Friday, October 20, 2017

Laporan Pendahuluan Pneumotoraks

BAB 1
PENDAHULUAN
           
1.1    Latar Belakang
Menurut Engram, 2012 menerangkan bahwa sistem pernapasan merupakan salah satu organ terpenting dari bagian tubuh manusia setelah kardiovaskuler, sehingga bila terjadi gangguan sistem pernapasan akan mempengaruhi semua organ yang lain yang akan mengganggu pada aktivitas manusia. Masalah peningkatan polusi udara perlu ditangani dengan serius karena dapat berdampak terhadap status kesehatan masyarakat, baik yang menyebabkan timbulnya infeksi maupun iritasi terhadap saluran pernapasan. Penyakit infeksi yang paling sering menyebabkan kematian adalah infeksi saluran pernapasan.

Menurut Depkes, 2015 menerangkan bahwa gangguan sistem pernapasan manusia seperti, influenza (flu), asma atau sesak napas, tuberkulosis (TBC), pnemothoraks, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), rinitis, faringitis, laringitis, bronkitis, sinusitis, asfikasi, asidosis, difteri, emfisema, pneumonia, dan kanker paru-paru. Penyebab dari gangguan pernapasan bermacam-macam salah satunya dikarenakan oleh trauma dada, infeksi saluran napas, penyakit inflamasi paru akut dan kronik lain yang mendasarinya sehingga menyebabkan klien terkena penyakit pnemothoraks.

Pnemothoraks merupakan suatu keadaan terdapatnya udara didalam rongga pleura. Pnemotoraks terbagi menjadi beberapa jenis yaitu pnemothoraks terbuka, tertutup, dan ventil. Ditandai dengan mengeluh mendadak nyeri dada disertai dengan sesak napas, peningkatan kerja pernapasan dan dispnea (Muttaqin, 2008).
Pnemothoraks bisa disebabkan karena infeksi saluran napas, trauma dada, Acute Lung Injury (ALI), penyakit inflamasi paru akut dan kronik, dan yaitu keganasan. Pnemothoraks bisa juga diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya pnemothoraks spontan dan traumatik (Nanda, 2013).

Menurut Biotta, 2012  menerangkan  bahwa   patofisiologi  pnemothoraks  yaitu udara terakumuasi dan memisahkan pleura viseral dengan pleura parietal. Tekanan negatif hilang, yang mempengaruhi daya rekoil elastis, paru rekoil dan  kolaps ke hilus. Pada pnemothoraks terbuka udara atmosfir mengalir langsung ke rongga pleura yang mengakibatkan kolaps paru pada area yang terkena. Pada pnemothoraks tertutup, udara masuk ke rongga pleura dari dalam paru, sehingga meningkatkan tekanan pleura dan mencegah ekspansi paru.

Menurut WHO & Canadian Lung Association, 2015 menerangkan bahwa epidemiologi pneumothoraks dapat diklasifikasikan menjadi pnemothorak spontan dan traumatik. Pnemothoraks spontan dibagi menjadi pnemothoraks primer dan sekunder. Pnemothoraks primer lebih banyak ditemukan pada orang berusia muda sedangkan pnemothoraks sekunder lebih sering ditemukan pada orang berusia tua dengan usia puncak >55 tahun. Insiden tahunan untuk pnemothoraks primer adalah 18-28/100000 populasi untuk laki-laki dan 1,2-6/100000 populasi untuk perempuan. Sedangkan insiden tahunan untuk pnemothoraks sekunder adalah 6,3/100000 populasi untuk laki-laki dan 2,0/100000 populasi untuk perempuan. Sedangkan pnemothoraks traumatik dibagi menjadi iatrogenik maupun non-iatrogenik.

Kutipan dari http://www.artikelkedokteran.com/1491/tbcdisertaipnemothorax. html#sthas.Om8VQ&j.dpbs diakses pada tanggal 12 April 2016 jam 23.00 Wita menerangkan bahwa angka kejadian pnemotoraks pada umumnya sulit ditentukan karena banyak kasus yang tidak didiagnosis sebagai pnemotoraks karena berbagai sebab. Johnston & Dovnarsky memperkirakan kejadian pnemotoraks berkisar antara 2,4-17,8 per 100.000 per tahun. Tuberkulosis paru merupakan penyebab pnemotoraks spontan sekunder tertinggi di beberapa negara berkembang. Prevalensi TB paru yang masih tinggi di Indonesia merupakan faktor penyebab terjadinya Pnemothoraks Spontan Sekunder (PSS).

Di Kalimantan Selatan   khususnya  data  yang  didapat di Rekam Medik   RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2013, dari 1.158 (98,88%) klien yang dirawat inap di Ruang Dahlia (paru), terdapat 13 (1,12%) kasus klien yang menderita pnemothoraks, pada tahun 2014 dari 1.884 (98,94%) klien yang dirawat inap di Ruang Dahlia (paru), terdapat 20 (1,06%) kasus klien yang menderita pnemothoraks, sedangkan pada tahun 2015 dari 1.688 (98,28%) klien yang dirawat inap di Ruang Dahlia (paru), terdapat 29 (1,72%) kasus klien yang menderita pnemothoraks.


BAB 2
TINJAUAN TEORITIS

2.1     Anatomi Sistem Pernapasan

          2.1.1  Pengertian Respirasi
Respirasi adalah suatu proses mulai dari pengambilan oksigen, pengeluaran karbondioksida hingga penggunaan energi didalam tubuh. Manusia bernapas menghirup oksigen dalam udara bebas dan membuang karbondioksida ke lingkungan.
Sistem pernapasan berperan untuk menukar udara kepermukaan dalam paru (Wahid & Suprato, 2013).

2.1.2 Anatomi Pernapasan
Syaifuddin 2012, mengatakan anatomi sistem pernapasan meliputi:
2.1.2.1    Hidung
Hidung merupakan organ tubuh yang berfungsi sebagai alat pernapasan dan indra penciuman. Bentuk dan stuktur hidung menyerupai piramida atau kerucut dengan alasnya pada prosesus palatinus osis maksilaris dan pars horizontal osis palatum. Dalam keadaan normal, udara masuk dalam sistem pernapasan, melalui rongga hidung. Vestibulum rongga hidung berisi serabut-serabut halus. Epitel vestibulum berisi rambut-rambut halus yang mencegah masuknya benda-benda asing yang menggangu proses pernapasan.
2.1.2.2    Faring
Faring adalah suatu saluran otot selaput kedudukannya tegak lurus antara basis kranii dan vertebrae servikalis VI.
2.1.2.3   Laring
Laring atau pangkal tenggorokan merupakan jalinan tulang rawan yang dilengkapi dengan otot, membran, jaringan ikat, dan ligamentum. Sebelah atas pintu masuk laring membentuk tepi epiglotis, lipatan dari efiglotis aritenoid dan pita interaritenoid, dan sebelah bawah tepi bawah kartilago krikoid. Tepi tulang dari pita suara asli kiri dan kanan membatasi daerah epiglotis. Bagian atas disebut supraglotis dan bagian bawah disebut subglotis.
2.1.2.4    Trakea
Trakea (batang tenggorokan) adalah tabung berbentuk pipa seperti huruf C yang dibentuk oleh tulang-tulang rawan yang disempurnakan oleh selaput, terletak diantara vertebrae servikalis VI sampai tepi bawah kartilago krikoidae vertebrata torakalis V. Panjangnya sekitar 13 cm dan diameter 2,5 cm, dilapisi oleh otot polos, mempunyai dinding fibroelastis yang tertanam dalam balok-balok hialin yang mempertahankan trakea tetap terbuka.
2.1.2.5   Bronkus
Bronkus (cabang tenggorokan) merupakan lanjutan dari trakea. Bronkus terdapat pada ketinggian vertebrae torakalis IV dan V. Bronkus mempunyai struktur sama dengan trakea dan dilapisi oleh sejenis sel yang sama dengan trakea dan berjalan kebawah kearah tampuk paru. Bagian bawah trakea mempunyai cabang utama dua kiri dan kanan yang dibatasi oleh garis pembatas. Setiap perjalan cabang utama tenggorokan ke sebuah tekuk yang panjang di tengah permukaan paru. Bronkus terdiri dari dua bagian yaitu bronkus prinsipalis dekstra dan bronkus prinsipalis sinistra.
2.1.2.6   Pulmo
Pulmo adalah salah satu organ sistem pernapasan yang berada di dalam kantung yang dibentuk oleh pluera parietalis dan pluera viseralis. Kedua paru sangat lunak, elastis, dan berada dalam rongga torak. Sifatnya ringan dan terapung di dalam air. Paru berwarna biru keabu-abuan dan berbintik-bintik karena partikel-partikel debu yang masuk termakan oleh fagosit. Masing-masing paru mempunyai apeks yang tumpul menjorok keatas, masuk keleher kira-kira 2,5 cmdi atas klavikula. Apeks pulmo berbentuk bundar dan menonjol kearah dasar yang lebar, melewati apertura torasis superior 2,5-4 cm di ujung sternal iga I.
Paru dapat dibagi atas beberapa lobus. Pada paru kiri terdapat suatu insisura yaitu insisura obligus, insisura ini yang membagi paru kiri atas dua lobus yaitu lobus superior dan lobis inferior. Pada paru kanan terdapat dua insisura yaitu insisura obliqua dan insisura interlobularis. Paru kanan memiliki 10 segmen, dan paru kiri terdiri dari 8 segmen.
Pleura adalah suatu membran serosa yang halus, membentuk suatu kantong tempat paru berada. Ada dua buah, kiri dan kanan yang masing-masing tidak berhubungan. Pluera mempunyai 2 lapisan yaitu lapisan permukaan disebut permukaan parietalis, dan lapisan dalam pleura viseralis.

2.2     Fisiologi Sistem Pernapasan
Aktivitas bernapas merupakan dasar yang meliputi ventilasi pulmuner, difusi, dan perfusi. Syaifuddin 2012, mengatakan fisiologi pernapasan meliputi:
2.2.1  Ventilasi pulmoner
          Ventilasi pulmoner, atau gerak pernapasan yang menukar udara dalam alveoli dengan udara luar. Arus darah melalui paru-paru. Distribusi arus udara dan arus darah sehingga dalam jumlah tepat dalam mencapai semua bagian tubuh.

2.2.2 Difusi
Difusi adalah gas yang menembus membran pemisah alveoli dan kapiler. CO2 daripada oksigen.

2.2.3 Perfusi
Perfusi adalah pernapasan jaringan atau pernapasan interna. Darah yang telah menjenuhkan hemoglobin dengan oksigen (oksihemoglobin) mengitari seluruh tubuh dan akhirnya mencapai kapiler, dimana darah bergerak sangat lambat. Sel jaringan mengambil oksigen dari hemoglobin untuk memungkinkan oksigen berlangsung, dan darah menerima karbondioksida sebagai gantinya.

2.3    Mekanisme Pernapasan
Mekanisme pernapasan menurut Wahid & Suprapto 2013, digolongkan menjadi 2 yaitu:
2.3.1 Pernapasan Dada
Pada pernapasan dada otot yang berperan penting adalah otot antar tulang rusuk. Otot antar tulang rusuk dapat dibedakan menjadi dua, yaitu otot antar tulang rusuk luar yang berperan dalam mengangkat tulang-tulang rusuk dan tulang rusuk dalam yang berfungsi menurunkan atau mengembalikan tulang rusuk ke posisi semula. Bila otot antar tulang rusuk luar berkontraksi maka tulang rusus akan terangkat sehingga volume dada bertambah besar. Bertambah besarnya akan menyebabkan tekanan dalam rongga dada luar. Karena tekanan udara kecil pada rongga dada menyebabakan aliran udara mengalir dari luar tubuh masuk kedalam tubuh, proses ini disebut inspirasi.

2.3.2  Pernapasan perut
Pada pernapasan ini otot yang berperan aktif adalah otot diafragma dan otot dinding rongga perut. Bila otot diafragma berkontraksi, posisi diafragma akan mendatar. Hal ini menyebabkan volume rongga dada bertambah besar sehingga tekanan udara semakin kecil. Penurunan tekanan udara menyebabkan mengembangnya paru-paru, sehingga udara mengalir masuk ke paru-paru (inspirasi).


2.4     Konsep Penyakit Pnemothoraks
2.4.1 Definisi Pnemothoraks
Pnemothoraks  merupakan  suatu  keadaan  dimana  terdapat  akumulasi udara ekstrapulmoner dalam rongga pleura, antara plura visceral dan parenteral, yang dapat menyebabkan timbulnya kolaps paru. Pada keadaan normal rongga pleura tidak berisi udara, supaya paru-paru leluasa mengembang terhadap rongga dada (Nanda, 2013).

Pnemothoraks adalah adanya udara dalam rongga pluera yang terjadi ketika udara ditarik kedalam pleura dari paru yang mengalami laserasi atau melalui lubang kecil dalam dinding dada. Pada dua kasus tersebut, udara yang masuk rongga dada bersama dengan setiap inspirasi akan terjebak disini, udara tidak dapat dikeluarkan melalui jalan udara atau lubang kecil dalam dinding dada (Wahid & Suprapto, 2013).

Pnemotorak merupakan suatu keadaan terdapatnya udara didalam rongga pluera (Muttaqin, 2008).

Pneumothorax is an accumulation of air between the parietal and visceral pluera with secondary lung collapse. There are trhee of pneumothorax (Baird & Bethel, 2011).

2.4.2 Klasifikasi
Klasifikasi pnemothoraks menurut Muttaqin (2008) diklasifikasikan menjadi:
a.     Pnemothoraks terbuka
Terjadi akibat adanya hubungan terbuka rongga pleura dan bronkhus dengan lingkungan luar. Sehingga tekanan intrapleura sama dengan tekanan barometer (luar). Takanan intrapleura disekitar nol (0) sesuai dengan gerakan pernapasan.

b.     Pnemothoraks tertutup
Ronga pleura tertutup dan tidak berhubungan dengan dunia luar. Udara yang dulunya ada di rongga pleura (tekanan positif) karena reabsopsi dan tidak ada hubungannya lagi dengan dunia luar maka tekanan udara di rongga pleura menjadi negatif. Tetapi paru-paru belum bisa berkembang penuh. Sehingga masih ada rongga pleura yang tampak meskipun tekanannya sudah normal.
c.     Pnemothoraks ventil
Merupakan Pnemothoraks yang mempunyai tekanan positif berhubungan adanya fistel di pleura viseralis yang bersifat ventil. Udara melalui bronkhus terus ke percabangannya dan menuju kearah pleura yang terbuka. Pada waktu inspirasi, udara masuk kerongga pleura yang permulaannya masa negatif.

Sedangkan Nanda 2013, mengklasifikasikan Pnemothoraks menjadi spontan dan traumatik.
a.     Pnemothoraks traumatik
1)        Pnemothoraks iatroganik
Terjadi karena akibat komplikasi tindakan medis dan jenis ini dibedakan menjadi dua yaitu:
1)   Pnemothoraks traumatik iatrogenik aksidental ini terjadi akibat tindakan medis karena kesalahan/komplikasi tindakan tersebut, misalnya tindakan parasentesis dada, biospy pleura, biospy transbronkial, biospy/aspirasi paru perkutaneus.
2)   Pnemothoraks traumatik iatrogenik artifical merupakan Pnemothoraks yang sengaja dilakukan dengan cara mengisi udara kedalam rongga pleura melalui jarum dengan suatu alat maxwell box. Biasanya untuk terapi tuberkolusis (sebelum era antibiotik), atau untuk menilai permukaan paru.

b.     Pnemothoraks spontan
Pnemothoraks spontan dibagi lagi menjadi primer (tanpa adanya penyakit yang mendasari) dan  sekunder (komplikasi dari penyakit
paru akut atau kronik).

2.4.3 Etiologi
Wahid & Suprapto 2013, mengatakan Pnemothoraks merupakan komplikasi paling serius dan selang dada dan dapat terjadi secara spontan atau karena trauma. Pnemotorak disebabkan karana tekanan posistif pada saat udara masuk ke pleura pada saat inspirasi. Dengan demikian tegangan (tekanan) terbentuk di dalam rongga pleura yang menyebabkan paru kolaps dan jantung, pembuluh darah besar, dan trakea bergeser kearah sisi dada yang tidak sakit. Baik fungsi pernapasan dan sirkulasi mengalami kerusakan karena dengan meningkatnya tekanan intrathorax,
arus balik vena ke jantung mengalami gangguan, menyebabkan penurunan curah jantung dan merusak sirkulasi perifer.

Muttaqin 2008, mengatakan secara singkat proses terjadinya pnemotorak adalah sebagai berikut:
a.       Alveoli disangga oleh kapiler yang lemah dan mudah robek dan udara ke arah jaringan peribronkhovaskular. Apabila alveoli itu melebar, tekanan dalam alveoli akan meningkat.
b.      Apabila gerakan napas kuat, infeksi dan obstruksi endobronkhial adalah faktor presipitasi yang memudahkan terjadinya robekan.
c.       Selanjutnya udara yang terbebas dari alveoli dapat menggoyahkan jaringan fibrosisi di peribronksovaskular ke arah hilus, masuk mediastinum, dan menyebabkan Pnemothoraks.

Billota 2010, membagi penyebab Pnemothoraks berdasarkan klasifikasi Pnemothoraks tersebut yaitu:
a.       Pnemothoraks terbuka
1.      Cedera tembus pada dada
2.      Pembedahan dada
3.      Biospi transbronkial dan biospi paru per kutan
4.      Torasentesis
b.      Pnemothoraks tertutup
1.      Trauma tumpul pada dada
2.      Fraktur iga
3.      Fraktur klavikula
4.      Ruptur bleb kongenital dan ruptur bula emfisematosa
5.      Barotrauma
6.      Lesi tuberkular erosif atau lesi kanker
7.      Penyakit paru interstisal
c.       Tension Pnemothoraks
1.      Luka tembus pada dada
2.      Fungsi paru atau jalan napas akibat ventilasi tekanan positif
3.      Ventilasi mekanis setelah cedera dada
4.      Tekanan akhir ekspirasi positif yang tinggi, mengakibatkan ruptur bleb alveoli
5.      Oklusi atau malfungsi slang dada.

2.4.4 Manifestasi Klinis
            Gambaran klinis dari klien dengan pnemotoraks menurut Nanda (2013) meliputi:
2.4.4.1    Klien mengeluh mendadak nyeri dada pluritik akut yang terlokalisasi pada paru yang sakit.
2.4.4.2    Nyeri dada pluritik biasanya disertai sesak napas, peningkatan kerja pernapasan, dan dispnea.
2.4.4.3    Gerakan dinding dada mungkin tidak sama karena sisi yang sakit tidak mengembang seperti sisi yang sehat.
2.4.4.4    Suara napas jauh atau tidak ada.
2.4.4.5    Perkusi dada menghasilkan suara hipersonan.
2.4.4.6    Takikardi sering terjadi menyertai tipe pnemotoraks
2.4.4.7    Hipoksemia
2.4.4.8    Ketakutan
2.4.4.9    Gawat napas
2.4.4.10  Peningkatan tekanan jalan napas puncak dan rerata, penurunan komplian, dan auto-tekanan ekspirasi akhir positif (auto-PEEP) pasa klien yang terpasang ventilasi mekanis.
2.4.4.11  Kolaps kardiovaskuler

2.4.5    Patofisiologi
Patofisiologi Pnemothoraks menurut Biotta 2012, adalah yaitu udara terakumuasi dan memisahkan pleura viseral dan pleura parietal. Tekanan negatif hilang, yang mempengaruhi daya rekoil elastis, paru rekoil dan  kolaps ke hilus. Pada Pnemothoraks terbuka udara atmosfir mengalir langsung ke rongga pleura yang mengakibatkan kolaps paru pada area yang terkena. Pada Pnemothoraks tertutup, udara masuk ke rongga pleura dari dalam paru, sehingga meningkatkan tekanan pleura dan mencegah ekspansi paru. Pada tensions Pnemothoraks udara dalam rongga pleura memiliki tekanan lebih tinggi dari udara di paru. Udara masuk ke rongga pleura melalui ruptur pleura hanya ketika inspirasi. Tekanan udara ini menyababkan tekanan-tekanan barometik, menyebabkan atelektasis kompresi. Peningkatan tekanan dapat menggeser jantung dan pembuluh darah beserta menyebabkan pergeseran mediastinum.
                                                                                  


Arif Muttaqin, 2008.

2.4.7 Faktor Risiko
         Faktor risiko terjadinya Pnemothoraks menurut Biotta (2012) yaitu:
2.4.7.1  Pria
2.4.7.2  Merokok
2.4.7.3  Penyakit paru
2.4.7.4  Riwayat Pnemothoraks

2.4.8 Masalah Yang Lazim Muncul
Masalah yang lazim muncul menurut Nanda (2013) meliputi:
2.4.8.1  Ketidakefektifan pola napas
2.4.8.2  Nyeri akut
2.4.8.3  Hambatan mobilitas
2.4.8.4  Kerusakan integritas
2.4.8.5  Resiko infeksi

2.4.9  Komplikasi
                    Masalah yang lazim muncul menurut Nanda (2013) meliputi:
2.4.9.1  Atelektasis
2.4.9.2  Pnemonitis
2.4.9.3  Kegagalan pernapasan
2.4.9.4  Tension pnemothoraks
2.4.9.5  Pnemothoraks bilateral
2.4.9.6  Emfisema
    
2.4.10Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis menurut Wahid & Suprapto 2013, yaitu, jika diduga tension Pnemothoraks, klien harus segera diberikan oksigen dengan konsentrasi tinggi untuk mengatasi hipoksia. Dalam keadaan darurat, tension Pnemothoraks dapat diubah dengan cepat menjadi Pnemothoraks dengan memasangkan jarum berdiameter besar pada garis midklavikular ruang intercostal ke dua pada sisi yang sakit. Tindakan ini akan menghilangkan tekanan dan mengalirkan udara dan cairan sisanya dan mengembangkan kembali paru.
Jika paru mengembang dan kebocoran dari paru berhenti, drainase labih lanjut mungkin tidak diperlukan lagi. Jika paru terus bocor, seperti yang ditunjukan dengan penumpukan kembali volume udara yang tidak dapat dikeluarkan selama torasentasis, udara harus dikeluarkan dengan selang dada menggunakan drainase water seal.

2.5    Proses Asuhan Keperawatan
2.5.1 Asuhan Keperawatan pada Gangguan Sistem Pernapasan   dengan Pnemothoraks
2.5.1.1 Pengkajian Keperawatan
Pengkajian keperawatan menurut Muttaqin 2008, meliputi:
a.    Anamnesis
1)   Riwayat penyakit saat ini
Keluhan utama meliputi sesak napas, bernapas terasa berat pada dada, dan keluhan sulit bernapas serta nyeri dada. Seringkali sesak napas datang mendadak, dan semakin berat. Nyeri dada dirasakan pada sisi yang sakit, rasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada gerakan pernapasan. Selanjutnya dikaji apakah ada riwayat trauma yang mengenai organ rongga dada seperti peluru yang menembus dada dan paru, ledakan yang menyebabkan tekanan dalam paru meningkat, kecelakaan lalulintas biasanya menyebabkan trauma tumpul didada atau tusukan benda tajam langsung menembus pleura.
2)      Riwayat penyakit terdahulu
Perlu ditanyakan apakah klien pernah menderita penyakit paru seperti TB paru, pneumonia  atau  PPOM
(penyakit paru obstruksi  menahun)  dimana  sering ter-
jadi pada pneumothoraks spontan.
3)      Riwayat penyakit keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga klien yang menderita penyakit-penyakit yang mungkin dapat menyebabkan pneumothoraks seperti kanker paru, TB paru, PPOM dan lain-lain yang berhubungan dengan penyebab pneumothoraks.
4)      Pengkajian psikososial
Pengkajian psikososial meliputi perasaan klien terhadap penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya setara bagaimana perilaku klien pada tindakan yang dilakukan terhadap dirinya.
b.    Pemeriksaan Fisik
1)      Pernapasan atau respirasi pemeriksaan fisik pada klien dengan pneumothorak merupakan pemeriksaan fokus yang terdiri atas inspeksi, palpasi, perkusi,  dan auskultasi.
a)      Inspeksi
Peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan, serta penggunaan otot bantu pernapasan. Pernapasan ekspansi dada yang asimetris (pergerakan dada tertinggal pada dada yang tertinggal pada dada sisi yang sakit), iga melebar, rongga dada asimetris (cembung pada sisi yang sakit). Pengkajian batuk yang produktif dengan sputum yang purulen. Trakhea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat.
b)      Palpasi
Taktil fermitus menurun pada sisi yang sakit. Disamping itu, pada palpasi juga ditemukan pergerakan dinding dada yang tertinggal pada dada yang sakit. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga bisa saja normal atau melebar.

c)      Perkusi
Suara ketok pada sisi yang sakit, hipersonor sampai timpani, dan tidak bergetar. Batas jantung terdorong ke arah thoraks yang sehat, apabila tekanan intrapleura tinggi.
d)     Auskultasi
Suara napas menurun sampai menghilang pada sisi yang sakit. Pada posisi duduk, semakin ke atas letak cairan maka akan semakin tipis, sehingga suara napas terdengar amforis, bila ada fistel bronkhopleura yang cukup besar pada pnemothoraks terbuka
2)      Kardiovaskuler atau Sirkulasi
Perawat perlu memonitor dampak Pnemothoraks pada status kardiovaskular yang meliputi keadaan hemodinamika seperti nadi, tekanan darah, dan pengisian kapiler darah.
3)      Persyarafan atau Neurologik
Pada inspeksi, tingkat kesadaran perlu dikaji. Selain itu, diperlukan juga pemeriksaan GCS. Apakah compos mentis, samnolen, atau koma.
4)      Perkemihan Eliminasi atau Genitourinaria
Pengukuran  volume output urin  berhubungan  dengan
intake cairan. Oleh karena itu, perawat perlu memonitor adanya oliguria. Oliguria merupakan tanda awal dari syok.
5)      Pencernaan Eliminasi atau Gastrointestinal
Akibat adanya sesak napas, klien biasanya mengalami
mual muntah, penurunan nafsu makan, dan penurunan
berat badan.
6)      Tulang Otot Integumen
Pada trauma dirusuk dada, sering didapatkan adanya kerusakan otot dan jaringan lunak dada sehingga meningkatkan risiko infeksi.
c.  Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan radiologi, gambaran radiologis pnemothoraks akan tampak hitam, rata, dan paru-paru yang kolaps akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru yang kolaps tidak membentuk garis, tetapi berbentuk globuler yang sesuai dengan lobus paru. Adakalanya paru mengalami kolaps tersebut, hanya tampak seperi massa yang berada didaerah hilus. Perlu diamati ada tidaknya pendorongan. Apabila ada pendorongan jantung atau trakhea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah terjadi Pnemothoraks ventil dengan tekanan intrapleura yang tinggi.

2.5.1.2   Penatalaksanaan Medis
Penatalaksaan menurut Muttaqin 2008, bergantung pada jenis pnemothoraks yang dialaminya, derajat kolaps, berat ringannya gejala, penyakit dasar, dan penyulit yang terjadi saat melaksanakan pengobatan yang meliputi tindakan dekompresi seperti:
a.         Menusukan  jarum melalui dinding dada hingga masuk ke rongga pleura.
b.         Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontraventil seperti penggunaan pipa Water Seales Drainage (WSD), pengisapan kontinu, dan pencabutan drain.
c.         Tindakan bedah
d.        Pengelupasan atau dekorisasi.


2.5.1.3   Diagnosis Keperawatan           
Diagnosis keperawatan menurut Muttaqin (2008) meliputi:
a.         Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap peningkatan tekanan dalam rongga pleura.
b.         Bersihan jalan napas tidak efektif yang berhubungan dengan adanya akumulasi sekret jalan napas.
c.         Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan penurunan kemampuan ekspansi paru dan kerusakan membran aveolar kapiler.
d.        Resiko tinggi terjadi infeksi yang berhubungan dengan adanya port de entre (lubang) akibat luka penusukan
tindakan WSD.
e.         Kerusakan integritas jaringan yang berhubungan dengan adanya luka pasca pemasangan WSD.
f.          Resiko tinggi trauma yang berhubungan tidak optimalnya drainase selang sekunder akibat pipa WSD yang terjepit.
g.         Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungn dengan peningkatan metabolisme tubuh, penurunan nafsu makan akibat sesak napas sekunder perhadap penekanan struktur abdomen.
h.         Gangguan ADL (aktivity daily living) yang berhubungan dengan kelemahan fisik umum, keletihan sekunder adanya sesak napas.
i.           Cemas berhubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan (ketidakmampuan untuk bernapas)
j.           Gangguan pola tidur dan istirahat berhubungan dengan
batuk yang menetap dan sesak napas serta perubahan
suasana lingkungan
k.         Kurangnya pengetahuan yang berhubungan dengan informasi yang tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.

2.5.1.4   Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan menurut Muttaqin (2008) meliputi:
a. Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap peningkatan tekanan dalam rongga pleura.
Tujuan dan keriteria hasil: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pola napas kembali efektif, tidak terjadi komplikasi seperti syok, gagal napas, hipoksia. Intervensi keperawatan meliputi:
1)   Mengidentifikasi etiologi/faktor pencetus. Contoh kolaps spontan, trauma, keganasan, infeksi, komplikasi ventilasi mekanik.
Rasional :pemahaman penyebab kolaps paru perlu untuk pemasangan selang dada yang tepat dan memilih tindakan terapeutik lain.
2)      Mengkaji fungsi pernapasan, catat kecepatan/pernapasan serak, dispnea, keluhan “lapar udara” terjadinya sianosis, perubahan tanda vital.
Rasional :distres pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stres fisologi dan nyeri atau dapat menunjukan terjadinya syok sehubungan dengan hipoksia/perdarahan.
3)      Awasi kesesuaian pola pernapasan bila menggunakan ventilasi mekanik. Catat perubahan tekanan udara. Rasional: kesulitan bernapas “dengan” ventilator dan/atau peningkatan tingkatan jalan napas diduga memburuknya kondisi/terjadinya komplikasi (mis, ruptur spontan dari bleb, terjadinya pneumotorak).
4)      Auskultasi bunyi napas.
Rasional: bunyi napas dapat menurun atau tak ada pada lobus, segmen paru, atau seluruh area paru (unilateral). Area atelektasis tak ada bunyi napas, dan sebagian area kolaps menurun bunyinya. Evaluasi juga dilakukan untuk area yang baik pertukaran gasnya dan memberikan data evaluasi perbaikan pneumotorak.
5)   Catat pengembangan dada dan posisi trakea.
Rasional: pengembangan dada sama dengan ekspansi paru. Deviasi trakea dari area sisi yang sakit pada tegangan pneumotorak.
6)   Kaji fremitus.
Rasional: suara dan taktil fremitus (vibrasi) menurun pada jaringan yang tersisi cairan/konsolidasi.
7)   Kaji klien adanya area nyeri tekan bila batuk, napas dalam.
Rasional: sokong terhadap dada dan otot dan abdominal
membuat batuk lebih efektif/mengurangi trauma
8)   Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
Rasional:meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekspansi paru dan ventalitas pada sisi yang tak sakit
b.      Bersihan jalan napas tidak efektif yang berhubungan dengan adanya akumulasi sekret jalan napas. Tujuan dan keriteria hasil: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan jalan napas kembali efektif, tidak ada sumbatan sputum, jalan napas bersih. Intervensi keperawatan meliputi:
1)  Awasi perubahan status jalan napas dengan memonitor
jumlah, bunyi, atau status kebersihan.
Rasional: penurunan aliran udara terjadi pada area yang tertekan oleh udara, bunyi napas biasanya rales atau pun tidak terdengar karena adanya udara pada rongga pleura.
2) Kaji frekuensi/kedalaman pernapasan dan gerakan dada.
Rasional: takipnea, pernapasan dangkal, dan gerakan dada tak simetris sering terjadi karena ketidaknyamanan gerakan dinding dada.
3) Berikan pelembab saat terpasang O2
Rasional: cairan diperlukan untuk menggantikan kehilangan baik yang tampak maupun yang tidak, saat bernapas paien akan mengeluarkan uap sehingga diperlukan pelembab untuk mengurangi uap yang keluar.
4)  Lakukan tindakan pembersihan jalan napas dengan fibrasi, clapping, atau postural drainase (jika perlu lakukan suction)
Rasional: membantu melancarkan pembersihan dan merangsang batuk secara mekanik pada klien yang tak mampu melakukan karena batuk tidak produktif
5) Ajarkan teknik batuk efektif dan cara menghindari         alergi.
     Rasional: batuk adalah mekanisme pembersihan jalan
     napas alami, membantu silia mempertahankan     mekanisme paten.
6)   Berkolaborasi  dengan tim medis untuk pemberian obat bronkodilator.
Rasional : alat   untuk  menurunkan spasme  bronkus
dengan mobilisasi sekret. Analgesik diberikan untuk
memperbaiki batuk dengan cara menurunkan ketidak- nyamanan tetapi harus digunakan secara hati-hati.
c.       Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan penurunan kemampuan ekspansi paru dan kerusakan membran aveoler kapiler. Tujuan dan keriteria hasil: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan gangguan pertukaran gas tidak terjadi, tidak ada tanda-tanda asidosis ataupun alkalosis. Intervensi keperawan meliputi:
1)   Awasi perubahan status pernapasan
Rasional: manifestasi syok pernapasan pada indikasi tertentu dapat terjadi karena perubahan volume udara yang masuk.
2)   Atur posisi sesuai dengan kebutuhan
Rasional:posisi fowler ataupun semi fowler dapat melancarkan pernapasan karena posisi trakhea akan lebih terbuka saat posisi tersebut.
3)     Berikan oksigenasi
Rasional:tujuan terapi O2 adalah mempertahankan PaO2 di atas 60 mg, oksigen diberikan dengan metode yang memberikan pengiriman tepat dalam toleransi klien.
4)      Ajarkan teknik bernapas dan releksasi yang benar.
Rasional: ansietas dapat menyebabkan masaslah psikologis sesuai dengan respon fisiologi terhadap hipoksia.
5)      Pertahankan berkembangnya paru dengan memasang ventilasi mekanis, chest tube, dan chest drainase sesuai dengan indikasi.
Rasional: dapat dilakukan bila kondisi memungkinkan terjadinya gagal napas akut, sehingga perlu dilakukan
untuk mencegah terjadinya komplikasi.
d.      Resiko tinggi terjadi infeksi yang berhubungan dengan adanya port de entre (lubang) akibat luka penusukan tindakan WSD.Tujuan dan keriteria hasil: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan resiko tinggi tidak terjadi, tidak ada tanda-tanda radang, tidak ada tanda-tanda infeksi. Intervensi keperawatan meliputi:
1)      Kaji warna kulit atau suhu dan pengisian kapiler pada area pemasangan WSD dan tandur kulit
Rasional:merupakan tanda dan gejala infeksi sekunder yang harus dicegah dengan memonitor tanda dan gejala tersebut.
2)      Tetap pada dasilitas kontrol infeksi (sterillisasi dan prosedur antiseptik)
                                           Rasional: tindakan sesuai dengan prosedur dan sesuai dengan prinsip steril dapat mencegah terjadinya infeksi sekaligus mengurangi resiko.
3)      Ulangi studi laboratorium untuk mengetahui kemungkinan terjadinya infeksi sistemik.
Rasional: leukosit tinggi menunjukan adanya infeksi, sehingga memerlukan intervensi lebih lanjut dengan bantuan tim medis lain.
4)      Ganti balutan setiap hari.
Rasional: mencegah terjadinya infeksi sekunder dan memberikan kenyamanan pada klien dengan digantinya balutan.
5)      Berkolaborasi dengan dokter untuk pemberian antibiotik sesuai petunjuk.
Rasional: antibiotik dapat membunuh mikroorganisme yang  menyebabkan infeksi.
e.     Kerusakan  integritas  jaringan  yang     berhubungan
dengan adanya luka pasca pemasangan WSD. Tujuan dan keriteria hasil : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan gangguan integritas kulit dapat teratasi, tidak terjadi perluasan kerusakan jaringan, tidak terjadi iritasi lain. Intervensi keperawatan meliputi:

1)       Monitor tanda-tanda vital
Rasional: mengidentifikasi secara dini adanya takikardi yang mungkin indikatif dari terjadinya infeksi.
2)       Waspadai faktor resiko lanjut
Rasional: ini mempengaruhi pemulihan luka dan tahanan pada infeksi
3)       Tutup luka dengan balutan steril.
Rasional: mencegah terjadinya infeksi sekunder dan mempertahankan luka dengan sifat luka itu sendiri (kering/basah)
4)     Kaji faktor resiko perluasan integritas kulit
Rasional: faktor resiko perluasan akan mencegah terjadinya perluasan kerusakan yang dapat dicegah secara dini
f.       Resiko tinggi trauma yang berhubungan tidak optimalnya drainase selang sekunder akibat pipa WSD yang terjepit. Tujuan dan keriteria hasil: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan resiko tinggi trauma tidak terjadi, klien tidak nyeri dada, klien tidak sesak napas, klien tidak terjadi komplikasi dengan pemasangan WSD. Intervensi keperawatan meliputi:
1)    Kaji dengan klien tujuan/fungsi unit drainase dada,
catat gambaran keamanan.
Rasional: informasi tentang bagaimana sistem bekerja
memberikan keyakinan, munurunkan ansietas klien.
2)      Pasangkan kateter torak kedinding dada dan berikan panjang selang ekstra sebelum memindahkan atau mengubah posisi klien.
Rasional: mencegah terlepasnya kateter dada atau selang         terlipat dan menurunkan nyeri/ketidaknyamanan sehubungan dengan penarikan atau menggerakan selang.
3)      Amankan sisi sambungan selang.
Rasional: mencegah terlepasnya selang.
4)      Beri bantalan pada sisi dengan kasa/plester.
Rasional: melindungi kulit dari iritasi/tekanan
5)      Amankan unit drainase pada tempat tidur klien atau pada sangkutan/tempat tertentu pada area dengan lalulintas rendah
Rasional: mempertahankan posisi duduk tinggi dan menurunkan risiko kecelakaan jatuh/unit pecah.
6)      Berikan transportasi aman bila klien dikirim keluar unit untuk tujuan diagnostik. Sebelum memindahkan periksa botol untuk batas cairan yang tepat, ada atau tidaknya gelembung, adanya/derajat/waktu pasang surut. Perlu atau tidak selang dada diklem atau dilepaskan dari sumber penghisap.
Rasional: meningkatkan kontinuitas evakuasi optimal carian/udara selama pemindahan. Bila klien mengeluarkan banyak jumlah cairan atau udara dada. Selang harus tidak diklem atau penghisapan dihentikan karena resiko akumulasi ulang cairan/udara. Mempengaruhi status pernapasan.
7)      Awasi  sisi lubang  pemasangan   selang, catat kondisi
kulit,    adanya/karakteristik     drainase   dari    sekitar
kateter. Ganti/pasang ulang kasa penutup steril  sesuai
kebutuhan.
Rasional: memberikan pengenalan diri dan mengobati adanya erosi/infeksi kulit
8)      Anjurkan klien untuk menghindari berbaring/menarik selang.
Rasional: menurunkan risiko obstruksi drainase/terlepasnya selang.
9)      Identifikasi perubahan/situasi yang harus dilaporkan pada perawat, contoh perubahan bunyi gelembung, lapar udara tiba-tiba dan nyeri dada, lepaskan alat.
Rasional: intervensi tepat waktu dapat mencegah komplikasi serius
10)  Observasi tanda distres pernapasan bila kateter torak lepas/tercabut (rujuk DK: pola pernapasan, takefektif)
Rasional :pneumotorik dapat terulang/memburuk,
karena mempengaruhi fungsi pernapasan dan memerlukan intervensi darurat.
g.      Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan peningkatan metabolisme tubuh, penurunan nafsu makan akibat sesak napas sekunder perhadap penekanan struktur abdomen. Tujuan dan kriteria hasil: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan gangguan pemenuhan nutrisi dapat terpenuhi, berat badan klien dalam batas ideal, nafsu makan klien baik, tidak ada mual/muntah ataupun anoreksia. Intervensi keperawatan meliputi:
1)   Identifikasi faktor yang menimbulkan mual/muntah atau tidak nafsu makan
Rasional: pemilihan makanan yang disukai klien akan
menambah nafsu makan dan meningkatkan asupan.
2)   Auskultasi bising usus.
Rasional: mengetahui gambaran akan kondisi usus untuk saat ini, dan langkah kedepan dalam menentukan intervensi lebih lanjut



3)   Observasi adanya distensi abdomen
Rasional: distensi abdomen merupakan manifestasi dari timbulnya penyakit lain yang menyebabkan komplikasi akan semakin berat
4)   Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering
Rasional: dalam porsi kecil makanan dapat langsung dicerna dan tidak mengakibatkan mual/muntah sehingga asupan nutrisi lebih baik
5)   Evaluasi stasus nutrisi umum,
Rasional: kebutuhan nutrisi sangatlah diperlukan dalam proses penyembuhan karena pembentukan protein-protein yang terkandung dalam makanan dapat mengidentifikasikan adanya mal nutrisi.
6)  Monitor penurunan berat badan kurang dari batas normal.
Rasional: penurunan berat menunjukan adanya malnutrisi atau manifestasi dari penyakit kronik
h.    Gangguan ADL (aktivity daily living) yang berhubungan dengan kelemahan fisik umum, keletihan sekunder adanya gangguan pernapasan atau sesak napas. Tujuan dan keriteria hasil: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan gangguan ADL dapat tercapai, klien dapat memenuhi kebutuhan secara mandiri (tanpa bantuan orang lain), klien dapat beraktivitas bebas tanpa adanya hambatan. Intervensi keperawatan meliputi:
1)        Evaluasi respon klien terhadap aktivitas. Catat laporan    dispnea, peningkatan  kelemahan/kelelahan  dan perubahan tanda-tanda vital selama dan setelah aktivitas. 
Rasional: menetapkan kemampuan/kebutuhan klien dan memudahakan istrahat.
2)      Berikan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjung selama fase akut sesuai dengan indikasi.
Rasional: menurunkan stres dan rangsangan berlebihan, meningkatkan istirahat.
3)      Bantu klien untuk memilih posisi yang nyaman untuk istirahat dan/atau tidur
Rasional: klien mungkin nyaman dengan kepala lebiih tinggi dari badan.
4)      Batu aktivitas perawatan diri yang diperlukan
Rasional: meminimalkan kelemahan/kelelahan dan
membantu keseimbangan suplai O2.
5)      Ajarkan klien teknik ROM pasif ataupun pasif
       Rasional: membantu mencegah terjadinya keram akibat           istirahat yang lama dan membantu memperlancar           peredaran darah.
i. Cemas berhubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan (ketidakmampuan untuk bernapas). Tujuan dan keriteria hasil: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan cemas dapat teratasi, klien tidak gelisah, klien tidak bertanya-tanya. Intervensi keperawatan meliputi:
1)       Evaluasi tingkat pemahaman klien/orang terdekat tentang diagnosis.
Rasional: klien dan orang terdekat mendengar dan mengasimilasi informasi baru yang meliputi perubahan ada gambaran diri dan pola hidup. Pemahaman persepsi ini melibatkan susunan tekanan perawatan individu dan memberikan informasi yang perlu untuk memilih intervensi yang tepat.
2)       Berikan kesempatan untuk bertanya dan jawab dengan jujur. Yakinkan bahwa klien dan pemberi perawatan mempunyai pemahaman yang sama.
Rasional: membuat kepercayaan dan menurunkan kesalahan persepsi/salah interpretasi terhadap informasi.
3)       Akui rasa takut/masalah klien dan dorong mengekspresikan perasaan
Rasional: dukungan kemapuan klien mulai membuka/menerima kenyataan kanker dan pengobatannya. Klien mungkin perlu waktu untuk mengidentifikasi perasaan dan meskipun lebih banyak waktu untuk mulai mengekpresikannya.
4)       Terima penyangkalan klien tetapi jangan dikuatkan.
Rasional: bila penyangkalan ekstrem atau ansietas mempengaruhi kemajuan penyembuhan. Menghadapi isu klien perlu dijelaskan dan membuka secara penyelesaiannya.
5)        Catat komentar/prilaku yang menunjukan menerima dan/atau menggunakan strategi efektif menerima situasi.
Rasional: takut/ansietas menurun, klien mulai menerima/secara positif dengan kenyataan. Indikator kesiapan  klien untuk menerima tanggung jawab untuk berpartisipasi dalam penyembuhan dan untuk mulai hidup lagi.
6)   Libatkan klien/orang terdekat dalam perencanaan
      perawatan. Berikan waktu untuk menyiapkan peristiwa/pengobatan.
Rasional: dapat membantu memperbaiki beberapa perasaan kontrol/kemandirian pada klien yang merasa tak berdaya dalam menerima diagnosa dan pengobatan.


7)      Berikan kenyamanan fisik klien.
Rasional: ini sulit untuk menerima dengan isu emosi bila pengalaman ekstrem/ketidaknyamanan fisik mentap.
j.  Gangguan pola tidur dan istirahat berhubungan dengan batuk yang menetap dan sesak napas serta perubahan suasana lingkungan. Tujuan dan keriteria hasil: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan gangguan pola tidur dapat teratasi, klien dapat istirahat dengan tenang, klien merasa nyaman. Intervensi keperawtan meliputi.
1)      Berikan kesempatan klien untuk tidur sejenak, anjurkan untuk mengurangi aktivitas
Rasional: karena aktivitas fisik dan mental yang lama mengakibatkan kelemahan yang dapat meningkatkan kebingungan, aktivitas yang tinggi tanpa adanya stimulasi berlebihan dapat menjadi penyebab sulit tidur.
2)      Evaluasi adanya stres sesuai dengan perkembangannya hari demi hari
Rasional: peningkatan kebingungan disorientasi dan tingkah laku yang tidak kooperatif dapat mengganggu pola tidur.
3)      Anjurkan klien mendengarkan musik yang lembut dan tenang.
Rasional: dapat menenangkan pikiran dan meningkatkan klien untuk dapat tidur
4)      Berikan klien lingkungan yang nyaman dan tenang
Rasional: lingkungan yang tenang dapat menambah
keinginan untuk tidur dan istirahat tidak terganggu karena kenyamanan tersebut.

5)      Kaji faktor penyebab dari sulit tidur
Rasional: dapat mengidentifikasi tindakan lebih lanjut dari intervensi sesuai dengan penyebab klien sulit tidur.
k.      Kurangnya pengetahuan yang berhubungan dengan informasi yang tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.Tujuan dan keriteria hasil: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kurangnya pengetahuan dapat teratasi, klien dapat mengerti tentang penyakitnya, klien dapat memahami tentang pengobatannya.Intervensi keperawatan meliputi:
1)      Kaji patologi masalah individu
Rasional: informasi menurunkan takut karena ketidaktahuan. Memberikan pengetahuan dasar untuk pemahaman kondisi dinamika dan pentingnya intervensi terapeutik.
2)      Indentifikasi kemungkinan kambuh/komplikasi jangka panjang.
Rasional: penyakit paru-paru ada yang seperti PPOM berat dan keganasan dapat meningkatkan insiden kambuh. Selain itu klien sehat yang mendierita pneumotorak spontan. Insiden kambuh 10%-50%. Orang yang mempunyai episode spontan kedua berisiko tinggi untuk insiden ketiga (60%).
 3)   Kaji ulang tanda/gejala  yang  memerlukan  evaluasi
medik cepat. Contoh nyeri dada tiba-tiba, dispnea, distres pernapasan lanjut.
Rasional: berulangnya pneumotorak memerlukan intervensimedik untuk mencegah/menurunkan
potensial komplikasi.

4)      Kaji ulang praktik kesehatan yang baik. Contoh nutrisi baik, istirahat, latihan.
Rasional: mempertahankan kesehatan umum meningkatkan penyembuhan dan dapat mencegah kekambuhan.




DAFTAR RUJUKAN


Baird, M.S & Bethel Susan. (2011). Manual of Critical Care Nurshing. Edisi 16.    Amerika: PJM.

Billotta, K.A. (2012). Kapita Selekta Penyakit. Edisi 2. Jakarta: EGC.

Engram, B. (2012). Asuhan Keperawatan pada Gangguan Sistem Pernapasan       Akibat Infeksi. Jakarta: Trans Info Medika.

Kusuma, H. & Nurarif, A. (2012). Handbook Health Student. Yogyakarta: Mediaction Publishing.

Muttaqin Arif. (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

Nanda. (2013). Asuhan Keperawan Berdasarkan  Diagnosa Medis Edisi Revisi Jilid II. Jakarta: Media Action.

Rekam Medik. (2016). Data Pnemothoraks. RSUD Ulin Banjarmasin.

Smeltzer, S.C & Bare, B.G. (2011). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, Ed.8 Vol.1. Jakarta: EGC

Syaifuddin. (2012). Anatomi Fisiologi Edisi 4. Jakarta: EGC.

Wahid, A. & Suprapto, I. (2013). Asuhan Keperawatan pada Gangguan Sistem Respirasi. Jakarta: TIM.

Depkes. (2015). Gangguan pada Sistem Respirasi Manusia. (Internet). Termuat dalam: <http://www.scribd.com/doc/212775198/Tugas-Trend-Dan-Issue-Gangguan-Sistem-Respirasi> (Diakses pada tanggal 10 April 2016) jam 14.00 Wita).


http://www.askepbdg.co.id/2011/07/pnemothoraks.html (diakses pada tanggal 25 April 2016 jam 23.00 Wita).

WHO. (2015). Epidemiologi Pnemothoraks. (Internet). Termuat dalam: <http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2015/penyakit.pnemothoraks.html diakses pada tanggal 10 April 2016) jam 14.00 Wita).

No comments:

Post a Comment