BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kesehatan merupakan fenomena yang kompleks yaitu
suatu keadaan sejahtera fisik, mental, dan sosial yang komplet dan bukan
semata-mata terbebas dari penyakit. Terutama kesehatan pada anak, dimana anak
lebih rentan terhadap semua penyakit terutama pada penyakit infeksi yaitu
Tuberkulosis Paru (Donna, 2008).
Tuberkulosis
paru adalah suatu penyakit yang menular yang paling sering mengenai parenkim
paru, biasanya disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Tuberculosis paru
ditularkan ketika seorang penderita penyakit paru mengeluarkan organisme.
Individu yang rentan mengirup droplet dan menjadi terinfeksi. Bakteri
ditransmisikan ke alveoli dan memperbanyak diri. Rekasi inflamasi menghasilkan
eksudat di alveoli dan bronkopneumonia, granuloma, jaringan fibrosa (Brunner
& Suddarth, 2013).
Tuberkulosis
adalah penyakit menular yang masih menjadi perhatian dunia. Hingga saat
ini, belum ada satu negara pun yang bebas dari Tuberkulosis. Angka kematian dan
kesakitan akibat kuman Mycobacterium Tuberculosis ini pun tinggi. Tahun 2009,
1,7 juta orang meninggal karena Tuberkulosis (600.000 diantaranya perempuan)
sementara ada 9,4 juta kasus baru Tuberkulosis (3,3 juta di antaranya
perempuan). Sepertiga dari populasi dunia sudah tertular dengan Tuberkulosis di
mana sebagian besar penderita Tuberkulosis adalah usia produktif (15-55 tahun).
<http://www.depkes.go.id> (Diakses tanggal 15 April 2016)
Tuberkulosis
merupakan salah suatu masalah kesehatan masyarakat yang sangat serius dan wajib
menjadi perhatian berbagai elemen masyarakat di seluruh dunia. Penyakit ini
disinyalir merupakan penyakit pembunuh nomor satu di antara sekian banyak
penyakit-penyakit infeksi lainnya.
World Health Organization (WHO) 2010
memperkirakan bahwa, hingga saat ini sekitar sepertiga penduduk dunia
telah terinfeksi Mycobacterium Tuberculosis. Menyikapi hal ini,maka sejak tahun
1993, WHO telah
mencanangkan Tuberkulosis sebagai kedaruratan
dunia (global emergency), dan berbagai tindakan telah dilakukan untuk
menekan angka kasus ini. Dengan berbagai kemajuan yang dicapai sejak tahun
2003, diestimasikan masih terdapat sekitar 9,5 juta kasus baru
Tuberkulosis, dan sekitar 0,5 juta orang meninggal akibat Tuberkulosis di seluruh dunia.
Asia Tenggara,
data WHO menunjukkan bahwa Tuberkulosis membunuh sekitar 2.000 jiwa setiap
hari, dan sekitar 40 persen dari Tuberkulosis di dunia berada di kawasan Asia
Tenggara. Secara kasar diperkirakan setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat
130 penderita baru Tuberkulosis paru BTA positif. <http://digilib.esaunggul.ac.id> (Diakses pada tanggal 15 April 2016)
Menurut World
Health Organization (WHO) tahun 2006 dilaporkan angka prevalensi kasus
penyakit tuberkulosis paru di Indonesia 130/100.000. Kasus tuberkulosis dengan
Basil Tahan Asam (BTA) positif di Indonesia terus meningkat, pada tahun 2006
terdapat 231.645 kasus, pada tahun 2007 sebanyak 232.358 kasus dan pada tahun
2008 sebanyak 228.485 kasus .
Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 yang dilakukan oleh Kementrian Kesehatan
RI, menyebutkan estimasi kasus baru Tuberkulosis di Indonesia
tahun 2006 adalah 275 kasus/100.000 penduduk/tahun dan pada tahun 2010
turunmenjadi 244 kasus/100.000 penduduk/tahun.Fakta ini sekaligus menempatkan
Tuberkulosis sebagai penyebab kematian utama untuk semua
kelompok umur terbesar kedua yaitu sebesar 7,5% setelah penyakit
stroke, dan merupakan nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi <http://www.academia.edu> (Diakses tanggal 15 April 2016)
Berdasarkan
data dari Dinas Kesehatan Provensi Kalimantan Selatan penderita penyakit
Tuberkulosis Paru pada anak semakin tahun semakin meningkat. Pada tahun 2013,
ada 236 orang anak yang menderita penyakit Tuberkulosis Paru yaitu pada umur
0-4 tahun sebanyak 75 orang anak, pada umur 5-14 tahun sebanyak 161 orang anak.
Pada tahun 2014, ada 238 orang anak yang menderita Tuberkulosis Paru yaitu pada
umur 0-4 tahun sebanyak 102, pada umur 5-14 tahun sebanyak 136 orang anak.
Sedangkan pada tahun 2015, ada 246 orang anak yang menderita Tuberkulosis Paru
yaitu pada umur 0-4 tahun sebanyak 198 orang anak, pada umur 5-14 tahun
sebanyak 48 orang anak.
Menurut Data
yang diambil penulis di Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin pada tahun
2015, 10 besar penyakit terbanyak yaitu terdapat 1.021 anak sakit dengan angka
kejadian DHF sebanyak 211 anak, GE sebanyak 153 anak, leukemia sebanyak 152
anak, thalasemia sebanyak 150 anak, lain-lain (KDS, observasi febris kejang
demam komplit, pneumonia, demam thypoid, observasi vomitus) sebanyak 355 anak.
Sedangkan pada penyakit Tuberculosis pada anak tidak termasuk dalam 10 besar
penyakit di atas, tetapi pada tahun 2016, angka kejadian Tuberculosis sebanyak
3 orang anak .yaitu terdapat 1 orang anak pada bulan Januari, pada bulan Maret
terdapat 2 orang anak.
BAB 2
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Tinjauan
Teoritis Penyakit Tuberculosis paru
3.1.1. Anatomi
Sistem Pernapasan
Menurut
Arif (2008) anatomi dari sistem pernapasan diklasifikasi, sebagai berikut :
Sistem pernapasan pada
manusia adalah sistem menghirup oksigen
dari udara serta mengeluarkan karbon dioksida dan uap air. Dalam proses
pernapasan, oksigen merupakan zat kebutuhan utama. Oksigen untuk pernapasan
diperoleh dari udara di lingkungan sekitar. Saluran pernafasan terdiri atas
saluran pernapasan bagian atas (rongga hidung, sinus paranasal, dan faring),
saluran pernafasan bagian bawah (laring, trachea, bronchus, dan alveoli),
sirkulasi pulmonal (ventrikel kanan, arteri pulmonal, arteriola pulmonal,
kapiler pulmonal, venula pulmonal, vena pulmonal, dan antrium kiri), paru (paru
kanan 3 lobus dan paru kiri 2 lobus), rongga pleura, dan otot-otot pernapasan.
2.1.1.1
Saluran Pernapasan
Bagian Atas
a. Rongga
Hidung
Hidung terdiri
atas dua nostril merupakan pintu masuk dari rongga hidung. Rongga hidung adalah
dua kanal sempit yang satu sama lain dipisahkan oleh sputum. Dinding rongga
hidung dilapisi oleh mukosa respirasi serta sel epitel batang bersilia dan
berlapis semu. Mukosa tersebut menyaring, menghangatkan, dan melembabkan udara
yang masuk melalui hidung, vestibulum merupakan bagian dari rongga hidung dan
berfungsi menyaring partikel-partikel asing berukuran besar agar tidak masuk ke
saluran pernapasan bagian bawah. Dalam hidung juga terdapat saluran yang
menghubungkan antara rongga hidung dengan kelenjar air mata, bagian ini dikenal
dengan kantung nasolakrimalis. Kantung nasolakrimalis ini berfungsi mengalirkan
air melalui hidung yang berasal dari kelenjar air mata jika seseorang menangis.
b. Sinus
Paranasal
Sinus paranasal
berperan dalam menyekresi mukus, membantu pengaliran air mata melalui saluran
nasolakrimalis, dan membantu dalam menjaga permukaan rongga hidung tetap bersih
dan lembab. Sinus paranasal juga termasuk dalam wilayah pembau di bagian
posterior rongga hidung. Wilayah pembau tersebut terdiri atas permukaan
inferior palatum kribriform, bagian superior septum nasal, dan bagian superior
konka hidung. Reseptor di dalam epitel pembau ini akan merasakan sensasi bau.
c. Faring
Faring (tekak)
pipa berotot yang bermula dari dasar tengkorak dan berakhir sampai
persambungannya dengan esofagus dan batas tulang rawan krikoid. Faring terdiri
atas tiga bagian yang dinamai berdasarkan letaknya, yakni nasofaring (di
belakang hidung), orofaring (di belakang mulut), dan laringofaring (di belakang
laring).
2.1.1.2 Saluran
Pernapasan Bagian Bawah
a. Laring
Laring
(tenggorok) terletak di antara faring dan trachea. Berdasarkan letak vertebra
sevikalis, laring berada di ruas ke-4 atau ke-5 dan dan berakhir di vertebra servikalis ruas
ke-6. Laring disusun oleh 9 kartilago yang disatukan oleh ligament dan otot
rangka pada tulang hyoid di bagian atas dan trakhea di bawahnya.
b. Pita
Suara
Pita suara
terletak di dalam laring. Ujung posterior pita suara melekat pada kartilago
aritenoid. Pergerakan kartilago dilakukan otot laringeal yang membuat pita
suara dapat enegang dan mengendur sehingga menimbulkan beragam tekanan.
c. Produksi
Suara
Udara yang
melintasi glotis akan menggetarkan dan memvibrasi pita suara sehingga
menghasilkan gelombang bunyi. Ada tiga faktor yang memengaruhi nada suara yang
dihasilkan yakni diameter, panjang, dan tekanan di dalam pita suara. Diameter
dan panjang pita suara ditentukan langsung oleh ukuran laring, sedangkan
tekanan pita suara diatur melalui kontraksi otot-otot rangka yang merubah
posisi kartilago aritenoid secara relative terdapat kartilago tiroid. Ketika
jaraknya menjauh, maka pita suara dan nada suara menjadi naik. Saat jaraknya
mendekat, maka pita suara mengendur sehingga nada suara menurun.
Dari segi
anatomis, anak-anak mempunyai pita suara lebih pendek sehingga nada suaranya
cenderung lebih melenting. Pada masa pubertas, laring laki-laki menjadi besar
dari wanita. Pita suara pada pria dewasa lebih panjang dan lebar sehingga
meghasilkan nada yang lebih rendah dan beat dibandingkan dengan wanita dewasa.
d. Trakhea
Trakhea adalah
sebuah tabung yang berdiameter 2.5 cm dengan panjang 11 cm. Trakhea terletak
setelah laring dan memanjang kebawah setara dengan vertebra torakalis ke-5.
Ujung trakhea dibagian bawah bercabang menjadi dua bronchus (bronchi) kanan dan
kri. Percabangan bronkhus kanan dan kiri dikenal sebagai karina (carina).
Trakhea tersusun atas 16-20 kartilago hialin berbentuk huruf C yang melekat
pada dinding trakhea dan berfungsi untuk melindungi jalan udara. Kartilago ini
juga berfungsi untuk mencegah terjadinya kolaps atau ekspansi berlebih akibat
perubahan tekanan udara yang terjadi dalam system pernapasan. Bagian terbuka
dari bentuk C kartilago trakhea ini saling berhadapan secara posterior kearah
asofagus dan disatukan oleh ligament elastic dan otot polos.
e. Bronkhus
Bronkhus mempunyai
struktur serupa dengan trakhea. Bronkhus kiri dan kanan tidak simetris. Brokhus
kanan lebih pendek, lebih lebar, dan arahnya hamper vertikel dengan trakhea.
Sebaliknya, bronkhus kiri lebih panjang, lebih sempit, dan sudutnya pun lebih
runcing. Bentuk anatomi yang khusus ini memiliki implikasi klinis tersendiri
seperti jika ada benda asing yang terinhalasi, maka benda itu lebih
memungkinkan berada di bronkhus kanan dibandingkan dengan bronkhus kiri karena
arah dan lebarnya.
f. Bronkhus
Pulmonaris
Bronkhus
pulmonaris bercabang dan beranting sangat banyak. Cabang utama bronkhus
memiliki struktur serupa trakhea. Dinding bronkhus dan cabang-cabangnya
dilapisi epithelium batang, bersilia dan berlapis semu. Saluran yang semakin
kecil menyebabkan jenis epithelium bronkhus mengalami penyesuaian sesuai dengan
fungsinya.
Bronkhiolus
terminalis disebut saluran penghantar udara karena fungsi utamanya adalah
mengantar udara ketempat pertukaran gas di paru. Selain bronkhiolus terminalis
terdapat pula asinus yang merupakan unit fungsional paru sebagai tempat
pertukaran gas. Asinus terdiri atas brokhiolus respiratorius dan duktus
alveolaris (alveolar duct) yang seluruhnya dibatasi alveoli dan sakus alveolus
terminalis yang merupakan struktur akhir paru.
g. Duktus
Alveolaris dan Alveoli
Bronkhiolus
respiratorius terbagi dan bercabang menjadi beberapa duktus alviolaris dan
berakhir pada kantung udara berdinding tipis yang disebut alveoli. Beberapa
alveoli bergabung membentuk sakus alveolaris. Setiap paru terdiri atas sekitar
150 juta alveoli (sakus alveolaris). Kepadatan sakut alveolaris inilah yang
memberi bentuk paru tampak seperti spons. Jaringan kapiler darah mengelilingi
alveoli ditahan oleh serat elastis. Jaringan elastic ini menjaga posisi antar
alveoli dengan bronkhiolus respiratorius. Adanya daya recoil dari serat ini
selama ekspirasi akan mengurangi ukuran alveoli dan membantu mendorong udara
agar keluar paru.
h. Alveoli
dan Membran Respirasi
Membrane
respiratorius pada alveoli umumnya dilapisi oleh sel epitel pipih sederhana.sel-sel
epitel pipih disebut dengan sel Tipe I. Makrofag alveolar bertugas berkeliling
disekitar epitelium untuk memfagositosis partikel atau atau bakteri yang masih
dapat masuk kepermukaan alveoli, makrofag ini merupakan pertahanan terakhir
pada system pernapasan. Sel lain yang ada dalam membran respiratorius adalah
sel septal atau disebut juga dengan sel surfaktan dan sel Tipe II. Surfaktan
terdiri atas fosfolipid dan lipoprotein. Surfaktan berperan untuk melapisi
epithelium alveolar dan mengurangi tekanan permukaan yang dapat membuat alveoli
akan menjadi kolaps. Apabila produksi surfaktan tidak mencukupi karena adanya
injuri atau kelainan genetic (kelahiran premature), maka alveoli dapat
mengalami kolaps sehingga pola pernapasan menjadi tidak efektif.
i.
Sirkulasi pulmonal
Sirkulasi
pulmonal dianggap sebagai system tekanan rendah karena tekanan darah sistolik
dalam arteri pulmonalis adalah 20-30 mHg, tekanan diastolic dibawah 12 mmHg,
dan tekanan pulmonal rata-rata kurang dari 20 mmHg.
j.
Paru
Paru merupakan organ
yang elastis, berbentuk kerucut, dan terletak dalam rongga thoraks. Kedua paru
terpisahkan oleh mediastinum sentral yang berisi jantung dan beberapa pembuluh
darah besah. Paru kanan lebih besar dari pada paru kiri. Selain itu, paru juga
dibagi menjadi tiga lobus, satu lobus pada paru kanan dan dua lobus pada paru
kiri. Lobus-lobus tersebut dibagi menjadi beberapa segmen, yaitu 10 segmen pada
paru kanan dan 9 segmen pada paru kiri.
k. Pleura
Pleura merupakan
kantung tertutup yang terbuat dari membran serosa (masing-masing untuk setiap
paru) yang di dalamnya mengandung cairan serosa. Paru terinvaginasi (tertekan
dan masuk kedalam) lapisan ini sehingga
membentuk dua lapisan penutup. Satu bagian melekat kuat pada paru dan
bagian lainnya pada dinding rongga thorak. Bagian pleura yang melekat kuat pada
paru disebut pleura viseralis dan dinding rongga thorak. Bagian pleura yang
melekat kuat pada paru disebut pleura viseralis dan lapisan paru yang membatasi
rongga thorak disebut pleura parietalis.
l.
Otot-otot Pernapasan
Otot-otot
pernapasan merupakan sumber kekuatan untuk menghembuskan udara. Diafragma
(dibantu oleh otot-otot yang dapat mengangkat tulang rusuk dan tulang dada)
merupakan otot utama yang ikut berperan meningkatkan volume paru. Pada saat
istirahat, otot-otot pernapasan megalami relaksasi.
Saat inspirasi,
otot sternokleidomastoideus, otot skalenes, otot pektoralis minor, otot seratus
anterior, dan otot interkostalis sebelah luar mengalami kontraksi sehingga
menekan diafragma ke bawah dan mengangkat rongga dada untuk membantu udara
masuk ke dalam paru.
2.1.2
Fisiologi Pernafasan
Saluran pernapasan
dapat disebut juga dengan sistem respirasi yang berarti bernapas kembali.
Sistem ini berperan menyediakan oksigen (O2) yang mengambil dari atmosfer dan mengeluarkan
karbon dioksida (CO2) dari sel-sel (tubuh) menuju ke udara bebas. Proses
pernapasan berlangsung dalam beberapa langkah dan berlangsung dengan dukungan
sistem saraf pusat dan sistem
kardiovaskuler pada dasarnya sistem pernapasan terdiri atas rangkaian saluran
udara yang menghantarkan udara luar agar dapat bersentuhan dengan membrane kapiler alveoli yang memisahkan
antara sistem pernapasan dan sistem kardiovaskuler.
Pernapasan (respirasi)
adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen ke dalam
tubuh (inspirasi) serta mengeluarkan udara yang mengandung karbon dioksida sisa
oksidasi keluar tubuh (ekspirasi). Proses respirasi terjadi karena adanya
perbedaan tekanan antara rongga pleura dan paru. Sistem saraf pusat memberikan dorongan
ritmis dari dalam untuk bernapas dan secara reflex merangsang otot diafragma
dan otot dada yang akan memberikan tenaga pendorong bagi gerakan udara.
Fungsi anatomi yang
yang cukup baik dari semua sistem ini penting untuk respirasi sel. Malfungsi dari
semua komponen dapat mengganggu pertukaran dan pengangkutan gas dan serta dapat
sangat membahayakan proses kehidupan. Proses pernapasan tersebut terdiri atas
tig bagian, yaitu ventilasi, difusi gas, dan transportasi gas.
a. Ventilasi
Ventilasi adalah proses
inspirasi dan ekspirasi yang merupakan proses aktif dan pasif yang melibatkan
kontraksi otot-otot interkosta interna dan mendorong dinding dada sedikit ke
arah luar. Akibatnya, diafragma berkontraksi. Pada saat ekspirasi, diafragma
dan otot-otot intrekosta eksterna berelaksasi sehingga rongga dada kembali
mengecil dan udara terdorong keluar.
b. Difusi
Gas
Untuk memenuhi
kebutuhan oksigen di jaringan, proses difusi gas pada saat respirasi haruslah
optimal. Difusi gas adalah bergeraknya O2 dan CO2 atau partikel lain dari area
yang bertekanan tinggi ke arah yang bertekanan rendah. Di dalam alveoli O2
melintasi membran alveoli-kapiler dari alveoli ke darah karena adanya perbedaan
tekanan PO2 yang tinggi di alveoli (100 mmHg) dan tekanan pada kapiler yang
lebih rendah (PO2 40 mmHg), CO2 berfungsi dengan arah berlawanan akibat
perbedaan tekanan PCO2 darah 45 mmHg dan di alveoli 40 mmHg.
c. Transportasi
Gas
Transportasi gas adalah
perpindahan gas dari paru ke jaringan dan dari jaringan ke paru dengan bantuan
darah (aliran darah). Masuknya O2 ke dalam sel darah yang bergabung dengan
hemoglobin yang menudian membentuk oksihemoglobin senbanyak 97% dan sisanya 3
%bditransportasikan ke dalam cairan plasma dan sel.
2.1.3
Pengertian Tuberkulosis
Menurut Nurarif &
Kusuma (2013) Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan Mycobacterium
tuberkulosis yang hampir seluruh organ tubuh dapat terserah olehnya, tapi yang
paling banyak adalah paru-paru.
Menurut Brunner
& Suddarth (2013) Tuberculosis Paru
ditularkan ketika seorang penderita penyakit paru mengeluarkan organisme.
Individu yang rentan mengirup droplet dan menjadi terinfeksi. Bakteri
ditransmisikan ke alveoli dan memperbanyak diri. Rekasi inflamasi menghasilkan
eksudat di alveoli dan bronkopneumonia, granuloma, jaringan fibrosa.
Menurut Suriadi (2008)
Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi pada paru yang disebabkan oleh
mycobacterium tuberkulosis yaitu suatu bakteri tahan asam.
Berdasarkan pengertian
di atas dapat disimpulkan bahwa penyakit Tuberkulosis Paru adalah penyakit infeksi
pada organ pernapasan yang menular terutama pada parenkim paru yang disebabkan
oleh Mycobacterium Tuberculosis dimana bacteri ini tahan terhadap asam.
Adapun klasifikasi
Tuberculosis dari sistem lama menurut Nurarif & Kusuma (2013), yaitu :
2.1.3.1 pembagian
secara patologis
a. Tuberculosis
primer.
b. Tuberculosis
post-primer
2.1.3.2 Pembagian
secara aktivitas radiologis Tubercolusis paru aktif, non aktif dan quiescent
(bentuk aktif yang menyembuh).
2.1.3.3 Pembagian
secara radiologis (luas lesi).
a. Tubercolusis
minimal.
b. Moderately
advanced tuberkolusis.
c. Far
advanced tubercolusis
Klasifikasi menurut
American Thoracic Socienty :
1. Kategori
0
Tidak pernah terpajan,
dan tidak terinfeksi, riwayat kontak negative, tes tuberculin negative
2. Kategori
1
Terpajan tubercolusis,
tetapi tidak terbukti ada infeksi, riwayat kontak positif, tes tuberculin
negative .
3. Kategori
2
Terinfeksi tubecolusis,
tetapi tidak sakit, tes tuberculin positif, radiologis dan sputum negative.
4. Kategori
3
Terinfeksi tubecolusis
dan sakit.
Klasifikasi di
Indonesia dipakai berdasarkan kelainan klinis, radiologis, dan makro biologis:
1. Tuberkolusis
paru.
2. Bekas
Tuberkolusis paru.
3. Tuberkolusis
paru tersangka yang terbagi dalam:
5. Tuberkolusi
tersangka yang diobati : sputum BTA negative, tetapi tanda-tanda lain positif.
6. Tuberkolusis
tersangka yang tidak diobati: sputum BTA negative dan tanda-tanda lain juga
meragukan.
Klasifikas menurut WHO
Tubercolusis dibagi dalam 4 kategori yaitu:
1. Kategori
1, ditujukan terhadap:
a. Kasus
baru dengan sputup positif.
b. Kasus
baru dengan bentuk TB berat.
2. Kategori
2, ditujukan terhadap:
a. Kasus
kambuh.
b. Kasus
gagal dengan sputum BTA positif.
3. Kategori
3, ditujukan terhadap:
a. Kasus
BTA negative dengan kelainan paru yang luas.
b. Kasus
Tuberkulosis ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori 1.
4. Kategori
4, ditujukan terhadap: Tubercolusis kronik.
2.1.4
Etiologi
Menurut Nurarif (2013)
Penyebab Tubercolusis Paru adalah Mycobacterium tubercolosis. Basil ini tidak
berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari, dan sinar
ultraviolet. Ada dua macam mikobakteria tuberculosis yaitu tipe human dan tipe
bovin. Basil tipe human bisa berada di bercak ludah (droplet) di udara yang
berasal dari penderita TBC terbuka dan orang yang rentan terinfeksi TBC ini
bila menghirup bercak ini. Perjalanan TBC setelah infeksi melalui udara.
Tubercolusis disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis. Anak rentan terhadap organisme yang menyerang
manusia (M.tuberculosis) dan sapi (bovine) (Mycobacterium bovis) (Donna ,2008)
Menurut Suriadi (2008)
etiologi dari Tubercolusis Paru adalah, sebagai berikut :
2.1.4.1 Mycobacterium
Tuberculosa.
2.1.4.2 Mycobacterium
bovis.
2.1.4.3 Faktor-faktor
yang menyebabkan seseorang terinfeksi oleh mycobacterium tuberculosa.
2.1.4.4 Herediter
Resistensi seseorang
terhadap infeksi kemungkinan diturunkan secara genetik.
2.1.4.5 Jenis
kelamin
Pada akhir masa
kanak-kanak dan remaja, angka kematian dan kesakitan lebih banyak terjadi pada
anak perempuan.
2.1.4.6 Usia
Pada masa bayi
kemungkinan terinfeksi sangat tinggi. Dan pada masa puber dan remaja dimana
terjadi masa pertumbuhan yang cepat, kemungkinan infeksi cukup tinggi karena
diet yang tidak adekuat.
2.1.4.7 Keadaan
stress
Situasi yang penuh
stress (injury atau penyakit, kurang nutrisi, stress emosional, kelelahan yang
kronik).
2.1.4.8 Meningkatnya
sekresi steroid adrenal yang menekan reaksi inflamasi dan memudahkan untuk
penyebaluaan infeksi.
2.1.4.9 Anak
yang mendapat terapi kortikosteroid kemungkinan terinfeksi lebih mudah.
2.1.4.10 Status
nutrisi yang kurang
2.1.4.11 Infeksi
berulang seperti HIV, malaese,pertusis
2.1.4.12 Tidak
mematuhi aturan pengobatan.
2.1.5
Patofisiologi
Ketika seorang klien
Tuberkulosis Paru batuk, bersin, atau berbicara tak sengaja keluarlah droplet
nuclei. Menguapnya droplet bakteri ke udara dengan pergerakan angin akan
membuat bakteri tuberculosis yang mengandung dalam droplet nuclei terbang ke
udara. Apabila bakteri ini dihirup oleh orang sehat, maka orang itu berpotensi
terkena infeksi bakteri tuberculosis. Penularan bakteri lewat udara disebut
dengan istilah air-borne infection. Bakteri yang terisap akan melewati
pertahanan mukosilier saluran pernapasan dan masuk hingga alveoli. Pada titik
lokasi di mana terjadi implantasi bakteri, bakteri akan menggandakan diri
(multiplying). Bakteri tuberculosis dan focus ini disebut focus primer atau
lesi primer atau focus ghon. Reaksi juga terjadi terjadi pada jaringan limfe
regional, yang bersama dengan focus primer disebut sebagai kompleks primer.
Dalam waktu 3-10 minggu, inang yang baru terkena infeksi akan menjadi sensitive
terhadap protein yang dibuat bakteri tuberculosis dan bereaksi positif terhadap
tes tuberculin atau tes mantoux.
2.1.6
Manifestasi
Klinis
Menurut Nurarif & Kusuma (2013) manifestasi klinis yang muncul
pada Tubercolusis paru adalah :
2.1.6.1
Demam
40-41°C.
2.1.6.2
Batuk/batuk
darah.
2.1.6.3
Sesak
napas.
2.1.6.4
Nyeri
dada
2.1.6.5
Malaise.
2.1.6.6
Keringat
malam.
2.1.6.7
Suara
khas pada perkusi dada, bunyi dada
2.1.6.8
Peningkatan
sel darah putih dengan dominasi limfosit.
2.1.6.9
Pada
anak
a.
Berkurangnya
BB 2 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas atau gagal tumbuh.
b.
Demam
tapa sebab yang jelas, terutama jika berlanjut sampai 2 minggu.
c.
Batuk
kronik lebih dari 3 minggu, dengan atau tanpa wheeze.
d.
Riwayat
kontak dengan pasien TB paru dewasa.
Manifestasi klinis tuberculosis paru menurut Brunner & suddarth
(2013) dan Donna (2008), yaitu:
1.
Demam.
2.
Malaise.
3.
Anoreksia.
4.
Penurunan
berat badan.
5.
Batuk
ada, atau tidak ( berkembang secara perlahan selama berminggu-minggu sampai
berbulan-bulan).
6.
Nyeri
menusuk dan rasa sesak di dada.
7.
Hemaptosis
(jarang).
8.
Peningkatan
frekuensi napas.
9.
Ekspansi
paru buruk pada tempat yang sakit.
10.
Bunyi
nafas hilang dan ronkhi kasar.
11.
Pekak
pada saat diperkusi.
12.
Demam
persisten.
2.1.7
Pemeriksaan
Penunjang
Menurut Arif (2008) pemeriksaan penunjang untuk Tuberculosis Paru,
adalah :
2.1.7.1 Pemeriksaan
Rontgen Thoraks
Pada hasil
pemeriksaan rontgen thorak, sering didapatkan adanya suatu lesi sebelum
ditemukan adanya gejala subjektif awal dan sebelum pemeriksaan fisik menemukan
kelainan pada paru. Bila pemeriksaan rontgen menemukan suatu kelainan, tidak
ada gambaran khusus mengenai TB paru awal kecuali lokasi di lobus bawah dan
biasanya berada di sekitar hilus. Karakteristik kelainan ini terlihat sebagai
daerah bergaris-garis opaque yang ukurannya bervariasi dengan batas lesi yang
tidak jelas. Kriteria yang kabur dan gambar yang kurang jelas ini sering diduga
sebagai pneumonia atau suatu proses eksudatif, yang akan tampak lebih jelas
dengan pemberian kontras, sebagaimana gambaran dari penyakit fibrotik kronis.
Tidak jarang kelainan ini tampak kurang jelas di bagian atas maupun bawah,
memanjang di daerah klavikula atau satu bagian lengan atas, dan selanjutnya
tidak mendapatperhatian kecuali dilakukan pemeriksaan rontgen yang lebih
teliti.
2.1.7.2 Pemeriksaan
CT Scan
Pemeriksaan CT
scan dilakukan untuk menemukan hubungan kasus TB inaktif/stabil yang
ditunjukkan dengan adanya gambaran garis-garis fibrotik irreguler, pita
parenkimal, kalsifikasi nodul dan adenopati, perubahan kelengkungan berkas
bronkhovaskular, bronkhiektasis, dan emfisema perisikatriksial.
2.1.7.3 Pemeriksaan
Laboratorium
Diagnosis
terbaik dari penyakit Tuberculosis diperoleh dengan pemeriksaan mikrobiologi
melalui isolasi bakteri. Untuk membedakan spesies Mycobacterium antar yang satu
dengan yang lainnya harus dilihati sifat koloni, waktu pertumbuhan, sifat
biokimia pada berbagai media, perbedaan kepekaan terhadap OAT dan
kemoterapeutik, perbedaan kepekaan terhadap binatang percobaan, dan percobaan
kepekaan kulit terhadap berbagai jenis antigen Mycobacterium. Bahan pemeriksaan
untuk isolasi Mycobacterium Tuberculosis berupa:
a. Sputum
Sebaiknya sputum
diambil pada pagi hari dan yang pertama keluar. Jika sulit didapatkan maka
sputum dikumpulkan selama 24 jam.
b. Urine
Urine yang diambil
adalah urine pertama di pagi hari atau urine yang dikumpulkan selama 12-24 jam.
Jika klien menggunakan kateter maka urine yang tertampung di dalam urine bag
dapat diambil.
c. Cairan
kumbah lambung
Umumnya bahan
pemeriksaan ini digunakan jika anak-anak atau klien tidak dapat mengelurakan
sputum. Bahan pemeriksaan d iambli pagi hari sebelum sarapan.
2.1.8
Penatalaksanaan Medis
Menurut Arif (2008)
penatalaksanaan medis untuk tuberculosis paru menjadi tiga bagian, yaitu
pencegahan, pengobatan, dan penemua penderita.
2.1.8.1 Pencegahan
Tuberculosis Taru
a. Pemeriksaan
kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat dengan penderita
Tuberculosis paru BTA positif. Pemeriksaan meliputi tes tuberculin, klinis, dan
radiologi. Bila tes tuberculin positif, maka pemeriksaan radiologis foto
thoraks diulang pada 6 dan 12 bulan mendatang. Bila masih negative, diberikan
BCG vaksinasi. Bila positif, berarti terjadi konversi hasil tes tuberculin dan
diberikan kemoprofilaksis.
b. Mass
chest C-ray, yaitu pemeriksaan massal terhadap kelompok-kelompok populasi
tertentu misalnya karyawan rumah sakit/puskesmas/balai pengobatan, penghuni
rumah tahanan, siswa-siswi pesantren.
c. Vaksinasi
BCG.
d. Kemoprofilaksis
dengan menggunakan INH 5 mg/kgBB selam 6-12 bulan dengan tujuan menghancurkan
atau megurangi populasi bakteri yang masih sedikit. Indikasi kemoprofilaksis
primer atau utama ialah bayi yang menyusun pada ibu dengan BTA positif,
sedangkan kemoprofilaksis sekunder diperlukan bagi kelompok berikut:
1) Bayi
dibawah lima tahun dengan hasil tes tuberculin positif karena risiko timbulnya
tuberculosis milier dan meningitis tuberculosis.
2) Anak
dan remaja dibawah usia 20 tahun dengan hasil tes tuberculin positif yang
bergaul erat dengan penderita tuberculosis paru menular.
3) Individu
menunjukkan konversi hasil tes tuberculin dari negative menjadi positif.
4) Penderita
yang menerima pengobatan steroid atau obat imunosupresif jangka panjang.
5) Penderita
diabetes mellitus.
e.
Komunikasi, informasi,
edukasi (KIE) tentang penyakit tuberculosis kepada masyarakat di puskesmas maupun di tingkat rumah sakit oleh petugas
pemerintah maupun petugas LSM ( misalnya Perkumpulan Pemberantasan Tuberculosis
Paru Indonesia-PPTI).
2.1.8.2 Pengobatan
Tuberculosis Paru
Tujuan
pengobatan pada penderita Tuberculosis paru selain mengobati, juga untuk
mencegah kematian, kekambuhan, resistensi terhadap OAT, serta memutuskan mata
rantai enularan. Untuk penatalaksanaan pengobatan tuberculosis paru, berikut
ini adalah beberapa hal yang penting untuk diketahui yaitu mengenai mekanisme
kerja Obat Anti Tuberculosis (OAT) :
a. Aktivitas
bakterisidal, untuk bakteri yang membelah cepat
1) Ekstraseluler,
jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin (R) dan Streptomisin (S).
2) Intraseluler,
jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin dan Isoniazid (INH).
b. Aktivitas
sterilisas, terhadap the persisters (bakteri semidormant).
1) Ekstraseluler,
jenis obat yang digunakan ialah rifampisin dan isoniazid.
2) Intraseluler,
untuk slowly growing bacilli digunakan rifampisin dan isoniazid. Untuk very
slowly growing bacilli digunakan, Prirazinamid (Z).
c. Aktivitas
bakteriostatis, obat-obatan yang mempunyai aktivitas bakteriostatis terhadap
bakteri tahan asam.
1) Ekstraseluler,
jenis obat yang digunaka ialah Etambutol (E), asam para-amino salisilik (PAS),
dan sikloserine.
2) Intraseluler,
kemungkinan masih dapat dimusnahkan oleh Isoniazid dalam keadaan telah terjadi
resistensi sekunder.
Pengobatan tuberculosis terbagi
menjadi dua fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan).
Panduan obat yang digunakan terdiri atas obat utama dan obat tambahan. Jenis
obat utama yang digunakan adalah rifampisin, isoniazid, pirazinamid,
streptomisin, dan etambutol.
Adapun panduan OAT Indonesia, yaitu
:
1. Kategori
I
Kategori I
adalah kasus baru dengan sputum ositif dan penderita dengan dengan keadaan yang
berat seperti meningitis, TB milier, perikarditis, pleuritis maasif atau
bilateral, spondiolitis dengan gangguan neurologis, dan penderita dengan sputum
negative tetapi kelainan parunya luas, TB usus, TB saluran perkemihan, dan
sebagainya.
Dimulai dengan
fase 2 HRZS(E) obat diberikan setiap hari selama dua bulan. Bila selama dua
bulan sputum menjadi negative, maka dimulai fase lanjutan. Bila setelah dua
bulan sputum masih tetap positif, maka fase intensif diperpanjang 2-4 minggu
lagi, kemudian diteruskan dengan fase lanjutan tanpa melihat apakah sputum
sudah negative atau belum. Fase lanjutannya adalah 4 HR atau H3R3. Pada
penderita meningitis, TB milier, spondiolitis dengan kalainan neurologis, fase
lanjutan diberikan lebih lama, yaitu 6-7 bulan hingga total pengobatan 8-9
bulan. Sebagai panduan alternative pada fase lanjutan ialah 6 HE.
2. Kategori
II
Kategori II
adalah kasus kambuh atau gagal dengan sputum tetap positif. Fase intensif alam
bentuk 2 HRZES-1 HRZE. Bila setelah fase intensif sputum menjadi negative, baru diteruskan ke fase lanjutan.
Bila setelah tiga bulan sputum masih tetap positif, maka fase intensif
diperpanjang 1 bulan lagi dengan HRZE. Bila setelah empat bulan sputum masih
tetap positif, maka pengobatan dihentikan 2-3 hari. Kemudian, diperiksa biakan
dan uji resistensi lalu pengobatan diteruskan dengan fase lanjutan.
Bila penderita
mempunyai data resistensi terhadap H atau R, maka fase lanjutan harus diawasi
dengan ketat.tetapi jika data menunjukkan resistensi terhadap H dan R, maka
kemungkinan keberhasilan pengobatan kesil. Fase lanjutan adalah 5 H3R3E3 bila
dapat pengawasan atau 5 HRE bila tidak dapat dilakukan pengawasan.
3. Kategori
III
Kategori III
adalah kasus dengan sputum negative tetapi kelainan parunya tidak luas dan
kasus TB di luar paru selain yang disebut dalam kategori I. pengobatan yang
diberikan.
2 HRZ/6 HE
2 HRZ/4HR
2HRZ/4H3R3
4. Kategori
IV
Kategori IV
adalah tuberculosis kronis. Prioritas pengobatan renda karena kemungkinan
keberhasilan pengobatan kecil sekali. Untuk Negara kurang mampu dari segi
kesehatan masyarakat, dapat diberikan H saja seumur hidup. Untuk Negara maju
atau pengobatan secara individu (penderita mampu), dapat dicoba pemberian obat
berdasarkan uji resisten atau obat lapis kedua seperti Quinolon, Ethioamide,
Sikloserin, Amikasin, Kanamisin, dan sebagainya.
Table 1.1
Panduan Pemberian Obat anti-Tuberkulosis (OAT)
Obat anti-TB Esensial
|
Aksi
|
Potensi
|
Rekomendasi Dosis (mg/kgBB)
|
||
Per Hari
|
Per minggu
|
||||
3 x
|
2 x
|
||||
Isiniazid
(INH)
Rifampisin
(R)
Pirazinamid
(Z)
Streptomisin
(S)
Etambutol (E)
|
Bakterisidal
Bakterisidal
Bakterisidal
Bakterisidal
Bakteriostatik
|
Tinggi
Tinggi
Rendah
Rendah
Rendah
|
5
10
25
15
15
|
10
10
35
15
30
|
15
10
50
15
45
|
Sumber : Arif, 2008. Asuhan Keperawatan
Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan.
2.1.9
Prognosis
Sebagian besar anak
dapat sembuh dari infeksi TB primer dan sering tidak menyadari keberadaannya.
Akan tetapi, anak yang masih sangat kecil memiliki insidensi penyebaran
penyakit yang lebih tinggi. TB merupakan penyakit serius selama 2 tahun pertama
kehidupan, selama masa remaja, dan pada anak yang menderita HIV positif.
Kecuali pada kasus-kasus meningitis tuberculosis, kematian jarang terjadi pada
anak yang mendapatkan pengobatan. Tetapi antibiotic telah berhasil menurunkan
angka kematian den penyebaran secara hematologi akibat lesi primer (Donna,
2008).
Beberapa pasien
penderita TB resisten obat, membuat pengobatan menjadi lebih sulit. TB resisten
obat dapat resisten pada awal infeksi, atau dapat berkembang sebagai hasil
medikasi selama pengobatan. Hal ini terjadi karena pengobatan tidak tepat atau
karena tidak ada tindakan yang tepat (Digiulio Mery. Dkk, 2007).
2.1.10 Komplikasi
Menurut Surapsari
(2008) komplikasi dari penyakit Tuberkulosis Paru, yaitu :
2.1.10.1
Limfadenitis
a. Lokasi
penyakit ekstrparu. Penyakit dapat timbul dari infeksi primer, penyebaran dari
lokasi jauh, atau reaktivasi infeksi.
b. Kelenjar
servikal dan mediastinum paling sering terkena, diikuti oleh aksila dan
inguinal ; pada 5 % kasus, lebih dari kelompok regional terlibat.
c. Gangguan
konstitusional dan bukti tuberculosis terkait biasanya sedikit.
d. Kelenjar
getah bening biasanya tidak nyeri dan pada awalnya dapat digerakkan namun
menjadi terinfiksasi sejalan dengan waktu. Saat terjadi perkijauan dan
pencairan (liquefaction), pembengkakan menjadi berfluktuasi dan dapat
mengeluarkan sekretmelalui kulit dengan pembentukan abses collarstud dan
pembentukan sinus.
e. Selama
atau setelah pengobatan, pembesaran paradoksikal, perkembangan kelenjar getah
bening baru atau supurasi dapat terjadi namun tanpa bukti infeksi yang
berlanjut, eksisi bedah jarang diperlukan.
2.1.10.2
Penyakit
gastrointestinal
Tuberculosis dapat
mengenai semua bagian usus dan bagian pasien dapat mengalami berbagai variasi gejala
dan tanda.
a. Penyakit
ileosekal menyebabkan separuh kasus tuberculosis abdominal. Demam, keringan
malam, anoreksia, dan penurunan berat badan biasanya jelas terjadi dan massa
fosa iliaka kanan dapat teraba. Scan abdomen dapat menunjukkan penebalan dinding
usus, limfadenopati, penebalan mesenteric, atau asites. Barium enema dan enema
isis halus dapat menunjukkan penyempitan, pemendekan, dan distorsi usus dengan
ketelibatan sekum yang dominan. Perlu dibedakan dengan penyakit crohn.
b. Peritonitis
tuberculosis berhubungsn dengan demam, nyeri, dan distesi, atau mungkin
terdapat massa omentum yang memadat dan lingkaran usus yang teraba.
c. Disfungsi
hepatic derajat rendah sering ditemukan pada tuberculosis milier dan kriptik,
yang sering bermanisfestasi sebagai demam yang tidak diketahui penyebabnya,
saat biopsy menunjukkan granulomata. Kadang-kadang dapat timbul ikterik dengan
gambaran campuran hepatic/kolestatik.
2.1.10.3
Penyakit pericardial
Penyakit terjadi dalam
dua bentuk utama yaitu efusi pericardial dan perikarditis konstriktif. Demam
keringat malam jarang terjadi dan manifestasinya bersifat perlahan dengan sesak
napas dan pembengkakan abdomen.
a.
Pulpus paradoktus,
tekanan vena jugularis yang sangat meningkat, hepatospleomegali, asites masin,
dan adanya edema perifer umum terjadi ada kedua bentuk tersebut.
b.
Efusi pericardial
berkaitan dengan bunyi pekak yang meningkat pada daerah perkardial dan
perbesaran jantung berbentuk globular pada rontgen torak, sementara kontriksi
dikaitkan dengan fibrilasi atrium, bunyi jantung ketiga awal, dan kalsifikasi
prikarial.
2.1.10.4
Penyakit sistem saraf
pusat
Hingga saat ini
terbentuk paling penting dari tuberculosis sistem saraf pusat adalah penyakit
meningeal. Penyakit ini dapat menyebabkan komplikasi pada tuberculosis primer
atau post primer. Penyakit ini dapat mengancam nyawa dan menjadi fatal dengan
cepat bila tidak didiagnosis sejak awal. Penyakit paru yang menyertai tidak
jarang terjadi. Onset penyakit ini perlahan dengan muntah, demam, dan keringat
malam yang terjadi dalam 1-2 minggu. Terjadi perubahan mental dan kepribadian
dengan rasa mengantuk yang progresif, meningimus, palsi saraf cranial (terutama
saraf ketiga dan keenam), tanda-tanda fokal traktus panjang, dan bahkan koma
pada minggu ketiga dank e empat. Hiponatremia sering terjadi.
2.1.10.5
Penyakit tulang sendi
Semua tulang dan sendi
dapat terinfeksi namun yang paling sering adalah tulang belakang dan panggul.
Tuberculosis tulang
belakang biasanya dengan gejala nyeri punggung kronik dan biasanya mengenai
tulang belakang torakal bagian bawah dan lumbal. Keterlibatan diktus merupakan
manifestasi pertama yang diikuti oleh penyebaran sepanjang ligament spinal
untuk mengenai korpus vertebra anterior di dekatnya sehingga menyebabkan
angulasi paravertebra dan psoas tidak jarang terjadi.
2.1.10.6
Penyakit saluran kemih
dan kelamin
Penyakit ginjal jarang
terjadi dan seringkali sangat perlahan dengan gejala konstitusional minimal.
Hematuri, ferkuensi,
dan disuria seringkali muncul, dengan piuri steril yang ditemukan ada
mikroskopi dan kuktur urin. Pada pria, tuberculosis saluran kemih dan kelamin
dapat timbul sebagai epididimitis atau prostatitis. Sedangkan pada wanita,
infertilitas akibat endo metritis, atau nyeri dan pembengkakan pelvis akan
salpingitis atau abses tuboovarium dapat terjadi.
2.2 Tinjauan
Teoritis Keperawatan
2.2.1
Pengkajian
Berdasarkan klasifikasi
dari Arif (2008), riwayat keperawatan yang perlu dikaji yaitu :
2.2.1.1
Data Klien
Data Klien meliputi
identitas klien yaitu nama, jenis kelamin, umur, alamat, pendidikan, pekerjaan,
tempat tanggal lahir, agama, suku, dll.
Penyakit tuberculosis
dapat menyerang manusia mulai dari usia anak-anak sampai dewasa dengan
perbandingan yang hamper sama antara laki-laki dan perempuan. Tuberculosis pada
anak biasanya terjadi diusia berapapun, namun usia paling umum adalah 1-4
tahun.
2.2.1.2
Keluhan Utama
Keluhan yang sering
menyebabkan klien dengan TB paru meminta pertolongan dari tim kesehatan dapat
dibagimenjadi dua, yaitu :
a. Keluhan
respiratoris, meliputi :
1) Batuk
Keluhan batuk, timbul
paling awal dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan. Perawat harus
menanyakan apakah keluhan batuk bersifat nonproduktif/produktif atau sputum
bercampur darah.
2) Batuk
darah
Keluhan batuk darah
dengan klien dengan TB paru selalu menjadi alasan utama klien untuk meminta
pertolongan kesehatan. Hal ini disebabkan rasa takut klien pada darah yang
keluar dari jalan napas. Perawat harus menanyakan seberapa banyak darah yang
keluara atau hanya berupa blood streak, berupa garis, atau bercak-bercak.
3) Sesak
nafas
Keluhan ini ditemukan
bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada hal-hal yang menyertai
seperti efusi pleura, pneumothorak, anemia, dan lain-lain.
4) Nyeri
dada
Nyeri dada pada TB paru
termasuk nyeri pleuritik ringan. Gejala ini timbul apabila sistem persyarafan di
pleura terkena TB.
b. Keluhan
Sistemis, meliputi :
1) Demam
Keluhan yang sering
dijumpai dan biasanya timbul pada sore atau malam hari mirip demam influenza,
hilang timbul, dan semakin lama semakin panjang serangannya, sedangkan masa
bebas serangan semakin pendek.
2) Keluhan
sistemis lain
Keluhan yang bisa
timbul ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan dan malaise.
Timbulnya keluhan bersifat granual muncul dalam beberapa bulan. Akan tetapi
mepanmpila akut dengan batuk, panas, dan sesak nafas. Walaupu jarang, dapat
juga timbul menyerupai gejala pneumonia.
2.2.1.3
Riwayat Penyakit
a. Riwayat
Penyakit Sekarang
Keluhan batuk timbul
paling awal dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan, mula-mula
nonproduktif kemudian berdahak dan bercampur darah bila sudah terjadi kerusakan
jaringan. Batuk akan timbul apabila proses penyakit telah melibatkan bronkhus.
b. Riwayat
Penyakit Dahulu
Pengkajian yang
mendukung adalah dengan mengkaji apakah sebelumnya klien pernah menderita TB
paru, keluhan batuk lama, tuberculosis dari orang lain, pembesaran getah
bening, dan penyakit lain yang memperberat TB paru seperti diabetes mellitus.
Untuk anak
dengan mengkaji riwayat kontak dengan individu yang terinfeksi, penyakit yang
pernah di derita sebelumnya. Kaji adanya gejala panas naik turun dalam jangka
waktu lama, batuk hilang timbul, anoreksia, lesu, kurang nafsu makan, dan
hemoptysis.
c. Riwayat
Penyakit Keluarga
Secara patologis TB
paru tidak diturunkan, tetapi perawat perlu menanyakan apakah penyakit pernah
dialami oleh anggota
keluarga lainnya sebagai faktor predisposisi penularan di dalam rumah.
2.2.1.4
Pengkajian Psikologis
Sosial dan Spiritual
Pengkaian psikologis
klien meliputi beberapa dimensi yang kemungkinan perawat untuk memperbaiki
persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien.
Pada kondisi klinis,
klien dengan TB paru sering mengalami kecemasan bertingkat sesuai keluhan yang
dialaminya. Perawat juga menanyakan kondisi pemukiman klien bertempat tinggal.
Hal ini sangat penting, mengingat TB paru sangat rentan dialami TB paru lebih
mudah hidup di tempat pemukiman yang kumuh karena populasi bakteri TB paru
lebih mudah hidup ditempat yang kumuh dengan ventilasi dan pencahayaan sinar
matahari yang kurang.
2.2.1.5
Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan
rontgen thoraks
b. Pemeriksaan
CT Scan
c. Pemeriksaan
laboratorium
1) Sputum:
diambil pada pagi hari dan yang pertama keluar
2) Darah:
peningkatan leukosit dan Laju Endap Darah (LED).
3) Urine:
urine yang diambil adalah urine pertama dipagi hari atau urine yang dikumpulkan
selama 12-14 jam. Jika klien menggunakan kateter maka urine yang tertampung di
dalam urine bag dapat diambil.
4) Cairan
kumbah lambung: umumnya bahan pemeriksaan ini digunakan jika anak-anak tidak
dapat mengeluarkan sputum. Diambil pada pagi hari.
5) Bahan-bahan
lain seperti feses, swab tenggorok, jaringan tubuh.
d. Reaksi
terhadap tuberculin: reaksi test positif menunjukkan adanya infeksi primer.
2.2.1.6
Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan
Umum dan Tanda-Tanda Vital
Kesadaran klien dengan
TB paru terdiri atas compos mentis, apatis, samnolen, sopor, soporkoma, atau
koma.
Hasil penilaian
tanda-tanda vital pada klien dengan TB paru biasanya didapatkan peningkatan
suhu tubuh secara signifikan, frekuensi napas meningkat apabila disertai sesak
napas, denyut nadi biasanya meningkat seirama dengan peningkatan suhu tubuh dan
frekuensi pernapasan, dan tekanan darah biasanya sesuai dengan adanya penyakit
penyulit seperti hipertensi.
b. B1
( Breathing )
1) Inspeksi
Bentuk dada dan gerakan
pernapasan, pada klien TB paru biasanya terlihat kurus sehingga adanya penurunan
proporsi diameter bentuk dada antero posterior dibandingkan dengan proporsi
diameter lateral. Apabila dan penylit dari Tb paru seperti adanya efusi pleura
yang massif maka terlihat adanya ketidaksimetrisan rongga dada, pelebaran
intercostals space (ICS) pada sisi yang sakit. Tb paru yang disertai
atelektasis paru membuat bentuk dada menjadi tidak simetris di mana didapatkan
penyempitan intercostals space (ICS) pada sisi yang sakit. Terdapat batuk
produktif yang disertai adanya peningkatan produksi secret dan sekresi sputum
yang purulen.
2) Palpasi
a) Adanya
pergeseran trakhea pada saat dilakukan palpasi pada Tb paru yang disertai
adanya efusi pleura massif dan pneumothoraks akan mendorong posisi trakhea
kearah berlawanan dari sisi sakit.
b) Pada
pergerakan dinding thorak anterior/ekskrusi pernapasan biasanya normal dan
seimbang antar bagian kanan dan kiri.
c) Pada
getaran suara (fremitus vocal) yaitu adanya penurunan taktil fremitus pada
klien dengan TB paru biasanya ditemukan pada klien yang disertai komplikasi
efusi fleura massif.
3) Perkusi
Bunyi paru resonan atau
sonor pada seluruh lapang paru.
4) Auskultasi
Terdapat bunyi tambahan
pada saat diauskultasi yaitu bunyi napas ronkhi pada sisi yang sakit.
c. B2
(Blood)
1) Inspeksi:
inspeksi tentang adanya parut dan keluhan kelemahan fisik.
2) Palpasi:
denyut nadi perifer melemah.
3) Perkusi:
batas jantung mengalami pergeseran pada TB paru dengan efusi pleura massif
mendorong ke sisi sehat.
4) Auskultasi:
tekanan darah biasanya normal. Bunyi jantung tambahan biasanya tidak
didapatkan.
d. B3
(Brain)
Kesadaran biasanya
compos mentis, ditemukan adanya sianosis perifer gangguan perfusi jaringan
berat. Pada pengkajian objektif, klien tampak dengan wajah meringis, menangis,
merintih, meregang, dan menggeliat. Saat dilakukan pengkajian mata, biasanya
didapatkan adanya konjungtiva anemis pada paru dengan hemoptoe massif dan
kronis, sclera ikterik pada TB paru dengan gangguan fungsi hati.
e. B4
(Bladder)
Pengukuran volume
output urine berhubungan dengan untake cairan. Urine berwarna jingga pekat dan berbau
yang menandakan fungsi ginjal masih normal sebagai ekskresi karena OAT terutama
Rifampisin.
f. B5
(Bowel)
Klien biasanya
mengalami mual, muntah, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan.
g. B6
(Bone)
Aktivitas sehari-hari
berkurang banyak pada klien Tb paru. Gejala muncul antara lain kelemahan,
kelelahan, insomnia, pola hidup menetap, dan jadwal olahraga menjadi teratur.
2.2.2 Diagnosa
Keperawatan
Menurut Nurarif &
Kusuma (2013), mengungkapkan bahwa diagnosa keperawatan yang muncul pada
Tuberculosis Paru, yaitu:
2.2.2.1 Ketidakefektifan
bersihan jalan napas yang berhubungan dengan sekresi mukus yang kental,
hemoptisis, kelemahan, upaya batuk buruk, edema tracheal/faringeal.
2.2.2.2 Gangguan
pertukaran gas yang berhubungan dengan kerusakan membrane alveolar kapiler.
2.2.2.3 ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan keletihan,
anoreksia, dispnea, peningkatan metabolism tubuh.
2.2.2.4 Hipertermia
berhubungan dengan proses peradangan
2.2.2.5 Resiko
infeksi
2.2.3 Intervensi
Keperawatan
Menurut Nurarif &
Kusuma (2013), mengungkapkan bahwa rencana keperawatan pada masing-masing
diagnosa yang muncul pada Tuberkulosis Paru, yaitu:
2.2.3.1 Ketidakefektifan
bersihan jalan napas yang berhubungan dengan sekresi mukus yang kental,
hemoptisis, kelemahan, upaya batuk buruk, edema trkaheal/faringeal.
Tujuan: dalam waktu 2 x
24 jam setelah diberikan intervensi jalan napas kembali efektif.
Kriteria Hasil:
a.
Klien mampu melakukan
batuk efektif.
b.
Pernapasan klien normal
(16-20 x/menit) tanpa ada pengobatan otot bantu napas. Bunyi napas normal, ronkhi
tidak ada, dan pergerakan pernapasan normal.
c.
Menunjukkan jalan napas
yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama napas, frekuensi pernapasan
dalam rentang normal, tidak ada suara napas abnormal).
Rencana Tindakan:
1.
Kaji fungsi pernapasan
( bunyi napas, kecepatan, irama, kedalaman, dan penggunaan otot bantu napas).
R/ Penurunan bunyi
napas menunjukkan atelektasis, ronkhi menunjukkan akumulasi secret dan
ketidakefektifan pengeluaran sekresi yang selanjutnya dapat menimbulkan
penggunaan otot bantu napas dan peningktan kerja pernapasan
2.
Kaji kemampuan
mengeluarkan sekresi, catat karakter, volume sputum, dan adanya hemoptisis.
R/ Pengeluaran akan
sulit bila secret kental ( efek infeksi dan hidrasi yang tidak adekuat). Aputum
berdarah bila ada kerusakan (kavitasi) paru atau luka bronchial dan memrlukan
intervensi lebih lanjut.
3.
Berikan posisi fowler
/semifowler tinggi dan batu klien berlatih napas dalam dan batuk efektif.
R/ Posisi fowler
memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya napas. Ventilasi maksimal
membuka area atelektasi dan meningkatkan gerakan secret ke jalan napas besar
dikeluarkan.
4.
Pertahankan intake
cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali tidak diindikasikan.
R/ hidrasi yang adekuat
membantu mengencerkan secret dan mengefektifkan pembersihan jalan napas.
5.
Minta klien napas dalam
sebelum suction dilakukan.
R/ agar klien rileks.
6.
Bersihkan secret dari
mulut dan trakhea, bila perlu lakukan penghisapan (suction).
R/ mencegah obstruksi
dan aspirasi. Penghisapan diperlukan bila klien tidak mampu mengeluarkan
secret.
2.2.3.2 Gangguan
pertukaran gas yang berhubungan dengan penurunan jaringan efektif paru,
atelektasis, kerusakan membrane alveolar kapiler, dan edema bronchial.
Tujuan: dalam waktu 2
x24 jam setelah diberikan intervensi gangguan pertukaran gas teratasi.
Kriteria hasil:
a. Mendemonstrasikan
peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat..
b. Memelihara
kebersihan paru-paru dan bebas dari tanda-tanda distress pernapasan.
c. Mendemonstrasikan
batuk efektif dan suara napas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu
(mampu mengeluarkan sputum, mampu bernapas dengan mudah, tidak ada pursed
lips).
d. Tanda-tanda
vital dalam rentang normal.
Rencana Tindakan:
1. Kaji
dispnea, takipnea, bunyi napas, peningkatan upaya pernapsaan, ekspansi thorks,
dan kelemahan.
R/ TB paru menyebabkan
efek luas pada paru dari sebagian kecil bronchopneumonia sampai inflamasi difus
yang luas, nekrosis, efusi pleura, dan fibrosis yang luas. Efeknya terhadap
pernapasan bervariasi dari gejala ringan, dispnea berat, sampai distress
pernapasan.
2. Buka
jalan napas, gunakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu.
R/ posisi chin lift
atau jaw thrust adalah posisi yang memudahkan klien untuk bernapas.
3. Identifikasi
klien perlunya pemasangan alat jalan napas buatan.
R/ untuk membantu klien
dalam bernapas.
4. Lakukan
fisioterapi dada jika perlu.
R/ untuk mengeluarkan
sekret dalam saluran pernapasan sehingga saluran napas tidak tersumbat.
5. Tunjukkan
dan dukung pernapasan bibir selama ekspirasi khususnya untuk klien dengan
fibrosis dan kerusakan parenkim paru.
R/ Membuat tahanan
melawan udara luar untuk mencegah kolaps/penyempitan jalan napas sehingga
membantu menyebarkan udara melalui paru dan mengurangi napas pendek.
6. Kolaborasi
pemberian AGD
R/ penurunan kadar O2
(PO2) atau satursi dan peningkatan PCO2 menunjukkan kebutuhan untuk
intervensi/perubahan program terapi.
7. Pemberian
oksigen sesuai kebutuhan tambahan.
R/ terapi oksigen dapat
mengoreksi hipoksemia yang terjadi akibat penurunan ventilasi/menurunnya
permukaan alveolar paru.
2.2.3.3 Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan keletihan,
anoreksia atau dispnea, dan peningkatan metabolism tubuh.
Tujuan: dalam waktu 3 x
24 jam setelah diberikan tindakan keperawatan, intake nutrisi klien terpenuhi.
Kriteria Hasil:
a.
Klien dapat mempertahankan
status gizinya dari yang semula kurang menjadi adekuat.
b.
Pernyataan motivasi
kuat untuk memngaruhi kebutuhan nutrisinya.
c.
Adanya peningkatan
berat badan pada klien.
d.
Tidak ada penurunan
berat badan yang berarti.
Rencana Tindakan :
1. Kaji
status nutrisi klien, turgor kulit, berat badan, derajat penurunan berat badan,
integritas mukosa oral, kemampuan menelan, riwayat mual/muntah, dan diare.
R/ memvalidasi dan
menetapkan derajat maslah untuk enetapkan pilihan intervensi yang tepat.
2. Kaji
adanya alergi makanan.
R/ untuk mengetahui
makanan yang cocok untuk klien.
3. Fasilitasi
klien untuk memperoleh diet biasa yang disukai klien (sesuai indikasi).
R/ memperhitungkan
keinginan individu dapat memperbaiki intake gizi.
4. Pantau
intake dan output, timbang berat badan secara periodik ( seminggu sekali).
R/ berguna dalam
mengukur keefektifan intake gizi dan dukungan cairan.
5. Lakukan
dan ajarkan perawatan mulut sebelum dan sesudah makan serta sebelum dan sesduah
intervensi/pemeriksaan peroral.
R/ Menurunkan rasa tak
enak karena sisa makan, sisa sputum atau obat pada pengobatan sistem pernapasan
yang dapat merangsang pusat muntah.
6. Fasilitasi
pemberina diet TKTP, berikan dalm porsi kecil tapi sering.
R/ Memaksimalkan diet
dengan kandung gizi yang cukup untuk memnuhi peningkatan kebutuhan energy besar
serta menurunkan iritasi saluran cerna.
7. Kolaborasi
dengan ahli gizi untuk menetapkan komposisi dan jenis diet yang tepat.
R/ Merencanakan diet
dengan kandungan gizi yang cukup untuk memnuhi peningkatan kebutuhan energy dan
kalori sehubungan dengan sttus hipermetabolik klien.
8. Kolaborasi
untuk pemberian multivitamin.
R/ Multivitamin
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan vitamin yang tinggi sekunder dari
oeningkatan laju metabolism umum.
2.2.3.4 Hipertermia
berhubungan dengan proses peradangan
Tujuan: dalam waktu 1 x
24 jam hipertermia teratasi.
Kriteria Hasil: suhu
tubuh klien dalam rentang normal. Nadi dan RR dalam rentang normal, dan tidak
ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing..
Rencana Tindakan:
1. Monitor
suhu tubuh, warna kulit, nadi, RR, dan tingkat kesadaran klien.
R./untuk mengetahui
kondisi tubuh klien dan lebih mudah menentukan tindakan selanjutnya.
2. Berikan
kompres pada klien di lipatan paha dan aksila.
R/ dapat membantu
mengurangi demam..
3. Monitor
intake dan output .
R/ mendeteksi dini
kekurangan cairan serta mengetahui keseimbangan cairan dan elektrolit dalam
tubuh. Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.
4. Kolaborasi
dengan pemberian cairan intravena dan pemberian obat sesuai program.
R/ pemberian cairan
sangat penting bagi pasien dengan suhu tubuh yang tinggi. Obat khususnya untuk
menurunkan suhu tubuh pasien.
2.2.3.5 Resiko
Infeksi
Tujuan: dalam waktu 1 x
24 jam klien mampu memahami faktor-faktor resiko dan infeksi tidak terjadi.
Kriteria Hasil:
a. Mendiskripsikan
proses penularan penyakit, faktor yang mempengaruhi penularan serta
penatalaksanaannya.
b. Menunjukkan
perilaku hidup sehat
Rencana Tindakan:
1. Bersihkan
lingkungan setelah dipakai klien.
R/ menghindari infeksi
nasokomial.
2. Pertahankan
teknik isolasi.
R/ mencegah terjadinya
penularan penyakit kepada orang lain.
3. Batasi
pengunjung bila perlu.
R/ mencegah terjadinya
penularan penyakit kepada orang lain dan memberikan kenyamanan pada klien untuk
istirahat
4. Instrukskan
kepada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung
meninggalkan klien.
R/mencegah terjadinya
infeksi nasokomial.
5. Jelaskan
kepada klien dan keluarga tentang proses penularan dan faktor-faktor resiko
infeksi dari penyakit.
R/ dengan mengetahui
tentang faktor resiko dari penyakit klien dan keluarga akan senantiasa mampu
mendiskripsikan dan mewaspadai terjadinya penularan penyakit.
DAFTAR
RUJUKAN
Arif, M. (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan
Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.
Brunner & Suddarth. (2013). Keperawatan Medikal
Bedah. Edisi 12. Jakarta: EGC.
Digiulio, Mery, dkk. (2007). Keperawatan Medikal Bedah.
Edisi 1. Yogyakarta: Rapha Publishing.
Donna, L. Wong., Eaton, M.H., Wilson, D., Winkelstein,
M.L & Schwartz, P. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Edisi 6.
Jakarta: EGC.
Nurarif, A.H & Kusuma, H. (2013). Aplikasi Asuhan
Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Edisi Revisi.
Jilid 2. Yogtakarta. Mediaction Publishing.
Robert, P. (2006). Pengkajian Fisik Keperawatan. Edisi
2. Jakarta: EGC.
Surapsari, J. (2008). Penyakit Infeksi. Edisi 6.
Jakarta: Erlangga.
Suriadi & Yuliani, R. (2008). Asuhan Keperawatan
Anak. Edisi 2. Jakarta: CV. Sagung Seto.
Widia, L. (2015). Anatomi, Fisiologi dan siklus
Kehidupan Manusia. Yogyakarta: Nuha Medika.
Wilkinson, J., Nancy, R. (2012). Buku Saku Diagnosa
Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC.
<http://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Undergraduate-3256-babI.pdf> (Diakses tanggal 15 April 2016).
<http://www.academia.edu/4915863/faktor_faktor_penentu_kejadian_tuberkulosis_paru_pada_penderita_anak_yang_pernah_berobat> Diakses tanggal 15 April 2016).
<http://www.depkes.go.id/article/print/1444/tbc-masalah-kesehatan-dunia.html> (Diakses tanggal 15 April 2016).
No comments:
Post a Comment