Thursday, October 19, 2017

Laporan Pendahuluan Diabetes Mellitus Tipe 2

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang
Data dari studi global menunjukan bahwa jumlah penderita Diabetes Mellitus pada tahun 2011 telah mencapai 366 juta orang. Jika tidak ada tindakan yang dilakukan, jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 552 juta pada tahun 2030 (Trisnawati & Setyorogo, 2013).

Laporan data Epidemiologi McCarty dan Zimmet menunjukan, bahwa jumlah penderita Diabetes Mellitus di dunia dari 110,4 juta pada tahun 1994 melonjak 1,5 kali lipat (175,4 juta) pada tahun 2000, dan akan melonjak dua kali lipat (239, 3 juta) pada tahun  2010 (Tjokroprawiro, 2011).

Berdasarkan data dari WHO (World Health Organitation,), jumlah penderita Diabetes Mellitus sebanyak 347 juta orang di dunia, pada tahun 2013  dan diperkirakan akan menjadi penyebab kematian ke 7 tahun 2030.

Sekitar 16 juta orang di Amerika terdiagnosis Diabetes Mellitus. Prevalensinya adalah 6% sampai 7% pada orang usia 45 sampai 65 tahun dan 10% sampai 12% pada orang yang berusia lebih dari 65 tahun. Sekitar 90% diantaranya menderita Diabetes Mellitus tipe II. Sekitar 9,7 juta wanita di Amerika menderita Diabetes Mellitus. Diabetes Mellitus tipe II berkembang pada usia umur bahkan pada masa anak maupun remaja.

Indonesia masuk ke dalam peringkat 6 angka kejadian Diabetes Mellitus terbanyak di dunia. Dalam diabetes atlas 2000 (international diabetes federation) tercantum diperkirakan penduduk Indonesia di atas 20 tahun sebesar 125 juta dan dengan asumsi prevalensi DM 4,6 %, diperkirakan pada tahun 2000 berjumlah 5,6 juta (Betteng et al, 2014).


Hasil riset kesehatan dasar pada tahun 2008, menunjukkan prevalensi DM di Indonesia membesar sampai 57%. Tingginya prevalensi diabetes mellitus tipe II disebabkan oleh faktor resiko yang tidak dapat berubah misalnya jenis kelamin, umur, dan faktor genetik yang kedua adalah faktor resiko yang dapat diubah misalnya kebiasaan merokok, konsumsi alkohol. (Fatimah, 2015)

Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan, pravelansi penyakit tidak menular pada tahun 2015 terdapat sebanyak 4629 kasus penyakit Diabetes Mellitus. Dari data tersebut ditemukan bahwa Diabetes Mellitus (DM) menempati urutan kedua dari sebelas penyakit terbanyak di kota Banjarmasin pada tahun 2015.

Berdasarkan data dari Instalasi Rawat inap RSUD Ulin Banjarmasin pada tahun 2016 di ruang Tulip III B (Penyakit Dalam Pria) Diabetes Mellitus menempati urutan pertama pada 10 penyakit terbanyak. Pada periode Januari-Maret 2016 didapatkan data sebanyak 50 orang menderita penyakit Diabetes Mellitus.

Menurut data dari Kementrian Kesehatan RI, (2014). Diabetes Mellitus merupakan penyakit gangguan metabolik menahun akibat pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif.

Penyakit Diabetes merupakan salah satu penyakit degeneratif yang terkait langsung dengan gaya hidup atau life style. Sekalipun ada faktor lain diluar gaya hidup, namun dari berbagai hasil penelitian mengungkapkan bahwa peningkatan kualitas gaya hidup dapat menurunkan risiko terjadinya diabetes (Hotma Rumahorbo, 2014).

Berdasarkan dari fenomena di atas penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai Diabetes Mellitus melalui Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Diabetes Mellitus Tipe II pada Tn. M” secara komprehensif meliputi biopsikososial dan spiritual guna mendeteksi dini penyakit Diabetes Mellitus dan komplikasinya. 



BAB 2
LANDASAN TEORITIS

2.1         Tinjauan Teoritis Medis
2.1.1    Anatomi fisiologi
Pankreas adalah suatu organ yang terbentang secara horizontal dari cincin duodenum ke lien, pada vertebra 1 dan 2 di belakang lambung, terletak di retroperitoneal bagian atas dengan panjang sekitar 10–20 cm, dan lebar 2,5–5 cm. Pankreas terdiri dari 3 bagian, yaitu:  kepala pankreas dan ekor pankreas. Anatomi pankreas ditunjukan pada gambar 2.1 berikut ini :




                                                     Gambar 2.1 :
Sumber: Anatomi Pankreas (Fakhrizal Teuku, 2014)



Pankreas memiliki 2 fungsi penting yaitu :
2.1.1.1   Fungsi Eksokrin
Fungsi eksokrin pankreas berupa sekresi beberapa jenis enzim yang berguna dalam proses pencernaan, 3 jenis nutrient utama yaitu karbohidrat, lemak dan protein. Enzim masuk ke dalam duodenum melalui saluran pankreas.
2.1.1.2   Fungsi Endokrin
Fungsi endokrin pankreas berupa sekresi beberapa hormone yang berfungsi untuk mengatur metabolisme nutrisi selular baik karbohidrat, protein maupun lemak. Hormon yang disekresi oleh pankreas dicurahkan langsung ke dalam pembuluh darah menuju organ target.
            Pankreas terdiri  atas 2 jenis jaringan utama seperti terlihat pada gambar 1.2 yaitu:
a.        Sel asini, yang mensekresi enzim pencernaan ke dalam duodenum
b.       Pulau langerhans terdiri dari 3 jenis sel yaitu sel alpha yang menghasilkan glukagon, sel beta menghasilkan insulin dan sel deltha menghasilkan somatostatin. Pulau langerhans ditunjukan pada gambar berikut ini:


Sumber: Anatomi Pankreas (Fakhrizal Teuku, 2014)
Hormon yang dihasilkan oleh pankreas berperan utama  dalam mempertahankan keseimbangan glukosa darah melalui mekanisme umpan balik negatif dan positif. Mekanisme kerja insulin dan glukagon bersifat antagonis satu dengan lainnya.
1)      Glukagon
Sekresi glukagon dirangsang oleh penurunan kadar glukosa darah dan peningkatan kadar asam amino darah. Dalam sistem kerjanya glukagon merupakan mekanisme humoral yang menyediakan energy untuk jaringan, bilamana tidak ada makanan yang tersedia untuk diabsorpsi. Glukagon  merangsang pemecahan glikogen cadangan, mempertahankan produksi glukosa hati dari pemecahan asam amino (glukoneolisis). Glukagon bersifat glukogenilitik, glukoneogenetik, lipolitik dan ketogenik.

2)      Insulin
Insulin adalah suatu protein yang terdiri dari 51 asam amino yang terkandung dalam dua rantai peptida. Fungsi utama insulin adalah memudahkan penyimpanan  zat - zat gizi di hati, otot dan lemak melalui proses glikogenesis.
a)   Hati
      Hati adalah organ pertama yang dicapai insulin melalui aliran darah. Insulin bekerja pada hati melalui dua jalur utama antara lain :
(1)  Insulin membantu anabolisme
      Pada fungsi ini insulin membantu sintesis dan penyimpangan glikogen dan pada saat bersamaan mencegah pemecahannya, insulin meningkatkan sintesis protein,trigliserida dan VLDL dihati, insulin juga menghambat glukoneogenesis,dan membantu glikolisis.
(2)  Insulin membantu katabolisme
      Insulin bekerja untuk menekan peristiwa katabolik pada fase post absorptive dengan menghambat glikogenolisis, ketogenesis dan glukoneogenesis di hati.
b)   Otot
      Insulin membantu sintesis protein di otot dengan meningkatkan transport asam amino dan merangsang sintesis protein ribosomal. Disamping itu, insulin juga membantu sintesis glikogen untuk menggantikan cadangan glikogen yang telah dihabiskan oleh aktivitas otot, meningkatkan transport glukosa ke dalam sel otot, menurunkan katabolisme protein, menurunkan pelepasan asam amino glukoneogenik, meningkatkan ambilan keton,dan meningkatkan ambilan kalium.
c)   Lemak
      Insulin bekerja membantu penyimpanan trigliserida dalam adiposit melalui sejumlah mekanisme yaitu meningkatkan masuknya glukosa, meningkatkan sintesis asam lemak, meningkatkan sintesis gliserol fosfat, mengaktifkan lipoprotein lipase, menghambat lipase peka hormone dan meningkatkan ambilan kalium.
3)   Somatostatin
      Hormone ini berfungsi memperlambat pengosongan lambung, menurunkan produksi asam lambung dan gastrin, mengurangi sekresi pancreas eksokrin, menurunkan aliran darah alat-alat dalam.  (Rumahorbo, Hotma. 2014).

2.1.2    Definisi
Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu sindrom gangguan metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia sebagai akibat defisiensi sekresi insulin atau berkurangnya aktivitas biologis insulin atau keduanya. (Smeltze,& Bare, 2007; Asosiasi Diabetes Amerika/ American Diabetes Association (ADA, 2005). Didalam buku Rumahorbo, Hotma. 2014).

Diabetes Mellitus adalah keadaan hiperglikemi kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah, disertai lesi pada membrane balasis dalam pemeriksaan dengan mikroskop elektron. (Mansjoer et al., 2013).

Diabetes Mellitus adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemi yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh penurunan sekresi insulin atau penurunan sensitivitas insulin atau keduanya dan menyebabkan komplikasi kronis mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropati. (Yuliana, 2009)

Diabetes is closely linked with a number of common acute medical conditions. It is major cause of premature vascular disease involving the heart, brain and kidneedy, and therefore diabetes will be encountered in a angina,heart failure, stroke and renal insufficiency.   ( Harisson & Daly, 2012).

Diabetes mellitus is a chronic, progressive disease characterized by the body’s inability to metabolize carbohydrates, fats, and proteins, leading to hyperglycemia (high blood glucose level). Diabetes mellitus is sometimes reffered to as “ high sugars” by both clients and health care providers. (Black Joyce et al. 2009)
Diterjemahkan : Diabetes mellitus adalah penyakit progresif kronis, yang ditandai dengan ketidakmampuan tubuh untuk melakukan metabolisme kaebohidrat, lemak dan protein, yang menyebabkan hiperglikemia (kadar gula yang tinggi dalam darah). Diabetes kadang disebut sebagai “gula yang tinggi” dari keduanya klien dan layanan kesehatan.

Jadi, kesimpulan Diabetes Mellitus yaitu suatu kelainan pada seseorang yang ditandai naiknya kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia) yang diakibatkan karena kekurangan insulin.

2.1.3    Etiologi
Berdasarkan penyebabnya, menurut American Diabetes Association/ World Health Organization (ADA/WHO), diklasifikasikan menjadi empat macam, yaitu :
2.1.3.1   Diabetes Mellitus Tipe I
Sebelumnya disebut IDDM atau onset remaja diabetes mellitus, ditandai dengan kerusakan sel beta pankreas, yang menyebabkan kekurangan insulin secara absolut.
Diabetes mellitus tipe 1 diwariskan secara heterogen, yang bersifat multigenic. Dari sebuah asosiasi juga ada perantara antara diabetes mellitus tipe 1 dengan beberapa antigen leukosit manusia (HLAs). Faktor lingkungan seperti virus muncul untuk memicu proses autoimun yang menghancurkan sel beta. Antibodi sel islet (ICAS) kemudian muncul, peningkatan dalam jumlah selama beberapa bulan sampai ke tahun  sel beta dapat dihancurkan. Puasa hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) terjadi saat 80% sampai 90% dari sel-beta massa telah dihancurkan.
Identifikasi ICAS telah memungkinkan mendeteksi diabetes mellitus tipe 1 dalam tahap praklinis nya. Kecukupan insulin untuk mempertahankan hidup. Klien kemudian menjadi tergantung pada insulin eksogen (diproduksi di luar tubuh) sebagai administrasi untuk bertahan hidup.
(Black, Joyce et al. 2009)
Diabetes Mellitus tipe I
Diabetes yang tergantung insulin ditandai dengan        penghancuran sel-sel beta pankreas yang disebabkan oleh :
a.         Faktor genetik penderita tidak mewarisi diabetes itu sendiri, tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik kearah terjadinya diabetes tipe I
b.        Faktor imunologi (autoimun).
c.         Faktor lingkungan : virus atau toksin tertentu dapat memicu    proses autoimun yang menimbulkan astruksi sibeta. (Nurarif & Kusuma, 2015)
2.1.3.2   Diabetes Mellitus Tipe II
Patogenesis diabetes mellitus tipe 2 berbeda secara signifikan dari yang tipe 1. sebuah respon sel-beta yang terbatas untuk hiperglikemia tampaknya menjadi faktor utama dalam pembangunan. Sel-sel beta kronis terkena tingkat tingginya kadar glukosa darah menjadi semakin kurang efisien ketika menanggapi peningkatan glukosa lebih lanjut. Fenomena ini, disebut desensitisasi, reversibel dengan menormalkan kadar glukosa. Rasio proinsulin (prekursor terhadap insulin) untuk insulin yang disekresikan juga meningkat.
Sebuah proses patofisiologis kedua pada diabetes mellitus tipe 2 adalah perlawanan terhadap aktivitas biologis insulin di kedua hati dan jaringan perifer. Tempat ini dikenal sebagai resistensi insulin. Orang dengan diabetes mellitus tipe II  mengalami sensitivitas penurunan kadar glukosa, yang mana menghasilkan produksi glukosa hepatic secara terus menerus, bahkan dengan kadar glukosa darah tinggi. Hal ini ditambah dengan ketidakmampuan jaringan otot dan lemak untuk meningkatkan penyerapan glukosa. Mekanisme ini yang menyebabkan resistensi insulin perifer tidak jelas, bagaimanapun, tampaknya terjadi setelah insulin berikatan dengan reseptor pada permukaan sel. Insulin adalah bangunan (anabolik) hormon. Tanpa insulin, tiga masalah metabolik besar terjadi:
a.         Menurun pemanfaatan glukosa
b.        Peningkatan mobilisasi lemak
c.         Pemanfaatan protein meningkat
(Black, Joyce et al. 2009)
                                    Diabetes Mellitus tipe II
Disebabkan oleh kegagalan relative sel beta dan resistensi   insulin. Faktor resiko yang berhubungan dengan proses terjadinya diabetes tipe II : usia, obesitas, riwayat dan keluarga. (Nurarif & Kusuma, 2015)
2.1.3.3   DM tipe spesifik disebabkan kelainan genetic spesifik, penyakit pancreas, gangguan endokrin lain, efek obat-obatan, bahan kimia, infeksi virus dan lain-lain (Irianto, Koes. 2014)
2.1.3.4   DM gestational merupakan Diabetes yang berkembang selama masa kehamilan (ADA, 2005. Didalam buku Rumahorbo, Hotma. 2014)

2.1.4    Patofisiologi
Sebagian besar patologi diabetes mellitus dapat dihubungkan dengan efek utama kekurangan insulin yaitu:
2.1.4.1           Pengurangan penggunaan glukosa oleh  sel-sel tubuh, yang  mengakibatkan peningkatan konsentrasi glukosa darah sampai setinggi 300 sampai 1200 mg per 100 ml.
2.1.4.2           Peningkatan mobilisasi lemak dan daerah penyimpanan lemak sehingga menyebabkan kelainan metabolisme lemak maupun pengendapan lipid pada dinding vaskuler.
2.1.4.3           Pengurangan protein dalam jaringan tubuh.
Keadaan patologi tersebut akan berdampak :
a.         Hiperglikemia
Hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa darah yang tinggi pada rentang non puasa sekitar 140 – 160 mg /100 ml darah. Dalam keadaan insulin normal asupan glukosa atau produksi glukosa dalam tubuh akan difasilitasi (oleh insulin) untuk masuk ke dalam sel tubuh. Glukosa itu kemudian diolah untuk menjadi bahan energi. Apabila bahan energi yang dibutuhkan masih ada sisa akan disimpan sebagai glukogen dalam sel-sel hati dan sel-sel otot ( sebagai massa sel otot). Proses glikogenesis (pembentukan glikogen dari unsure glukosa ini dapat mencegah hiperglikemia. Pada penderita diabetes melitus proses ini tidak dapat berlangsung dengan baik sehingga glukosa banyak menumpuk di darah (hiperglikemia).
Secara rinci proses terjadinya hiperglikemia karena defisit insulin tergambar pada perubahan metabolik sebagai berikut:
1)        Transport glukosa yang melintasi membran sel-sel berkurang.
2)        Glukogenesis (pembentukan glikogen dari glukosa) berkurang dan tetap terdapat kelebihan glukosa dalam darah.
3)        Glikolisis (pemecahan glukosa) meningkat, sehingga cadangan glikogen berkurang, dan glukosa “hati” dicurahkan ke dalam darah secara terus menerus melebihi kebutuhan.
4)        Glukonegenesis (pembentukan glukosa dari usure non   karbohidrat) meningkat dan lebih banyak lagi glukosa    “hati” yang tercurah kedalam darah hasil pemecahan asam amino dan lemak.
Hiperglikemia akan mengakibatkan pertumbuhan berbagai mikroorganisme dengan cepat seperti jamur dan bakteri. Karena mikroorganisme tersebut sangat cocok dengan daerah yang kaya glukosa. Setiap kali timbul peradangan maka akan terjadi mekanisme peningkatan darah pada jaringan yang cidera. Kondisi itulah yang membuat mikroorganisme mendapat peningkatan pasokan nutrisi. Kondisi ini akan mengakibatkan penderita Diabetes Mellitus mudah mengalami infeksi oleh bakteri dan jamur.
b.        Hiperosmolaritas
Hiperosmolariras adalah adanya kelebihan tekanan osmotik pada plasma sel karena adanya peningkatan konsentrasi zat. Sedangkan tekanan osmosis merupakan tekanan yang di hasilkan karena adanya peningkatan konsentrasi larutan padat zat cair.
Pada penderita Diabetes Mellitus terjadinya hiperosmolaritas karena peningkat konsentrasi glukosa dalam darah (yang notabene komposisi terbanyaknya adalah zat cair). Peningkatan glukosa dalam darah akan berakibat terjadinya kelebihan ambang pada ginjal untuk memfiltrasi dan reabsorbsi glukosa (meningkat kurang lebih 225 mg/menit). Kelebihan ini kemudian menimbulkan efek pembuangan glukosa melalui urine (glukosuria). Ekskresi molekul glukosa yang aktif secara osmosis menyebabkan kehilangan sejumlah besar air (diuresis asmotik)  dan berakibat peningkatan volume air (poliuria). Proses seperti ini mengakibatkan dehidrasi dengan ekstraseluler dan juga diruangan intraseluler.
Glukosuria dapat mencapai 5-10 % dan osmolaritas serum lebih dan 370-380 mosmols/dl dalam keadaan tidak terdapatnya keton darah. Kondisi ini dapat berakibat koma hiperglikemik hiperosmolar nonketotik (K.HNH).
c.         Starvasi Selluler
Starvasi seluler merupakan kondid kelaparan yang dialami oleh sel karena glukosa sulit masuk padahal di sekeliling sel banyak sekali glukosa. Kalau kita meminjam istilah peribahasa “kelaparan di tengah lumbung padi”. Ada banyak bhan makanan tetapi tidak bisa di bawa untuk diolah. Sulitnya glukosa masuk karena tidak ada yang memfasilitasi untuk masuk sel yaitu insulin.
Dampak dari starvasi selluler akan terjadi proses kompensasi selluler untuk tetap mempertahankan fungsi sel. Proses itu antara lain :
1)    Defesiensi insulin gagal untuk melakukan asupan glukosa bagi jaringan-jaringan peripheral yang tergantung pada insulin (otot rangka dan jaringan lemak). Jika tidak terdapat glukosa, sel-sel otot memetabolisme cadangan glikogen yang mereka miliki untuk dibongkar menjadi glukosa dan energy mungkin juga akan menggunakan asam lemak bebas (keton). Kondisi ini berdampak pada penurunan massa otot, kelemahan otot dan rasa mudah lelah.
2)    Starvasi selluler juga akan mengakibatkan peningkatan metabolisme protein dan asam amino yang digunakan sebagai substrat yang diperlukan untuk glukogenesis dalam hati. Hasil dari glukoneogenesis akan dijadikan untuk proses aktivitas sel tubuh.
Protein dan asam amino yang melalui proses glukoneogesis akan di ubah menjadi CO2 dan H2O serta glukosa. Perubahan ini berdampak juga pada penurunan sintesis protein.
Proses glukoneogenesis yang menggunakan asam amino menyebabkan penipisan simpanan protein tubuh karena unsure nitrogen (sebagai unsure pemecah protein) tidak digunakan kembali untuk semua bagian tetapi di ubah menjadi urea dalam hepar dan di ekskresikan dalam urine. Ekskresi nitrogen yang banyak akan berakibat pada keseimbangan negative nitrogen.
Depresi protein akan berakibat tubuh menjadi kurus, penururnan resistensi terhadap infeksi dan sulitnya pengembalian jaringan yang rusak (sulit sembuh kalau ada cidera).
3)      Starvasi sel juga berdampak peningkatan mobilisasi dan metabolism lemak (lipolisis) asam lemak bebas, trigliserida dan gliserol yang meningkat bersirkulasi dan menyediakan substrat bagi hati untuk proses ketogenesis yang digunakan sel untuk melakukan aktivitas sel. Ketogenesis mengakibatkan peningkatan kadar asam organik (keton), sementara keton menggunakan cadangan alkali tubuh untuk buffer PH darah menurun. Pernafasan kusmaull dirangsang untuk mengkompensasi keadaan asidosis metabolik. Diuresis osmotik menjadi bertambah buruk dengan adanya ketoanemis dan dari katabolisme protein yang meningkatkan asupan protein ke ginjal sehingga tubuh banyak kehilangan protein.
Adanya starvasi selluler akan meningkatkan mekanisme penyesuaian tubuh untuk meningkatkan pemasukan dengan munculnya rasa ingin makan terus (polifagi). Starvasi selluler juga akan memunculkan gejala klinis kelemahan tubuh karena terjadi penurunan produksi energi. Dan kerusakan berbagai organ reproduksi yang salah satunya dapat timbul impotensi dan organ tubuh yang lain seperti persarafan perifer dan mata muncul rasa baal mata kabur. (Riyadi & Sukarmin. 2013).




2.1.6    Tanda dan gejala
2.1.6.1   Tipe I
a.         Serangan cepat karena tidak ada insulin yang diproduksi.
b.        Nafsu makan meningkat (polyphagia) karena sel-sel kekurangan energy, sinyal bahwa perlu makan banyak.
c.         Haus meningkat (polydipsia) karena tubuh berusaha membuang glukosa.
d.        Urinasi meningkat (polyuria) karena tubuh berusaha membuang glukosa.
e.         Berat badan turun karena glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel.
f.         Sering infeksi karena bakteri hidup dari kelebihan glukosa.
g.        Penyembuhan tertunda/lama karena naiknya kadar glukosa di dalam darah menghalangi proses kesembuhan.
2.1.6.2   Tipe II
a.         Serangan lambat karena sedikit insulin diproduksi.
b.        Haus meningkat (polydipsia) karena tubuh berusaha membuang glukosa.
c.         Urinasi meningkat (polyuria) karena tubuh berusaha membuang glukosa.
d.        Infeksi kandida karena bakteri hidup dari kelebihan glukosa.
e.         Penyembuhan tertunda/lama karena naiknya kadar glukosa di dalam darah menghalangi proses kesembuhan.
2.1.6.3   Gestational
a.         Asimtomatik.
b.        Beberapa pasien mungkin mengalami haus yang meningkat (polidipsia) karena tubuh berusaha membuang glukosa. (Digiulio M, et al. 2007)

2.1.7    Komplikasi
Berbagai komplikasi yang dapat berkembang pada diabetes baik yang bersifat akut maupun kronik.
2.1.7.1    Komplikasi akut
a.         Hipoglikemia adalah suatu kondisi yang menunjukan kadar glukosa  dalam darah rendah. Kadar glukosa darah turun dibawah 50mg/dl. Pada penyandang diabetes, keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian insulin atau preparat oral yang berlebihan.
b.        Diabetes Ketoasidosis disebabkan oleh tidak adanya insulin atau tidak cukup jumlah insulin yang nyata. Keadaan ini mengakibatkan gangguan metabolisme, karbohidrat, protein dan lemak. Ada tiga gambaran klinik yang penting pada ketoasidosis yaitu terjadinya dehidrasi, kehilangan elektrolit dan asidosis.
c.         Syndrome Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik (SHHNK)            Merupakan      keadaan yang didominasi oleh hiperosmolaritas dan hiperglikemia yang disertai perubahan tingkat kesadaran (Sense of Awareness) keadaan hiperglikemia persisten menyebabkan diuresis osmotic sehinggga terjadi kehilangan cairan dan elektrolit. Untuk mempertahankan keseimbangan osmotik, cairan akan berpindah dari intrasel ke ruang ekstrasel. Dengan adanya glukosuria dan dehidrasi, maka akan dijumpai keadaan hipernatremia dan peningkatan osmolaritas cairan.
2.1.7.2    Komplikasi Kronik
a.       Komplikasi Makrovaskuler perubahan  pembuluh darah besar akibat aterosklerotik menimbulkan masalah yang serius pada diabetes. Aterosklerotik yang terjadi pada pembuluh darah arteri koroner, maka akan menyebabkan penyakit jantung koroner. Sedangkan aterosklerotik yang terjadi pada pembuluh darah serebral, akan menyebabkan stroke infark dengan jenis TI (Transiennt Ischemic Attack). Selain itu aterosklerotik yang terjadi pada pembuluh darah besar ekstremitas bawah, akan menyebabkan penyakit oklusif arteri perifer atau penyakit vaskuler perifer.
b.      Komplikasi Mikrovaskuler
1)        Retinopati Diabetikum disebabkan oleh perubahan dalam pembuluh-pembuluh darah kecil pada retina mata, retina mengandung banyak sekali pembulu darah kecil seperti arteriol,venula dan kapiler. Retinopati diabetic dapat menyebabkan kebutaan.
2)        Nefropati Diabetikum adalah bila kadar glukosa darah meninggi maka mekanisme filtrasi ginjal akan mengalami stress yang mengakibatkan kerusakan pada membrane filtrasi sehingga terjadi kebocoran protein darah ke dalam urin. Kondisi ini mengakibatkan tekanan dalam pembuluh darah ginjal meningkat. kenaikan tekanan tersebut diperkirakan berperan sebagai stimulus dalam terjadinya nefropati. Nefropati diabetik dapat menyebabkan gagal ginjal.
3)        Neuropati Diabetikum Hiperglikemia merupakan faktor utama terjadinya neuropati diabetikum. Terdapat 2 tipe neuropati diabetik yang paling sering dijumpai yaitu polineuropati sensorik dan neuropati otonom. Polineuropati sensorik disebut juga neuropati perifer. Gejala permulaanya adalah parastesia (rasa tertusuk-tusuk, kesemutan dan peningkatan kepekaan) dan rasa terbakar (khususnya pada malam hari). Dengan bertambah lanjutnya neuropati ini kaki akan terasa baal. Penurunan sensibilitas terhadap sentuhan ringan dan penurunan sensibilitas nyeri dan suhu membuat penderita neuropati beresiko untuk mengalami cedera dan infeksi pada kaki tanpa diketahui. (Rumahorbo, Hotma. 2014).

2.1.8    Data penunjang
2.1.8.1   Pemeriksaan gula darah pada pasien Diabetes Mellitus antara lain :
a.         Gula darah puasa (GDO) 70-110 mg/dl
Kriteria diagnostic untuk DM > 140 mg/dl paling sesikit dalam dua kali pemeriksaan. Atau > 140 mg/dl disertai gejala klasik hiperglikemia, atau IGT 115-140 mg/dl.
b.        Gula darah 2 jam post prondial < 140 mg/dl
Digunakan untuk skrining atau evaluasi pengobatan bukan di diagnostic.
c.         Gula darah sewaktu < 140 mg/dl
Digunakan untuk skrining bukan diagnostik.
d.        Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
GD <115 mg/dl ½ jam, 1 jam, 1 ½ jam < 200 mg/dl, 2 jam < 140 mg/dl. TTGO dilakukan hanya pada pasien yang telah bebas dan diet dan beraktivitas fisik 3 hari sebelum tes tidak dianjurkan pada :
1)        Hiperglikemi yang sedang puasa
2)        Orang yang mendapat thiazide, dilantin, propanolol, lasik, thyroid, estrogen, pil KB, steroid.
3)        Pasien yang dirawat atau sakit akut atau pasien inaktif.
e.         Tes Toleransi Glukosa Intravena (TTGI)
Dilakukan jika TTGO merupakan kontraindikasi atau terdapat kelainan gastrointestinal yang mempengaruhi absorbsi glukosa.
f.         Tes Toleransi Kortison Glukosa
Digunakan jika TTGO tidak bermakna, kortison menyebabkan peningkatan kadar gula darah abnormal dan menurunkan penggunaan gula darah perifer pada orang yang berpredisposisi menjadi DM kadar glukosa darah 140 mg/dl pada akhir 2 jam dianggap sebagai hasil positif.
g.        Glycosatet Hemoglobin
Berguna dalam memantau kadar glukosa dengan rata-rata selam lebih dari 3 bulan.
h.        C-Peptide 1-2 mg/dl (puasa) 5-6 kali meningkat setelah pemberian glukosa
Untuk mengukur proinsulin (produks samping yang tak aktif secara biologis) dari pembentukan insulin dapat membantu mengetahui sekresi insulin.
Insulin serum puasa : 2-20 mu/ml post glukosa sampai 120 mu/ml, tidak digunakan secara luas dalam klinik, dapat digunakan dalam diagnosa hipoglikemia atau dalam penelitian Diabetes (Riyadi, et al. 2013).

2.1.9    Penatalaksanaan
Menurut Perkeni (2006), tujuan penatalaksanaan menurut umum adalah meningkatnya kualitas hidup penyandang diabetes yang ditandai oleh kemampuan penyandang prediabetes melaksanakan kegiatan sehari-hari secara mandiri dan produktif.
Dalam jangka pendek, penatalaksaan diabetes ditujukan untuk menghilangkan keluhan dan tanda diabetes, mempiabetes, mempertahankan rasa nyaman dan tercapainya target pertahankan rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian glungendalian glukosa darah.
Penatalaksaan jangka panjang diarahkan untuk mencegah dan mengurangi progresitas komplikasi makrovaskuler, mikrovaskuler dan neuropati.
Penatalaksaan diabetes dikelompokkan atas 4 pilar, yaitu :
2.1.9.1   Edukasi
Edukasi penyandang diabetes dimaksudkan untuk member informasi tentang gaya hidup yang perlu diperbaiki secara khusus memperbaiki pola makan dan pola latihan fisi. Informasi yang cukup akan memperbaiki keterampilan dan sikap penyandang diabetes. Melalui edukasi yang tepat diharapkan penyandang diabetes akan memiliki keyakinan diri dalam bertindak sehingga terbentuk motivasi dalam bertindak. Dalam melaksanakan edukasi, media dan metoda serta pendekatan yang digunakan menjadi factor penentu keberhasilan edukasi. Menggunakan tehnik komunikasi yang terapeutik seperti empati akan sangat membantu oleh karena perubahan gaya hidup bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan sehingga dibutuhkan educator yang dapat memahami kesulitan pasien.
Edukasi pemantauan kadar glukosa darah juga diperlukan penyandang diabetes karena dengan melakukan pemantauan kadar glukosa secara mandiri (self-monitoring of blood glucose), penyandang diabetes dapat mengatur terapinya untuk mengendalikan kadar glukosa darah secara optimal. Cara ini memungkinkan deteksi dan pencegahan hipoglikemia serta hiperglikemia dan mencegah komplikasi diabetes mellitus
2.1.9.2   Terapi gizi
Memformulasi paket gizi yang berguna dalam menyeimbangkan intake kalori yang masuk dan yang dibutuhkan tubuh merupakan salah satu upaya dalam membantu menyeimbangkan kadar glukosa dalam darah.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari :
a.         Karbohidrat
1)        Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% dari total asupan kalori
2)        Pembatasan karbohidrat total < 130 g/hari tidak dianjurkan
3)        Makanan mengandung karbohidart terutama yang mengandung serat tinggi
4)        Sukrosa tidak boleh lebih dari 5 dari total asupan kalori
5)        Pemanis alternative dapat digunakan sebagai pengganti gula asal tidak melebihi batas aman konsumsi harian
6)        Makan 3 kali sehari atau lebih, namun kalorinya tidak melebihi kenutuhan tubuh. Kalau perlu ada selingan makanan yang kalorinya telah diperhitungkan dari kalori harian
b.        Lemak
1)        Asupan lemak yang dianjurkan sekitar 20-25% dari total kebutuhan kalori
2)        Lemak jenuh < 7% dari total kebutuhan kalori
3)        Lemak tidak jenuh ganda < 10%, selebihnya dari lemak tidak jenuh tinggal
4)        Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain daging berlemak dan susu penuh (whole milk)
5)        Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari
c.         Protein
1)        Dibutuhkan sebesar 10-20% total asupan kalori
2)        Sumber protein antara lain sea food, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan seperti juga tahu dan tempe
3)        Bila ada nefropati, perlu dilakukan pembatasan protein seperti anjuran medis
d.        Natrium
1)        Anjuran asupan natrium ≤ 3000 mg atau sama dengan 6-7 g (1 sendok teh) garam dapur
2)        Bagi yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg garam dapur
e.         Serat
1)        Dianjurkan asupan makanan dengan serat yang tinggi. Dalam 1000 kkal/hari dianjurkan serat mencapai 25 g.
2.1.9.3   Latihan Fisik
Latihan fisik sangat penting dalam penatalaksaan diabetes karena efeknya dapat menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi factor resiko kardiovaskuler. Latihan juga akanmengubah kadar lemak darah yaitu meningkatkan kadar HDL kolesterol dan menurunkan kadar kolesterol total serta trigliserida. Pemelihin jenih dan intensitas latihan fisik memerlukan advis tenaga kesehatan.
2.1.9.4   Farmakoterapi (jika diperlukan)
Penggunaan obat golongan hipoglikemik merupakan upaya terakhir setelah upaya-upaya lain tidak berhasil membantu menyeimbangkan kadar glukosa darah penyandang diabetes. Obat hipoglikemik dapat diberika dalam bentuk tablet atau injeksi. Obat hipoglikemik oral (OHO) tersedia dalam bentuk tablet. Berdasarkan cara kerjanya OHO dibagi atas 4 golongan yaitu :
a.         Pemicu sekresi insulin seperti sulfonil urea dan glinid
b.        Penambah sensitivitas terhadap insulin seperti metformin dan tiazolindion
c.         Penghambat glukoneogenesis (metformin)
d.        Penghambat absorbsi glukosa seperti penghambat glukosidase alfa.
Obat hipoglikemik injeksi yang lazim disebut insulin, dibagi berdasarkan cara dan lama kerja seperti insulin cepat kerja (rapid acting insulin), insulin kerja pendek (short acting insulin), insulin kerja menengah (intermediate acting insulin), insulin kerja panjang (long acting insulin) dan insulin campuran.
Beberapa informasi penting bagi penyandang diabetes yang mendapat obat hipoglikemik :
1)        Pemakaian obat sesuai dosis dan waktu. Tidak diperkenankan menambah atau mengurangi dosis obat tanpa seijin medis. Obat hipoglikemik oral maupun injeksi, umumnya digunakan ½ jam sebelum makan, oleh karenanya waktu penggunaan obat terkait dengan jadwal makan yang harus dilakukan secara teratur
2)        Oleh karena kalori harian telah diselaraskan dengan kadar glukosa darah, aktivitas harian dan dosis obat maka porsi makan harus selalu dihabiskan sesuai anjuran
3)        Demikian halnya dengan aktivitas  dan latihan fisik tidak boleh dilakukan secara berlebihan.
4)        Bila terdapat keluhan dalam penggunaan otot, secepatnya meminta nasehat ke petugas kesehatan.
5)        Penyakit penyerta selama penggunaan obat harus dalam pengawasan tim medis.
(Rumahorbo, Hotma. 2014).



2.2     Tinjauan teoritis Keperawatan
2.2.1    Pengkajian
2.2.1.1   Usia
Umumnya manusia mengalami perubahan fisiologi secara drastis menurun dengan cepat setelah usia 40 tahun. Diabetes sering muncul setelah memasuki usia tersebut terutama setelah seseorang memasuki usia 45 tahun terlebih pada orang dengan overweight.
2.2.1.2   Pendidikan dan Pekerjaan
Pada orang dengan pendapatan tinggi cenderung untuk mempunyai pola hidup dan pola makan yang salah. Cenderung untuk mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung gula dan lemak yang berlebihan, serta tingginya konsumsi makanan yang berat serta aktivitas fisik yang sedikit. Oleh karena itu penyakit ini biasanya banyak dialami pegawai perkantoran, bos perusahaan dan pejabat pemerintahan.
2.2.1.3   Keluhan utama
Penderita biasanya datang dengan keluhn menonjol badan terasa sangat lemas sekali disertai penglihatan yang kabur. Meskipun muncul keluhan banyak kencing (poliura) kadang penderita belum tahu kalau itu slaah satu tanda penyakit  diabetes mellitus.
2.2.1.4   Riwayat Penyakit
Riwayat penyakit ini biasanya yang dominan adalah munculnya sering buang air kecil (poliuria), sering lapar dan haus (polidipsi dan polifagia), sebelumnya penderita mempunyai berat badan yang berlebih. Biasanya penderita belum menyadari kalau itu merupakan perjalanan penyakit diabetes mellitus. Penderita baru tahu kalau sudah memeriksakan diri di pelayanan kesehatan.
2.2.1.5   Riwayat Kesehatan Dahulu
Diabetes dapat terjadi saat kehamilan, yang terjadi hanya saat hamil saja dan biasanya tidak dialami setelah melahirkan namun perlu diwaspadai akan kemungkinan mengalami diabetes yang sesungguhnya dikemudian hari. Diabetes sekunder umumnya digambarkan sebagai kondisi penderita yang pernah mengalami suatu penyakit dan mengkonsumsi obat-obatan atau zat kimia tertentu. Penyakit yang dapat menjadi pemicu diabetes mellitus dan perlu dialkukan pengkajian diantaranya :
a.         Penyakit prankeas
b.        Gangguan penerimaan insulin
c.         Gangguan hormonal
d.        Pemberian obat-obatan seperti :
1)        Glukokortikoid (sebagai obat radang)
2)        Furosemid (sebagai diuretik)
3)        Thiazid (sebagai diuretik)
4)        Beta bloker (untuk mengobati gangguan jantung)
5)        Produk yang mengandung estrogen (kontrasepsi oral dan terapi sulih hormone)
2.2.1.6   Riwayat Kesehatan Keluarga
Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap diabetes, karena kelainan gen yang mengakibatkan tubuhnya tak dapat menghasilkan insulin dengan baik akan disampaikan informasinya pada keturunan berikutnya.(Vitahealth, 2004:34)
2.2.2    Pengkajian pola kebutuhan
Pengkajian menggunakan model menurut Virginia Handerson meliputi :
2.2.2.1   Kebutuhan nafas
Data pernafasan yang sangat mungkin terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus adalah munculnya peningkatan pernafasan sebagai kompensasi penurunan metabolisme sel yang melibatkan oksigen (respirasi aerob) dengan irama dalam dan cepat karena banyak benda keton yang dibongkar.
2.2.2.2   Kebutuhan nutrisi
Penderita dibetes mellitus mengeluh ingin selalu makan tetapi berat badannya justru turun karena glukosa tidak dapat ditarik ke dalam sel dan terjadi penuruna masa sel. Pada pengkajian intake cairan pasien akan terkaji banyak minum (sehari 2500-4000 cc).
2.2.2.3   Kebuthan eliminasi
Data eliminasi untuk buang air besar (BAB) pada pasien diabetes mellitus tidak ada perubahan yang mencolok. Frekuensi seperti biasa 1-2 kali/hari, dengan warna kekuningan. Sedangkan pada eliminasi buiang air kecil (BAK) akan dijumpai jumlah urine yang banyak baik secara frekuensi maupun volumenya ( pada frekuensi biasanya > 10 kali/hari, sedangkan volume mungkin mencapai 2500-3000 cc/hari). Untuk warna mungkin tidak ada perubahan sedangkan bau barangkali ada aroma unsure gula.
2.2.2.4   Kebutuhan gerak dan keseimbangan/aktivitas
Penderita dengan diabetes mellitus akan mengalami penurunan gerak karena kelemahan fisik, kram otot dan penurunan tonus otot. Penderita juga dapat mudah jatuh karena penurunan glukosa pada otak akan berakibat penurunan kerja pusat keseimbangan (di serebelum/otak kecil).
2.2.2.5   Kebutuhan istirahat dan tidur
Sering muncul perasaan tidak enak efek dari gangguan yang bersifat sistemik yang berdampak pada gangguan tidur (insomnia). Penderita juga sering terbangun karena frekuensi kencing yang meningkat pada malam hari. Rata- rata  tidur penderita pada malam hari.
2.2.2.6   Kebutuhan berpakaian
Kebutuhan berpakian mungkin tidak terganggu kecuali pada periode kelemahan fisik (skor kekuatan otot 2-0) atau terjadi penurunan kesadaran (apatis sampai koma).
2.2.2.7   Mempertahankan temperatur atau sirkulasi
Data yang sering muncul adalah klien mengeluh kesemutan
pada ekstremitas (atas maupun bawah) yang berarti terjadi
penurunan sirkulasi karena terjadi peningkatan viskositas darah
oleh glukosa tetapi sulit masuk sel. Pada ekstremitasnya akral
juga teraba dingin akibat penurunan sirkulasi. Suhu tubuh
biasanya masih berkisar normal kecuali sudah ada infeksi
(terjadi kenaikan suhu tubuh diatas 37ºc).
2.2.2.8  Kebutuhan personal hygiene
Pasien diabetes dengan kadar gula yang terkontrol (tidak naik drastis) masih dapat melakukan kegiatan ganti pakaian sendiri tanpa bantuan.
2.2.2.9   Kebutuhan rasa aman dan nyaman
Pasien dengan diabetes mellitus mengalami gangguan rasa nyeri
panas pada punggung kaki tetapi dengan skala yang ringan dan
dapat ditoleransi sehingga tidak terlalu mengganggu aktivitas
sehari-hari (untuk kebutuhan rasa nyaman) sampai yang berat
terasa sangat panas dan mengganggu aktivitas seperti berjalan.
Sedangkan kebutuhan aman pasien mengalami resiko mudah
terjadi perlukaan pada ekstremitas terutama bawah.
2.2.2.10    Berkomunikasi dengan orang lain dan mengekspresikan emosi
                Pada perjalanan yang cukup lama (lebih satu bulan) pasien
                 mengalami penurunan optimisme dan cenderung emosi labil,
                 mudah tersinggung dan marah. Sedangkan pada tahap awal
                 emosi pasien masih stabil dan mampu mengekspresikan emosi
                 dengan baik.
2.2.2.11      Kebutuhan spiritual
Kegiatan ibadah semakin terlihat meningkat sebagai bentuk kompensasi kejiwaan untuk mencari kesembuhan dari Tuhan Yang Maha Esa, kegiatan itu dapat berupa peningkatan sholat, berdo’a atau pergi ke tempat ibadah.
2.2.2.12     Kebutuhan bekerja
Kebutuhan bekerja pada pasien diabetes mellitus telah
mengalami penurunan karena penderita mudah mengalami
kelelahan.
2.2.2.13     Kebutuhan bermain dan rekreasi
Kebutuhan bermain dan rekreasi pada pasien diabetes mellitus perlu dikaji bagaimana selera, kondisi klien untuk bermain, kaji keadaan penyakit klien apakah berpengaruh pada keinginan untuk bermain, kaji bagaimana klien memenuhi kebutuhan bermainnya. Untuk kebutuhan yang ini masing-masing pasien berbeda.

2.2.2.14     Kebutuhan belajar
Kebutuhan belajar yang meningkat adalah bagaimana cara menurunkan kadar gula darah, bagaimana cara mengkonsumsi makanan yang aman dan bagaimanan cara menghindari komplikasi seperti tekanan darah tinggi.
Pengkajian pola kebutuhan memakai hirarki kebutuhan Maslow (sebagai pelengkap kebutuhan menurut Virginia Handerson) :
a.    Kebutuhan fisiologi (seperti oksigenasi, makan minum, eliminasi, suhu tubuh, sirkulasi dan lainnya sudah dijelaskan pada pola diatas)
b.    Kebutuhan rasa aman dan nyaman (sudah dijelaskan di atas)
c.    Kebutuhan dicintai dan mencintai
Pasien diabetes mellitus ada yang dikucilkan istri karena komplikasi dari organ reproduksi yang berupa impotensi untuk laki-laki dan penurunan gairah seksual untuk wanita. Kondisi ini akan mempengaruhi rasa cinta terhadap pasangan. Sedangkan bagi anak-anaknya mungkin karena terjadi penurunan aktivitas atau pendapatan ada yang menganggap orang tuanya tidak terlalu berguna lagi. Bukti klinik sedikit atau tidak ada anggota keluarga yang menemani. Untuk penderita kadang tidak merasa berguna sendiri sehingga kurang respek terhadap anggota keluarga.
d. Kebutuhan harga diri
Sering mengalami penurunan harga diri karena perubahan penampilan, perubahan identitas diri akibat tidak bekerja, perubahan gambaran diri karena mengalami amputasi atau gangren, perubahan peran karena tidak mampu menjalankan tugas dengan baik sebagai orang tua.
e.  Aktualisasi diri
Kebutuhan ini sebagai puncak dari hirarki kebutuhan menurut Maslow, kalau pasien sudah mengalami penurunan harga diri maka pasein sulit untuk melakukan aktualisasi diri. Pasien tampak tidak bergairah, bingung bahkan kadang terlihat sering menyendiri.

2.2.3    Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan yang dilakukan menurut (Riyadi & Sukarmin. 2013) antara lain :
2.2.3.1      Status penampilan kesehatan : yang sering muncul adalah kelemahan fisik
2.2.3.2      Tingkat kesadaran : normal, letargi, stupor, koma (tergantung kadar gula yang dimiliki dan kondisi fisiologi untuk melakukan kompensasi kelebuhan gula darah).
2.2.3.3      Tanda-tanda vital
Frekuensi nadi dan tekanan darah : takikardi (terjadi kekurangan energi sel sehingga jantung melakukan kompensasi untuk meningkatkan pengiriman), hipertensi (karena peningkatan viskositas darah oleh glukosa sehingga terjadi peningkatan tekanan pada dinding pembuluh darah dan resiko terbentuknya plak pada pembuluh. Kondisi ini terjadi pada fase diabetes mellitus yang sudah lama atau penderita yang memang mempunyai hipertensi).
Frekuensi pernafasan : takhipnea (pada kondisi ketoasidosis)
Suhu tubuh : demam (pada penderita dengan komplikasi infeksi pada luka atau pada jaringan lain), hipotermia (pada penderita yang tidak mengalami infeksi atau penurunan metabolik akibat menurunnya masukkan nutrisi secara drastis).
2.2.3.4      Berat badan melalui penampilan atau pengukuran : kurus ramping (pada diabetes mellitus fase lanjutan dan lama tidak mengalami terapi). Gemuk padat, gendut (pada fase awal penyakit atau penderita lanjutan dengan pengobatan yang rutin dan pola makan yang masih tidak terkontrol).
2.2.3.5           Kulit
a.         Kulit
Warna : Perubahan-perubahan pada melanin, kerotemia (pada penderita yang mengalami peningkatan trauma mekanik yang berakibat luka sehingga menimbulkan gangren. Tampak warna kehitam-hitaman disekitar luka. Daerah yang sering terkena dalah ekstremitas bawah).
Kelembaban : lembab (pada penderita yang tidak mengalami diuresis osmosis dan tidak mengalami dehidrasi), kering ( pada pasein yang mengakami diuresis osmosis dan dehidrasi).
Suhu : dingin (pada penderita yang tidak mengalami infeksi dan menurunnya masukan nutrisi), hangat (mengalami infeksi atau kondisi intake nutrisi normal sesuai aturan diet).
Tekstur : Halus (cadangan lemak dan glikogen belum banyak di bongkar), kasar (terjadi pembongkaran lemak, protein, glikogen otot untuk produksi energy).
Turgor : Menurun pada dehidrasi.
b.         Kuku
Warna : Pucat, sianosis (penurunan perfusi pada kondisi ketoasidosis atau komplikasi infeksi saluran pernafasan).
c.       Rambut
Kuantitas : Tipis (banyak yang rontok karena kekurangan nutrisi dan buruknya sirkulasi), lebat.
1)        Penyebaran : jarang atau alopesia total.
2)        Tekstur : halus atau kaasar.
2.2.3.6      Mata dan kepala
a.    Kepala
1)        Rambut : termasuk kuantitas, penyebaran dan tekstur antara lain : kasar dan halus
2)        Kulit kepala : termasuk benjolan atau lesi, antara lain : kista pilar dan psoriasis (yang rentan terjadi pada penderita diabetes mellitus karena penurunan antibody).
3)        Wajah : termasuk simestris dan ekspresi wajah, antara lain : paralisi wajah (pada penderita dengan komplikasi stroke) dan emosi.
b.    Mata
Yang perlu dikaji lapang pandang dan uji ketajaman pandang dari masing-masing mata (ketajaman menghilang).
Inspeksi
1)        Posisi dan kesejajaran mata : mungkin muncul eksoftalmus, strabismus.
2)        Alis mata : dermatitis, seborea (penderita sangat beresiko tumbuhnya mikroorganisme dan jamur pada kulit).
3)        kelopak mata
4)        Aparatus akrimalis : mungkin ada pembengkakan sakus lakrimalis.
5)        Sklera dan konjungtiva : sclera mungkin ikterik. Konjungtiva anemia pada derita yang sulit tidur karena banyak kencing pada malam hari).
6)        Kornea, iris dan lensa : opaksitas atau katarak (penderita diabetes mellitus sangat beresiko pada kekeruhan lensa mata).
7)        Pupil : miosis, midriosis atau anisokor.
c.    Telinga
1)      Daun telinga dilakukan inspeksi : masih simetris antara kanan dan kiri
2)      Lubang hidung dan gendang telinga
a)      Lubang telinga : produksi serumen tidak sampai mengganggu diameter lubang
b)      Gendang telinga : kalau tidak tertutup serumen berwarna putih keabuan, dan masih dapat bervibrasi dengan baik apabila tidak mengalami ineksi sekunder.
3)      Pendengaran
Pengkajian ketajaman pendengaran terhadap bisikan atau tes garputala dapat mengalami penurunan.
d.   Hidung
Jarang terjadi pembesaran polip dan sumbatan hidung kecuali ada infeksi sekunder seperti influenza.
e.    Mulut dan faring
Inspeksi pada bibir (sianosis, pucat apabila mengalami asidosis atau penurunan perfusi ringan pada stadium lanjut), Mukosa oral (kering dalam kondisi dehidrasi akibat diuresis osmosis), gusi, langit-langit mulut, lidah, dan faring.
f.     Leher
Pada inspeksi jarang tampak distensi vena jugularis, pembesaran kelenjar limfe leher dapat muncul apabila ada infeksi sistemik.
g.    Toraks dan paru-paru
1)        Inspeksi frekuensi : irama, kedalaman dan upaya bernafas, antara lain : takipnea, hipernea, dan pernafasan chyne stoke (pada kondisi ketoasidosis).
2)        Amati bentuk dada : normal atau tidak.
3)        Dengarkan pernafasan pasien
a)         Stridor pada obstruksi jalan nafas
b)        Mengi (apabila penderita sekaligus mempunyai riwayat astma atau bronchitis kronik).
h.    Dada
1)    Dada posterior
a)    inspeksi : defoemitas, atau asimetris dan retruksi inspirasi abdomen.
b)    Palpasi : adanya nyeri tekan atau tidak
c)    Perkusi : pekak terjadi apabila cairan atau jaringan padat menggantikan bagian paru yang normalnya terisi udara (terjadi pada penderita dengan penyakit lain seperti effuse pleura, tumor atau pasca penyembuhan TBC).
d)    Auskultasi : bunyi nafas vesikuler, bronco vesikuler (dalam kondisi normal)
2)    Dada anterior
a)         Inpeksi : defoemitas, atau asimetris
b)        Palpasi : adanya nyeri tekan, ekspensi pernafasan
c)         Perkusi : pada penderita normal area paru terdengar sonor
d)        Auskultasi : bunyi nafas vesikuler, bronco vesikuler (dalam kondisi tanpa penyerta penyakit lain).
i.      Aksila
1)    Inpeksi terhadap kemerahan, infeksi dan pigmentasi
2)    Palpasi kelenjar aksila sentralis apakah ada linfodenopati.
j.      Sistem kardiovaskuler
Adanya riwayat hipertensi, infark miokard akut, takikardi, tekanan darah yang cenderung meningkat, disritmea, nadi yang menurun, rasa kesemutan dan kebas pada ekstremitas merupakan tanda gejala dari penderita diabetes mellitus.
k.    Abdomen
1)    Inspeksi : pada kulit apakah strie dan simetris adanya pembesaran organ (pada penderita dengan penyerta penyakit sirosis hepatic atau hepatomegali dan splenomegali).
2)    Askultasi : bising usus apakah terjadi penurunan atau peningkatan motilitas.
3)    Perkusi :  tympani
4)    Palpasi : apakah ada nyeri tekan/massa.
l.      Ginjal
Palpasi ginjal apakah ada nyeri tekan sudut kosta veterbral.
m.   Genetalia
Penis : ada inspeksi apakah ada timosis pada prepusium dan apakah ada hipospadia pada meatus uretara, apakah ada kemerahan pada kulit skrotum.
n.    Sistem musculoskeletal
Inspeksi persendian dan jaringan sekitar saat anda memeriksa berbagai kondisi tubuh. Amati kemudahan dan rentang gesekan kondisi jaringan sekitar, setiap deformitas muskuloskletal, termasuk kurvatura abnormal dari tulang belakang. Sering mengalami penurunan kekuatan musculoskeletal dibuktikan dengan skor kekuatan otot yang menurun dari angka 5.
o.    Sistem neurosensori
Penderita diabetes mellitus biasanya merasakan gejala seperti:
1)        Pusing
2)        Sakit kepala
3)        Kesemutan, kebas kelemahan pada otot, parestesia
4)        Gangguan penglihatan
(Riyadi & Sukarmin. 2013)
2.2.4    Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
2.2.4.1      Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik (dari hiperglikemia) atau kehilangan gastrik berlebihan.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 hari keperawatan masalah Kekurangan volume cairan dapat teratasi
Kriteria evaluasi :
a.       Tanda vital stabil (dan mendekati aman nadi 80-88 x/menit, tekanan darah  100-140/80-90 MmHg, suhu tubuh 36,5-37,4º celcius, respiratory rate 20-22 x/menit.
b.      Nadi perifer teraba pada arteri radialis, arteri brakialis, arteri dorsalis pedis.
c.       Tugor kulit dan pengisisan kapiler baik dibuktikan dengan capillary refille kurang dari 2 detik.
d.      Keluaran urine dalam kategori aman (lebih dari 100 cc/hari sampai batas normal 1500 cc-1700 cc/hari)
e.       Kadar elektrolit urine dalam batas normal dengan nilai natrium 130-220 meq/24 jam, kalium 25-100 meq/24 jam, klorida 120-250 meq/liter, magnesium 1,0-2,5 mg/dl.
f.       Intervensi untuk etiologi diuresis osmosis :
1)        Dapatkan riwayat pasien/orang terdekat tentang lama dan frekuensi urine
Rasional : membantu dalam memperkirakan kekurangan volume total. Semakin tinggi lama frekuensi urine maka semakin banyak resiko kehilangan cairan
2)      Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan tekanan darah
Rasional : penurunan volume cairan darah (hipovolemi) akibat diuresis osmosis dapat dimanisfestasikan oleh hipotensi, takikardi, nadi teraba lemah
3)      Kaji suhu, warna, tugor kulit dan kelembabannya
Rasional : dehidrasi yang disertai demam akan teraba panas, kemerahan dan kering di kulit. Sedangkan penurunan tugor kulit sebagai indikasi penurunan volume cairan pada sel.
Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, tugor kulit dan membrane mukosa
Rasional : nadi yang lemah, pengisian kapiler yang lambat sebagai indikasi penurunan cairan dalam tubuh. Semakin lemah dan lambat dalam pengisian semakin tinggi derajat kekurangan cairan.
Pantau masukan dan pengeluaran , catat berat jenis urine
(1)    Balance cairan = (jumlah 1 intake + jumlah 2 + jumlah 3) – (jumlah 1 output + jumlah 2 + jumlah 3)
(2)    Jumlah 1,2,3 untuk memudahkan jumlah setiap shift jaga
(3)    Apabila dalam pengurangan didapatkan hasil plus (berlebih) atau minus (kurang) maka dimasukkan ke table hari berikutnya
Rasional : memberikan perkiraan kebutuhan akan cairan pengganti dan membaiknya fungsi ginjal.
4)        Ukur berat badan setiap hari
Rasional : memberikan gambaran status cairan dalam tubuh (60-70 % berat badan berasal dari cairan)
5)        Pertahankan untuk memberikan cairan 1500-2500 ml atau dalam batas yang dapat ditoleransi jantung jika pemasukan cairan melalui oral sudah dapat diberikan
Rasional : mempertahankan komposisi cairan dalam tubuh, volume sirkulasi dan menghindari over load jantung.
6)        Batasi intake cairan yang mengandung gula dan lemak misalnya cairan dari buah yang manis seperti semangka atau dari minuman seperti susu.
Rasional : menghindari kelebihan ambang ginjal menurunkan tekanan osmosis.
Intervesi keperawatan untuk etiologi peningkatan rangsangan gastric :
(1)     Batasi intake cairan ynag merangsang gaster dan saluran pencernaan seperti soda, kopi.
Rasional : menghindari rangsanga lambung yang berlebihan.
(2)     Catat hal-hal yang dilaporkan seperti mual, nyeri abdomen, muntah dan distensi lambung
Rasional : kekurangan cairan dan elektrolit mengubah mobilitas jantung, yang sering kali akan menimbulkan muntah atau secara potensial akan menimbulkan muntah dan kekurangan cairan
Kolaborasi
(a)   Berikan terapi cairan normal satu atau setengah normal salin dengan atau tanpa dektrosa
Rasional : untuk mengganti cairan dengan cepat. Tipe dan jumlah dari cairan tergantung pada derajat kekurangan cairan dan respon pasien secara individual.
(b)   Pemasangan kateter urine (kalau perlu)
Rasional : memberikan pengukuran yang tepat atau akurat terhadap pengukuran pengeluaran urine.
(c)   Pantau pemeriksaan laboratorium seperti hematokrit, osmolaritas darah, natrium
Rasional : hematokrit (mengkaji tingkat hidrasi dan seringkali meningkat akibat kenaikan kemokonsentrasi yang terjadi setelah diuresis osmotic), osmolaritas darah (meningkat sehubungan dengan adanya hiperglikemi dan dehidrasi), natrium (kadar natrium yang tinggi mencerminkan kehilangan cairan/ dehidrasi berat atau reabsorbsi natrium dalam berespon terhadap sekrei aldosteron)
(d)   Berikan kalium atau elektrolit yang lain melalui IV dan atau melalui oral sesuai indikasi
Rasional : kekurangan kalium dan elektrolit akan mempengaruhi system tubuh misalnya penurunan eksitasi persarafan. Kalium harus ditambahkan pada intravena untuk mencegah hipokalemia
(e)   Kolaborasi pemberian obat anti emetik seperti metokloperamid dan obat diare non spesifik seperti loperamid HCL. Furazolidone dan obat antibiotic diare seperti metronidazol, tetrasiklin (disesuaikan dengan jenis mikro organismenya)
Rasional : mengurangi stimulus gaster. Obat diare membantu memadatkan tinja dan membatasi pertumbuhan mikro organisme.
2.2.4.2      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakcukupan insulin atau penurunan masukan oral
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 hari keperawatan masalah Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dapat teratasi
Kriteria evaluasi:
1)   Pasien tidak lemah atau penurunan tingkat kelemahan
2)   Peningkatan berat badan atau berat bafan ideal atau normal
3)   Lingkar lengan meningkat atau mendekati 10 cm
4)   Nilai laboratorium hemoglobin untuk pria 13-16 gr/dl, untuk wanita 12-14 gr/dl.
Untuk etiologi ketidakcukupan insulin ktiteria hasil ditambah dengan :
5)   Nilai laboratorium yang terkait diabetes mellitus normal (terutama GDS 60-100 mg/dl, kolesterol total 150-250 mg/dl, protein total 6-7,0 gr/dl)
Sedangkan untuk etiologi penurunan masukan oral criteria hasil ditambahkan dengan :
6)   Pasien habis 1 porsi makan setiap kali makan (sesuai jumlah kalori yang dianjurkan)
7)   Pasien tidak mengeluh mual lagi
Intervensi untuk etiologi kekurangan insulin :
a)        Timbang berat badan atau ukur lingkar lengan setiap hari sesuai dengan indikasi
b)        Rasional : mengkaji indikasi terpenuhinya kebutuhan nutrisi dan menentukan jumlah kalori yang harus dikonsumsi penderita diabetes mellitus
c)        Tentukan program diet dan pola makan pasien sesuai dengan kadar gula yang dimiliki (dengan memakai rumus kebutuhan kalori untuk laki-laki = berat badan ideal x 30, sedangkan untuk wanita berat badan ideal x 25)
Rasional : menyesuaikan antara kebutuhan kalori dan kemampuan sel untuk mengambil glukosa
d)       Libatkan keluarga pasien pada dalam memantau waktu makan, jumlah nutrisi
Rasional : meningkatkan partisipasi keluarga dan mengontrol masukan nutrisi sesuai dengan kemampuan untuk menarik glukosa dalam sel.
e)        Observasi tanda-tanda hipoglikemi (perubahan tingkat kesadaran, kulit lembab/dingin, denyut nadi cepat, lapar, peka rangsang, cemas, sakit kepala, pusing, sempoyongan)
Rasional : karena metabolisme karbohidrat mulai terjadi, gula darah akan berkurang dan sementara pasien tetap diberikan insulin maka hipoglikemi dapat terjadi.
Kolaborasi :
(1)   Pantau pemeriksaan laboratorium seperti glukosa darah, aseton, PH dan HCO3.
Rasional : Gula darah akan menurun perlahan dengan penggunaan terapi insulin terkontrol. Dengan pemberian insulin dosis optimal glukosa dapat masuk ke dalam sel dan digunakan untuk sumber kalori. Peningkatan aseton, PH dan HCO3 sebagai indikasi kelebihan benda keton.
(2)   Berikan pengobatan insulin secara teratur dengan tehnik intravena secara intermitten atau secara continue
Rasional : insulin regular memiliki awitan cepat dan karenanya dengan cepat pula dapat membantu memindahkan ke dalam sel, pemberian melalui intravena merupakan rute pilihan utama karena absorbsi dari jaringan subkutan mungkin tidak mennetu/sangat lambat.
(3)   Lakukan konsultasi dengan ahli diet
Rasional : kebutuhan diet penderita harus disesuaikan dengan jumlah kalori karena kalau tidak terkontrol akan beresiko hiperglikemia.
(4)   Berikut diet 60 % karbohidrat, 20 % protein, dan 20 % lemak dan penataan makan dan pemberian makanan tambahan
Rasional : intake kompleks karbohidrat (jagung, wortel, brokoli, buncis, gandum) berdampak pada penekanan kadar glukosa darah, kebutuhan insulin, menurunkan kadar kolesterol, dan meningkatkan rasa kenyang.
Intervensi untuk etiologi penurunan intake oral :
a)    Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen/perut kembung, mual, muntah
Rasional : peningkatan peristaltic usus sebagai indikasi peningkatan rangsang gaster
b)    Libatkan keluarga pasien pada pencernaan makanan sesuai dengan indikasi
Rasional : meningkatkan rasa keterlibatannya memberikan informasi pada keluarga untuk memahami kebutuhan nutrisi pasien
c)    Anjurkan pasien makan makanan sedikit dan sering (sesuai dengan jumlah kalori yang boleh dikonsumsi)
Rasional : menurunkan beban kerja gaster dan usus sehingga rangsangan gastrointestinal menjadi berkurang.

Kolaborasi :
(1)   Pemberian anti mual dan muntah (seperti metocloperamid)
Rasional : mengurangi rangsangan gaster untuk mengeluarkan makanan atau minuman yang masuk
2.2.4.3   Nyeri akut (misalnya kaki) berhubungan dengan agen fisik
              Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 jam keperawatan masalah Nyeri akut (misalnya kaki) dapat teratasi
Kriteria evaluasi :
1)    Pasien melaporkan nyeribrkurang/hilang dalam 48 jam
2)    Ambulasi secara normal menahan beeban berat badan sempurna sempurna saat pulang
3)    Ekspresi wajah pasien tidak terlihat meringis kesakitan
4)    Nadi 80-84 x/menit
5)    Skala nyeri 0 atau 1 atau 2 atau 3
Intervensi :
a)  Tentukan karakteristik nyeri berdasarkan deskripsi pasien (tergantung pada pasien yang mengekspresikan)
Rasional : menetapkan dasar untuk mengkaji perbaikan/perubahan pada nyeri
b)  Letakkan ayunan kaki di atas tempat tidur/anjurkan untuk menggunakan pakaian tidur yang longgar saat bangun
Rasional : menghindari tekanan langsung pada area yang cidera yang dapat mengakibatkan vasokontriksi/ peningkatan nyeri
c)  Berikan analgetik per oral setiap 8 jam sesuai kebutuhan
Rasional : menurunkan ambang nyeri yang dialami oleh pasien melalui serabut syaraf
d) Anjurkan pasien untuk memulai aktivitas tidak tergesa dan mendadak
Rasional : meningkatkan rasa perhatian terhadap benda sekililing dan mengurangi kekakuan otot
2.2.4.4   Resiko infeksi berhubungan dengan perlukaan jaringan
              Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 jam keperawatan masalah Resiko infeksi dapat teratasi.
Kriteria hasil :
1)   Tidak terdapat tanda-tanda peradangan dan infeksi seperti rubot, kalor, dolor, tumor, fungtioleisa, dan angka leukosit dalam batas 5000-11000 ul.
2)    Suhu tubuh tidak tinggi (36,5-37ºc)
3)    Hitung jenis leukosit : Basofil (0-1), eosinofil (1-3), neutrofil batang (2-6), neutrofil segemn (50-70), limfosit (20-40), monosit (2-8)
Intervensi :
a)  Observasi tanda-tanda infeksi dan peradangan
Rasional : memastikan kondisi pasien pada periode peradangan atau sudah terjadi infeksi. Terjadinya sepsis dapat dicegah lebih awal
b)  Tingkatkan upaya pencegahan dengan melakukan cuci tangan, memakai handscoon, masker, kebersihan lingkungan
Rasional : meminimalkan invasi mikroorganisme
c)  Pertahankan tehnik aseptik dan sterilisasi alat pada prosedur invasive
Rasional : invasi alat dapat menjadi mediator masuknya mikroorganisme
d) Anjurkan untuk makan sesuai jumlah kalori yang dianjurkan terutama membatasi masuknya gula
Rasional : menurunkan resiko kadar gula darah tinggi yang merupakan media terbaik untuk pertumbuhan mikroorganisme
e)  Bantu pasien untuk personal hygiene
Rasional : menurunkan resiko invasi mikroorganisme
Kolaborasi :
(1)   Berikan obat antibiotik yang sesuai
Rasional : penanganan awal dapat membantu mencegah timbulnya sepsis
(2)   Lakukan pemeriksaan kultur dan sensitivitas sesuai dengan indikasi
Rasional : untuk mengidentifikasi organisme sehingga dapat memilih atau memberikan terapi antibiotik yang terbaik.
2.2.4.5   Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan perubahan status metabolik atau kerusakan sirkulasi
              Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 jam keperawatan masalah Kerusakan integritas kulit dapat teratasi.
Kriteria hasil :
1)    Terjadi perbaikan status metabolic yang dibuktikan oleh gula darah dalam batas normal dalam 36 jam.
2)    Bebas dari drainase purulen dalam 48 jam
3)    Menunjukan tanda-tanda penyembuhan dengan tepi luka bersih dalam 60 jam
4)    Tidak terdapat pembengkakan pada luka
    Intervensi untuk etiologi perubahan status metabolik :
a)  Kaji kondisi luka pada jaringan pasien (terutama area kaki dan punggung)
Rasional : mengidentifikasi tingkat metabolism jaringan dan tingkat disintegritas
b)  Rendam kaki atau punggung (kalau memungkinkan dengan ember khusus) dalam air steril pada suhu kamar dengan larutan betadine (yang diencerkan) atau perhidrol 3 kali sehari selama 15 menit
Rasional : membersihkan luka, efektif untuk membantu penyembuhan dan meningkatkan sirkulasi metabolic
c)  Rawat luka dengan tehnik steril dan kaji area luka setiap kali mengganti balutan
Rasional : mencegah peningkatan presentasi mikroorganisme akibat kelainan metabolic (glukosa tinggi) dan memberikan informasi tentang efektifitas terapi
d) Balut luka dengan kassa steril
Rasional : menjaga kebersihan luka/meminimalkan kontaminasi asing
e)  Berikan 15 unit insulin humulun N, SC pada siang hari setelah cntoh darah harian diambil
Rasional : mengobati disfungsi metabolic yang mendasari menurunkan hiperglikemia dan  meningkatkan penyembuhan.
Intervensi untuk etiologi kerusakan sirkulasi :
a)  Dapatkan kultur drainase luka saat masuk
Rasional : mengidentifikasi pathogen penyebab disintegrasi kulit dan terapi pilihan
b)  Berikan dilokasasilin 500 mg per awal setiap 6 jam, mulai jam 10.00 malam amati tanda-tanda hipersensitivitas
Rasional : pengobatan infeksi/pencegahan komplikasi
c)  Kaji area luka setiap kali merawat luka dan mengganti balutan
Rasional : mengidentifikasi tingkat sirkulasi pada luka
(Riyadi & Sukarmin. 2013).


DAFTAR RUJUKAN


Betteng  R, Pangemanan D, & Mayulu N. (2014), Jurnal e-Biomedik: Analis Faktor Resiko
            Penyebab Terjadinya Diabetes Mellitus Tipe II Pada Wanita Usia Produktif Dipuskesmas Wawonasa. Vol. 2. No.2.

Black, A.J.Kimberly. 2011.Kapita Selekta Penyakit dengan Implikasi Keperawatan. Edisi 2.Jakarta: EGC.

Bustan, (2007). Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Rineka Cipta.
           
Debora, Oda. 2011. Proses Keperawatan dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Salemba Medika.

Deswita, D. (2011). Pemeriksaan Pitting Edema. (internet). Termuat dalam: http://desideswita.wordpress.com/2011/04/01/pemeriksaan-pitting-edema/ (diakses pada tanggal 02 Juli 2015).

Digiulio,M, et al 2007 diabetic syndrom, Proses penyakit Diabetes Mellius. Jakarta, Gramedia

Dewanto, George. 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC

Fatimah Noor, F. (2015), J Najority: Diabetes Mellitus Tipe II. Vol.4. Hal. 93
.          
Feigin, Valery. 2009. Diabetes: Panduan Bergambar Tentang Pencegahan dan Pemulihan Diabetes. PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia: Jakarta.

Kemenkes RI. (2014), Infodatin. Pusat Data – Data Informasi Kementrian Kesehatan RI: Situasi Dan Analisis Diabetes.

Kusuma, H. & Nurarif, A. H. (2012). Handbook Health Student. Yogyakarta: Mediaction Publishing.

Mansjoer et al. (2009). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga. Jilid I, Fakultas Kedokteran UI: Media Aesculapius


Medical Record RSUD Ulin Banjarmasin. (2016), Rekapitulasi Penyakit Diabetes Mellitus Di Ruang Tulip IIIB (Penyakit Dalam Pria).

Nurarif. Amin. Huda dan Kusuma Hardhi. 2013 Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC, Jilid 2 Yogyakarta. EGC.

Nurarif. Amin. Huda dan Kusuma Hardhi. 2015 Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC, Jilid 2 Yogyakarta. Mediaction.

Pearce, E. C. (2011). Anatomi Dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: PT Gramedia

Perkeni B, 2006, Penatalaksanaan dan penanggulangan Diabetes Mellitus. Jakarta,
             Salemba Medika
Price, Sylvia Anderson, dan Lorraine McCarty Wilson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Jakarta: EGC.

Rutmahorbo.H. 2014. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem Metabolik. Jakarta: Salemba Medika.

Riyadi & Sukarmin. 2011. Proses Keperawatan dan Pemeriksaan Fisik diabetes Mellitus. Jakarta: Salemba Medika.

Saputra, Lyndon. 2009. Kapita Selekta Kedokteran Klinik. Jakarta: Binapura Aksara.

Fakhrizal, Teuku. 2009. AnatomiPankreas (http://YAHOO.IMAGES.COM). (Diakses pada tanggal 29Juni 2015pada pukul17.00 Wita.)




No comments:

Post a Comment