal ini
berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
e.
B5 (Bowel)
Mual sampai muntah
karena peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien
Meningitis karena anoreksia dan adanya kejang.
f.
B6 (Bone)
Adanya bengkak dan
nyeri pada sendi-sendi besar (khususnya lutut dan pergelangan kaki). Petekia
dan lesi purpura yang didahului oleh ruam. Pada penyakit yang berat dapat
ditemukan ekimosis yang berat pada wajah dan ekstremitas. Klien sering
mengalami penurunan kekuatan otot dan kelemahan fisik secara umum sehingga
mengganggu aktivitas hidup sehari-hari.
2.2.1.6 Tingkat
kesadaran
Kualitas
kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan parameter yang
paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat kesadaran klien dan respon
terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem
persyarafan. Beberapa sistem digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam
kewaspadaan dan kesadaran.
Pada keadaan
lanjut tingkat kesadaran klien Meningitis biasanya berkisar pada tingkat
letargi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien sudah mengalami koma maka
penilaian tingkat kesadaran sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran
klien dan bahan evaluasi untuk memantau pemberian asuhan keperawatan.
2.2.1.7 Fungsi serebri
Status mental:
observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien dan
observasi ekspresi wajah serta aktivitas motorik klien Meningitis untuk tahap
lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan.
2.2.1.8 Pemeriksaan saraf kranial
Saraf 1:
biasanya pada klien Meningitis tidak ada kelainan fungsi dan penciuman tidak
ada kelainan. Saraf II: Tes kemampuan ketajaman penglihatan pada kondisi
normal. Pemeriksaan papolidema mungkin didapatkan terutama pada Meningitis
supuratif disertai abses serebri dan efusi subdural yang menyebabkan terjadinya
peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK) berlangsung lama. Saraf III, saraf IV,
dan saraf VI: Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil pada klien Meningitis yang
tidak disertai penurunan kesadaran biasanya tanpa kelainan. Pada tahap lanjut
Meningitis yang telah mengganggu kesadaran, tanda-tanda perubahan dari fungsi
dan reaksi pupil akan didapatkan. Dengan alasan yang tidak diketahui, klien
Meningitis mengeluh mengalami fotofhobia atau sensitif yang berlebihan terhadap
cahaya. Saraf V: Pada klien Meningitis umumnya tidak didapatkan paralisis pada
otot wajah dan refleks kornea biasanya tidak ada kelainan. Saraf VII: persepsi
pengecapan dalam batas normal, wajah simetris. Saraf VIII: tidak adanya tuli
konduktif dan tuli persepsi. Saraf IX dan Saraf X: kemampuan menelan baik.
Saraf XI: tidak ada atrofi otot. Adanya usaha dari klien untuk melakukan fleksi
leher dan kaku kuduk. Saraf XII: lidah simetris, tidak ada deviasi satu sisi
dan tidak ada fakulasi, indra pengecap normal.
2.2.1.9 Sistem motorik
Kekuatan otot
menurun, kontrol keseimbangan dan koordinasi pada Meningitis tahap lanjut
mengalami perubahan.
2.2.1.10 Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan
refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat
refleks pada respons normal. Refleks patologis akan didapatkan pada klien
Meningitis dengan tingkat kesadaran koma. Adanya refleks babinski positif
merupakan tanda adanya lesi.
2.2.1.11 Gerakan involunter
Tidak ditemukan
adanya tremor, kedutan saraf, dan distonia. Pada keadaan tertentu klien
biasanya mengalami kejang umum, terutama pada anak dengan Meningitis disertai
peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Kejang dan peningkatan Tekanan Intra
Kranial (TIK) juga berhubungan dengan Meningitis. Kejang terjadi sekunder
akibat area vokal kortikal yang peka.
2.2.1.12 Sistem sensorik
Pemeriksaan
sensorik biasanya pada klien Meningitis didapatkan sensasi raba, nyeri, dan
suhu normal, tidak ada perasaan abnormal dipermukaan tubuh. Sensasi
proprioseptif dan diskriminatif normal.
Pemeriksaan
fisik lainnya terutama yang berhubungan dengan peningkatan Tekanan Intra
Kranial (TIK). Tanda-tanda peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK) sekunder
akibat eksudat purulent dan edema serebri terdiri atas perubahan karakteristik
Tanda-Tanda Vital (TTV) melebarnya tekanan pulsa dan bradikardi, pernafasan
tidak teratur, sakit kepala, muntah, dan penurunan tingkat kesadaran.
Adanya ruam
merupakan salah satu ciri yang terjadi pada Meningitis meningokokal. Klien
dengan Meningitis mengalami lesi-lesi pada kulit diantaranya ruam petekia
dengan lesi purpura sampai ekimosis pada daerah yang luas.
Iritasi
meningen mengakibatkan sejumlah tanda yang mudah dikenali yang umumnya terlihat
pada semua tipe Meningitis. Tanda tersebut adalah rigiditas nukal, tanda kernik
dan adanya tanda brundzinski. Kaku kuduk adalah tanda awal. Adanya upaya untuk
fleksi kepala mengalami kesukaran karena adanya spasme otot-otot leher. Fleksi
paksaan yang dilakukan akan menyebabkan nyeri berat.
2.2.1.13 Pengkajian pada anak
Pengkajian yang
didapatkan pada anak tergantung pada usia anak dan luasnya penyebaran infeksi
dimeningen. Hal lain yang mempengaruhi klinis pada anak adalah tipe organisme
yang menginvasi meningen dan seberapa besar keefektifan pemberian terapi, dalam
hal ini adalah jenis antibiotik yang dipakai sangat berpengaruh terhadap gejala
klinis pada anak. Untuk memudahkan penilaian klinis, gejala Meningitis pada
anak dibagi menjadi tiga meliputi anak, bayi, dan neonatus.
Pada anak,
manifestasi klinisnya adalah timbul sakit secara tiba-tiba, adanya demam, sakit
kepala, panas dingin, muntah, dan kejang. Anak menjadi cepat rewel dan agitasi
serta dapat berkembang menjadi fotofobia, delirium, halusinasi, tingkah laku
yang agresif atau mengamuk, stupor, dan koma. Gejala atau gangguan pada
pernafasan dan gangguan gastrointestinal seperti sesak nafas, muntah, dan
diare. Tanda yang khas adalah adanya tahanan pada kepala jika difleksikan, kaku
leher, tanda kernik dan brudzinski positif. Akibat perfusi yang tidak optimal
biasanya memberikan tanda klinis seperti
kulit dingin dan sianosis. Gejala lain yang lebih spesifik seperti petekia atau
purpura pada kulit sering didapatkan apabila anak mengalami infeksi meningokokus,
keluarnya cairan dari telinga merupakan gejala khas pada anak yang mengalami
Meningitis dan sinus dermal kongenital terutama disebabkan oleh infeksi E. coli.
Pada
bayi, manifestasi klinis biasanya terlihat pada umur 2 bulan sampai 2 tahun dan
sering ditemukan adanya demam, nafsu makan menurun, muntah, rewel, mudah lelah,
kejang, dan menangis. Tanda khas dikepala adalah fontanel menonjol. Kaku kuduk
merupakan tanda Meningitis, sedangkan tanda-tanda brudzinski dan kernik dapat
terjadi namun lambat atau ada pada kasus Meningitis tahap lanjut.
Pada neonatus,
biasanya masih sukar untuk diketahui karena manifestasi klinisnya tidak jelas
dan tidak spesifik, namun ada beberapa gejala mempunyai kemiripan dengan anak
yang lebih besar, neonatus biasanya menolak untuk makan, kemampuan untuk menetek
buruk, gangguan gastrointestinal berupa muntah dan kadang-kadang ada diare.
Tonus otot lemah, pergerakan dan kekuatan menangis lemah. Pada kasus tersebut
terjadi hipotermia, ikterus, rewel,
mengantuk, kejang, frekuensi nafas tidak teratur, sianosis, penurunan berat
badan, tanda fontanel menonjol mungkin ada atau tidak. Leher fleksibel, yaitu
tidak didapatkan kaku kuduk. Pada fase yang lebih berat terjadi kolaps
kardiovaskuler, kejang, dan apnea bisanya terjadi bila tidak diobati atau tidak
dilakukan tindakan yang cepat.
2.2.2 Diagnosa
keperawatan
Menurut buku NANDA NIC-NOC
diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada Meningitis yaitu:
2.2.2.1 Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
berhubungan dengan edema serebral atau penyumbatan aliran darah
2.2.2.2 Nyeri akut berhubungan dengan proses infeksi
2.2.2.3 Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
neuromuskuler
2.2.2.4 Risiko cidera berhubungan dengan kejang
2.2.2.5 Risiko infeksi berhubungan dengan daya tahan
tubuh berkurang
2.2.2.6 Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
2.2.2.7 Ketidakefektifan pola nafas
2.2.2.8 Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
2.2.2.9 Kekurangan volume cairan
2.2.2.10 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh
(Nurarif dan Kusuma, 2013).
2.2.3 Intervensi
Keperawatan
2.2.3.1 Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
berhubungan dengan edema serebral atau penyumbatan aliran darah
Tujuan: setelah
dilakukan tindakan selama proses keperawatan diharapkan tidak terjadi ketidakefektifan
perfusi jaringan otak.
Kriteria hasil:
a.
Tidak terjadi
ketidakefektifan perfusi jaringan otak
b.
TTV dalam batas
normal
c.
Tidak terjadi edema
serebral
Intervensi:
a.
Kaji keadaan
perkembangan klien
Rasional: mengetahui bagaimana perkembangan klien setelah pengkajian awal
b.
Observasi TTV
Rasional: mengetahui keadaan umum klien
c.
Atur posisi klien
senyaman mungkin
Agar klien merasa nyaman dan dapat beristirahat
d.
Anjurkan keluarga
agar selalu berada menemani klien didalam ruangan
Rasional: agar ada yang menemani klien didalam ruangan
e.
Kolaborasi dengan
tim medis yang lain
Rasional: untuk mempercepat proses penyembuhan
2.2.3.2 Nyeri akut berhubungan dengan proses infeksi
Tujuan: setelah
dilakukan tindakan selama proses keperawatan diharapkan tidak terjadi nyeri
Kriteria hasil:
a.
Skala nyeri 1-0
b.
Klien tidak
mengeluh nyeri
c.
TTV dalam batas
normal
d.
Klien dapat senyum
dan tidak meringis
Intervensi:
a.
Kaji skala nyeri
kualitas dan lokasi nyeri
Rasional: mengetahui skala kualitas dan lokasi nyeri
b.
Observasi TTV
Rasional:
mengetahui keadaan umum dan perkembangan klien
c.
Atur posis senyaman
mungkin
Rasional: agar klien dapat rileks dan merasa nyaman
d.
Berikan teknik
relaksasi nafas dalam
Rasional: agar mengurangi rasa nyeri
e.
Ajarkan keluarga
cara melakukan teknik relaksasi nafas dalam pada klien
Rasional: agar keluarga bisa melakukan teknik relaksasi
pada pasien secara mandiri
f.
Kolaborasi dengan
tim medis yang lain
Rasional: mempercepat penyembuhan nyeri yang terjadi pada klien
2.2.3.3 Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
neuromuskuler
Tujuan: setelah
dilakukan tindakan selama proses keperawatan diharapkan hambatan mobilitas
fisik dapat teratasi.
Kriteria hasil:
a.
Klien dapat
beraktivitas secara mandiri
b.
Tidak ada
keterbatasan gerak
c.
TTV dalam batas
normal
d.
Skala aktivitas
normal dengan hasil 5
Intervensi:
a.
Kaji skala
aktivitas
Rasional: mengetahui keadaan skala aktivitas klien
b.
Observasi TTV
Rasional:
mengetahui keadan umum dan perkembangan klien
c.
Berikan latihan rom
Rasional: membantu merelaksasi otot
d.
Ajarkan keluarga
cara melakukan rom
Rasional: agar keluarga bisa melakukan rom pada klien
secara mandiri
e.
Kolaborsi dengan
tim medis
Rasional: mempercepat penyembuhan klien
2.2.3.4 Risiko
cidera
Tujuan: setelah
dilakukan tindakan selama proses keperawatan diharapkan risiko cidera tidak
terjadi
Kriteria hasil:
a.
Klien terbebas dari
cidera
b.
Klien mampu
mengenali perubahan
c.
Klien mampu
menjelaskan faktor risiko yang dapat menyebabkan cidera
Intervensi:
a.
Kaji kebutuhan
keamanan klien
Rasional: agar
mencegah terjadinya risiko cidera
b.
Obsevasi TTV
Rasional:
mengetahui keadaan umum klien
c.
Berikan lingkungan
yang aman pada klien
Rasional:
menghindari risiko cidera
d.
Pasang side rail
tempat tidur
Rasional:
agar tidak terjadi cidera
e.
Anjurkan keluarga agar
selalu menemani klien
Rasional:
agar keluarga dapat menjaga klien dengan baik
f.
Batasi pengunjung
Rasional:
mengurangi risiko cidera
2.3.3.5 Risiko infeksi
Tujuan: setelah
dilakukan tindakan selama proses keperawatan diharapkan risiko infeksi tidak terjadi
Kriteria hasil:
a.
Klien bebas dari
tanda dan gejala infeksi
b.
Menunjukan perilaku
hidup sehat
c.
Menunjukan
kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
d.
Jumlah leokosit
dalam batas normal
Intervensi:
a.
Kaji tanda dan
gejala infeksi
Rasional:
mengetahui tanda dan gejala infeksi
b.
Observasi TTV
Rasional:
mengetahui keadaan dan perkembangan klien
c.
Pertahankan
lingkungan aseptik selama pemasangan alat
Rasional:
menghindari risiko infeksi
d.
Ajarkan pasien dan
keluarga cara menghindari infeksi
Rasional:
agar infeksi tidak terjadi
e.
Kolaborasi dengan
tim medis yang lain
Rasional:
menghindari risiko infeksi dan mempercepat proses penyembuhan
2.3.3.6 Hipertermia
Tujuan: setelah
dilakukan tindakan selama proses keperawatan diharapkan hipertermia dapat
teratasi
Kriteria hasil:
a.
Suhu tubuh dalam
batas normal
b.
Klien tidak
mengeluh panas pada tubuh
c.
TTV dalam batas
normal
d.
Klien tidak
mengeluh pusing
e.
Tidak ada perubahan
pada warna kulit
Intervensi:
a.
Kaji keadaan suhu
tubuh klien
Rasional:
mengetahui suhu tubuh klien
b.
Observasi TTV
Rasional:
mengetahui perkembangan dan keadaan klien
c.
Berikan kompres
hangat
Rasional:
mengurangi panas pada tubuh
d.
Berikan teknik
relaksasi nafas dalam, apabila klien mengalami pusing
Rasional:
mengurangi nyeri
e.
Ajarkan keluarga
cara mengompres
Rasional:
agar keluarga bisa melakukan kompres pada klien secara mandiri
f.
Kolaborasi dengan
tim medis yang lain
Rasional:
mempercepat proses penyembuhan panas
2.3.3.7 Ketidakefektifan pola nafas
Tujuan: setelah
dilakukan tindakan selama proses keperawatan diharapkan Ketidakefektifan pola
nafas tidak terjadi
Kriteria hasil:
a.
TTV dalam batas normal
b.
Klien tidak sesak
c.
Frekuensi dalam
batas normal
d.
Tidak ada tanda
sianosis
Intervensi:
a.
Kaji keadaan pola
nafas
Rasional:
mengetahui keadaan nafas
b.
Observasi TTV
Rasional:
mengetahui keadaan umum klien
c.
Atur posisi
Rasional:
mengurangi sesak
d.
Beri oksigenasi
Rasional: membantu jalan nafas
e.
Auskultasi suara
nafas
Rasional:
mengetahui bunyi nafas
2.3.3.8 Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
Tujuan: setelah
dilakukan tindakan selama proses keperawatan diharapkan Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas dapat teratasi
Kriteria hasil:
a.
TTV dalam batas
normal
b.
Tidak ada sekret
pada jalan nafas
c.
Tidak ada bunyi
nafas tambahan saat bernafas
d.
Klien tidak
mengeluh sesak
Intervensi:
a.
Kaji keadaan nafas
Rasional:
mengetahui jalan nafas klien
b.
Observasi TTV
Rasional:
mengetahui keadaan umum klien
c.
Berikan O2 dengan
menggunakan nasal kanul
Rasional:
membantu jalan nafas klien
d.
Ajarkan keluarga
cara mengatur posisi
Rasional: agar
klien merasa nyaman dan membuka jalan nafas
e.
Kolaborasi dengan
tim medis yang lain
Rasional:
tetap pertahankan jalan nafas
2.3.3.9 Kekurangan volume cairan
Tujuan: setelah
dilakukan tindakan selama proses keperawatan diharapkan Kekurangan volume cairan
dapat teratasi
Kriteria hasil:
a.
TTV dalam batas
normal
b.
Tidak ada tanda
dehidrasi
c.
Kebutuhan cairan
dalam tubuh terpenuhi
Intervensi:
a.
Kaji keadaan
kebutuhan cairan
Rasional:
mengetahui kebutuhan cairan tubuh klien
b.
Observasi TTV
Rasional:
mengetahui keadaan TTV klien
c.
Berikan cairan IV
pada klien
Rasional:
untuk pemenuhan cairan dalam tubuh klien
d.
Dorong keluarga
untuk pemberian makanan pada klien melalui oral
Rasional:
agar kebutuhan cairan dalam tubuh dapat terpenuhi
e.
Kolaborasi dengan
tim medis yang lain
Rasional: Pemenuhan kebutuhan cairan tubuh pada klien
2.3.3.10 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh
Tujuan: setelah
dilakukan tindakan selama proses keperawatan diharapkan Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh teratasi
Kriteria hasil:
a.
Kebutuhan nutrisi
terpenuhi
b.
TTV dalam batas
normal
c.
Tidak ada
tanda-tanda malnutrisi
Intervensi:
a.
Kaji pola makan
klien
Rasional:
mengetahui keadaan pola makan klien
b.
Observasi TTV
Rasional: Mengetahui
keadaan umum
c.
Berikan makanan selagi
hangat
Rasional:
agar nutrisi dapat terpenuhi
d.
Anjurkan klien
makan sedikit tapi lebih sering
Rasional:
agar nutrisi tetap terpenuhi
e.
Kolaborasi dengan
ahli gizi
Rasional:
untuk pemenuhan nutrisi pada klien
DAFTAR
RUJUKAN
Betz,
C. L & Sowden, L. A. (2009). Keperawatan
Pediatri. Edisi 5. Jakarta: EGC.
Brunner
& Suddarth. (2013). Keperawatan
Medikal Bedah. Edisi 12. Jakarta: EGC.
Lalani,
A & Suzan, S. (2011). Kegawatdaruratan
Pediatri. Jakarta: EGC
Lewis,
R., dkk., (2008). Action For child
Survival Elimination of Haemophilus
Influezae Type b Meningitis in Uganda. Bulletin of The World Health Organization, Vol. 86, No.
4. Uganda
Mansjoer,
A. (2011). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi
2. Jakarta: EGC.
Mesranti.
M. (2009). Karakteristik Penderita
Meningitis Rawat Inap Di RSUP H. Adam Malik Medan. (Internet). Termuat
dalam: <http://respository.usu.ac.id.pdf>
(Diakses tanggal 25 April 2016).
Muttaqin,
A. (2008). Asuhakn Keperawatan Klien
Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Nurarif,
A.H & Kusuma, H. (2012). Handbook
Health Student. Yogyakarta: Media Action Publishing.
Nurarif,
A.H & Kusuma, H. (2013). Aplikasi
Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Edisi
Revisi. Jilid 2. Yogyakarta: Media Action.
Priharjo,
R. (2006). Pengkajian Fisik Keperawatan
Edisi 2. Jakarta: EGC
Suriadi
& Yuliani, R. (2008). Asuhan
Keperawatan Pada Anak. Edisi 2. Jakarta:
CV. Sagung Seto.
Syaifuddin.
(2006). Anatomi & Fisiologi Untuk
Mahasiswa Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Wilkinson,
J., Nancy, R. (2012). Buku Saku Diagnosa
Keperawatan Edisi 9. Jakarta: EGC.
Wong,
D.L., Eaton, M.H., Wilson, D., Winkelstein, M.L & Schwartz, P. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Volume
2. Edisi 6. Jakarta: EGC.
(Diakses Tanggal
25 April 2016).
No comments:
Post a Comment