Thursday, October 19, 2017

Laporan Pendahuluan Tuberculosis / TB

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang
Kesehatan merupakan fenomena yang kompleks yaitu suatu keadaan sejahtera fisik, mental, dan sosial yang komplet dan bukan semata-mata terbebas dari penyakit. Terutama kesehatan pada anak, dimana anak lebih rentan terhadap semua penyakit terutama pada penyakit infeksi yaitu Tuberkulosis Paru (Donna, 2008).
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit yang menular yang paling sering mengenai parenkim paru, biasanya disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Tuberculosis paru ditularkan ketika seorang penderita penyakit paru mengeluarkan organisme. Individu yang rentan mengirup droplet dan menjadi terinfeksi. Bakteri ditransmisikan ke alveoli dan memperbanyak diri. Rekasi inflamasi menghasilkan eksudat di alveoli dan bronkopneumonia, granuloma, jaringan fibrosa (Brunner &  Suddarth, 2013).
Tuberkulosis  adalah penyakit menular yang masih menjadi perhatian dunia. Hingga saat ini, belum ada satu negara pun yang bebas dari Tuberkulosis. Angka kematian dan kesakitan akibat kuman Mycobacterium Tuberculosis ini pun tinggi. Tahun 2009, 1,7 juta orang meninggal karena Tuberkulosis (600.000 diantaranya perempuan) sementara ada 9,4 juta kasus baru Tuberkulosis (3,3 juta di antaranya perempuan). Sepertiga dari populasi dunia sudah tertular dengan Tuberkulosis di mana sebagian besar penderita Tuberkulosis adalah usia produktif (15-55 tahun).
<http://www.depkes.go.id> (Diakses tanggal 15 April 2016)
Tuberkulosis merupakan salah suatu masalah kesehatan masyarakat yang sangat serius dan wajib menjadi perhatian berbagai elemen masyarakat di seluruh dunia. Penyakit ini disinyalir merupakan penyakit pembunuh nomor satu di antara sekian banyak penyakit-penyakit infeksi lainnya.
World Health Organization (WHO) 2010 memperkirakan bahwa, hingga saat ini sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi Mycobacterium Tuberculosis. Menyikapi hal ini,maka sejak tahun 1993, WHO telah
mencanangkan Tuberkulosis sebagai kedaruratan dunia (global emergency), dan berbagai tindakan telah dilakukan untuk menekan angka kasus ini. Dengan berbagai kemajuan yang dicapai sejak tahun 2003, diestimasikan masih terdapat sekitar 9,5 juta kasus baru Tuberkulosis, dan sekitar 0,5 juta orang meninggal akibat Tuberkulosis di seluruh dunia.
<http://www.academia.edu> (Diakses tanggal 15 April 2016)
Asia Tenggara, data WHO menunjukkan bahwa Tuberkulosis membunuh sekitar 2.000 jiwa setiap hari, dan sekitar 40 persen dari Tuberkulosis di dunia berada di kawasan Asia Tenggara. Secara kasar diperkirakan setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 penderita baru Tuberkulosis paru BTA positif. <http://digilib.esaunggul.ac.id> (Diakses pada tanggal 15 April 2016)
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2006 dilaporkan angka prevalensi kasus penyakit tuberkulosis paru di Indonesia 130/100.000. Kasus tuberkulosis dengan Basil Tahan Asam (BTA) positif di Indonesia terus meningkat, pada tahun 2006 terdapat 231.645 kasus, pada tahun 2007 sebanyak 232.358 kasus dan pada tahun 2008 sebanyak 228.485 kasus .
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 yang dilakukan oleh Kementrian Kesehatan RI, menyebutkan estimasi kasus baru Tuberkulosis di Indonesia tahun 2006 adalah 275 kasus/100.000 penduduk/tahun dan pada tahun 2010 turunmenjadi 244 kasus/100.000 penduduk/tahun.Fakta ini sekaligus menempatkan Tuberkulosis sebagai penyebab kematian utama untuk semua kelompok umur terbesar kedua yaitu sebesar 7,5% setelah penyakit stroke, dan merupakan nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi  <http://www.academia.edu> (Diakses tanggal 15 April 2016)
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provensi Kalimantan Selatan penderita penyakit Tuberkulosis Paru pada anak semakin tahun semakin meningkat. Pada tahun 2013, ada 236 orang anak yang menderita penyakit Tuberkulosis Paru yaitu pada umur 0-4 tahun sebanyak 75 orang anak, pada umur 5-14 tahun sebanyak 161 orang anak. Pada tahun 2014, ada 238 orang anak yang menderita Tuberkulosis Paru yaitu pada umur 0-4 tahun sebanyak 102, pada umur 5-14 tahun sebanyak 136 orang anak. Sedangkan pada tahun 2015, ada 246 orang anak yang menderita Tuberkulosis Paru yaitu pada umur 0-4 tahun sebanyak 198 orang anak, pada umur 5-14 tahun sebanyak 48 orang anak.
Menurut Data yang diambil penulis di Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin pada tahun 2015, 10 besar penyakit terbanyak yaitu terdapat 1.021 anak sakit dengan angka kejadian DHF sebanyak 211 anak, GE sebanyak 153 anak, leukemia sebanyak 152 anak, thalasemia sebanyak 150 anak, lain-lain (KDS, observasi febris kejang demam komplit, pneumonia, demam thypoid, observasi vomitus) sebanyak 355 anak. Sedangkan pada penyakit Tuberculosis pada anak tidak termasuk dalam 10 besar penyakit di atas, tetapi pada tahun 2016, angka kejadian Tuberculosis sebanyak 3 orang anak .yaitu terdapat 1 orang anak pada bulan Januari, pada bulan Maret terdapat 2 orang anak.


                                       


BAB 2
TINJAUAN TEORITIS


2.1  Tinjauan Teoritis Penyakit Tuberculosis paru
3.1.1.      Anatomi Sistem Pernapasan





Menurut Arif (2008) anatomi dari sistem pernapasan diklasifikasi, sebagai berikut :
        Sistem pernapasan pada manusia adalah  sistem menghirup oksigen dari udara serta  mengeluarkan  karbon dioksida dan uap air. Dalam proses pernapasan, oksigen merupakan zat kebutuhan utama. Oksigen untuk pernapasan diperoleh dari udara di lingkungan sekitar. Saluran pernafasan terdiri atas saluran pernapasan bagian atas (rongga hidung, sinus paranasal, dan faring), saluran pernafasan bagian bawah (laring, trachea, bronchus, dan alveoli), sirkulasi pulmonal (ventrikel kanan, arteri pulmonal, arteriola pulmonal, kapiler pulmonal, venula pulmonal, vena pulmonal, dan antrium kiri), paru (paru kanan 3 lobus dan paru kiri 2 lobus), rongga pleura, dan otot-otot pernapasan.


2.1.1.1           Saluran Pernapasan Bagian Atas
a.       Rongga Hidung
Hidung terdiri atas dua nostril merupakan pintu masuk dari rongga hidung. Rongga hidung adalah dua kanal sempit yang satu sama lain dipisahkan oleh sputum. Dinding rongga hidung dilapisi oleh mukosa respirasi serta sel epitel batang bersilia dan berlapis semu. Mukosa tersebut menyaring, menghangatkan, dan melembabkan udara yang masuk melalui hidung, vestibulum merupakan bagian dari rongga hidung dan berfungsi menyaring partikel-partikel asing berukuran besar agar tidak masuk ke saluran pernapasan bagian bawah. Dalam hidung juga terdapat saluran yang menghubungkan antara rongga hidung dengan kelenjar air mata, bagian ini dikenal dengan kantung nasolakrimalis. Kantung nasolakrimalis ini berfungsi mengalirkan air melalui hidung yang berasal dari kelenjar air mata jika seseorang menangis.
b.      Sinus Paranasal
Sinus paranasal berperan dalam menyekresi mukus, membantu pengaliran air mata melalui saluran nasolakrimalis, dan membantu dalam menjaga permukaan rongga hidung tetap bersih dan lembab. Sinus paranasal juga termasuk dalam wilayah pembau di bagian posterior rongga hidung. Wilayah pembau tersebut terdiri atas permukaan inferior palatum kribriform, bagian superior septum nasal, dan bagian superior konka hidung. Reseptor di dalam epitel pembau ini akan merasakan sensasi bau.
c.       Faring
Faring (tekak) pipa berotot yang bermula dari dasar tengkorak dan berakhir sampai persambungannya dengan esofagus dan batas tulang rawan krikoid. Faring terdiri atas tiga bagian yang dinamai berdasarkan letaknya, yakni nasofaring (di belakang hidung), orofaring (di belakang mulut), dan laringofaring (di belakang laring).
2.1.1.2       Saluran Pernapasan Bagian Bawah
a.       Laring
Laring (tenggorok) terletak di antara faring dan trachea. Berdasarkan letak vertebra sevikalis, laring berada di ruas ke-4 atau ke-5 dan  dan berakhir di vertebra servikalis ruas ke-6. Laring disusun oleh 9 kartilago yang disatukan oleh ligament dan otot rangka pada tulang hyoid di bagian atas dan trakhea di bawahnya.
b.      Pita Suara
Pita suara terletak di dalam laring. Ujung posterior pita suara melekat pada kartilago aritenoid. Pergerakan kartilago dilakukan otot laringeal yang membuat pita suara dapat enegang dan mengendur sehingga menimbulkan beragam tekanan.
c.       Produksi Suara
Udara yang melintasi glotis akan menggetarkan dan memvibrasi pita suara sehingga menghasilkan gelombang bunyi. Ada tiga faktor yang memengaruhi nada suara yang dihasilkan yakni diameter, panjang, dan tekanan di dalam pita suara. Diameter dan panjang pita suara ditentukan langsung oleh ukuran laring, sedangkan tekanan pita suara diatur melalui kontraksi otot-otot rangka yang merubah posisi kartilago aritenoid secara relative terdapat kartilago tiroid. Ketika jaraknya menjauh, maka pita suara dan nada suara menjadi naik. Saat jaraknya mendekat, maka pita suara mengendur sehingga nada suara menurun.
Dari segi anatomis, anak-anak mempunyai pita suara lebih pendek sehingga nada suaranya cenderung lebih melenting. Pada masa pubertas, laring laki-laki menjadi besar dari wanita. Pita suara pada pria dewasa lebih panjang dan lebar sehingga meghasilkan nada yang lebih rendah dan beat dibandingkan dengan wanita dewasa.
d.      Trakhea
Trakhea adalah sebuah tabung yang berdiameter 2.5 cm dengan panjang 11 cm. Trakhea terletak setelah laring dan memanjang kebawah setara dengan vertebra torakalis ke-5. Ujung trakhea dibagian bawah bercabang menjadi dua bronchus (bronchi) kanan dan kri. Percabangan bronkhus kanan dan kiri dikenal sebagai karina (carina). Trakhea tersusun atas 16-20 kartilago hialin berbentuk huruf C yang melekat pada dinding trakhea dan berfungsi untuk melindungi jalan udara. Kartilago ini juga berfungsi untuk mencegah terjadinya kolaps atau ekspansi berlebih akibat perubahan tekanan udara yang terjadi dalam system pernapasan. Bagian terbuka dari bentuk C kartilago trakhea ini saling berhadapan secara posterior kearah asofagus dan disatukan oleh ligament elastic dan otot polos.
e.       Bronkhus
Bronkhus mempunyai struktur serupa dengan trakhea. Bronkhus kiri dan kanan tidak simetris. Brokhus kanan lebih pendek, lebih lebar, dan arahnya hamper vertikel dengan trakhea. Sebaliknya, bronkhus kiri lebih panjang, lebih sempit, dan sudutnya pun lebih runcing. Bentuk anatomi yang khusus ini memiliki implikasi klinis tersendiri seperti jika ada benda asing yang terinhalasi, maka benda itu lebih memungkinkan berada di bronkhus kanan dibandingkan dengan bronkhus kiri karena arah dan lebarnya.
f.       Bronkhus Pulmonaris
Bronkhus pulmonaris bercabang dan beranting sangat banyak. Cabang utama bronkhus memiliki struktur serupa trakhea. Dinding bronkhus dan cabang-cabangnya dilapisi epithelium batang, bersilia dan berlapis semu. Saluran yang semakin kecil menyebabkan jenis epithelium bronkhus mengalami penyesuaian sesuai dengan fungsinya.

Bronkhiolus terminalis disebut saluran penghantar udara karena fungsi utamanya adalah mengantar udara ketempat pertukaran gas di paru. Selain bronkhiolus terminalis terdapat pula asinus yang merupakan unit fungsional paru sebagai tempat pertukaran gas. Asinus terdiri atas brokhiolus respiratorius dan duktus alveolaris (alveolar duct) yang seluruhnya dibatasi alveoli dan sakus alveolus terminalis yang merupakan struktur akhir paru.
g.      Duktus Alveolaris dan Alveoli
Bronkhiolus respiratorius terbagi dan bercabang menjadi beberapa duktus alviolaris dan berakhir pada kantung udara berdinding tipis yang disebut alveoli. Beberapa alveoli bergabung membentuk sakus alveolaris. Setiap paru terdiri atas sekitar 150 juta alveoli (sakus alveolaris). Kepadatan sakut alveolaris inilah yang memberi bentuk paru tampak seperti spons. Jaringan kapiler darah mengelilingi alveoli ditahan oleh serat elastis. Jaringan elastic ini menjaga posisi antar alveoli dengan bronkhiolus respiratorius. Adanya daya recoil dari serat ini selama ekspirasi akan mengurangi ukuran alveoli dan membantu mendorong udara agar keluar paru.
h.      Alveoli dan Membran Respirasi
Membrane respiratorius pada alveoli umumnya dilapisi oleh sel epitel pipih sederhana.sel-sel epitel pipih disebut dengan sel Tipe I. Makrofag alveolar bertugas berkeliling disekitar epitelium untuk memfagositosis partikel atau atau bakteri yang masih dapat masuk kepermukaan alveoli, makrofag ini merupakan pertahanan terakhir pada system pernapasan. Sel lain yang ada dalam membran respiratorius adalah sel septal atau disebut juga dengan sel surfaktan dan sel Tipe II. Surfaktan terdiri atas fosfolipid dan lipoprotein. Surfaktan berperan untuk melapisi epithelium alveolar dan mengurangi tekanan permukaan yang dapat membuat alveoli akan menjadi kolaps. Apabila produksi surfaktan tidak mencukupi karena adanya injuri atau kelainan genetic (kelahiran premature), maka alveoli dapat mengalami kolaps sehingga pola pernapasan menjadi tidak efektif.
i.        Sirkulasi pulmonal
Sirkulasi pulmonal dianggap sebagai system tekanan rendah karena tekanan darah sistolik dalam arteri pulmonalis adalah 20-30 mHg, tekanan diastolic dibawah 12 mmHg, dan tekanan pulmonal rata-rata kurang dari 20 mmHg.
j.        Paru
Paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut, dan terletak dalam rongga thoraks. Kedua paru terpisahkan oleh mediastinum sentral yang berisi jantung dan beberapa pembuluh darah besah. Paru kanan lebih besar dari pada paru kiri. Selain itu, paru juga dibagi menjadi tiga lobus, satu lobus pada paru kanan dan dua lobus pada paru kiri. Lobus-lobus tersebut dibagi menjadi beberapa segmen, yaitu 10 segmen pada paru kanan dan 9 segmen pada paru kiri.
k.      Pleura
Pleura merupakan kantung tertutup yang terbuat dari membran serosa (masing-masing untuk setiap paru) yang di dalamnya mengandung cairan serosa. Paru terinvaginasi (tertekan dan masuk kedalam) lapisan ini sehingga  membentuk dua lapisan penutup. Satu bagian melekat kuat pada paru dan bagian lainnya pada dinding rongga thorak. Bagian pleura yang melekat kuat pada paru disebut pleura viseralis dan dinding rongga thorak. Bagian pleura yang melekat kuat pada paru disebut pleura viseralis dan lapisan paru yang membatasi rongga thorak disebut pleura parietalis.
l.        Otot-otot Pernapasan
Otot-otot pernapasan merupakan sumber kekuatan untuk menghembuskan udara. Diafragma (dibantu oleh otot-otot yang dapat mengangkat tulang rusuk dan tulang dada) merupakan otot utama yang ikut berperan meningkatkan volume paru. Pada saat istirahat, otot-otot pernapasan megalami relaksasi.
Saat inspirasi, otot sternokleidomastoideus, otot skalenes, otot pektoralis minor, otot seratus anterior, dan otot interkostalis sebelah luar mengalami kontraksi sehingga menekan diafragma ke bawah dan mengangkat rongga dada untuk membantu udara masuk ke dalam paru.

2.1.2        Fisiologi Pernafasan
Saluran pernapasan dapat disebut juga dengan sistem respirasi yang berarti bernapas kembali. Sistem ini berperan menyediakan oksigen (O2) yang mengambil dari atmosfer dan mengeluarkan karbon dioksida (CO2) dari sel-sel (tubuh) menuju ke udara bebas. Proses pernapasan berlangsung dalam beberapa langkah dan berlangsung dengan dukungan sistem saraf  pusat dan sistem kardiovaskuler pada dasarnya sistem pernapasan terdiri atas rangkaian saluran udara yang menghantarkan udara luar agar dapat bersentuhan dengan  membrane kapiler alveoli yang memisahkan antara sistem pernapasan dan sistem kardiovaskuler.

Pernapasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen ke dalam tubuh (inspirasi) serta mengeluarkan udara yang mengandung karbon dioksida sisa oksidasi keluar tubuh (ekspirasi). Proses respirasi terjadi karena adanya perbedaan tekanan antara rongga pleura dan paru. Sistem saraf pusat memberikan dorongan ritmis dari dalam untuk bernapas dan secara reflex merangsang otot diafragma dan otot dada yang akan memberikan tenaga pendorong bagi gerakan  udara.

Fungsi anatomi yang yang cukup baik dari semua sistem ini penting untuk respirasi sel. Malfungsi dari semua komponen dapat mengganggu pertukaran dan pengangkutan gas dan serta dapat sangat membahayakan proses kehidupan. Proses pernapasan tersebut terdiri atas tig bagian, yaitu ventilasi, difusi gas, dan transportasi gas.
a.        Ventilasi
Ventilasi adalah proses inspirasi dan ekspirasi yang merupakan proses aktif dan pasif yang melibatkan kontraksi otot-otot interkosta interna dan mendorong dinding dada sedikit ke arah luar. Akibatnya, diafragma berkontraksi. Pada saat ekspirasi, diafragma dan otot-otot intrekosta eksterna berelaksasi sehingga rongga dada kembali mengecil dan udara terdorong keluar.
b.      Difusi Gas
Untuk memenuhi kebutuhan oksigen di jaringan, proses difusi gas pada saat respirasi haruslah optimal. Difusi gas adalah bergeraknya O2 dan CO2 atau partikel lain dari area yang bertekanan tinggi ke arah yang bertekanan rendah. Di dalam alveoli O2 melintasi membran alveoli-kapiler dari alveoli ke darah karena adanya perbedaan tekanan PO2 yang tinggi di alveoli (100 mmHg) dan tekanan pada kapiler yang lebih rendah (PO2 40 mmHg), CO2 berfungsi dengan arah berlawanan akibat perbedaan tekanan PCO2 darah 45 mmHg dan di alveoli 40 mmHg.
c.       Transportasi Gas
Transportasi gas adalah perpindahan gas dari paru ke jaringan dan dari jaringan ke paru dengan bantuan darah (aliran darah). Masuknya O2 ke dalam sel darah yang bergabung dengan hemoglobin yang menudian membentuk oksihemoglobin senbanyak 97% dan sisanya 3 %bditransportasikan ke dalam cairan plasma dan sel.

2.1.3        Pengertian Tuberkulosis
Menurut Nurarif & Kusuma (2013) Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan Mycobacterium tuberkulosis yang hampir seluruh organ tubuh dapat terserah olehnya, tapi yang paling banyak adalah paru-paru.

Menurut Brunner &  Suddarth (2013) Tuberculosis Paru ditularkan ketika seorang penderita penyakit paru mengeluarkan organisme. Individu yang rentan mengirup droplet dan menjadi terinfeksi. Bakteri ditransmisikan ke alveoli dan memperbanyak diri. Rekasi inflamasi menghasilkan eksudat di alveoli dan bronkopneumonia, granuloma, jaringan fibrosa.

Menurut Suriadi (2008) Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi pada paru yang disebabkan oleh mycobacterium tuberkulosis yaitu suatu bakteri tahan asam.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa penyakit Tuberkulosis Paru adalah penyakit infeksi pada organ pernapasan yang menular terutama pada parenkim paru yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis dimana bacteri ini tahan terhadap asam.

Adapun klasifikasi Tuberculosis dari sistem lama menurut Nurarif & Kusuma (2013), yaitu :
2.1.3.1 pembagian secara patologis
a.    Tuberculosis primer.
b.    Tuberculosis post-primer
2.1.3.2  Pembagian secara aktivitas radiologis Tubercolusis paru aktif, non aktif dan quiescent (bentuk aktif yang menyembuh).
2.1.3.3 Pembagian secara radiologis (luas lesi).
a.    Tubercolusis minimal.
b.    Moderately advanced tuberkolusis.
c.    Far advanced tubercolusis

Klasifikasi menurut American Thoracic Socienty :
1.   Kategori 0
Tidak pernah terpajan, dan tidak terinfeksi, riwayat kontak negative, tes tuberculin negative 
2.   Kategori 1
Terpajan tubercolusis, tetapi tidak terbukti ada infeksi, riwayat kontak positif, tes tuberculin negative .
3.   Kategori 2
Terinfeksi tubecolusis, tetapi tidak sakit, tes tuberculin positif, radiologis dan sputum negative.
4.   Kategori 3
Terinfeksi tubecolusis dan sakit.

Klasifikasi di Indonesia dipakai berdasarkan kelainan klinis, radiologis, dan makro biologis:
1.   Tuberkolusis paru.
2.   Bekas Tuberkolusis paru.
3.   Tuberkolusis paru tersangka yang terbagi dalam:
5.   Tuberkolusi tersangka yang diobati : sputum BTA negative, tetapi tanda-tanda lain positif.
6.   Tuberkolusis tersangka yang tidak diobati: sputum BTA negative dan tanda-tanda lain juga meragukan.

Klasifikas menurut WHO Tubercolusis dibagi dalam 4 kategori yaitu:
1.   Kategori 1, ditujukan terhadap:
a.    Kasus baru dengan sputup positif.
b.    Kasus baru dengan bentuk TB berat.
2.   Kategori 2, ditujukan terhadap:
a.    Kasus kambuh.
b.    Kasus gagal dengan sputum BTA positif.
3.   Kategori 3, ditujukan terhadap:
a.    Kasus BTA negative dengan kelainan paru yang luas.
b.    Kasus Tuberkulosis ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori 1.
4.   Kategori 4, ditujukan terhadap: Tubercolusis kronik.
2.1.4        Etiologi
Menurut Nurarif (2013) Penyebab Tubercolusis Paru adalah Mycobacterium tubercolosis. Basil ini tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari, dan sinar ultraviolet. Ada dua macam mikobakteria tuberculosis yaitu tipe human dan tipe bovin. Basil tipe human bisa berada di bercak ludah (droplet) di udara yang berasal dari penderita TBC terbuka dan orang yang rentan terinfeksi TBC ini bila menghirup bercak ini. Perjalanan TBC setelah infeksi melalui udara.

Tubercolusis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Anak rentan terhadap organisme yang menyerang manusia (M.tuberculosis) dan sapi (bovine) (Mycobacterium bovis) (Donna ,2008)

Menurut Suriadi (2008) etiologi dari Tubercolusis Paru adalah, sebagai berikut :
2.1.4.1      Mycobacterium Tuberculosa.
2.1.4.2      Mycobacterium bovis.
2.1.4.3      Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang terinfeksi oleh mycobacterium tuberculosa.
2.1.4.4      Herediter
Resistensi seseorang terhadap infeksi kemungkinan diturunkan secara genetik.
2.1.4.5      Jenis kelamin
Pada akhir masa kanak-kanak dan remaja, angka kematian dan kesakitan lebih banyak terjadi pada anak perempuan.
2.1.4.6      Usia
Pada masa bayi kemungkinan terinfeksi sangat tinggi. Dan pada masa puber dan remaja dimana terjadi masa pertumbuhan yang cepat, kemungkinan infeksi cukup tinggi karena diet yang tidak adekuat.
2.1.4.7      Keadaan stress
Situasi yang penuh stress (injury atau penyakit, kurang nutrisi, stress emosional, kelelahan yang kronik).
2.1.4.8      Meningkatnya sekresi steroid adrenal yang menekan reaksi inflamasi dan memudahkan untuk penyebaluaan infeksi.
2.1.4.9      Anak yang mendapat terapi kortikosteroid kemungkinan terinfeksi lebih mudah.
2.1.4.10  Status nutrisi yang kurang
2.1.4.11  Infeksi berulang seperti HIV, malaese,pertusis
2.1.4.12  Tidak mematuhi aturan pengobatan.

2.1.5        Patofisiologi   
Ketika seorang klien Tuberkulosis Paru batuk, bersin, atau berbicara tak sengaja keluarlah droplet nuclei. Menguapnya droplet bakteri ke udara dengan pergerakan angin akan membuat bakteri tuberculosis yang mengandung dalam droplet nuclei terbang ke udara. Apabila bakteri ini dihirup oleh orang sehat, maka orang itu berpotensi terkena infeksi bakteri tuberculosis. Penularan bakteri lewat udara disebut dengan istilah air-borne infection. Bakteri yang terisap akan melewati pertahanan mukosilier saluran pernapasan dan masuk hingga alveoli. Pada titik lokasi di mana terjadi implantasi bakteri, bakteri akan menggandakan diri (multiplying). Bakteri tuberculosis dan focus ini disebut focus primer atau lesi primer atau focus ghon. Reaksi juga terjadi terjadi pada jaringan limfe regional, yang bersama dengan focus primer disebut sebagai kompleks primer. Dalam waktu 3-10 minggu, inang yang baru terkena infeksi akan menjadi sensitive terhadap protein yang dibuat bakteri tuberculosis dan bereaksi positif terhadap tes tuberculin atau tes mantoux.










2.1.6        Manifestasi Klinis
Menurut Nurarif & Kusuma (2013) manifestasi klinis yang muncul pada Tubercolusis paru adalah :
2.1.6.1  Demam 40-41°C.
2.1.6.2  Batuk/batuk darah.
2.1.6.3  Sesak napas.
2.1.6.4  Nyeri dada
2.1.6.5  Malaise.
2.1.6.6  Keringat malam.
2.1.6.7  Suara khas pada perkusi dada, bunyi dada
2.1.6.8  Peningkatan sel darah putih dengan dominasi limfosit.
2.1.6.9  Pada anak
a.         Berkurangnya BB 2 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas atau gagal tumbuh.
b.        Demam tapa sebab yang jelas, terutama jika berlanjut sampai 2 minggu.
c.         Batuk kronik lebih dari 3 minggu, dengan atau tanpa wheeze.
d.        Riwayat kontak dengan pasien TB paru dewasa.

Manifestasi klinis tuberculosis paru menurut Brunner & suddarth (2013) dan Donna (2008), yaitu:
1.      Demam.
2.      Malaise.
3.      Anoreksia.
4.      Penurunan berat badan.
5.      Batuk ada, atau tidak ( berkembang secara perlahan selama berminggu-minggu sampai berbulan-bulan).
6.      Nyeri menusuk dan rasa sesak di dada.
7.      Hemaptosis (jarang).
8.      Peningkatan frekuensi napas.
9.      Ekspansi paru  buruk pada tempat yang sakit.
10.  Bunyi nafas hilang dan ronkhi kasar.
11.  Pekak pada saat diperkusi.
12.  Demam persisten.
2.1.7        Pemeriksaan Penunjang
Menurut Arif (2008) pemeriksaan penunjang untuk Tuberculosis Paru, adalah :
2.1.7.1  Pemeriksaan Rontgen Thoraks
Pada hasil pemeriksaan rontgen thorak, sering didapatkan adanya suatu lesi sebelum ditemukan adanya gejala subjektif awal dan sebelum pemeriksaan fisik menemukan kelainan pada paru. Bila pemeriksaan rontgen menemukan suatu kelainan, tidak ada gambaran khusus mengenai TB paru awal kecuali lokasi di lobus bawah dan biasanya berada di sekitar hilus. Karakteristik kelainan ini terlihat sebagai daerah bergaris-garis opaque yang ukurannya bervariasi dengan batas lesi yang tidak jelas. Kriteria yang kabur dan gambar yang kurang jelas ini sering diduga sebagai pneumonia atau suatu proses eksudatif, yang akan tampak lebih jelas dengan pemberian kontras, sebagaimana gambaran dari penyakit fibrotik kronis. Tidak jarang kelainan ini tampak kurang jelas di bagian atas maupun bawah, memanjang di daerah klavikula atau satu bagian lengan atas, dan selanjutnya tidak mendapatperhatian kecuali dilakukan pemeriksaan rontgen yang lebih teliti.
2.1.7.2  Pemeriksaan CT Scan
Pemeriksaan CT scan dilakukan untuk menemukan hubungan kasus TB inaktif/stabil yang ditunjukkan dengan adanya gambaran garis-garis fibrotik irreguler, pita parenkimal, kalsifikasi nodul dan adenopati, perubahan kelengkungan berkas bronkhovaskular, bronkhiektasis, dan emfisema perisikatriksial.
2.1.7.3  Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis terbaik dari penyakit Tuberculosis diperoleh dengan pemeriksaan mikrobiologi melalui isolasi bakteri. Untuk membedakan spesies Mycobacterium antar yang satu dengan yang lainnya harus dilihati sifat koloni, waktu pertumbuhan, sifat biokimia pada berbagai media, perbedaan kepekaan terhadap OAT dan kemoterapeutik, perbedaan kepekaan terhadap binatang percobaan, dan percobaan kepekaan kulit terhadap berbagai jenis antigen Mycobacterium. Bahan pemeriksaan untuk isolasi Mycobacterium Tuberculosis berupa:
a.       Sputum
Sebaiknya sputum diambil pada pagi hari dan yang pertama keluar. Jika sulit didapatkan maka sputum dikumpulkan selama 24 jam.
b.      Urine
Urine yang diambil adalah urine pertama di pagi hari atau urine yang dikumpulkan selama 12-24 jam. Jika klien menggunakan kateter maka urine yang tertampung di dalam urine bag dapat diambil.
c.       Cairan kumbah lambung
Umumnya bahan pemeriksaan ini digunakan jika anak-anak atau klien tidak dapat mengelurakan sputum. Bahan pemeriksaan d iambli pagi hari sebelum sarapan.

2.1.8        Penatalaksanaan Medis
Menurut Arif (2008) penatalaksanaan medis untuk tuberculosis paru menjadi tiga bagian, yaitu pencegahan, pengobatan, dan penemua penderita.
2.1.8.1 Pencegahan Tuberculosis Taru
a.       Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat dengan penderita Tuberculosis paru BTA positif. Pemeriksaan meliputi tes tuberculin, klinis, dan radiologi. Bila tes tuberculin positif, maka pemeriksaan radiologis foto thoraks diulang pada 6 dan 12 bulan mendatang. Bila masih negative, diberikan BCG vaksinasi. Bila positif, berarti terjadi konversi hasil tes tuberculin dan diberikan kemoprofilaksis.
b.       Mass chest C-ray, yaitu pemeriksaan massal terhadap kelompok-kelompok populasi tertentu misalnya karyawan rumah sakit/puskesmas/balai pengobatan, penghuni rumah tahanan, siswa-siswi pesantren.
c.       Vaksinasi BCG.
d.      Kemoprofilaksis dengan menggunakan INH 5 mg/kgBB selam 6-12 bulan dengan tujuan menghancurkan atau megurangi populasi bakteri yang masih sedikit. Indikasi kemoprofilaksis primer atau utama ialah bayi yang menyusun pada ibu dengan BTA positif, sedangkan kemoprofilaksis sekunder diperlukan bagi kelompok berikut:
1)      Bayi dibawah lima tahun dengan hasil tes tuberculin positif karena risiko timbulnya tuberculosis milier dan meningitis tuberculosis.
2)      Anak dan remaja dibawah usia 20 tahun dengan hasil tes tuberculin positif yang bergaul erat dengan penderita tuberculosis paru menular.
3)      Individu menunjukkan konversi hasil tes tuberculin dari negative menjadi positif.
4)      Penderita yang menerima pengobatan steroid atau obat imunosupresif jangka panjang.
5)      Penderita diabetes mellitus.
e.         Komunikasi, informasi, edukasi (KIE) tentang penyakit tuberculosis kepada masyarakat di puskesmas  maupun di tingkat rumah sakit oleh petugas pemerintah maupun petugas LSM ( misalnya Perkumpulan Pemberantasan Tuberculosis Paru Indonesia-PPTI).

2.1.8.2 Pengobatan Tuberculosis Paru
Tujuan pengobatan pada penderita Tuberculosis paru selain mengobati, juga untuk mencegah kematian, kekambuhan, resistensi terhadap OAT, serta memutuskan mata rantai enularan. Untuk penatalaksanaan pengobatan tuberculosis paru, berikut ini adalah beberapa hal yang penting untuk diketahui yaitu mengenai mekanisme kerja Obat Anti Tuberculosis (OAT) :
a.       Aktivitas bakterisidal, untuk bakteri yang membelah cepat
1)      Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin (R) dan Streptomisin (S).
2)      Intraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin dan Isoniazid (INH).
b.       Aktivitas sterilisas, terhadap the persisters (bakteri semidormant).
1)      Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah rifampisin dan isoniazid.
2)      Intraseluler, untuk slowly growing bacilli digunakan rifampisin dan isoniazid. Untuk very slowly growing bacilli digunakan, Prirazinamid (Z).
c.       Aktivitas bakteriostatis, obat-obatan yang mempunyai aktivitas bakteriostatis terhadap bakteri tahan asam.
1)      Ekstraseluler, jenis obat yang digunaka ialah Etambutol (E), asam para-amino salisilik (PAS), dan sikloserine.
2)      Intraseluler, kemungkinan masih dapat dimusnahkan oleh Isoniazid dalam keadaan telah terjadi resistensi sekunder.
Pengobatan tuberculosis terbagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan). Panduan obat yang digunakan terdiri atas obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama yang digunakan adalah rifampisin, isoniazid, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.
Adapun panduan OAT Indonesia, yaitu :
1.      Kategori I
Kategori I adalah kasus baru dengan sputum ositif dan penderita dengan dengan keadaan yang berat seperti meningitis, TB milier, perikarditis, pleuritis maasif atau bilateral, spondiolitis dengan gangguan neurologis, dan penderita dengan sputum negative tetapi kelainan parunya luas, TB usus, TB saluran perkemihan, dan sebagainya.

Dimulai dengan fase 2 HRZS(E) obat diberikan setiap hari selama dua bulan. Bila selama dua bulan sputum menjadi negative, maka dimulai fase lanjutan. Bila setelah dua bulan sputum masih tetap positif, maka fase intensif diperpanjang 2-4 minggu lagi, kemudian diteruskan dengan fase lanjutan tanpa melihat apakah sputum sudah negative atau belum. Fase lanjutannya adalah 4 HR atau H3R3. Pada penderita meningitis, TB milier, spondiolitis dengan kalainan neurologis, fase lanjutan diberikan lebih lama, yaitu 6-7 bulan hingga total pengobatan 8-9 bulan. Sebagai panduan alternative pada fase lanjutan ialah 6 HE.
2.      Kategori II
Kategori II adalah kasus kambuh atau gagal dengan sputum tetap positif. Fase intensif alam bentuk 2 HRZES-1 HRZE. Bila setelah fase intensif sputum menjadi  negative, baru diteruskan ke fase lanjutan. Bila setelah tiga bulan sputum masih tetap positif, maka fase intensif diperpanjang 1 bulan lagi dengan HRZE. Bila setelah empat bulan sputum masih tetap positif, maka pengobatan dihentikan 2-3 hari. Kemudian, diperiksa biakan dan uji resistensi lalu pengobatan diteruskan dengan fase lanjutan.
Bila penderita mempunyai data resistensi terhadap H atau R, maka fase lanjutan harus diawasi dengan ketat.tetapi jika data menunjukkan resistensi terhadap H dan R, maka kemungkinan keberhasilan pengobatan kesil. Fase lanjutan adalah 5 H3R3E3 bila dapat pengawasan atau 5 HRE bila tidak dapat dilakukan pengawasan.
3.      Kategori III
Kategori III adalah kasus dengan sputum negative tetapi kelainan parunya tidak luas dan kasus TB di luar paru selain yang disebut dalam kategori I. pengobatan yang diberikan.
2 HRZ/6 HE
2 HRZ/4HR
2HRZ/4H3R3
4.      Kategori IV
Kategori IV adalah tuberculosis kronis. Prioritas pengobatan renda karena kemungkinan keberhasilan pengobatan kecil sekali. Untuk Negara kurang mampu dari segi kesehatan masyarakat, dapat diberikan H saja seumur hidup. Untuk Negara maju atau pengobatan secara individu (penderita mampu), dapat dicoba pemberian obat berdasarkan uji resisten atau obat lapis kedua seperti Quinolon, Ethioamide, Sikloserin, Amikasin, Kanamisin, dan sebagainya.

Table 1.1 Panduan Pemberian Obat anti-Tuberkulosis (OAT)


Obat anti-TB Esensial


Aksi


Potensi
Rekomendasi Dosis (mg/kgBB)
Per Hari
Per minggu
3 x
2 x
Isiniazid (INH)
Rifampisin (R)
Pirazinamid (Z)
Streptomisin (S)
Etambutol (E)
Bakterisidal
Bakterisidal
Bakterisidal
Bakterisidal
Bakteriostatik
Tinggi
Tinggi
Rendah
Rendah
Rendah
5
10
25
15
15
10
10
35
15
30
15
10
50
15
45
Sumber : Arif, 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan.

2.1.9        Prognosis
Sebagian besar anak dapat sembuh dari infeksi TB primer dan sering tidak menyadari keberadaannya. Akan tetapi, anak yang masih sangat kecil memiliki insidensi penyebaran penyakit yang lebih tinggi. TB merupakan penyakit serius selama 2 tahun pertama kehidupan, selama masa remaja, dan pada anak yang menderita HIV positif. Kecuali pada kasus-kasus meningitis tuberculosis, kematian jarang terjadi pada anak yang mendapatkan pengobatan. Tetapi antibiotic telah berhasil menurunkan angka kematian den penyebaran secara hematologi akibat lesi primer (Donna, 2008).

Beberapa pasien penderita TB resisten obat, membuat pengobatan menjadi lebih sulit. TB resisten obat dapat resisten pada awal infeksi, atau dapat berkembang sebagai hasil medikasi selama pengobatan. Hal ini terjadi karena pengobatan tidak tepat atau karena tidak ada tindakan yang tepat (Digiulio Mery. Dkk, 2007).

2.1.10    Komplikasi
Menurut Surapsari (2008) komplikasi dari penyakit Tuberkulosis Paru, yaitu :
2.1.10.1            Limfadenitis
a.    Lokasi penyakit ekstrparu. Penyakit dapat timbul dari infeksi primer, penyebaran dari lokasi jauh, atau reaktivasi infeksi.
b.    Kelenjar servikal dan mediastinum paling sering terkena, diikuti oleh aksila dan inguinal ; pada 5 % kasus, lebih dari kelompok regional terlibat.
c.    Gangguan konstitusional dan bukti tuberculosis terkait biasanya sedikit.
d.   Kelenjar getah bening biasanya tidak nyeri dan pada awalnya dapat digerakkan namun menjadi terinfiksasi sejalan dengan waktu. Saat terjadi perkijauan dan pencairan (liquefaction), pembengkakan menjadi berfluktuasi dan dapat mengeluarkan sekretmelalui kulit dengan pembentukan abses collarstud dan pembentukan sinus.
e.    Selama atau setelah pengobatan, pembesaran paradoksikal, perkembangan kelenjar getah bening baru atau supurasi dapat terjadi namun tanpa bukti infeksi yang berlanjut, eksisi bedah jarang diperlukan.
2.1.10.2            Penyakit gastrointestinal
Tuberculosis dapat mengenai semua bagian usus dan bagian pasien dapat mengalami berbagai variasi gejala dan tanda.
a.       Penyakit ileosekal menyebabkan separuh kasus tuberculosis abdominal. Demam, keringan malam, anoreksia, dan penurunan berat badan biasanya jelas terjadi dan massa fosa iliaka kanan dapat teraba. Scan abdomen dapat menunjukkan penebalan dinding usus, limfadenopati, penebalan mesenteric, atau asites. Barium enema dan enema isis halus dapat menunjukkan penyempitan, pemendekan, dan distorsi usus dengan ketelibatan sekum yang dominan. Perlu dibedakan dengan penyakit crohn.
b.      Peritonitis tuberculosis berhubungsn dengan demam, nyeri, dan distesi, atau mungkin terdapat massa omentum yang memadat dan lingkaran usus yang teraba.
c.       Disfungsi hepatic derajat rendah sering ditemukan pada tuberculosis milier dan kriptik, yang sering bermanisfestasi sebagai demam yang tidak diketahui penyebabnya, saat biopsy menunjukkan granulomata. Kadang-kadang dapat timbul ikterik dengan gambaran campuran hepatic/kolestatik.
2.1.10.3            Penyakit pericardial
Penyakit terjadi dalam dua bentuk utama yaitu efusi pericardial dan perikarditis konstriktif. Demam keringat malam jarang terjadi dan manifestasinya bersifat perlahan dengan sesak napas dan pembengkakan abdomen.
a.       Pulpus paradoktus, tekanan vena jugularis yang sangat meningkat, hepatospleomegali, asites masin, dan adanya edema perifer umum terjadi ada kedua bentuk tersebut.
b.      Efusi pericardial berkaitan dengan bunyi pekak yang meningkat pada daerah perkardial dan perbesaran jantung berbentuk globular pada rontgen torak, sementara kontriksi dikaitkan dengan fibrilasi atrium, bunyi jantung ketiga awal, dan kalsifikasi prikarial.
2.1.10.4            Penyakit sistem saraf pusat
Hingga saat ini terbentuk paling penting dari tuberculosis sistem saraf pusat adalah penyakit meningeal. Penyakit ini dapat menyebabkan komplikasi pada tuberculosis primer atau post primer. Penyakit ini dapat mengancam nyawa dan menjadi fatal dengan cepat bila tidak didiagnosis sejak awal. Penyakit paru yang menyertai tidak jarang terjadi. Onset penyakit ini perlahan dengan muntah, demam, dan keringat malam yang terjadi dalam 1-2 minggu. Terjadi perubahan mental dan kepribadian dengan rasa mengantuk yang progresif, meningimus, palsi saraf cranial (terutama saraf ketiga dan keenam), tanda-tanda fokal traktus panjang, dan bahkan koma pada minggu ketiga dank e empat. Hiponatremia sering terjadi.
2.1.10.5            Penyakit tulang sendi
Semua tulang dan sendi dapat terinfeksi namun yang paling sering adalah tulang belakang dan panggul.
Tuberculosis tulang belakang biasanya dengan gejala nyeri punggung kronik dan biasanya mengenai tulang belakang torakal bagian bawah dan lumbal. Keterlibatan diktus merupakan manifestasi pertama yang diikuti oleh penyebaran sepanjang ligament spinal untuk mengenai korpus vertebra anterior di dekatnya sehingga menyebabkan angulasi paravertebra dan psoas tidak jarang terjadi.
2.1.10.6            Penyakit saluran kemih dan kelamin
Penyakit ginjal jarang terjadi dan seringkali sangat perlahan dengan gejala konstitusional minimal.
Hematuri, ferkuensi, dan disuria seringkali muncul, dengan piuri steril yang ditemukan ada mikroskopi dan kuktur urin. Pada pria, tuberculosis saluran kemih dan kelamin dapat timbul sebagai epididimitis atau prostatitis. Sedangkan pada wanita, infertilitas akibat endo metritis, atau nyeri dan pembengkakan pelvis akan salpingitis atau abses tuboovarium dapat terjadi.

2.2  Tinjauan Teoritis Keperawatan
2.2.1        Pengkajian
Berdasarkan klasifikasi dari Arif (2008), riwayat keperawatan yang perlu dikaji yaitu :
2.2.1.1            Data Klien
Data Klien meliputi identitas klien yaitu nama, jenis kelamin, umur, alamat, pendidikan, pekerjaan, tempat tanggal lahir, agama, suku, dll.
Penyakit tuberculosis dapat menyerang manusia mulai dari usia anak-anak sampai dewasa dengan perbandingan yang hamper sama antara laki-laki dan perempuan. Tuberculosis pada anak biasanya terjadi diusia berapapun, namun usia paling umum adalah 1-4 tahun.
2.2.1.2            Keluhan Utama
Keluhan yang sering menyebabkan klien dengan TB paru meminta pertolongan dari tim kesehatan dapat dibagimenjadi dua, yaitu :
a.       Keluhan respiratoris, meliputi :
1)      Batuk
Keluhan batuk, timbul paling awal dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan. Perawat harus menanyakan apakah keluhan batuk bersifat nonproduktif/produktif atau sputum bercampur darah.
2)      Batuk darah
Keluhan batuk darah dengan klien dengan TB paru selalu menjadi alasan utama klien untuk meminta pertolongan kesehatan. Hal ini disebabkan rasa takut klien pada darah yang keluar dari jalan napas. Perawat harus menanyakan seberapa banyak darah yang keluara atau hanya berupa blood streak, berupa garis, atau bercak-bercak.
3)      Sesak nafas
Keluhan ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothorak, anemia, dan lain-lain.
4)      Nyeri dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik ringan. Gejala ini timbul apabila sistem persyarafan di pleura terkena TB.
b.      Keluhan Sistemis, meliputi :
1)      Demam
Keluhan yang sering dijumpai dan biasanya timbul pada sore atau malam hari mirip demam influenza, hilang timbul, dan semakin lama semakin panjang serangannya, sedangkan masa bebas serangan semakin pendek.
2)      Keluhan sistemis lain
Keluhan yang bisa timbul ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan dan malaise. Timbulnya keluhan bersifat granual muncul dalam beberapa bulan. Akan tetapi mepanmpila akut dengan batuk, panas, dan sesak nafas. Walaupu jarang, dapat juga timbul menyerupai gejala pneumonia.
2.2.1.3            Riwayat Penyakit
a.       Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan batuk timbul paling awal dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan, mula-mula nonproduktif kemudian berdahak dan bercampur darah bila sudah terjadi kerusakan jaringan. Batuk akan timbul apabila proses penyakit telah melibatkan bronkhus.
b.      Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah sebelumnya klien pernah menderita TB paru, keluhan batuk lama, tuberculosis dari orang lain, pembesaran getah bening, dan penyakit lain yang memperberat TB paru seperti diabetes mellitus.

Untuk anak dengan mengkaji riwayat kontak dengan individu yang terinfeksi, penyakit yang pernah di derita sebelumnya. Kaji adanya gejala panas naik turun dalam jangka waktu lama, batuk hilang timbul, anoreksia, lesu, kurang nafsu makan, dan hemoptysis.
c.       Riwayat Penyakit Keluarga
Secara patologis TB paru tidak diturunkan, tetapi perawat perlu menanyakan apakah penyakit pernah
dialami oleh anggota keluarga lainnya sebagai faktor predisposisi penularan di dalam rumah.
2.2.1.4            Pengkajian Psikologis Sosial dan Spiritual
Pengkaian psikologis klien meliputi beberapa dimensi yang kemungkinan perawat untuk memperbaiki persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien.
Pada kondisi klinis, klien dengan TB paru sering mengalami kecemasan bertingkat sesuai keluhan yang dialaminya. Perawat juga menanyakan kondisi pemukiman klien bertempat tinggal. Hal ini sangat penting, mengingat TB paru sangat rentan dialami TB paru lebih mudah hidup di tempat pemukiman yang kumuh karena populasi bakteri TB paru lebih mudah hidup ditempat yang kumuh dengan ventilasi dan pencahayaan sinar matahari yang kurang.
2.2.1.5            Pemeriksaan Diagnostik
a.       Pemeriksaan rontgen thoraks
b.      Pemeriksaan CT Scan
c.       Pemeriksaan laboratorium
1)      Sputum: diambil pada pagi hari dan yang pertama keluar
2)      Darah: peningkatan leukosit dan Laju Endap Darah (LED).
3)      Urine: urine yang diambil adalah urine pertama dipagi hari atau urine yang dikumpulkan selama 12-14 jam. Jika klien menggunakan kateter maka urine yang tertampung di dalam urine bag dapat diambil.
4)      Cairan kumbah lambung: umumnya bahan pemeriksaan ini digunakan jika anak-anak tidak dapat mengeluarkan sputum. Diambil pada pagi hari.
5)      Bahan-bahan lain seperti feses, swab tenggorok, jaringan tubuh.
d.      Reaksi terhadap tuberculin: reaksi test positif menunjukkan adanya infeksi primer.
2.2.1.6            Pemeriksaan Fisik
a.       Keadaan Umum dan Tanda-Tanda Vital
Kesadaran klien dengan TB paru terdiri atas compos mentis, apatis, samnolen, sopor, soporkoma, atau koma.
Hasil penilaian tanda-tanda vital pada klien dengan TB paru biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh secara signifikan, frekuensi napas meningkat apabila disertai sesak napas, denyut nadi biasanya meningkat seirama dengan peningkatan suhu tubuh dan frekuensi pernapasan, dan tekanan darah biasanya sesuai dengan adanya penyakit penyulit seperti hipertensi.
b.      B1 ( Breathing )
1)      Inspeksi
Bentuk dada dan gerakan pernapasan, pada klien TB paru biasanya terlihat kurus sehingga adanya penurunan proporsi diameter bentuk dada antero posterior dibandingkan dengan proporsi diameter lateral. Apabila dan penylit dari Tb paru seperti adanya efusi pleura yang massif maka terlihat adanya ketidaksimetrisan rongga dada, pelebaran intercostals space (ICS) pada sisi yang sakit. Tb paru yang disertai atelektasis paru membuat bentuk dada menjadi tidak simetris di mana didapatkan penyempitan intercostals space (ICS) pada sisi yang sakit. Terdapat batuk produktif yang disertai adanya peningkatan produksi secret dan sekresi sputum yang purulen.
2)      Palpasi
a)    Adanya pergeseran trakhea pada saat dilakukan palpasi pada Tb paru yang disertai adanya efusi pleura massif dan pneumothoraks akan mendorong posisi trakhea kearah berlawanan dari sisi sakit.
b)   Pada pergerakan dinding thorak anterior/ekskrusi pernapasan biasanya normal dan seimbang antar bagian kanan dan kiri.
c)    Pada getaran suara (fremitus vocal) yaitu adanya penurunan taktil fremitus pada klien dengan TB paru biasanya ditemukan pada klien yang disertai komplikasi efusi fleura massif.
3)      Perkusi
Bunyi paru resonan atau sonor pada seluruh lapang paru.
4)      Auskultasi
Terdapat bunyi tambahan pada saat diauskultasi yaitu bunyi napas ronkhi pada sisi yang sakit.
c.       B2 (Blood)
1)      Inspeksi: inspeksi tentang adanya parut dan keluhan kelemahan fisik.
2)      Palpasi: denyut nadi perifer melemah.
3)      Perkusi: batas jantung mengalami pergeseran pada TB paru dengan efusi pleura massif mendorong ke sisi sehat.
4)      Auskultasi: tekanan darah biasanya normal. Bunyi jantung tambahan biasanya tidak didapatkan.
d.      B3 (Brain)
Kesadaran biasanya compos mentis, ditemukan adanya sianosis perifer gangguan perfusi jaringan berat. Pada pengkajian objektif, klien tampak dengan wajah meringis, menangis, merintih, meregang, dan menggeliat. Saat dilakukan pengkajian mata, biasanya didapatkan adanya konjungtiva anemis pada paru dengan hemoptoe massif dan kronis, sclera ikterik pada TB paru dengan gangguan fungsi hati.
e.       B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan untake cairan. Urine berwarna jingga pekat dan berbau yang menandakan fungsi ginjal masih normal sebagai ekskresi karena OAT terutama Rifampisin.

f.       B5 (Bowel)
Klien biasanya mengalami mual, muntah, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan.
g.      B6 (Bone)
Aktivitas sehari-hari berkurang banyak pada klien Tb paru. Gejala muncul antara lain kelemahan, kelelahan, insomnia, pola hidup menetap, dan jadwal olahraga menjadi teratur.

2.2.2   Diagnosa Keperawatan
Menurut Nurarif & Kusuma (2013), mengungkapkan bahwa diagnosa keperawatan yang muncul pada Tuberculosis Paru, yaitu:
2.2.2.1      Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan sekresi mukus yang kental, hemoptisis, kelemahan, upaya batuk buruk, edema tracheal/faringeal.
2.2.2.2      Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan kerusakan membrane alveolar kapiler.
2.2.2.3      ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan keletihan, anoreksia, dispnea, peningkatan metabolism tubuh.
2.2.2.4      Hipertermia berhubungan dengan proses peradangan
2.2.2.5      Resiko infeksi

2.2.3   Intervensi Keperawatan
Menurut Nurarif & Kusuma (2013), mengungkapkan bahwa rencana keperawatan pada masing-masing diagnosa yang muncul pada Tuberkulosis Paru, yaitu:
2.2.3.1      Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan sekresi mukus yang kental, hemoptisis, kelemahan, upaya batuk buruk, edema trkaheal/faringeal.
Tujuan: dalam waktu 2 x 24 jam setelah diberikan intervensi jalan napas kembali efektif.
Kriteria Hasil:
a.         Klien mampu melakukan batuk efektif.
b.         Pernapasan klien normal (16-20 x/menit) tanpa ada pengobatan otot bantu napas. Bunyi napas normal, ronkhi tidak ada, dan pergerakan pernapasan normal.
c.         Menunjukkan jalan napas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama napas, frekuensi pernapasan dalam rentang normal, tidak ada suara napas abnormal).
Rencana Tindakan:
1.         Kaji fungsi pernapasan ( bunyi napas, kecepatan, irama, kedalaman, dan penggunaan otot bantu napas).
R/ Penurunan bunyi napas menunjukkan atelektasis, ronkhi menunjukkan akumulasi secret dan ketidakefektifan pengeluaran sekresi yang selanjutnya dapat menimbulkan penggunaan otot bantu napas dan peningktan kerja pernapasan
2.         Kaji kemampuan mengeluarkan sekresi, catat karakter, volume sputum, dan adanya hemoptisis.
R/ Pengeluaran akan sulit bila secret kental ( efek infeksi dan hidrasi yang tidak adekuat). Aputum berdarah bila ada kerusakan (kavitasi) paru atau luka bronchial dan memrlukan intervensi lebih lanjut.
3.         Berikan posisi fowler /semifowler tinggi dan batu klien berlatih napas dalam dan batuk efektif.
R/ Posisi fowler memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya napas. Ventilasi maksimal membuka area atelektasi dan meningkatkan gerakan secret ke jalan napas besar dikeluarkan.
4.         Pertahankan intake cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali tidak diindikasikan.
R/ hidrasi yang adekuat membantu mengencerkan secret dan mengefektifkan pembersihan jalan napas.
5.         Minta klien napas dalam sebelum suction dilakukan.
R/ agar klien rileks.
6.         Bersihkan secret dari mulut dan trakhea, bila perlu lakukan penghisapan (suction).
R/ mencegah obstruksi dan aspirasi. Penghisapan diperlukan bila klien tidak mampu mengeluarkan secret.
2.2.3.2      Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan penurunan jaringan efektif paru, atelektasis, kerusakan membrane alveolar kapiler, dan edema bronchial.
Tujuan: dalam waktu 2 x24 jam setelah diberikan intervensi gangguan pertukaran gas teratasi.
Kriteria hasil:
a.    Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat..
b.    Memelihara kebersihan paru-paru dan bebas dari tanda-tanda distress pernapasan.
c.    Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara napas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernapas dengan mudah, tidak ada pursed lips).
d.   Tanda-tanda vital dalam rentang normal.
Rencana Tindakan:
1.    Kaji dispnea, takipnea, bunyi napas, peningkatan upaya pernapsaan, ekspansi thorks, dan kelemahan.
R/ TB paru menyebabkan efek luas pada paru dari sebagian kecil bronchopneumonia sampai inflamasi difus yang luas, nekrosis, efusi pleura, dan fibrosis yang luas. Efeknya terhadap pernapasan bervariasi dari gejala ringan, dispnea berat, sampai distress pernapasan.
2.    Buka jalan napas, gunakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu.
R/ posisi chin lift atau jaw thrust adalah posisi yang memudahkan klien untuk bernapas.
3.    Identifikasi klien perlunya pemasangan alat jalan napas buatan.
R/ untuk membantu klien dalam bernapas.
4.    Lakukan fisioterapi dada jika perlu.
R/ untuk mengeluarkan sekret dalam saluran pernapasan sehingga saluran napas tidak tersumbat.
5.    Tunjukkan dan dukung pernapasan bibir selama ekspirasi khususnya untuk klien dengan fibrosis dan kerusakan parenkim paru.
R/ Membuat tahanan melawan udara luar untuk mencegah kolaps/penyempitan jalan napas sehingga membantu menyebarkan udara melalui paru dan mengurangi napas pendek.
6.    Kolaborasi pemberian AGD
R/ penurunan kadar O2 (PO2) atau satursi dan peningkatan PCO2 menunjukkan kebutuhan untuk intervensi/perubahan program terapi.
7.    Pemberian oksigen sesuai kebutuhan tambahan.
R/ terapi oksigen dapat mengoreksi hipoksemia yang terjadi akibat penurunan ventilasi/menurunnya permukaan alveolar paru.
2.2.3.3      Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan keletihan, anoreksia atau dispnea, dan peningkatan metabolism tubuh.
Tujuan: dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan tindakan keperawatan, intake nutrisi klien terpenuhi.
Kriteria Hasil:
a.    Klien dapat mempertahankan status gizinya dari yang semula kurang menjadi adekuat.
b.    Pernyataan motivasi kuat untuk memngaruhi kebutuhan nutrisinya.
c.    Adanya peningkatan berat badan pada klien.
d.   Tidak ada penurunan berat badan yang berarti.
Rencana Tindakan :
1.    Kaji status nutrisi klien, turgor kulit, berat badan, derajat penurunan berat badan, integritas mukosa oral, kemampuan menelan, riwayat mual/muntah, dan diare.
R/ memvalidasi dan menetapkan derajat maslah untuk enetapkan pilihan intervensi yang tepat.
2.    Kaji adanya alergi makanan.
R/ untuk mengetahui makanan yang cocok untuk klien.
3.    Fasilitasi klien untuk memperoleh diet biasa yang disukai klien (sesuai indikasi).
R/ memperhitungkan keinginan individu dapat memperbaiki intake gizi.
4.    Pantau intake dan output, timbang berat badan secara periodik ( seminggu sekali).
R/ berguna dalam mengukur keefektifan intake gizi dan dukungan cairan.
5.    Lakukan dan ajarkan perawatan mulut sebelum dan sesudah makan serta sebelum dan sesduah intervensi/pemeriksaan peroral.
R/ Menurunkan rasa tak enak karena sisa makan, sisa sputum atau obat pada pengobatan sistem pernapasan yang dapat merangsang pusat muntah.
6.    Fasilitasi pemberina diet TKTP, berikan dalm porsi kecil tapi sering.
R/ Memaksimalkan diet dengan kandung gizi yang cukup untuk memnuhi peningkatan kebutuhan energy besar serta menurunkan iritasi saluran cerna.
7.    Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menetapkan komposisi dan jenis diet yang tepat.
R/ Merencanakan diet dengan kandungan gizi yang cukup untuk memnuhi peningkatan kebutuhan energy dan kalori sehubungan dengan sttus hipermetabolik klien.
8.    Kolaborasi untuk pemberian multivitamin.
R/ Multivitamin bertujuan untuk memenuhi kebutuhan vitamin yang tinggi sekunder dari oeningkatan laju metabolism umum.
2.2.3.4      Hipertermia berhubungan dengan proses peradangan
Tujuan: dalam waktu 1 x 24 jam hipertermia teratasi.
Kriteria Hasil: suhu tubuh klien dalam rentang normal. Nadi dan RR dalam rentang normal, dan tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing..
Rencana Tindakan:
1.    Monitor suhu tubuh, warna kulit, nadi, RR, dan tingkat kesadaran klien.
R./untuk mengetahui kondisi tubuh klien dan lebih mudah menentukan tindakan selanjutnya.
2.    Berikan kompres pada klien di lipatan paha dan aksila.
R/ dapat membantu mengurangi demam..
3.    Monitor intake dan output .
R/ mendeteksi dini kekurangan cairan serta mengetahui keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh. Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.
4.    Kolaborasi dengan pemberian cairan intravena dan pemberian obat sesuai program.
R/ pemberian cairan sangat penting bagi pasien dengan suhu tubuh yang tinggi. Obat khususnya untuk menurunkan suhu tubuh pasien.

2.2.3.5      Resiko Infeksi
Tujuan: dalam waktu 1 x 24 jam klien mampu memahami faktor-faktor resiko dan infeksi tidak terjadi.
Kriteria Hasil:
a.    Mendiskripsikan proses penularan penyakit, faktor yang mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya.
b.    Menunjukkan perilaku hidup sehat
Rencana Tindakan:
1.    Bersihkan lingkungan setelah dipakai klien.
R/ menghindari infeksi nasokomial.
2.    Pertahankan teknik isolasi.
R/ mencegah terjadinya penularan penyakit kepada orang lain.
3.    Batasi pengunjung bila perlu.
R/ mencegah terjadinya penularan penyakit kepada orang lain dan memberikan kenyamanan pada klien untuk istirahat
4.    Instrukskan kepada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung meninggalkan klien.
R/mencegah terjadinya infeksi nasokomial.
5.    Jelaskan kepada klien dan keluarga tentang proses penularan dan faktor-faktor resiko infeksi dari penyakit.

R/ dengan mengetahui tentang faktor resiko dari penyakit klien dan keluarga akan senantiasa mampu mendiskripsikan dan mewaspadai terjadinya penularan penyakit.


DAFTAR RUJUKAN



Arif, M. (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

Brunner & Suddarth. (2013). Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 12. Jakarta: EGC.

Digiulio, Mery, dkk. (2007). Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 1. Yogyakarta: Rapha Publishing.

Donna, L. Wong., Eaton, M.H., Wilson, D., Winkelstein, M.L & Schwartz, P. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Edisi 6. Jakarta: EGC.

Nurarif, A.H & Kusuma, H. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Edisi Revisi. Jilid 2. Yogtakarta. Mediaction Publishing.

Robert, P. (2006). Pengkajian Fisik Keperawatan. Edisi 2. Jakarta: EGC.

Surapsari, J. (2008). Penyakit Infeksi. Edisi 6. Jakarta: Erlangga.

Suriadi & Yuliani, R. (2008). Asuhan Keperawatan Anak. Edisi 2. Jakarta: CV. Sagung Seto.

Widia, L. (2015). Anatomi, Fisiologi dan siklus Kehidupan Manusia. Yogyakarta: Nuha Medika.

Wilkinson, J., Nancy, R. (2012). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC.




No comments:

Post a Comment