Thursday, October 19, 2017

Laporan Pendahuluan Meningitis

BAB 1
PENDAHULUAN


1.1     Latar Belakang
Sebagai generasi penerus bangsa, anak perlu mendapatkan perhatian dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Hal ini dilakukan guna menciptakan generasi anak yang sehat baik secara fisik maupun mental sejak dini. Keadaan sakit pada anak akan mempengaruhi keadaan fisiologis dan psikologis dari anak tersebut. Adapun penyakit yang paling sering terjadi pada anak adalah penyakit infeksi, diantara penyakit infeksi yang perlu mendapat perhatian adalah penyakit Meningitis yang sangat mempengaruhi pertumbuhan anak. Selain itu penyakit Meningitis merupakan salah satu penyebab kematian anak dibanyak negara di dunia terutama di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia (Mesranti, 2009).

Meningitis adalah suatu infeksi purulen lapisan otak yang pada orang dewasa biasanya hanya terbatas didalam ruang subaraknoid, namun pada bayi cenderung meluas sampai kerongga subdural sebagai suatu efusi atau empiema subdural (lepto Meningitis), atau bahkan kedalam otak (meningoensefalitis) (Nurarif dan kusuma, 2013).

Meningitis adalah inflamasi lapisan disekeliling otak dan medulla spinalis yang disebabkan oleh bakteri atau virus. Meningitis diklasifikasikan sebagai Meningitis septik dan aseptik, bentuk aseptik merupakan dampak primer atau sekunder dari limfoma, leukimia, atau HIV. Bentuk aseptik disebabkan oleh bakteri seperti Sterptococcus Pneumoniae dan Neiseria Meningitidis (Brunner dan Sudarth, 2013).

Meningitis adalah inflamasi akut pada meningens. Organisme penyebab Meningitis bakterial memasuki area secara langsung sebagai akibat cidera traumatik atau secara tidak langsung bila dipindahkan dari tempat lain didalam tubuh ke dalam Cairan Serebro Spinal (CSS). Berbagai agens dapat menimbulkan inflamasi pada meningens termasuk bakteri, virus, jamur, dan zat kimia (Cecily, 2009).

Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal colum yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi, 2008).

Berdasarkan penjelasan pengertian Meningitis diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa Meningitis adalah peradangan pada selaput otak atau meningen, bisa terjadi infeksi purulen lapisan otak, cairan serebrospinal dan spinal colum.

Data WHO (2009) memperkirakan jumlah kasus Meningitis dan kasus kecacatan neurologis lainnya sekitar 500.000 dengan Case Fatality Rate (CFR) 10% di seluruh dunia. Selain angka kematian yang cukup tinggi, banyak penderita Meningitis yang menjadi cacat akibat keterlambatan dalam diagnosis dan pengobatan.
<http://repository.usu.ac.id> (Diakses tanggal 25 April 2016)

Tahun 2009, Afrika melaporkan 78.416 kasus Meningitis dan 4.053 kematian (CFR=5,2%). Pada negara-negara berkembang seperti Gambia (2009), diperkirakan 2% dari semua anak meninggal disebabkan Meningitis sebelum mereka mencapai usia 5 tahun.
<http://repository.usu.ac.id> (Diakses tanggal 25 April 2016)

Data South East Asian Medical Information Center (SEAMIC) Health Statistic (2008) melaporkan bahwa pada tahun 2006 dan 2007 di Indonesia, terdapat masing-masing 1.937 dan 1.667 kasus kematian karena Meningitis dengan CSDR 9,4 dan 8 per 1.000.000 penduduk. Pada tahun 2009, khususnya di Jakarta, Meningitis Purulenta merupakan penyakit yang masih banyak ditemukan pada bayi dan anak-anak yaitu pada umur 2 bulan – 2 tahun dengan mortalitas 47,8%.
<http://repository.usu.ac.id> (Diakses tanggal 25 April 2016).

Penelitian yang dilakukan oleh Mesranti, di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2006 – 2008 terdapat 148 kasus Meningitis dan 71 kasus mengalami kematian (CFR=47,1%) dengan jumlah penderita Meningitis Purulenta 63 orang (42,6%), sedangkan penderita Meningitis Serosa 85 orang (57,4%). Penderita paling banyak pada usia 0 – 5 tahun yaitu 56 orang (37,8%) (Mesranti, 2009).

Berdasarkan data dari ruang rawat inap Tulip II A (ruang anak) Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin pada tahun 2016 dari bulan Januari-Maret, kasus Meningitis pada anak berjumlah 5 orang. (Rekam Medik Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin 2016).

          Berdasarkan fenomena di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji secara komprehensif pada klien dengan penyakit Meningitis dan memberikan Asuhan Keperawatan secara komprehensif, penulis ingin menganalisis  penyebab dari penyakit Meningitis yang terjadi pada anak yang disusun dalam sebuah Karya Tulis Ilmiah dengan judul Asuhan Keperawatan Meningitis Pada An. L di ruang anak gedung Tulip II A Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin.  Karena penyakit Meningitis penyakit yang berbahaya bagi anak yang dapat menimbulkan komplikasi terjadinya ketulian, kebutaan, efusi subdural, peningkatan Hormon Anti Deuritik (ADH), perkembangan terlambat atau gangguan intelektual, hidrosefalus, edema serebri, gangguan kejang kronis, paresis otot-otot wajah dan kecacatan apabila keterlambatan dalam pengobatan serta dapat mengakibatkan kematian. Adapun pengobatan pada penyakit Meningitis yang terjadi pada anak sebagai berikut: Isolasi, antibiotika yang diberikan berdasarkan pada hasil kultur, diberikan dengan dosis tinggi melalui intravena, mengatasi kekurangan cairan dan mencegah kelebihan cairan yang dapat menyebabkan edema, mengontrol kejang, mempertahankan ventilasi. Dengan pendekatan bio, psiko, sosial dan spiritual berdasarkan proses keperawatan agar klien dapat dirawat secara optimal. Diharapkan dengan diberikannya Asuhan Keperawatan pada klien dengan Meningitis secara komprehensif dapat membantu perawatan klien, kesembuhan dan meningkatkan kemandirian klien selama dirawat di Rumah Sakit.
                            

BAB 2
TINJAUAN TEORITIS


2.1  Tinjauan Teoritis Meningitis
       2.1.1    Anatomi dan Fisiologi Persyarafan



(Sumber : https://www.google.com/anatomi-otak/diakses Tanggal 12 April 2016 Pukul 16.00 WITA).

Pembagian susunan saraf pusat:
2.1.1.1   Medula Spinalis
Bagian susunan saraf pusat yang terletak dalam kanalis vertebralis bersama ganglion radiks posterir yang terdapat pada setiap foramen intervertebratalis terletak berpasangan kiri dan kanan. Organ ini mengurus persarafan tubuh, anggota badan serta bagian kepala. Dimulai dari bagian bawah medula oblongata setinggi korpus vertebra servikalis I, memanjang sampai ke korpus vertebra (Syaifuddin, 2006).
Dalam medula spinalis keluar 31 pasang saraf, terdiri dari:
a.         Servikal: 8 pasang
b.         Torakal: 12 pasang
c.         Lumbal: 5 pasang
d.        Sakral: 5 pasang
e.         Koksigal: 1 pasang
Menurut Syaifuddin, (2006) fungsi medula spinalis sebagai berikut:
a.         Pusat gerakan otot-otot tubuh terbesar di kornu motorik atau kornu ventralis
b.         Mengurus kegiatan refleks-refleks spinalis serta refleks lutut
c.         Menghantarkan ransangan koordinasi dari otot dan sendi ke serebelum
d.        Sebagai penghubung antar segmen medula spinalis
e.         Mengadakan komunikasi antara otak dan semua bagian tubuh
                   2.1.1.2   Otak (Brain)
Otak merupakan alat tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat komputer dari semua alat tubuh. Otak merupakan bagian dari syaraf sentral yang terletak di dalam rongga tengkorak (kranium) dibungkus oleh selaput otak yang kuat (Syaifuddin, 2006).
a.         Meningen
Meningen adalah selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang belakang, melindungi struktur saraf halus yang membawa pembuluh darah dan cairan sekresi (cairan serebrospinalis), memperkecil benturan atau getaran yang terdiri dari tiga lapisan (Syaifuddin, 2006).
1)        Dura mater (lapisan paling luar) adalah selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat. Dibagian tengkorak terdiri dari selaput tulang tengkorak dan dura mater propia dibagian dalam. Dura mater pada tempat tertentu mengandung rongga yang mengalirkan darah vena dari otak. Rongga ini dinamakan sinus longitudinal superior, terletak diantara kedua hemisper otak (Syaifuddin, 2006).
2)        Arakhnoid (lapisan tengah) merupakan selaput halus yang memisahkan dura mater dengan pia mater membentuk sebuah kantung atau balon berisi cairan otak yang meliputi seluruh susunan saraf sentral (Syaifuddin, 2006).
3)        Pia mater (lapisan dalam) merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak. Pia mater berhubungan dengan arakhnoid melalui struktur-struktur jaringan ikat yang disebut trabekel (Syaifuddin, 2006).

Pleksus koroid dibentuk oleh jaringan pembuluh darah kapiler otak tepi, bagian pia mater membelok ke dalam ventrikel dan menyalurkan ke serebrospinalis. Cairan serebrospinalis adalah hasil sekresi pleksus koroid, cairan ini bersifat alkali bening mirip plasma. Cairan ini disalurkan oleh pleksus koroid ke dalam ventrikel yang ada dalam otak, kemudian cairan masuk ke dalam kanalis sumsum tulang belakang dan ke dalam ruang subarakhnoid melalui ventrikularis (Syaifuddin, 2006).

Otak terletak dalam rongga kranium berkembang dari sebuah tabung yang mulanya memperlihatkan tiga gejala pembesaran otak awal (Syaifuddin, 2006).
a.         Otak depan menjadi hemisfer serebri, korpus striatum, talamus, serta hipotalamus
b.         Otak tengah, tegmentum, krus serebrium, korpus kuadrigeminus
c.         Otak belakang menjadi pons varoli, medula oblongata, dan serebelum.
                   2.1.1.3   Serebrum (otak besar)
Serebrum merupakan bagian terluas dan terbesar dari otak, berbentuk telur, mengisi penuh bagian depan atas rongga tengkorak masing-masing disebut fosa kranialis anterior atas dan fosa kranialis media, otak mempunyai dua permukaan yaitu permukaan atas dan bawah, kedua permukaan ini dilapisi oleh lapisan kelabu (zat kelabu) yaitu pada bagian korteks serebral dan zat putih terdapat pada bagian dalam yang mengandung serabut saraf (Syaifuddin, 2006).

Menurut Syaifuddin, (2006) pada otak besar ditemukan beberapa lobus, yaitu:
a.         Lobus frontalis adalah bagian dari serebrum yang terletak di depan ulkus sentralis
b.         Lobus parientalis terdapat di depan ulkus sentralis dan dibelakang oleh korako-oksipitalis
c.         Lobus temporalis terdapat di bawah lateral dari fisura serebralis dan di depan lobus oksipitalis
d.        Oksipitalis yang mengisi bagian belakang dari serebrum
                   2.1.1.4   Batang otak
Batang otak ke atas berhubungan dengan serebrum dan medula oblongata ke bawah dengan medula spinalis, serebrum melekat pada batang otak di bagian medula oblongata, pons varoli dan mesensefalon. Hubungan serebelum dengan medula oblongata disebut korpus retiformi, serebelum dengan pons varoli disebut brakium pontis, dan serebelum dengan mesensefalon disebut brakium konjung tiva (Syaifuddin, 2006).

Menurut Syaifuddin, (2006) batang otak terdiri dari:
a.         Diensefalon, bagian dari batang otak paling atas terdapat diantara serebelum dengan mesensefalon. Kumpulan dari sel saraf yang terdapat dibagian depan lobus temporalis terdapat kapsula interna dengan sudut menghadap ke samping. Fungsi dari diensefalon terdiri dari:
1)        Vasokonstriktor, mengecilkan pembuluh darah
2)        Respiratori, membantu proses persarafan
3)        Mengontrol kegiatan refleks
4)        Membantu kerja jantung
b.         Mesensefalon, mesensefalon terdiri dari empat bagian yang menonjol ke atas, dua disebelah atas disebut korpus kuadrigeminus superior dan dua disebelah bawah disebut korpus kuadrigeminus inferior. Fungsi mesensefalon terdiri dari:
1)        Membantu pergerakan mata dan mengangkat kelopak mata
2)        Memutar mata dan pusat pergerakan mata
c.         Pons varoli, brakium pontis yang menghubungkan mesensefalon dengan pons varoli dengan serebelum, terletak di depan serebelum diantara otak tengah dan medula oblongata, disini terdapat premotoksid yang mengatur gerakan pernapasan dan refleks. Fungsi pons varoli antara lain:
1)        Penghubung antara kedua bagian serebelum dan juga antara medula oblongata dengan sereblum
2)        Pusat saraf nervus trigeminus
d.        Medula oblongata merupakan bagian dari batang otak yang paling bawah yang menghubungkan pons varoli dengan medula spinalis. Fungsi medula oblongata antara:
1)        Mengontrol kerja jantung
2)        Mengecilkan pembuluh darah (vasokonstriktor)
3)        Pusat pernapasan
4)        Mengontrol kegiatan refleks
                   2.1.1.5   Serebelum (otak kecil)
Serebelum terletak pada bagian bawah dan belakang tengkorak dipisahkan dengan serebrum oleh fisura transversalis dibelakangi oleh pons varoli dan diatas medula oblongata. Organ ini banyak menerima serabut aferen sensoris, merupakan pusat koordinasi dan integrasi (Syaifuddin, 2006).

Bentuk serebelum oval, bagian yang mengecil pada sentral disebut vermis dan bagian yang melebar pada lateral disebut hemisfer. Serebelum berhubungan dengan batang otak melalui pendunkulus serebri inferior (korpus retiformi). Permukaan luar serebelum berlipat-lipat menyerupai serebelum tetapi lipatannya lebih kecil dan lebih teratur. Permukaan serebelum ini mengandung zat kelabu (Syaifuddin, 2006).

Korteks serebelum dibentuk oleh substansi grisea, terdiri dari tiga lapisan yaitu granular luar, lapisan purkinye, lapisan granular dalam. Serabut saraf yang masuk dan yang keluar dari serebrum harus melewati serebelum (Syaifuddin, 2006).
Tabel 2.1 Saraf Kranial

Urutan saraf
Nama saraf
Sifat saraf
Fungsi
I
Nervus Olfdaktorius
Sensorik
Hidung, sebagai alat penciuman
II
Nervus Optikus
Sensorik
Bola mata, untuk penglihatan
III
Nervus Okulomotoris
Motorik
Pergerakan bola mata dan mengangkat bola mata
IV
Nervus Troklearis
Motorik
Memutar mata dan pergerakan bola mata
V
Nervus Trigeminus
N. Oltalmus
N. Maksilaris
N. Mandibularis
Motorik & sensorik
Motorik & sensorik
Sensorik
Motorik & sensorik
Kulit kepala dan kelopak mata atas
Rahang atas, palatum dan hidung
Rahang bawah dan lidah
VI
Nervus abdusen
Motorik
Penggoyang sisi mata
VII
Nervus Fasialis
Motorik & sensorik
Otot lidah, menggerakan lidah dan selaput lendir rongga mulut
VIII
Nervus auditorius
Sensorik
Telinga, rangsangan pendengaran
IX
Nervus glosofaringeus
Sensorik & motorik
Faring, tonsil dan lidah, rangsangan citra rasa
X
Nervus vagus
Sensorik & motorik
Faring, laring, paru-paru dan esopagus
XI
Nervus asesorius
Motorik
Leher, otot leher
XII
Nervus hipoglosus
Motorik
Lidah, citra rasa, dan otot lidah

         (Sumber: Syaifuddin, 2006)

       2.1.2    Definisi
Meningitis adalah suatu infeksi purulen lapisan otak yang pada orang dewasa biasanya hanya terbatas didalam ruang subaraknoid, namun pada bayi cenderung meluas sampai kerongga subdural sebagai suatu efusi atau empiema subdural (leptoMeningitis), atau bahkan kedalam otak (meningoensefalitis) (Nurarif dan kusuma, 2013).

Meningitis adalah inflamasi lapisan disekeliling otak dan medulla spinalis yang disebabkan oleh bakteri atau virus. Meningitis diklasifikasikan sebagai Meningitis septik dan aseptik, bentuk aseptik merupakan dampak primer atau sekunder dari limfoma, leukimia, atau HIV. Bentuk aseptik disebabkan oleh bakteri seperti Sterptococcus Pneumoniae dan Neiseria Meningitidis (Brunner dan Sudarth, 2013).

Meningitis adalah terjadinya inflamasi pada otak dan meningen medula spinalis yang dapat menyerang tiga membran (dura mater, membran araknoid, dan pia meter) (Wolters Kluwer, 2011).

Meningitis adalah inflamasi akut pada meningens. Organisme penyebab Meningitis bakterial memasuki area secara langsung sebagai akibat cidera traumatik atau secara tidak langsung bila dipindahkan dari tempat lain didalam tubuh ke dalam cairan serebrospinal (CSS). Berbagai agens dapat menimbulkan inflamasi pada meningens termasuk bakteri, virus, jamur, dan zat kimia (Cecily, 2009).

Meningitis merupakan inflamasi akut, perkembangan terapi antimikroba telah memberikan efek yang nyata pada perjalanan proknosis penyakit, walaupun menggunakan vaksin konjugat melawan Haemophilus  influenza tipe B (vaksin Hib) (Dona L. Wong, 2008).

Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal colum yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi, 2008).

Berdasarkan penjelasan pengertian Meningitis diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa Meningitis adalah peradangan pada selaput otak atau meningen, bisa terjadi infeksi purulen lapisan otak, cairan serebrospinal dan spinal colum.
       2.1.3    Etiologi
Menurut Nurarif dan Kusuma, (2013) Meningitis terjadi karena beberapa faktor:
2.1.3.1   Pada orang dewasa, bakteri penyebab tersering adalah diplococcus pneumonia dan neiseria meningitidis, stafilokokus, dan gram negatif.
2.1.3.2   Pada anak-anak bakteri tersering adalah hemophylus influenza, neiseria meningitidis, diplococcus pneumonia (Nurarif dan kusuma, 2013).

Menurut Suriadi, (2008) Meningitis terjadi karena beberapa faktor:
2.1.3.1   Faktor predisposisi: jenis kelamin: laki-laki lebih sering dibandingkan dengan wanita.
2.1.3.2   Faktor maternal: ruftur membran fetal, infeksi maternal pada minggu terakhir kehamilan.
2.1.3.3   Faktor imunologi: defisiensi mekanisme imun, defisiensi mekanisme imunoglobulin, anak yang terdapat obat-obatan imunosupresi.
2.1.3.4   Anak-anak dengan kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injuri yang berhubungan dengan sistem persarafan.

Menurut Lewis, R., (2008) Meningitis terjadi karena faktor diantaranya:
2.1.3.1   Bakteri; haemophilus influenza (tipe b), streptococcus pneumoniae, nesseria Meningitis, hemolytic streptococcus, staphilococcus aureu, dan ecoli.
       2.1.4    Klasifikasi
Menurut Suriadi, (2008) Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak yaitu:
2.1.4.1   Meningitis Serosa adalah radang selaput otak pada araknoid dan pia meter yang disertai cairan otak yang jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa dan lainnya (lues Virus, Toxoplasma gondhi dan Ricketsia).
2.1.4.2   Meningitis Purulenta adalah radang bernanah pada arakhnoid dan pia meter meliputi otak dan medula spinalis. Penyebabnya antara lain: Diplococcus pneumoniae, Neisseria Meningitis, Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa.
       2.1.5    Patofisiologi
                   Menurut Suriadi, (2008) Patofisiologi sebagai berikut:
                   2.1.5.1   Efek peradangan akan menyebabkan peningkatan cairan cerebro spinalis yang dapat menyebabkan obstruksi dan selanjutnya terjadi hidrosefalus dan peningkatan tekanan intra kranial. Efek patologi dari peradangan tersebut adalah: hiperemi pada meningen. Edema dan eksudasi yang kesemuaannya menyebabkan Tekanan Intra Kranial (TIK).
                   2.1.5.2   Organisme masuk melalui sel darah merah pada blood brain barrier. Masuknya dapat melalui trauma penetrasi, prosedur pembedahan, atau pecahnya abses serebral atau kelainan sistem saraf pusat. Otorhea atau rhinorrhea akibat fraktur dasar tengkorak dapat menimbulkan Meningitis, dimana terjadi hubungan antara CSF dan dunia luar.
                   2.1.5.3   Masuknya mikroorganisme kesusunan saraf pusat melalui ruangan sub-aracnoid dan menimbulkan respon peradangan pada via, arachnoid, CSF dan ventrikel.
                   2.1.5.4   Dari reaksi radang muncul eksudat dan perkembangan infeksi pada ventrikel, edema dan jaringan sekeliling ventrikel menyebabkan obstruksi pada CSF dan menimbulkan hidrosefalus.
                   2.1.5.5   Meningitis bakteri: netrofil, monosit dan yang lainnya merupakan sel respon radang. Eksudat terdiri dari bakteri fibrin dan lekosit yang dibentuk diruang subarachnoid. Penumpukan pada CSF akan bertambah dan mengganggu aliran CSF disekitar otak dan medulla spinalis. Terjadi vasodilatasi yang cepat dari pembuluh darah dapat menimbulkan ruptur atau trombosis dinding pembuluh darah dan jaringan otak dapat menjadi infarct.
                   2.1.5.6   Meningitis virus sebagai akibat dari penyakit virus seperti meales, mump, herpes simplek dan herpes zoster. Pembentukan eksudat pada umumnya tidak terjadi dan tidak ada mikroorganisme pada kultur CSF.






       2.1.6    Manifestasi Klinis
Menurut Cecily, (2009) manifestasi klinis Meningitis dibedakan berdasarkan umur antara lain:
2.1.6.1   Neonatus
a.         Suhu dibawah normal
b.         Demam biasanya derajat rendah
c.         Pucat
d.        Letargi
e.         Rewel
f.          Kurang makan dan kurang mengisap
g.         Muntah
h.         Kejang
i.           Tonus buruk
j.           Diare dan muntah
k.         Fontanel menonjol
l.           Opistotonus
2.1.6.2   Bayi dan anak kecil
a.         Letargi
b.         Iritabilitas
c.         Pucat
d.        Anoreksia
e.         Mual dan muntah
f.          Sering menangis
g.         Peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK)
h.         Peningkatan lingkar kepala
i.           Fontanel menonjol
j.           Kejang
k.         Sunset eyes 
                   2.1.6.3   Anak-anak
a.         Sakit kepala
b.         Demam
c.         Muntah
d.        Iritabilitas
e.         Fotopobia
f.          Kaku kuduk
g.         Tanda kernig dan brudzinski positif
h.         Opistotonus
i.           Petekie (Meningitis H, influenzae dan meningokokus)
j.           Septikemia
k.         Syok
l.           Koagulasi intravaskular diseminata (DIC)
m.       Konfusi
n.         Kejang
       2.1.7    Pemeriksaan diagnostik
                   Pemeriksaan yang dapat dilakukan menurut Nurarif dan Kusuma, (2013):
                   2.1.7.1   Fungsi lumbal dan kiltur CSS
a.         Jumlah leokosit (CBC) meningkat
b.         Kadar glukosa darah menurun
c.         Protein meningkat
d.        Tekanan cairan meningkat
e.         Asam laktat meningkat
f.          Glukosa serum meningkat
g.         Identifikasi organisme penyebab
                   2.1.7.2   Kultur darah, untuk menetapkan organisme penyebab
                   2.1.7.3   Kultur urine, untuk menetapkan organisme penyebab
                   2.1.7.4   Kultur nasofaring, untuk menetapkan organisme penyebab
                   2.1.7.5   Elektrolit serum, meningkat jika anak dehidrasi; Na + naik dan K+ turun.
                   2.1.7.6   Osmolaritas Urine Meningkat dengan sekresi ADH.

                   Pemeriksaan yang dapat dilakukan menurut Kluwers Wolters, (2011):
                   2.1.7.1   Hitung leukosit menunjukan leukositosis
                   2.1.7.2   Kultur darah menunjukan hasil yang positif terhadap Meningitis bakteri, tergantung pada patogen.

                   Pemeriksaan yang dapat dilakukan menurut Suriadi, (2008):
                   2.1.7.1   Fungsi lumbal: tekanan cairan meningkat, jumlah sel darah putih meningkat, glukosa menurun, protein meningkat.
                   2.1.7.2   Kultur darah
                   2.1.7.3   Kultur swab hidung dan tenggorokan.
       2.1.8    Komplikasi
                   Komplikasi pada penyakit Meningitis menurut Kluwers Wolters, (2011):
                   2.1.8.1   Gangguan penglihatan; neuritis optik
                   2.1.8.2   Paralisis saraf kranial; tuli
                   2.1.8.3   Paresis atau paralisis
                   2.1.8.4   Endokarditis
                   2.1.8.5   Koma
                   2.1.8.6   Vaskulitis
                   2.1.8.7   Infark serebral
                   2.1.8.8   Kejang

                   Komplikasi pada penyakit Meningitis menurut Cecily, (2009):
                   2.1.8.1   Dapat mengakibatkan ketulian
                   2.1.8.2   Terjadi ke butaan
                   2.1.8.3   Efusi subdural
                   2.1.8.4   Peningkatan Hormon Anti Deuritik (ADH)
                   2.1.8.5   Perkembangan terlambat atau gangguan intelektual
                   2.1.8.6   Hidrosefalus
                   2.1.8.7   Edema serebri
                   2.1.8.8   Gangguan kejang kronis
                   2.1.8.9   Paresis otot-otot wajah

                   Komplikasi pada penyakit Meningitis menurut Suriadi, (2008):
                   2.1.8.1   Hidrosefalus obstuktif
                   2.1.8.2   Meningococcal septicemia (mengingocemia)
                   2.1.8.3   Sindrome Water Friderichsen (septik syok, DIC, perdarahan adrenal bilateral)
                   2.1.8.4   SIADH (Syndrome Inappropriate Antidiuretic Hormone)
                   2.1.8.5   Efusi subdural
                   2.1.8.6   Kejang
                   2.1.8.7   Edema dan herniasi serebral
                   2.1.8.8   Cerebral palsy
                   2.1.8.9   Gangguan mental
                   2.1.8.10 Gangguan belajar
       2.1.9    Penatalaksanaan
                   Penatalaksanaan pada penyakit Meningitis menurut Suriadi, (2008):
                   2.1.9.1   Isolasi
                   2.1.9.2   Terapi antimikroba: antibiotik yang diberikan berdasarkan pada hasil kultur, diberikan dengan dosis tinggi melalui intravena.
                   2.1.9.3   Mempertahankan hidrasi optimum: mengatasi kekurangan cairan dan mencegah kelebihan cairan yang dapat menyebabkan edema.
                   2.1.9.4   Mencegah komplikasi: aspirasi efusi subdural (pada bayi), terapi heparin pada anak yang mengalami DIC
                   2.1.9.5   Mengontrol kejang: pemberian terapi epilepsi
                   2.1.9.6   Mempertahankan ventilasi
                   2.1.9.7   Mengurangi meningkatnya Tekanan Intra Kranial (TIK)
                   2.1.9.8   Penatalaksanaan Syok bakterial
                   2.1.9.9   Mengontrol perubahan suhu lingkungan yang ekstrim
                   2.1.9.10 Memperbaiki anemia
       2.1.10  Prognosis 
                   Prognosis pada anak yang menderita Meningitis tergantung pada usia anak, tipe organisme penyebab, dan kerusakan neurologik residual. Pada anak yang dikategorikan masih kecil, berusia kurang dari 2 tahun, dapat menunjukan peningkatan disabilitas neurologik antara lain kesulitan belajar dan bisa terjadi kejang pada anak (Dona L. Wong, 2008).

2.2  Tinjauan Teoritis Asuhan Keperawatan Meningitis
       2.2.1    Pengkajian
                   Pengkajian Asuhan keperawatan menurut Nurarif dan Kusuma, (2013):
                   2.2.1.1   Riwayat Keperawatan: riwayat kelahiran, penyakit kronis, neoplasma riwayat pembedah pada otak, dan cidera kepala.
                   2.2.1.2   Pada neonatus: kaji adanya perilaku menolak untuk makan, reflek mengisap kurang, muntah atau diare, tonus otot kurang, kurang gerak dan menangis lemah.
                   2.2.1.3   Pada anak-anak dan remaja: kaji adanya demam tinggi, sakit kepala, muntah yang diikuti dengan perubahan sensori, kejang mudah terstimulasi dan teragitasi, fotofobia, delirium, halusinasi, perilaku agresif atau maniak, penurunan kesadaran, kaku kuduk, opistotonus, tanda kernig dan brudzinsky positif, reflek fisiologis hiperaktif, ptechiae atau pruritus.
                   2.2.1.4   Bayi dan anak-anak (usia 3 bulan hingga 2 tahun): kaji adanya demam, malas makan, muntah, mudah terstimulasi, kejang, menangis dan merintih, ubun-ubun menonjol, kaku kuduk, dan tanda kernik dan brundzinksy positif.

                   Pengkajian Asuhan keperawatan menurut Muttaqin, (2008):
                   2.2.1.1      Anamnesa
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien atau orang tua membawa anaknya untuk meminta pertolongan kesehatan adalah panas badan tinggi, kejang, dan penurunan tingkat kesadaran.
                   2.2.1.2      Riwayat penyakit saat ini
Faktor riwayat sangat penting diketahui untuk mengetahui jenis kuman penyebab. Harus diantanya dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Pada pengkajian klien Meningitis, biasanya didapatkan keluhan yang berhubungan dengan akibat dari infeksi dan peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK).

Keluhan gejala awal tersebut biasanya sakit kepala dan demam. Sakit kepala dihubungkan dengan Meningitis yang selalu berat dan sebagai akibat iritasi meningen. Demam umumnya ada dan tetap tinggi selama perjalanan penyakit. Keluhan kejang perlu mendapat perhatian untuk dilakukan pengkajian lebih mendalam, bagaimana sifat timbulnya kejang, stimulus apa yang sering menimbulkan kejang, dan tindakan apa yang telah diberikan dalam upaya menurunkan keluhan kejang tersebut.

Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan Meningitis bakteri. Disorientasi dan gangguan memori biasanya merupakan awal adanya penyakit. Perubahan yang terjadi bergantung pada beratnya penyakit, demikian pula respons individu terhadap proses fisiologis. Keluhan perubahan perilaku umum terjadi, sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif dan koma. Pengkajian lainya yang perlu ditanyakan seperti riwayat selama menjalani perawatan di Rumah Sakit pernahkah menjalani perawatan di Rumah Sakit, pernahkah menjalani tindakan infasif yang memungkinkan masuknya kuman ke meningen terutama melalui pembuluh darah.
                   2.2.1.3      Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi: pernahkah klien mengalami infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, anemia sel sabit dan hemoglobin nopatis lain, tindakan bedah saraf, riwayat trauma kepala, dan adanya pengaruh imunologis pada masa sebelumnya. Riwayat sakit Tuberculosis paru perlu ditanyakan pada klien terutama apabila ada keluhan batuk produktif dan pernah menjalani pengobatan obat anti Tuberculosis yang sangat berguna untuk mengidentifikasi Meningitis Tuberkulosa. Pengkajian pemakaian obat-obatan yang sering digunakan klien, seperti pemakaian obat kortikosteroit, pemakaian jenis-jenis antibiotik dan reaksinya (untuk menilai resistensi pemakaian antibiotik) dapat menambah komprehensifnya pengkajian. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.
                   2.2.1.4      Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien Meningitis meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Sebagian besar pengkajian ini dapat diselesaikan melalui interaksi menyeluruh dengan klien dalam pelaksanaan pengkajian lain dengan memberi pertanyaan dan tetap melakukan pengawasan sepanjang waktu untuk menentukan kelayakan ekspresi emosi dan fikiran. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga maupun masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidak mampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa digunakan klien selama masa stress meliputi kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui dan perubahan perilaku akibat stress.

Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini memberi dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit. Perawat juga memasukan pengkajian terhadap fungsi neorologis dengan dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri atas dua masalah, yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh defisit neurologis dalam hubungannya dengan peran sosial klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada gangguan neurologis didalam sistem dukungan individu.

Pada pengkajian klien anak, perlu diperhatikan dampak hospitalisasi pada anak. Anak dengan Meningitis sangat rentan terhadap tindakan invasif yang sering dilakukan untuk mengurangi keluhan, hal ini menyebabkan anak stress dan kurang kooperatif terhadap tindakan keperawatan dan medis. Pengkajian psikososial yang terbaik dilaksanakan saat mengobservasi anak-anak bermain atau selama berinteraksi dengan orang tua. Anak-anak sering kali tidak mampu untuk mengekspresikan perasaan mereka dan cenderung untuk memperlihatkan masalah mereka melalui tingkah laku.
                   2.2.1.5      Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara persistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan B3 yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.

Pemeriksaan fisik dimulai dengan memeriksa Tanda-Tanda Vital (TTV). Pada klien Meningitis biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh lebih dari normal yaitu 38-41°C, dimulai dari fase sistemik, kemerahan, panas, kulit kering, berkeringat. Keadaan ini biasanya dihubungkan dengan proses inflamasi dan iritasi meningen yang sudah mengganggu pusat pengaturan suhu tubuh. Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan tanda-tanda peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK). Apabila disertai peningkatan frekuensi pernafasan sering berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan adanya infeksi pada sistem pernafasan sebelum mengalami Meningitis. Tekanan darah biasanya normal atau meningkat karena tanda-tanda peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK).
a.         B1 (Breathing)
Insfeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan yang sering didapatkan pada klien Meningitis yang disertai adanya gangguan pada sistem pernapasan. Palpasi thorak hanya dilakukan apabila terdapat deformitas pada tulang dada pada klien dengan efusi pleura massif (jarang terjadi pada klien dengan Meningitis). Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan Meningitis Tuberkulosa dengan penyebaran primer dari paru.
b.        B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler terutama dilakukan pada klien Meningitis pada tahap lanjut seperti apabila klien sudah mengalami renjatan (syok). Infeksi fulminating terjadi pada sekitar 10% klien dengan Meningitis meningokokus, dengan tanda-tanda septicemia: demam tinggi yang tiba-tiba muncul, lesi purpura yang menyebar (sekita wajah dan ekstremitas), syok, dan tanda-tanda koagulasi intravaskuler di seminata (disseminated intravascular coagulation-DIC). Kematian mungkin terjadi dalam beberapa jam setelah serangan infeksi.
c.         B3 (Brain)
Merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.

d.        B4 (Bladder)
       Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume keluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
e.         B5 (Bowel)
       Mual sampai muntah karena peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien Meningitis karena anoreksia dan adanya kejang.
f.         B6 (Bone)
       Adanya bengkak dan nyeri pada sendi-sendi besar (khususnya lutut dan pergelangan kaki). Petekia dan lesi purpura yang didahului oleh ruam. Pada penyakit yang berat dapat ditemukan ekimosis yang berat pada wajah dan ekstremitas. Klien sering mengalami penurunan kekuatan otot dan kelemahan fisik secara umum sehingga mengganggu aktivitas hidup sehari-hari.
                   2.2.1.6      Tingkat kesadaran
Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan parameter yang paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat kesadaran klien dan respon terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persyarafan. Beberapa sistem digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan kesadaran.
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien Meningitis biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien sudah mengalami koma maka penilaian tingkat kesadaran sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk memantau pemberian asuhan keperawatan.
                   2.2.1.7      Fungsi serebri
                                 Status mental: observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah serta aktivitas motorik klien Meningitis untuk tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan.
                 2.2.1.8      Pemeriksaan saraf kranial
                                 Saraf 1: biasanya pada klien Meningitis tidak ada kelainan fungsi dan penciuman tidak ada kelainan. Saraf II: Tes kemampuan ketajaman penglihatan pada kondisi normal. Pemeriksaan papolidema mungkin didapatkan terutama pada Meningitis supuratif disertai abses serebri dan efusi subdural yang menyebabkan terjadinya peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK) berlangsung lama. Saraf III, saraf IV, dan saraf VI: Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil pada klien Meningitis yang tidak disertai penurunan kesadaran biasanya tanpa kelainan. Pada tahap lanjut Meningitis yang telah mengganggu kesadaran, tanda-tanda perubahan dari fungsi dan reaksi pupil akan didapatkan. Dengan alasan yang tidak diketahui, klien Meningitis mengeluh mengalami fotofhobia atau sensitif yang berlebihan terhadap cahaya. Saraf V: Pada klien Meningitis umumnya tidak didapatkan paralisis pada otot wajah dan refleks kornea biasanya tidak ada kelainan. Saraf VII: persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris. Saraf VIII: tidak adanya tuli konduktif dan tuli persepsi. Saraf IX dan Saraf X: kemampuan menelan baik. Saraf XI: tidak ada atrofi otot. Adanya usaha dari klien untuk melakukan fleksi leher dan kaku kuduk. Saraf XII: lidah simetris, tidak ada deviasi satu sisi dan tidak ada fakulasi, indra pengecap normal.
                 2.2.1.9      Sistem motorik
                                 Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan koordinasi pada Meningitis tahap lanjut mengalami perubahan.
                 2.2.1.10    Pemeriksaan refleks
                                 Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respons normal. Refleks patologis akan didapatkan pada klien Meningitis dengan tingkat kesadaran koma. Adanya refleks babinski positif merupakan tanda adanya lesi.
                 2.2.1.11    Gerakan involunter
                                 Tidak ditemukan adanya tremor, kedutan saraf, dan distonia. Pada keadaan tertentu klien biasanya mengalami kejang umum, terutama pada anak dengan Meningitis disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Kejang dan peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK) juga berhubungan dengan Meningitis. Kejang terjadi sekunder akibat area vokal kortikal yang peka.
                 2.2.1.12    Sistem sensorik
                                 Pemeriksaan sensorik biasanya pada klien Meningitis didapatkan sensasi raba, nyeri, dan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal dipermukaan tubuh. Sensasi proprioseptif dan diskriminatif normal.

                                 Pemeriksaan fisik lainnya terutama yang berhubungan dengan peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK). Tanda-tanda peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK) sekunder akibat eksudat purulent dan edema serebri terdiri atas perubahan karakteristik Tanda-Tanda Vital (TTV) melebarnya tekanan pulsa dan bradikardi, pernafasan tidak teratur, sakit kepala, muntah, dan penurunan tingkat kesadaran.

                                 Adanya ruam merupakan salah satu ciri yang terjadi pada Meningitis meningokokal. Klien dengan Meningitis mengalami lesi-lesi pada kulit diantaranya ruam petekia dengan lesi purpura sampai ekimosis pada daerah yang luas.

                                 Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda yang mudah dikenali yang umumnya terlihat pada semua tipe Meningitis. Tanda tersebut adalah rigiditas nukal, tanda kernik dan adanya tanda brundzinski. Kaku kuduk adalah tanda awal. Adanya upaya untuk fleksi kepala mengalami kesukaran karena adanya spasme otot-otot leher. Fleksi paksaan yang dilakukan akan menyebabkan nyeri berat.
                 2.2.1.13    Pengkajian pada anak
                                 Pengkajian yang didapatkan pada anak tergantung pada usia anak dan luasnya penyebaran infeksi dimeningen. Hal lain yang mempengaruhi klinis pada anak adalah tipe organisme yang menginvasi meningen dan seberapa besar keefektifan pemberian terapi, dalam hal ini adalah jenis antibiotik yang dipakai sangat berpengaruh terhadap gejala klinis pada anak. Untuk memudahkan penilaian klinis, gejala Meningitis pada anak dibagi menjadi tiga meliputi anak, bayi, dan neonatus.

                                 Pada anak, manifestasi klinisnya adalah timbul sakit secara tiba-tiba, adanya demam, sakit kepala, panas dingin, muntah, dan kejang. Anak menjadi cepat rewel dan agitasi serta dapat berkembang menjadi fotofobia, delirium, halusinasi, tingkah laku yang agresif atau mengamuk, stupor, dan koma. Gejala atau gangguan pada pernafasan dan gangguan gastrointestinal seperti sesak nafas, muntah, dan diare. Tanda yang khas adalah adanya tahanan pada kepala jika difleksikan, kaku leher, tanda kernik dan brudzinski positif. Akibat perfusi yang tidak optimal biasanya memberikan tanda  klinis seperti kulit dingin dan sianosis. Gejala lain yang lebih spesifik seperti petekia atau purpura pada kulit sering didapatkan apabila anak mengalami infeksi meningokokus, keluarnya cairan dari telinga merupakan gejala khas pada anak yang mengalami Meningitis dan sinus dermal kongenital terutama disebabkan oleh infeksi E. coli.

                                 Pada bayi, manifestasi klinis biasanya terlihat pada umur 2 bulan sampai 2 tahun dan sering ditemukan adanya demam, nafsu makan menurun, muntah, rewel, mudah lelah, kejang, dan menangis. Tanda khas dikepala adalah fontanel menonjol. Kaku kuduk merupakan tanda Meningitis, sedangkan tanda-tanda brudzinski dan kernik dapat terjadi namun lambat atau ada pada kasus Meningitis tahap lanjut.

                                 Pada neonatus, biasanya masih sukar untuk diketahui karena manifestasi klinisnya tidak jelas dan tidak spesifik, namun ada beberapa gejala mempunyai kemiripan dengan anak yang lebih besar, neonatus biasanya menolak untuk makan, kemampuan untuk menetek buruk, gangguan gastrointestinal berupa muntah dan kadang-kadang ada diare. Tonus otot lemah, pergerakan dan kekuatan menangis lemah. Pada kasus tersebut terjadi  hipotermia, ikterus, rewel, mengantuk, kejang, frekuensi nafas tidak teratur, sianosis, penurunan berat badan, tanda fontanel menonjol mungkin ada atau tidak. Leher fleksibel, yaitu tidak didapatkan kaku kuduk. Pada fase yang lebih berat terjadi kolaps kardiovaskuler, kejang, dan apnea bisanya terjadi bila tidak diobati atau tidak dilakukan tindakan yang cepat.
       2.2.2    Diagnosa keperawatan
                   Menurut buku NANDA NIC-NOC diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada Meningitis yaitu:
                   2.2.2.1   Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan edema serebral atau penyumbatan aliran darah
                   2.2.2.2   Nyeri akut berhubungan dengan proses infeksi
                   2.2.2.3   Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan neuromuskuler
                   2.2.2.4   Risiko cidera berhubungan dengan kejang
                   2.2.2.5   Risiko infeksi berhubungan dengan daya tahan tubuh berkurang
                   2.2.2.6   Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
                   2.2.2.7   Ketidakefektifan pola nafas
                   2.2.2.8   Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
                   2.2.2.9   Kekurangan volume cairan
                   2.2.2.10 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
                   (Nurarif dan Kusuma, 2013).
       2.2.3    Intervensi Keperawatan
                   2.2.3.1   Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan edema serebral atau penyumbatan aliran darah
                                 Tujuan: setelah dilakukan tindakan selama proses keperawatan diharapkan tidak terjadi ketidakefektifan perfusi jaringan otak.
                                 Kriteria hasil:
a.         Tidak terjadi ketidakefektifan perfusi jaringan otak
b.         TTV dalam batas normal
c.         Tidak terjadi edema serebral
Intervensi:
a.         Kaji keadaan perkembangan klien
Rasional: mengetahui bagaimana perkembangan klien setelah pengkajian awal
b.         Observasi TTV
Rasional: mengetahui keadaan umum klien
c.         Atur posisi klien senyaman mungkin
Agar klien merasa nyaman dan dapat beristirahat
d.        Anjurkan keluarga agar selalu berada menemani klien didalam ruangan
Rasional: agar ada yang menemani klien didalam ruangan
e.         Kolaborasi dengan tim medis yang lain
Rasional: untuk mempercepat proses penyembuhan
                   2.2.3.2   Nyeri akut berhubungan dengan proses infeksi
                                 Tujuan: setelah dilakukan tindakan selama proses keperawatan diharapkan tidak terjadi nyeri
                                 Kriteria hasil:
a.         Skala nyeri 1-0
b.         Klien tidak mengeluh nyeri
c.         TTV dalam batas normal
d.        Klien dapat senyum dan tidak meringis
Intervensi:
a.         Kaji skala nyeri kualitas dan lokasi nyeri
Rasional: mengetahui skala kualitas dan lokasi nyeri
b.         Observasi TTV
Rasional: mengetahui keadaan umum dan perkembangan klien
c.         Atur posis senyaman mungkin
Rasional: agar klien dapat rileks dan merasa nyaman
d.        Berikan teknik relaksasi nafas dalam
Rasional: agar mengurangi rasa nyeri
e.         Ajarkan keluarga cara melakukan teknik relaksasi nafas dalam pada klien
Rasional: agar keluarga bisa melakukan teknik relaksasi pada pasien secara mandiri
f.          Kolaborasi dengan tim medis yang lain
Rasional: mempercepat penyembuhan nyeri yang terjadi pada klien
                   2.2.3.3   Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan neuromuskuler
                                 Tujuan: setelah dilakukan tindakan selama proses keperawatan diharapkan hambatan mobilitas fisik dapat teratasi.
                                 Kriteria hasil:
a.         Klien dapat beraktivitas secara mandiri
b.         Tidak ada keterbatasan gerak
c.         TTV dalam batas normal
d.        Skala aktivitas normal dengan hasil 5
Intervensi:
a.         Kaji skala aktivitas
Rasional: mengetahui keadaan skala aktivitas klien
b.         Observasi TTV
Rasional: mengetahui keadan umum dan perkembangan klien
c.         Berikan latihan rom
Rasional: membantu merelaksasi otot
d.        Ajarkan keluarga cara melakukan rom
Rasional: agar keluarga bisa melakukan rom pada klien secara mandiri
e.         Kolaborsi dengan tim medis
Rasional: mempercepat penyembuhan klien
                   2.2.3.4   Risiko cidera
Tujuan: setelah dilakukan tindakan selama proses keperawatan diharapkan risiko cidera tidak terjadi
Kriteria hasil:
a.         Klien terbebas dari cidera
b.         Klien mampu mengenali perubahan
c.         Klien mampu menjelaskan faktor risiko yang dapat menyebabkan cidera
Intervensi:
a.         Kaji kebutuhan keamanan klien
       Rasional: agar mencegah terjadinya risiko cidera
b.         Obsevasi TTV
       Rasional: mengetahui keadaan umum klien
c.         Berikan lingkungan yang aman pada klien
       Rasional: menghindari risiko cidera
d.        Pasang side rail tempat tidur
       Rasional: agar tidak terjadi cidera
e.         Anjurkan keluarga agar selalu menemani klien
       Rasional: agar keluarga dapat menjaga klien dengan baik
f.          Batasi pengunjung
       Rasional: mengurangi risiko cidera
                   2.3.3.5   Risiko infeksi
Tujuan: setelah dilakukan tindakan selama proses keperawatan diharapkan risiko infeksi tidak terjadi
Kriteria hasil:
a.         Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
b.         Menunjukan perilaku hidup sehat
c.         Menunjukan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
d.        Jumlah leokosit dalam batas normal
Intervensi:
a.         Kaji tanda dan gejala infeksi
       Rasional: mengetahui tanda dan gejala infeksi
b.         Observasi TTV
       Rasional: mengetahui keadaan dan perkembangan klien
c.         Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat
       Rasional: menghindari risiko infeksi
d.        Ajarkan pasien dan keluarga cara menghindari infeksi
       Rasional: agar infeksi tidak terjadi
e.         Kolaborasi dengan tim medis yang lain
       Rasional: menghindari risiko infeksi dan mempercepat proses penyembuhan
                   2.3.3.6   Hipertermia
Tujuan: setelah dilakukan tindakan selama proses keperawatan diharapkan hipertermia dapat teratasi
Kriteria hasil:
a.         Suhu tubuh dalam batas normal
b.         Klien tidak mengeluh panas pada tubuh
c.         TTV dalam batas normal
d.        Klien tidak mengeluh pusing
e.         Tidak ada perubahan pada warna kulit
Intervensi:
a.         Kaji keadaan suhu tubuh klien
       Rasional: mengetahui suhu tubuh klien
b.         Observasi TTV
       Rasional: mengetahui perkembangan dan keadaan klien
c.         Berikan kompres hangat
       Rasional: mengurangi panas pada tubuh
d.        Berikan teknik relaksasi nafas dalam, apabila klien mengalami pusing
       Rasional: mengurangi nyeri
e.         Ajarkan keluarga cara mengompres
       Rasional: agar keluarga bisa melakukan kompres pada klien secara mandiri
f.          Kolaborasi dengan tim medis yang lain
       Rasional: mempercepat proses penyembuhan panas
                   2.3.3.7   Ketidakefektifan pola nafas
Tujuan: setelah dilakukan tindakan selama proses keperawatan diharapkan Ketidakefektifan pola nafas tidak terjadi
Kriteria hasil:
a.         TTV dalam batas normal
b.         Klien tidak sesak
c.         Frekuensi dalam batas normal
d.        Tidak ada tanda sianosis
Intervensi:
a.         Kaji keadaan pola nafas
       Rasional: mengetahui keadaan nafas
b.         Observasi TTV
       Rasional: mengetahui keadaan umum klien
c.         Atur posisi
       Rasional: mengurangi sesak
d.        Beri oksigenasi
Rasional: membantu jalan nafas
e.         Auskultasi suara nafas
       Rasional: mengetahui bunyi nafas
                   2.3.3.8   Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
Tujuan: setelah dilakukan tindakan selama proses keperawatan diharapkan Ketidakefektifan bersihan jalan nafas dapat teratasi
Kriteria hasil:
a.         TTV dalam batas normal
b.         Tidak ada sekret pada jalan nafas
c.         Tidak ada bunyi nafas tambahan saat bernafas
d.        Klien tidak mengeluh sesak
Intervensi:
a.         Kaji keadaan nafas
       Rasional: mengetahui jalan nafas klien
b.         Observasi TTV
       Rasional: mengetahui keadaan umum klien
c.         Berikan O2 dengan menggunakan nasal kanul
       Rasional: membantu jalan nafas klien
d.        Ajarkan keluarga cara mengatur posisi
       Rasional: agar klien merasa nyaman dan membuka jalan nafas
e.         Kolaborasi dengan tim medis yang lain
       Rasional: tetap pertahankan jalan nafas
                   2.3.3.9   Kekurangan volume cairan
Tujuan: setelah dilakukan tindakan selama proses keperawatan diharapkan Kekurangan volume cairan dapat teratasi
Kriteria hasil:
a.         TTV dalam batas normal
b.         Tidak ada tanda dehidrasi
c.         Kebutuhan cairan dalam tubuh terpenuhi
Intervensi:
a.         Kaji keadaan kebutuhan cairan
       Rasional: mengetahui kebutuhan cairan tubuh klien
b.         Observasi TTV
       Rasional: mengetahui keadaan TTV klien
c.         Berikan cairan IV pada klien
       Rasional: untuk pemenuhan cairan dalam tubuh klien
d.        Dorong keluarga untuk pemberian makanan pada klien melalui oral
       Rasional: agar kebutuhan cairan dalam tubuh dapat terpenuhi
e.         Kolaborasi dengan tim medis yang lain
Rasional: Pemenuhan kebutuhan cairan tubuh pada klien
                   2.3.3.10 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Tujuan: setelah dilakukan tindakan selama proses keperawatan diharapkan Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh teratasi
Kriteria hasil:
a.         Kebutuhan nutrisi terpenuhi
b.         TTV dalam batas normal
c.         Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
Intervensi:
a.         Kaji pola makan klien
       Rasional: mengetahui keadaan pola makan klien
b.         Observasi TTV
       Rasional: Mengetahui keadaan umum
c.         Berikan makanan selagi hangat
       Rasional: agar nutrisi dapat terpenuhi
d.        Anjurkan klien makan sedikit tapi lebih sering
       Rasional: agar nutrisi tetap terpenuhi
e.         Kolaborasi dengan ahli gizi

       Rasional: untuk pemenuhan nutrisi pada klien


DAFTAR RUJUKAN


Betz, C. L & Sowden, L. A. (2009). Keperawatan Pediatri. Edisi 5. Jakarta: EGC.

Brunner & Suddarth. (2013). Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 12. Jakarta: EGC.

Lalani, A & Suzan, S. (2011). Kegawatdaruratan Pediatri. Jakarta: EGC

Lewis, R., dkk., (2008). Action For child Survival Elimination of  Haemophilus Influezae Type b Meningitis in Uganda. Bulletin of  The World Health Organization, Vol. 86, No. 4. Uganda

Mansjoer, A. (2011). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 2. Jakarta: EGC.
         
Mesranti. M. (2009). Karakteristik Penderita Meningitis Rawat Inap Di RSUP H. Adam Malik Medan. (Internet). Termuat dalam: <http://respository.usu.ac.id.pdf>  (Diakses tanggal 25 April 2016).
Muttaqin, A. (2008). Asuhakn Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Nurarif, A.H & Kusuma, H. (2012). Handbook Health Student. Yogyakarta: Media Action Publishing.

Nurarif, A.H & Kusuma, H. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Edisi Revisi. Jilid 2. Yogyakarta: Media Action.

Priharjo, R. (2006). Pengkajian Fisik Keperawatan Edisi 2. Jakarta: EGC

Suriadi & Yuliani, R. (2008). Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi 2. Jakarta: CV. Sagung Seto.

Syaifuddin. (2006). Anatomi & Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC.

Wilkinson, J., Nancy, R. (2012). Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 9. Jakarta: EGC.

Wong, D.L., Eaton, M.H., Wilson, D., Winkelstein, M.L & Schwartz, P. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC.

(Diakses Tanggal 25 April 2016).

No comments:

Post a Comment