BAB
1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Data dari studi global menunjukan
bahwa jumlah penderita Diabetes Mellitus pada tahun 2011 telah mencapai 366
juta orang. Jika tidak ada tindakan yang dilakukan, jumlah ini diperkirakan
akan meningkat menjadi 552 juta pada tahun 2030 (Trisnawati & Setyorogo,
2013).
Laporan data Epidemiologi McCarty
dan Zimmet menunjukan, bahwa jumlah penderita Diabetes Mellitus di dunia dari
110,4 juta pada tahun 1994 melonjak 1,5 kali lipat (175,4 juta) pada tahun
2000, dan akan melonjak dua kali lipat (239, 3 juta) pada tahun 2010 (Tjokroprawiro, 2011).
Berdasarkan data dari WHO (World Health Organitation,), jumlah
penderita Diabetes Mellitus sebanyak 347 juta orang di dunia, pada tahun
2013 dan diperkirakan akan menjadi
penyebab kematian ke 7 tahun 2030.
Sekitar 16 juta orang di Amerika
terdiagnosis Diabetes Mellitus. Prevalensinya adalah 6% sampai 7% pada orang
usia 45 sampai 65 tahun dan 10% sampai 12% pada orang yang berusia lebih dari
65 tahun. Sekitar 90% diantaranya menderita Diabetes Mellitus tipe II. Sekitar
9,7 juta wanita di Amerika menderita Diabetes Mellitus. Diabetes Mellitus tipe
II berkembang pada usia umur bahkan pada masa anak maupun remaja.
Indonesia masuk ke dalam peringkat
6 angka kejadian Diabetes Mellitus terbanyak di dunia. Dalam diabetes atlas
2000 (international diabetes federation) tercantum diperkirakan penduduk
Indonesia di atas 20 tahun sebesar 125 juta dan dengan asumsi prevalensi DM 4,6
%, diperkirakan pada tahun 2000 berjumlah 5,6 juta (Betteng et al, 2014).
Hasil riset kesehatan dasar pada
tahun 2008, menunjukkan prevalensi DM di Indonesia membesar sampai 57%.
Tingginya prevalensi diabetes mellitus tipe II disebabkan oleh faktor resiko
yang tidak dapat berubah misalnya jenis kelamin, umur, dan faktor genetik yang
kedua adalah faktor resiko yang dapat diubah misalnya kebiasaan merokok,
konsumsi alkohol. (Fatimah, 2015)
Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan
Selatan, pravelansi penyakit tidak menular pada tahun 2015 terdapat sebanyak
4629 kasus penyakit Diabetes Mellitus. Dari data tersebut ditemukan bahwa
Diabetes Mellitus (DM) menempati urutan kedua dari sebelas penyakit terbanyak
di kota Banjarmasin pada tahun 2015.
Berdasarkan data dari Instalasi
Rawat inap RSUD Ulin Banjarmasin pada tahun 2016 di ruang Tulip III B (Penyakit
Dalam Pria) Diabetes Mellitus menempati urutan pertama pada 10 penyakit
terbanyak. Pada periode Januari-Maret 2016 didapatkan data sebanyak 50 orang
menderita penyakit Diabetes Mellitus.
Menurut data dari Kementrian
Kesehatan RI, (2014). Diabetes Mellitus merupakan penyakit gangguan metabolik
menahun akibat pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat
menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif.
Penyakit Diabetes merupakan salah satu penyakit
degeneratif yang terkait langsung dengan gaya hidup atau life style. Sekalipun ada faktor lain diluar gaya hidup, namun dari
berbagai hasil penelitian mengungkapkan bahwa peningkatan kualitas gaya hidup
dapat menurunkan risiko terjadinya diabetes (Hotma Rumahorbo, 2014).
Berdasarkan dari fenomena di atas penulis
tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai Diabetes Mellitus melalui Karya
Tulis Ilmiah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Diabetes Mellitus Tipe II pada
Tn. M” secara komprehensif meliputi biopsikososial dan spiritual guna
mendeteksi dini penyakit Diabetes Mellitus dan komplikasinya.
BAB 2
LANDASAN TEORITIS
2.1
Tinjauan
Teoritis Medis
2.1.1 Anatomi fisiologi
Pankreas adalah suatu organ
yang terbentang secara horizontal dari cincin duodenum ke lien, pada vertebra 1
dan 2 di belakang lambung, terletak di retroperitoneal bagian atas dengan
panjang sekitar 10–20 cm, dan lebar 2,5–5 cm. Pankreas terdiri dari 3 bagian,
yaitu: kepala pankreas dan ekor
pankreas. Anatomi pankreas ditunjukan pada gambar 2.1 berikut ini :
Gambar 2.1 :
Sumber: Anatomi Pankreas
(Fakhrizal Teuku, 2014)
Pankreas memiliki 2 fungsi penting yaitu :
2.1.1.1 Fungsi Eksokrin
Fungsi eksokrin pankreas berupa sekresi beberapa jenis enzim yang
berguna dalam proses pencernaan, 3 jenis nutrient utama yaitu karbohidrat,
lemak dan protein. Enzim masuk ke dalam duodenum melalui saluran pankreas.
2.1.1.2 Fungsi Endokrin
Fungsi endokrin pankreas
berupa sekresi beberapa hormone yang berfungsi untuk mengatur metabolisme
nutrisi selular baik karbohidrat, protein maupun lemak. Hormon yang disekresi
oleh pankreas dicurahkan langsung ke dalam pembuluh darah menuju organ target.
Pankreas terdiri
atas 2 jenis jaringan utama seperti terlihat pada gambar 1.2 yaitu:
a.
Sel asini, yang mensekresi enzim pencernaan ke
dalam duodenum
b. Pulau
langerhans terdiri dari 3 jenis sel yaitu sel alpha yang menghasilkan glukagon,
sel beta menghasilkan insulin dan sel deltha menghasilkan somatostatin. Pulau
langerhans ditunjukan pada gambar berikut ini:
Sumber:
Anatomi Pankreas (Fakhrizal Teuku, 2014)
Hormon
yang dihasilkan oleh pankreas berperan utama
dalam mempertahankan keseimbangan glukosa darah melalui mekanisme umpan
balik negatif dan positif. Mekanisme kerja insulin dan glukagon bersifat
antagonis satu dengan lainnya.
1) Glukagon
Sekresi glukagon dirangsang oleh penurunan
kadar glukosa darah dan peningkatan kadar asam amino darah. Dalam sistem kerjanya
glukagon merupakan mekanisme humoral yang menyediakan energy untuk jaringan,
bilamana tidak ada makanan yang tersedia untuk diabsorpsi. Glukagon merangsang pemecahan glikogen cadangan,
mempertahankan produksi glukosa hati dari pemecahan asam amino (glukoneolisis).
Glukagon bersifat glukogenilitik, glukoneogenetik, lipolitik dan ketogenik.
2) Insulin
Insulin adalah suatu protein yang terdiri dari
51 asam amino yang terkandung dalam dua rantai peptida. Fungsi utama insulin
adalah memudahkan penyimpanan zat - zat
gizi di hati, otot dan lemak melalui proses glikogenesis.
a) Hati
Hati adalah organ pertama yang dicapai
insulin melalui aliran darah. Insulin bekerja pada hati melalui dua jalur utama
antara lain :
(1) Insulin membantu anabolisme
Pada fungsi ini insulin membantu sintesis
dan penyimpangan glikogen dan pada saat bersamaan mencegah pemecahannya,
insulin meningkatkan sintesis protein,trigliserida dan VLDL dihati, insulin
juga menghambat glukoneogenesis,dan membantu glikolisis.
(2) Insulin membantu katabolisme
Insulin bekerja untuk menekan peristiwa
katabolik pada fase post absorptive dengan menghambat glikogenolisis,
ketogenesis dan glukoneogenesis di hati.
b) Otot
Insulin membantu sintesis protein di otot
dengan meningkatkan transport asam amino dan merangsang sintesis protein
ribosomal. Disamping itu, insulin juga membantu sintesis glikogen untuk
menggantikan cadangan glikogen yang telah dihabiskan oleh aktivitas otot,
meningkatkan transport glukosa ke dalam sel otot, menurunkan katabolisme protein,
menurunkan pelepasan asam amino glukoneogenik, meningkatkan ambilan keton,dan
meningkatkan ambilan kalium.
c) Lemak
Insulin bekerja membantu penyimpanan
trigliserida dalam adiposit melalui sejumlah mekanisme yaitu meningkatkan
masuknya glukosa, meningkatkan sintesis asam lemak, meningkatkan sintesis
gliserol fosfat, mengaktifkan lipoprotein lipase, menghambat lipase peka
hormone dan meningkatkan ambilan kalium.
3) Somatostatin
Hormone ini berfungsi memperlambat
pengosongan lambung, menurunkan produksi asam lambung dan gastrin, mengurangi
sekresi pancreas eksokrin, menurunkan aliran darah alat-alat dalam. (Rumahorbo, Hotma. 2014).
2.1.2 Definisi
Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu sindrom
gangguan metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia sebagai akibat
defisiensi sekresi insulin atau berkurangnya aktivitas biologis insulin atau
keduanya. (Smeltze,& Bare, 2007; Asosiasi Diabetes Amerika/ American
Diabetes Association (ADA, 2005). Didalam buku Rumahorbo, Hotma. 2014).
Diabetes Mellitus adalah keadaan hiperglikemi
kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang
menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh
darah, disertai lesi pada membrane balasis dalam pemeriksaan dengan mikroskop
elektron. (Mansjoer et al., 2013).
Diabetes Mellitus adalah gangguan metabolisme
yang ditandai dengan hiperglikemi yang berhubungan dengan abnormalitas
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh penurunan
sekresi insulin atau penurunan sensitivitas insulin atau keduanya dan
menyebabkan komplikasi kronis mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropati. (Yuliana,
2009)
Diabetes
is closely linked with a number of common acute medical conditions. It is major
cause of premature vascular disease involving the heart, brain and kidneedy,
and therefore diabetes will be encountered in a angina,heart failure, stroke
and renal insufficiency. (
Harisson & Daly, 2012).
Diabetes
mellitus is a chronic, progressive disease characterized by the body’s
inability to metabolize carbohydrates, fats, and proteins, leading to
hyperglycemia (high blood glucose level). Diabetes mellitus is sometimes
reffered to as “ high sugars” by both clients and health care providers. (Black Joyce
et al. 2009)
Diterjemahkan : Diabetes mellitus adalah
penyakit progresif kronis, yang ditandai dengan ketidakmampuan tubuh untuk
melakukan metabolisme kaebohidrat, lemak dan protein, yang menyebabkan
hiperglikemia (kadar gula yang tinggi dalam darah). Diabetes kadang disebut sebagai
“gula yang tinggi” dari keduanya klien dan layanan kesehatan.
Jadi, kesimpulan Diabetes Mellitus yaitu suatu
kelainan pada seseorang yang ditandai naiknya kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia) yang diakibatkan karena
kekurangan insulin.
2.1.3 Etiologi
Berdasarkan penyebabnya, menurut American
Diabetes Association/ World Health Organization (ADA/WHO), diklasifikasikan
menjadi empat macam, yaitu :
2.1.3.1 Diabetes Mellitus Tipe I
Sebelumnya disebut IDDM atau onset remaja
diabetes mellitus, ditandai dengan kerusakan sel beta pankreas, yang
menyebabkan kekurangan insulin secara absolut.
Diabetes mellitus tipe 1 diwariskan secara heterogen, yang bersifat multigenic. Dari sebuah asosiasi juga ada perantara antara diabetes mellitus tipe 1 dengan beberapa antigen leukosit manusia (HLAs). Faktor lingkungan seperti virus muncul untuk memicu proses autoimun yang menghancurkan sel beta. Antibodi sel islet (ICAS) kemudian muncul, peningkatan dalam jumlah selama beberapa bulan sampai ke tahun sel beta dapat dihancurkan. Puasa hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) terjadi saat 80% sampai 90% dari sel-beta massa telah dihancurkan.
Diabetes mellitus tipe 1 diwariskan secara heterogen, yang bersifat multigenic. Dari sebuah asosiasi juga ada perantara antara diabetes mellitus tipe 1 dengan beberapa antigen leukosit manusia (HLAs). Faktor lingkungan seperti virus muncul untuk memicu proses autoimun yang menghancurkan sel beta. Antibodi sel islet (ICAS) kemudian muncul, peningkatan dalam jumlah selama beberapa bulan sampai ke tahun sel beta dapat dihancurkan. Puasa hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) terjadi saat 80% sampai 90% dari sel-beta massa telah dihancurkan.
Identifikasi ICAS telah memungkinkan mendeteksi
diabetes mellitus tipe 1 dalam tahap praklinis nya. Kecukupan insulin untuk
mempertahankan hidup. Klien kemudian menjadi tergantung pada insulin eksogen
(diproduksi di luar tubuh) sebagai administrasi untuk bertahan hidup.
(Black,
Joyce et al. 2009)
Diabetes
Mellitus tipe I
Diabetes
yang tergantung insulin ditandai dengan
penghancuran sel-sel beta pankreas
yang disebabkan oleh :
a.
Faktor genetik penderita tidak mewarisi
diabetes itu sendiri, tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan
genetik kearah terjadinya diabetes tipe I
b.
Faktor imunologi (autoimun).
c.
Faktor lingkungan : virus atau toksin tertentu
dapat memicu proses autoimun yang
menimbulkan astruksi sibeta. (Nurarif & Kusuma, 2015)
2.1.3.2 Diabetes Mellitus Tipe II
Patogenesis diabetes mellitus tipe 2
berbeda secara signifikan dari yang tipe 1. sebuah respon sel-beta yang terbatas untuk
hiperglikemia tampaknya menjadi faktor utama dalam pembangunan. Sel-sel beta
kronis terkena tingkat tingginya kadar glukosa darah menjadi semakin kurang efisien ketika menanggapi
peningkatan glukosa lebih lanjut. Fenomena ini, disebut desensitisasi,
reversibel dengan menormalkan kadar glukosa. Rasio proinsulin (prekursor
terhadap insulin) untuk insulin yang disekresikan juga
meningkat.
Sebuah proses patofisiologis kedua pada
diabetes mellitus tipe 2 adalah perlawanan terhadap aktivitas biologis insulin
di kedua hati dan jaringan perifer. Tempat ini dikenal sebagai resistensi insulin. Orang dengan
diabetes mellitus
tipe II
mengalami
sensitivitas
penurunan kadar glukosa, yang mana menghasilkan produksi glukosa hepatic secara terus menerus, bahkan dengan
kadar glukosa darah tinggi. Hal ini ditambah dengan ketidakmampuan jaringan
otot dan lemak untuk meningkatkan penyerapan glukosa. Mekanisme ini yang menyebabkan resistensi insulin
perifer tidak jelas, bagaimanapun, tampaknya terjadi setelah insulin berikatan
dengan reseptor pada permukaan sel. Insulin adalah bangunan (anabolik) hormon. Tanpa insulin,
tiga masalah metabolik besar terjadi:
a.
Menurun pemanfaatan glukosa
b.
Peningkatan mobilisasi lemak
c.
Pemanfaatan protein meningkat
(Black,
Joyce et al. 2009)
Diabetes
Mellitus tipe II
Disebabkan
oleh kegagalan relative sel beta dan resistensi insulin. Faktor resiko yang berhubungan
dengan proses terjadinya diabetes tipe II : usia, obesitas, riwayat dan
keluarga. (Nurarif & Kusuma, 2015)
2.1.3.3 DM tipe spesifik disebabkan kelainan genetic
spesifik, penyakit pancreas, gangguan endokrin lain, efek obat-obatan, bahan
kimia, infeksi virus dan lain-lain (Irianto, Koes. 2014)
2.1.3.4 DM gestational merupakan Diabetes yang
berkembang selama masa kehamilan (ADA, 2005. Didalam buku Rumahorbo, Hotma.
2014)
2.1.4 Patofisiologi
Sebagian besar patologi
diabetes mellitus dapat dihubungkan dengan efek utama kekurangan insulin yaitu:
2.1.4.1
Pengurangan penggunaan glukosa oleh sel-sel tubuh, yang mengakibatkan peningkatan konsentrasi glukosa
darah sampai setinggi 300 sampai 1200 mg per 100 ml.
2.1.4.2
Peningkatan mobilisasi lemak dan daerah
penyimpanan lemak sehingga menyebabkan kelainan metabolisme lemak maupun
pengendapan lipid pada dinding vaskuler.
2.1.4.3
Pengurangan protein dalam jaringan tubuh.
Keadaan patologi tersebut
akan berdampak :
a.
Hiperglikemia
Hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar
glukosa darah yang tinggi pada rentang non puasa sekitar 140 – 160 mg /100 ml
darah. Dalam keadaan insulin normal asupan glukosa atau produksi glukosa dalam
tubuh akan difasilitasi (oleh insulin) untuk masuk ke dalam sel tubuh. Glukosa
itu kemudian diolah untuk menjadi bahan energi. Apabila bahan energi yang dibutuhkan
masih ada sisa akan disimpan sebagai glukogen dalam sel-sel hati dan sel-sel
otot ( sebagai massa sel otot). Proses glikogenesis (pembentukan glikogen dari
unsure glukosa ini dapat mencegah hiperglikemia. Pada penderita diabetes
melitus proses ini tidak dapat berlangsung dengan baik sehingga glukosa banyak
menumpuk di darah (hiperglikemia).
Secara rinci proses terjadinya hiperglikemia
karena defisit insulin tergambar pada perubahan metabolik sebagai berikut:
1)
Transport glukosa yang melintasi membran sel-sel
berkurang.
2)
Glukogenesis (pembentukan glikogen dari
glukosa) berkurang dan tetap terdapat kelebihan glukosa dalam darah.
3)
Glikolisis (pemecahan glukosa) meningkat,
sehingga cadangan glikogen berkurang, dan glukosa “hati” dicurahkan ke dalam
darah secara terus menerus melebihi kebutuhan.
4)
Glukonegenesis (pembentukan glukosa dari usure
non karbohidrat) meningkat dan lebih
banyak lagi glukosa “hati” yang
tercurah kedalam darah hasil pemecahan asam amino dan lemak.
Hiperglikemia akan
mengakibatkan pertumbuhan berbagai mikroorganisme dengan cepat seperti jamur
dan bakteri. Karena mikroorganisme tersebut sangat cocok dengan daerah yang
kaya glukosa. Setiap kali timbul peradangan maka akan terjadi mekanisme
peningkatan darah pada jaringan yang cidera. Kondisi itulah yang membuat
mikroorganisme mendapat peningkatan pasokan nutrisi. Kondisi ini akan
mengakibatkan penderita Diabetes Mellitus mudah mengalami infeksi oleh bakteri
dan jamur.
b.
Hiperosmolaritas
Hiperosmolariras adalah adanya kelebihan
tekanan osmotik pada plasma sel karena adanya peningkatan konsentrasi zat.
Sedangkan tekanan osmosis merupakan tekanan yang di hasilkan karena adanya
peningkatan konsentrasi larutan padat zat cair.
Pada penderita Diabetes Mellitus terjadinya
hiperosmolaritas karena peningkat konsentrasi glukosa dalam darah (yang
notabene komposisi terbanyaknya adalah zat cair). Peningkatan glukosa dalam
darah akan berakibat terjadinya kelebihan ambang pada ginjal untuk memfiltrasi
dan reabsorbsi glukosa (meningkat kurang lebih 225 mg/menit). Kelebihan ini
kemudian menimbulkan efek pembuangan glukosa melalui urine (glukosuria).
Ekskresi molekul glukosa yang aktif secara osmosis menyebabkan kehilangan
sejumlah besar air (diuresis asmotik)
dan berakibat peningkatan volume air (poliuria). Proses seperti ini
mengakibatkan dehidrasi dengan ekstraseluler dan juga diruangan intraseluler.
Glukosuria dapat mencapai 5-10 % dan
osmolaritas serum lebih dan 370-380 mosmols/dl dalam keadaan tidak terdapatnya
keton darah. Kondisi ini dapat berakibat koma hiperglikemik hiperosmolar
nonketotik (K.HNH).
c.
Starvasi Selluler
Starvasi seluler merupakan kondid kelaparan
yang dialami oleh sel karena glukosa sulit masuk padahal di sekeliling sel
banyak sekali glukosa. Kalau kita meminjam istilah peribahasa “kelaparan di
tengah lumbung padi”. Ada banyak bhan makanan tetapi tidak bisa di bawa untuk
diolah. Sulitnya glukosa masuk karena tidak ada yang memfasilitasi untuk masuk
sel yaitu insulin.
Dampak dari starvasi selluler akan terjadi
proses kompensasi selluler untuk tetap mempertahankan fungsi sel. Proses itu
antara lain :
1) Defesiensi insulin gagal untuk melakukan
asupan glukosa bagi jaringan-jaringan peripheral yang tergantung pada insulin
(otot rangka dan jaringan lemak). Jika tidak terdapat glukosa, sel-sel otot
memetabolisme cadangan glikogen yang mereka miliki untuk dibongkar menjadi
glukosa dan energy mungkin juga akan menggunakan asam lemak bebas (keton).
Kondisi ini berdampak pada penurunan massa otot, kelemahan otot dan rasa mudah
lelah.
2) Starvasi selluler juga akan mengakibatkan
peningkatan metabolisme protein dan asam amino yang digunakan sebagai substrat
yang diperlukan untuk glukogenesis dalam hati. Hasil dari glukoneogenesis akan
dijadikan untuk proses aktivitas sel tubuh.
Protein dan asam amino yang
melalui proses glukoneogesis akan di ubah menjadi CO2 dan H2O serta glukosa.
Perubahan ini berdampak juga pada penurunan sintesis protein.
Proses glukoneogenesis yang
menggunakan asam amino menyebabkan penipisan simpanan protein tubuh karena unsure
nitrogen (sebagai unsure pemecah protein) tidak digunakan kembali untuk semua
bagian tetapi di ubah menjadi urea dalam hepar dan di ekskresikan dalam urine.
Ekskresi nitrogen yang banyak akan berakibat pada keseimbangan negative
nitrogen.
Depresi protein akan
berakibat tubuh menjadi kurus, penururnan resistensi terhadap infeksi dan
sulitnya pengembalian jaringan yang rusak (sulit sembuh kalau ada cidera).
3) Starvasi
sel juga berdampak peningkatan mobilisasi dan metabolism lemak (lipolisis) asam
lemak bebas, trigliserida dan gliserol yang meningkat bersirkulasi dan
menyediakan substrat bagi hati untuk proses ketogenesis yang digunakan sel
untuk melakukan aktivitas sel. Ketogenesis mengakibatkan peningkatan kadar asam
organik (keton), sementara keton menggunakan cadangan alkali tubuh untuk buffer
PH darah menurun. Pernafasan kusmaull dirangsang untuk mengkompensasi keadaan
asidosis metabolik. Diuresis osmotik menjadi bertambah buruk dengan adanya
ketoanemis dan dari katabolisme protein yang meningkatkan asupan protein ke
ginjal sehingga tubuh banyak kehilangan protein.
Adanya starvasi selluler akan meningkatkan
mekanisme penyesuaian tubuh untuk meningkatkan pemasukan dengan munculnya rasa
ingin makan terus (polifagi). Starvasi selluler juga akan memunculkan gejala
klinis kelemahan tubuh karena terjadi penurunan produksi energi. Dan kerusakan
berbagai organ reproduksi yang salah satunya dapat timbul impotensi dan organ
tubuh yang lain seperti persarafan perifer dan mata muncul rasa baal mata kabur.
(Riyadi & Sukarmin. 2013).
2.1.6 Tanda dan gejala
2.1.6.1 Tipe
I
a.
Serangan cepat karena tidak ada insulin yang
diproduksi.
b.
Nafsu makan meningkat (polyphagia) karena
sel-sel kekurangan energy, sinyal bahwa perlu makan banyak.
c.
Haus meningkat (polydipsia) karena tubuh berusaha
membuang glukosa.
d.
Urinasi meningkat (polyuria) karena tubuh
berusaha membuang glukosa.
e.
Berat badan turun karena glukosa tidak dapat
masuk ke dalam sel.
f.
Sering infeksi karena bakteri hidup dari
kelebihan glukosa.
g.
Penyembuhan tertunda/lama karena naiknya kadar
glukosa di dalam darah menghalangi proses kesembuhan.
2.1.6.2 Tipe II
a.
Serangan lambat karena sedikit insulin
diproduksi.
b.
Haus meningkat (polydipsia) karena tubuh
berusaha membuang glukosa.
c.
Urinasi meningkat (polyuria) karena tubuh
berusaha membuang glukosa.
d.
Infeksi kandida karena bakteri hidup dari
kelebihan glukosa.
e.
Penyembuhan tertunda/lama karena naiknya kadar
glukosa di dalam darah menghalangi proses kesembuhan.
2.1.6.3 Gestational
a.
Asimtomatik.
b.
Beberapa pasien mungkin mengalami haus yang meningkat
(polidipsia) karena tubuh berusaha membuang glukosa. (Digiulio M, et al. 2007)
2.1.7 Komplikasi
Berbagai
komplikasi yang dapat berkembang pada diabetes baik yang bersifat akut maupun
kronik.
2.1.7.1 Komplikasi akut
a.
Hipoglikemia adalah suatu kondisi yang
menunjukan kadar glukosa dalam darah
rendah. Kadar glukosa darah turun dibawah 50mg/dl. Pada penyandang diabetes,
keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian insulin atau preparat oral yang
berlebihan.
b.
Diabetes Ketoasidosis disebabkan oleh tidak
adanya insulin atau tidak cukup jumlah insulin yang nyata. Keadaan ini
mengakibatkan gangguan metabolisme, karbohidrat, protein dan lemak. Ada tiga gambaran
klinik yang penting pada ketoasidosis yaitu terjadinya dehidrasi, kehilangan
elektrolit dan asidosis.
c.
Syndrome Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik
(SHHNK) Merupakan keadaan yang didominasi oleh
hiperosmolaritas dan hiperglikemia yang disertai perubahan tingkat kesadaran
(Sense of Awareness) keadaan hiperglikemia persisten menyebabkan diuresis osmotic
sehinggga terjadi kehilangan cairan dan elektrolit. Untuk mempertahankan
keseimbangan osmotik, cairan akan berpindah dari intrasel ke ruang ekstrasel.
Dengan adanya glukosuria dan dehidrasi, maka akan dijumpai keadaan
hipernatremia dan peningkatan osmolaritas cairan.
2.1.7.2 Komplikasi Kronik
a.
Komplikasi Makrovaskuler perubahan pembuluh darah besar akibat aterosklerotik
menimbulkan masalah yang serius pada diabetes. Aterosklerotik yang terjadi pada
pembuluh darah arteri koroner, maka akan menyebabkan penyakit jantung koroner.
Sedangkan aterosklerotik yang terjadi pada pembuluh darah serebral, akan
menyebabkan stroke infark dengan jenis TI (Transiennt
Ischemic Attack). Selain itu aterosklerotik yang terjadi pada pembuluh
darah besar ekstremitas bawah, akan menyebabkan penyakit oklusif arteri perifer
atau penyakit vaskuler perifer.
b.
Komplikasi Mikrovaskuler
1)
Retinopati Diabetikum disebabkan oleh perubahan
dalam pembuluh-pembuluh darah kecil pada retina mata, retina mengandung banyak
sekali pembulu darah kecil seperti arteriol,venula dan kapiler. Retinopati
diabetic dapat menyebabkan kebutaan.
2)
Nefropati Diabetikum adalah bila kadar glukosa
darah meninggi maka mekanisme filtrasi ginjal akan mengalami stress yang
mengakibatkan kerusakan pada membrane filtrasi sehingga terjadi kebocoran
protein darah ke dalam urin. Kondisi ini mengakibatkan tekanan dalam pembuluh
darah ginjal meningkat. kenaikan tekanan tersebut diperkirakan berperan sebagai
stimulus dalam terjadinya nefropati. Nefropati diabetik dapat menyebabkan gagal
ginjal.
3)
Neuropati Diabetikum Hiperglikemia merupakan
faktor utama terjadinya neuropati diabetikum. Terdapat 2 tipe neuropati
diabetik yang paling sering dijumpai yaitu polineuropati sensorik dan neuropati
otonom. Polineuropati sensorik disebut juga neuropati perifer. Gejala
permulaanya adalah parastesia (rasa tertusuk-tusuk, kesemutan dan peningkatan
kepekaan) dan rasa terbakar (khususnya pada malam hari). Dengan bertambah
lanjutnya neuropati ini kaki akan terasa baal. Penurunan sensibilitas terhadap
sentuhan ringan dan penurunan sensibilitas nyeri dan suhu membuat penderita
neuropati beresiko untuk mengalami cedera dan infeksi pada kaki tanpa
diketahui. (Rumahorbo, Hotma. 2014).
2.1.8 Data penunjang
2.1.8.1 Pemeriksaan gula darah pada pasien Diabetes
Mellitus antara lain :
a.
Gula darah puasa (GDO) 70-110 mg/dl
Kriteria
diagnostic untuk DM > 140 mg/dl paling sesikit dalam dua kali pemeriksaan.
Atau > 140 mg/dl disertai gejala klasik hiperglikemia, atau IGT 115-140
mg/dl.
b.
Gula darah 2 jam post prondial < 140 mg/dl
Digunakan
untuk skrining atau evaluasi pengobatan bukan di diagnostic.
c.
Gula darah sewaktu < 140 mg/dl
Digunakan
untuk skrining bukan diagnostik.
d.
Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
GD
<115 mg/dl ½ jam, 1 jam, 1 ½ jam < 200 mg/dl, 2 jam < 140 mg/dl. TTGO
dilakukan hanya pada pasien yang telah bebas dan diet dan beraktivitas fisik 3
hari sebelum tes tidak dianjurkan pada :
1)
Hiperglikemi yang sedang puasa
2)
Orang yang mendapat thiazide, dilantin,
propanolol, lasik, thyroid, estrogen, pil KB, steroid.
3)
Pasien yang dirawat atau sakit akut atau pasien
inaktif.
e.
Tes Toleransi Glukosa Intravena (TTGI)
Dilakukan
jika TTGO merupakan kontraindikasi atau terdapat kelainan gastrointestinal yang
mempengaruhi absorbsi glukosa.
f.
Tes Toleransi Kortison Glukosa
Digunakan
jika TTGO tidak bermakna, kortison menyebabkan peningkatan kadar gula darah
abnormal dan menurunkan penggunaan gula darah perifer pada orang yang
berpredisposisi menjadi DM kadar glukosa darah 140 mg/dl pada akhir 2 jam
dianggap sebagai hasil positif.
g.
Glycosatet Hemoglobin
Berguna
dalam memantau kadar glukosa dengan rata-rata selam lebih dari 3 bulan.
h.
C-Peptide 1-2 mg/dl (puasa) 5-6 kali meningkat
setelah pemberian glukosa
Untuk
mengukur proinsulin (produks samping yang tak aktif secara biologis) dari pembentukan
insulin dapat membantu mengetahui sekresi insulin.
Insulin
serum puasa : 2-20 mu/ml post glukosa sampai 120 mu/ml, tidak digunakan secara
luas dalam klinik, dapat digunakan dalam diagnosa hipoglikemia atau dalam
penelitian Diabetes (Riyadi, et al. 2013).
2.1.9 Penatalaksanaan
Menurut Perkeni (2006),
tujuan penatalaksanaan menurut umum adalah meningkatnya kualitas hidup
penyandang diabetes yang ditandai oleh kemampuan penyandang prediabetes
melaksanakan kegiatan sehari-hari secara mandiri dan produktif.
Dalam jangka pendek,
penatalaksaan diabetes ditujukan untuk menghilangkan keluhan dan tanda
diabetes, mempiabetes, mempertahankan rasa nyaman dan tercapainya target
pertahankan rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian glungendalian
glukosa darah.
Penatalaksaan jangka panjang
diarahkan untuk mencegah dan mengurangi progresitas komplikasi makrovaskuler,
mikrovaskuler dan neuropati.
Penatalaksaan diabetes
dikelompokkan atas 4 pilar, yaitu :
2.1.9.1 Edukasi
Edukasi
penyandang diabetes dimaksudkan untuk member informasi tentang gaya hidup yang
perlu diperbaiki secara khusus memperbaiki pola makan dan pola latihan fisi.
Informasi yang cukup akan memperbaiki keterampilan dan sikap penyandang
diabetes. Melalui edukasi yang tepat diharapkan penyandang diabetes akan
memiliki keyakinan diri dalam bertindak sehingga terbentuk motivasi dalam
bertindak. Dalam melaksanakan edukasi, media dan metoda serta pendekatan yang
digunakan menjadi factor penentu keberhasilan edukasi. Menggunakan tehnik
komunikasi yang terapeutik seperti empati akan sangat membantu oleh karena
perubahan gaya hidup bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan sehingga
dibutuhkan educator yang dapat memahami kesulitan pasien.
Edukasi
pemantauan kadar glukosa darah juga diperlukan penyandang diabetes karena
dengan melakukan pemantauan kadar glukosa secara mandiri (self-monitoring of blood glucose), penyandang diabetes dapat
mengatur terapinya untuk mengendalikan kadar glukosa darah secara optimal. Cara
ini memungkinkan deteksi dan pencegahan hipoglikemia serta hiperglikemia dan
mencegah komplikasi diabetes mellitus
2.1.9.2 Terapi gizi
Memformulasi
paket gizi yang berguna dalam menyeimbangkan intake kalori yang masuk dan yang
dibutuhkan tubuh merupakan salah satu upaya dalam membantu menyeimbangkan kadar
glukosa dalam darah.
Komposisi
makanan yang dianjurkan terdiri dari :
a.
Karbohidrat
1)
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% dari
total asupan kalori
2)
Pembatasan karbohidrat total < 130 g/hari
tidak dianjurkan
3)
Makanan mengandung karbohidart terutama yang
mengandung serat tinggi
4)
Sukrosa tidak boleh lebih dari 5 dari total
asupan kalori
5)
Pemanis alternative dapat digunakan sebagai
pengganti gula asal tidak melebihi batas aman konsumsi harian
6)
Makan 3 kali sehari atau lebih, namun kalorinya
tidak melebihi kenutuhan tubuh. Kalau perlu ada selingan makanan yang kalorinya
telah diperhitungkan dari kalori harian
b.
Lemak
1)
Asupan lemak yang dianjurkan sekitar 20-25%
dari total kebutuhan kalori
2)
Lemak jenuh < 7% dari total kebutuhan kalori
3)
Lemak tidak jenuh ganda < 10%, selebihnya
dari lemak tidak jenuh tinggal
4)
Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang
banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain daging berlemak dan
susu penuh (whole milk)
5)
Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari
c.
Protein
1)
Dibutuhkan sebesar 10-20% total asupan kalori
2)
Sumber protein antara lain sea food, daging
tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan
seperti juga tahu dan tempe
3)
Bila ada nefropati, perlu dilakukan pembatasan
protein seperti anjuran medis
d.
Natrium
1)
Anjuran asupan natrium ≤ 3000 mg atau sama
dengan 6-7 g (1 sendok teh) garam dapur
2)
Bagi yang hipertensi, pembatasan natrium sampai
2400 mg garam dapur
e.
Serat
1)
Dianjurkan asupan makanan dengan serat yang
tinggi. Dalam 1000 kkal/hari dianjurkan serat mencapai 25 g.
2.1.9.3 Latihan Fisik
Latihan fisik sangat penting
dalam penatalaksaan diabetes karena efeknya dapat menurunkan kadar glukosa
darah dan mengurangi factor resiko kardiovaskuler. Latihan juga akanmengubah
kadar lemak darah yaitu meningkatkan kadar HDL kolesterol dan menurunkan kadar
kolesterol total serta trigliserida. Pemelihin jenih dan intensitas latihan
fisik memerlukan advis tenaga kesehatan.
2.1.9.4 Farmakoterapi (jika diperlukan)
Penggunaan
obat golongan hipoglikemik merupakan upaya terakhir setelah upaya-upaya lain
tidak berhasil membantu menyeimbangkan kadar glukosa darah penyandang diabetes.
Obat hipoglikemik dapat diberika dalam bentuk tablet atau injeksi. Obat
hipoglikemik oral (OHO) tersedia dalam bentuk tablet. Berdasarkan cara kerjanya
OHO dibagi atas 4 golongan yaitu :
a.
Pemicu sekresi insulin seperti sulfonil urea
dan glinid
b.
Penambah sensitivitas terhadap insulin seperti
metformin dan tiazolindion
c.
Penghambat glukoneogenesis (metformin)
d.
Penghambat absorbsi glukosa seperti penghambat
glukosidase alfa.
Obat
hipoglikemik injeksi yang lazim disebut insulin, dibagi berdasarkan cara dan
lama kerja seperti insulin cepat kerja (rapid
acting insulin), insulin kerja pendek (short
acting insulin), insulin kerja menengah (intermediate acting insulin), insulin kerja panjang (long acting insulin) dan insulin
campuran.
Beberapa
informasi penting bagi penyandang diabetes yang mendapat obat hipoglikemik :
1)
Pemakaian obat sesuai dosis dan waktu. Tidak
diperkenankan menambah atau mengurangi dosis obat tanpa seijin medis. Obat
hipoglikemik oral maupun injeksi, umumnya digunakan ½ jam sebelum makan, oleh
karenanya waktu penggunaan obat terkait dengan jadwal makan yang harus
dilakukan secara teratur
2)
Oleh karena kalori harian telah diselaraskan
dengan kadar glukosa darah, aktivitas harian dan dosis obat maka porsi makan
harus selalu dihabiskan sesuai anjuran
3)
Demikian halnya dengan aktivitas dan latihan fisik tidak boleh dilakukan
secara berlebihan.
4)
Bila terdapat keluhan dalam penggunaan otot,
secepatnya meminta nasehat ke petugas kesehatan.
5)
Penyakit penyerta selama penggunaan obat harus
dalam pengawasan tim medis.
(Rumahorbo,
Hotma. 2014).
2.2 Tinjauan
teoritis Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
2.2.1.1 Usia
Umumnya
manusia mengalami perubahan fisiologi secara drastis menurun dengan cepat
setelah usia 40 tahun. Diabetes sering muncul setelah memasuki usia tersebut
terutama setelah seseorang memasuki usia 45 tahun terlebih pada orang dengan overweight.
2.2.1.2 Pendidikan dan Pekerjaan
Pada
orang dengan pendapatan tinggi cenderung untuk mempunyai pola hidup dan pola
makan yang salah. Cenderung untuk mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung
gula dan lemak yang berlebihan, serta tingginya konsumsi makanan yang berat
serta aktivitas fisik yang sedikit. Oleh karena itu penyakit ini biasanya
banyak dialami pegawai perkantoran, bos perusahaan dan pejabat pemerintahan.
2.2.1.3 Keluhan utama
Penderita
biasanya datang dengan keluhn menonjol badan terasa sangat lemas sekali
disertai penglihatan yang kabur. Meskipun muncul keluhan banyak kencing
(poliura) kadang penderita belum tahu kalau itu slaah satu tanda penyakit diabetes mellitus.
2.2.1.4 Riwayat Penyakit
Riwayat
penyakit ini biasanya yang dominan adalah munculnya sering buang air kecil
(poliuria), sering lapar dan haus (polidipsi dan polifagia), sebelumnya
penderita mempunyai berat badan yang berlebih. Biasanya penderita belum
menyadari kalau itu merupakan perjalanan penyakit diabetes mellitus. Penderita
baru tahu kalau sudah memeriksakan diri di pelayanan kesehatan.
2.2.1.5 Riwayat Kesehatan Dahulu
Diabetes
dapat terjadi saat kehamilan, yang terjadi hanya saat hamil saja dan biasanya
tidak dialami setelah melahirkan namun perlu diwaspadai akan kemungkinan
mengalami diabetes yang sesungguhnya dikemudian hari. Diabetes sekunder umumnya
digambarkan sebagai kondisi penderita yang pernah mengalami suatu penyakit dan
mengkonsumsi obat-obatan atau zat kimia tertentu. Penyakit yang dapat menjadi
pemicu diabetes mellitus dan perlu dialkukan pengkajian diantaranya :
a.
Penyakit prankeas
b.
Gangguan penerimaan insulin
c.
Gangguan hormonal
d.
Pemberian obat-obatan seperti :
1)
Glukokortikoid (sebagai obat radang)
2)
Furosemid (sebagai diuretik)
3)
Thiazid (sebagai diuretik)
4)
Beta bloker (untuk mengobati gangguan jantung)
5)
Produk yang mengandung estrogen (kontrasepsi
oral dan terapi sulih hormone)
2.2.1.6 Riwayat Kesehatan
Keluarga
Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap
diabetes, karena kelainan gen yang mengakibatkan tubuhnya tak dapat
menghasilkan insulin dengan baik akan disampaikan informasinya pada keturunan
berikutnya.(Vitahealth, 2004:34)
2.2.2 Pengkajian
pola kebutuhan
Pengkajian menggunakan model menurut Virginia
Handerson meliputi :
2.2.2.1 Kebutuhan
nafas
Data pernafasan yang sangat mungkin terjadi pada pasien dengan
diabetes mellitus adalah munculnya peningkatan pernafasan sebagai kompensasi
penurunan metabolisme sel yang melibatkan oksigen (respirasi aerob) dengan
irama dalam dan cepat karena banyak benda keton yang dibongkar.
2.2.2.2 Kebutuhan
nutrisi
Penderita dibetes mellitus mengeluh ingin selalu makan tetapi berat
badannya justru turun karena glukosa tidak dapat ditarik ke dalam sel dan
terjadi penuruna masa sel. Pada pengkajian intake cairan pasien akan terkaji
banyak minum (sehari 2500-4000 cc).
2.2.2.3 Kebuthan
eliminasi
Data eliminasi untuk buang air besar (BAB) pada pasien diabetes
mellitus tidak ada perubahan yang mencolok. Frekuensi seperti biasa 1-2
kali/hari, dengan warna kekuningan. Sedangkan pada eliminasi buiang air kecil
(BAK) akan dijumpai jumlah urine yang banyak baik secara frekuensi maupun
volumenya ( pada frekuensi biasanya > 10 kali/hari, sedangkan volume mungkin
mencapai 2500-3000 cc/hari). Untuk warna mungkin tidak ada perubahan sedangkan bau
barangkali ada aroma unsure gula.
2.2.2.4 Kebutuhan
gerak dan keseimbangan/aktivitas
Penderita dengan diabetes mellitus akan mengalami penurunan gerak
karena kelemahan fisik, kram otot dan penurunan tonus otot. Penderita juga
dapat mudah jatuh karena penurunan glukosa pada otak akan berakibat penurunan
kerja pusat keseimbangan (di serebelum/otak kecil).
2.2.2.5 Kebutuhan
istirahat dan tidur
Sering muncul perasaan tidak enak efek dari gangguan yang bersifat
sistemik yang berdampak pada gangguan tidur (insomnia). Penderita juga sering
terbangun karena frekuensi kencing yang meningkat pada malam hari. Rata-
rata tidur penderita pada malam hari.
2.2.2.6 Kebutuhan
berpakaian
Kebutuhan berpakian mungkin tidak terganggu kecuali pada periode
kelemahan fisik (skor kekuatan otot 2-0) atau terjadi penurunan kesadaran
(apatis sampai koma).
2.2.2.7 Mempertahankan
temperatur atau sirkulasi
Data yang sering muncul adalah klien mengeluh
kesemutan
pada ekstremitas (atas maupun bawah) yang
berarti terjadi
penurunan sirkulasi karena terjadi peningkatan
viskositas darah
oleh glukosa tetapi sulit masuk sel. Pada
ekstremitasnya akral
juga teraba dingin akibat penurunan sirkulasi.
Suhu tubuh
biasanya masih berkisar normal kecuali sudah
ada infeksi
(terjadi kenaikan suhu tubuh diatas 37ºc).
2.2.2.8 Kebutuhan personal
hygiene
Pasien diabetes dengan kadar gula yang terkontrol (tidak naik
drastis) masih dapat melakukan kegiatan ganti pakaian sendiri tanpa bantuan.
2.2.2.9 Kebutuhan
rasa aman dan nyaman
Pasien dengan diabetes mellitus mengalami
gangguan rasa nyeri
panas pada punggung kaki tetapi dengan skala
yang ringan dan
dapat ditoleransi sehingga tidak terlalu
mengganggu aktivitas
sehari-hari (untuk kebutuhan rasa nyaman)
sampai yang berat
terasa sangat panas dan mengganggu aktivitas
seperti berjalan.
Sedangkan kebutuhan aman pasien mengalami
resiko mudah
terjadi perlukaan pada ekstremitas terutama
bawah.
2.2.2.10 Berkomunikasi
dengan orang lain dan mengekspresikan emosi
Pada perjalanan yang cukup lama (lebih satu bulan) pasien
mengalami
penurunan optimisme dan cenderung emosi labil,
mudah
tersinggung dan marah. Sedangkan pada tahap awal
emosi
pasien masih stabil dan mampu mengekspresikan emosi
dengan
baik.
2.2.2.11 Kebutuhan spiritual
Kegiatan ibadah semakin
terlihat meningkat sebagai bentuk kompensasi kejiwaan untuk mencari kesembuhan dari
Tuhan Yang Maha Esa, kegiatan itu dapat berupa peningkatan sholat, berdo’a atau
pergi ke tempat ibadah.
2.2.2.12 Kebutuhan bekerja
Kebutuhan
bekerja pada pasien diabetes mellitus telah
mengalami
penurunan karena penderita mudah mengalami
kelelahan.
2.2.2.13 Kebutuhan bermain dan rekreasi
Kebutuhan
bermain dan rekreasi pada pasien diabetes mellitus perlu dikaji bagaimana
selera, kondisi klien untuk bermain, kaji keadaan penyakit klien apakah
berpengaruh pada keinginan untuk bermain, kaji bagaimana klien memenuhi
kebutuhan bermainnya. Untuk kebutuhan yang ini masing-masing pasien berbeda.
2.2.2.14 Kebutuhan belajar
Kebutuhan
belajar yang meningkat adalah bagaimana cara menurunkan kadar gula darah,
bagaimana cara mengkonsumsi makanan yang aman dan bagaimanan cara menghindari
komplikasi seperti tekanan darah tinggi.
Pengkajian
pola kebutuhan memakai hirarki kebutuhan Maslow (sebagai pelengkap kebutuhan
menurut Virginia Handerson) :
a. Kebutuhan
fisiologi (seperti oksigenasi, makan minum, eliminasi, suhu tubuh, sirkulasi
dan lainnya sudah dijelaskan pada pola diatas)
b. Kebutuhan
rasa aman dan nyaman (sudah dijelaskan di atas)
c. Kebutuhan
dicintai dan mencintai
Pasien diabetes mellitus ada yang dikucilkan
istri karena komplikasi dari organ reproduksi yang berupa impotensi untuk
laki-laki dan penurunan gairah seksual untuk wanita. Kondisi ini akan
mempengaruhi rasa cinta terhadap pasangan. Sedangkan bagi anak-anaknya mungkin
karena terjadi penurunan aktivitas atau pendapatan ada yang menganggap orang
tuanya tidak terlalu berguna lagi. Bukti klinik sedikit atau tidak ada anggota
keluarga yang menemani. Untuk penderita kadang tidak merasa berguna sendiri
sehingga kurang respek terhadap anggota keluarga.
d. Kebutuhan
harga diri
Sering mengalami penurunan harga diri karena
perubahan penampilan, perubahan identitas diri akibat tidak bekerja, perubahan
gambaran diri karena mengalami amputasi atau gangren, perubahan peran karena
tidak mampu menjalankan tugas dengan baik sebagai orang tua.
e. Aktualisasi diri
Kebutuhan ini sebagai puncak dari hirarki
kebutuhan menurut Maslow, kalau pasien sudah mengalami penurunan harga diri
maka pasein sulit untuk melakukan aktualisasi diri. Pasien tampak tidak
bergairah, bingung bahkan kadang terlihat sering menyendiri.
2.2.3 Pemeriksaan
fisik
Pemeriksaan yang dilakukan menurut (Riyadi & Sukarmin. 2013)
antara lain :
2.2.3.1 Status
penampilan kesehatan : yang sering muncul adalah kelemahan fisik
2.2.3.2 Tingkat
kesadaran : normal, letargi, stupor, koma (tergantung kadar gula yang dimiliki
dan kondisi fisiologi untuk melakukan kompensasi kelebuhan gula darah).
2.2.3.3 Tanda-tanda
vital
Frekuensi nadi dan tekanan darah : takikardi (terjadi kekurangan
energi sel sehingga jantung melakukan kompensasi untuk meningkatkan
pengiriman), hipertensi (karena peningkatan viskositas darah oleh glukosa
sehingga terjadi peningkatan tekanan pada dinding pembuluh darah dan resiko
terbentuknya plak pada pembuluh. Kondisi ini terjadi pada fase diabetes
mellitus yang sudah lama atau penderita yang memang mempunyai hipertensi).
Frekuensi pernafasan : takhipnea (pada kondisi ketoasidosis)
Suhu tubuh : demam (pada penderita dengan komplikasi infeksi pada
luka atau pada jaringan lain), hipotermia (pada penderita yang tidak mengalami
infeksi atau penurunan metabolik akibat menurunnya masukkan nutrisi secara
drastis).
2.2.3.4 Berat badan melalui penampilan atau
pengukuran : kurus ramping (pada diabetes mellitus fase lanjutan dan lama tidak
mengalami terapi). Gemuk padat, gendut (pada fase awal penyakit atau penderita
lanjutan dengan pengobatan yang rutin dan pola makan yang masih tidak
terkontrol).
2.2.3.5
Kulit
a.
Kulit
Warna :
Perubahan-perubahan pada melanin, kerotemia (pada penderita yang mengalami
peningkatan trauma mekanik yang berakibat luka sehingga menimbulkan gangren.
Tampak warna kehitam-hitaman disekitar luka. Daerah yang sering terkena dalah
ekstremitas bawah).
Kelembaban
: lembab (pada penderita yang tidak mengalami diuresis osmosis dan tidak
mengalami dehidrasi), kering ( pada pasein yang mengakami diuresis osmosis dan
dehidrasi).
Suhu :
dingin (pada penderita yang tidak mengalami infeksi dan menurunnya masukan
nutrisi), hangat (mengalami infeksi atau kondisi intake nutrisi normal sesuai
aturan diet).
Tekstur
: Halus (cadangan lemak dan glikogen belum banyak di bongkar), kasar (terjadi
pembongkaran lemak, protein, glikogen otot untuk produksi energy).
Turgor :
Menurun pada dehidrasi.
b.
Kuku
Warna : Pucat, sianosis
(penurunan perfusi pada kondisi ketoasidosis atau komplikasi infeksi saluran
pernafasan).
c. Rambut
Kuantitas : Tipis (banyak
yang rontok karena kekurangan nutrisi dan buruknya sirkulasi), lebat.
1)
Penyebaran : jarang atau alopesia total.
2)
Tekstur : halus atau kaasar.
2.2.3.6 Mata dan kepala
a.
Kepala
1)
Rambut : termasuk kuantitas, penyebaran dan
tekstur antara lain : kasar dan halus
2)
Kulit kepala : termasuk benjolan atau lesi,
antara lain : kista pilar dan psoriasis (yang rentan terjadi pada penderita
diabetes mellitus karena penurunan antibody).
3)
Wajah : termasuk simestris dan ekspresi wajah,
antara lain : paralisi wajah (pada penderita dengan komplikasi stroke) dan
emosi.
b. Mata
Yang perlu dikaji lapang
pandang dan uji ketajaman pandang dari masing-masing mata (ketajaman
menghilang).
Inspeksi
1)
Posisi dan kesejajaran mata : mungkin muncul
eksoftalmus, strabismus.
2)
Alis mata : dermatitis, seborea (penderita
sangat beresiko tumbuhnya mikroorganisme dan jamur pada kulit).
3)
kelopak mata
4)
Aparatus akrimalis : mungkin ada pembengkakan
sakus lakrimalis.
5)
Sklera dan konjungtiva : sclera mungkin
ikterik. Konjungtiva anemia pada derita yang sulit tidur karena banyak kencing
pada malam hari).
6)
Kornea, iris dan lensa : opaksitas atau katarak
(penderita diabetes mellitus sangat beresiko pada kekeruhan lensa mata).
7)
Pupil : miosis, midriosis atau anisokor.
c. Telinga
1) Daun
telinga dilakukan inspeksi : masih simetris antara kanan dan kiri
2) Lubang
hidung dan gendang telinga
a) Lubang
telinga : produksi serumen tidak sampai mengganggu diameter lubang
b) Gendang
telinga : kalau tidak tertutup serumen berwarna putih keabuan, dan masih dapat
bervibrasi dengan baik apabila tidak mengalami ineksi sekunder.
3) Pendengaran
Pengkajian ketajaman
pendengaran terhadap bisikan atau tes garputala dapat mengalami penurunan.
d. Hidung
Jarang terjadi pembesaran
polip dan sumbatan hidung kecuali ada infeksi sekunder seperti influenza.
e. Mulut
dan faring
Inspeksi pada bibir
(sianosis, pucat apabila mengalami asidosis atau penurunan perfusi ringan pada
stadium lanjut), Mukosa oral (kering dalam kondisi dehidrasi akibat diuresis
osmosis), gusi, langit-langit mulut, lidah, dan faring.
f. Leher
Pada inspeksi jarang tampak
distensi vena jugularis, pembesaran kelenjar limfe leher dapat muncul apabila
ada infeksi sistemik.
g. Toraks
dan paru-paru
1)
Inspeksi frekuensi : irama, kedalaman dan upaya
bernafas, antara lain : takipnea, hipernea, dan pernafasan chyne stoke (pada kondisi ketoasidosis).
2)
Amati bentuk dada : normal atau tidak.
3)
Dengarkan
pernafasan pasien
a)
Stridor pada obstruksi jalan nafas
b)
Mengi (apabila penderita sekaligus mempunyai
riwayat astma atau bronchitis kronik).
h. Dada
1) Dada posterior
a) inspeksi : defoemitas, atau asimetris dan
retruksi inspirasi abdomen.
b) Palpasi : adanya nyeri tekan atau tidak
c) Perkusi : pekak terjadi apabila cairan atau
jaringan padat menggantikan bagian paru yang normalnya terisi udara (terjadi pada
penderita dengan penyakit lain seperti effuse pleura, tumor atau pasca
penyembuhan TBC).
d) Auskultasi : bunyi nafas vesikuler, bronco
vesikuler (dalam kondisi normal)
2) Dada anterior
a)
Inpeksi : defoemitas, atau asimetris
b)
Palpasi : adanya nyeri tekan, ekspensi
pernafasan
c)
Perkusi : pada penderita normal area paru
terdengar sonor
d)
Auskultasi : bunyi nafas vesikuler, bronco
vesikuler (dalam kondisi tanpa penyerta penyakit lain).
i. Aksila
1) Inpeksi terhadap kemerahan, infeksi dan
pigmentasi
2) Palpasi kelenjar aksila sentralis apakah ada
linfodenopati.
j. Sistem
kardiovaskuler
Adanya riwayat hipertensi,
infark miokard akut, takikardi, tekanan darah yang cenderung meningkat,
disritmea, nadi yang menurun, rasa kesemutan dan kebas pada ekstremitas
merupakan tanda gejala dari penderita diabetes mellitus.
k. Abdomen
1) Inspeksi : pada kulit apakah strie dan
simetris adanya pembesaran organ (pada penderita dengan penyerta penyakit
sirosis hepatic atau hepatomegali dan splenomegali).
2) Askultasi : bising usus apakah terjadi
penurunan atau peningkatan motilitas.
3) Perkusi :
tympani
4) Palpasi : apakah ada nyeri tekan/massa.
l. Ginjal
Palpasi ginjal apakah ada
nyeri tekan sudut kosta veterbral.
m. Genetalia
Penis : ada inspeksi apakah
ada timosis pada prepusium dan apakah ada hipospadia pada meatus uretara,
apakah ada kemerahan pada kulit skrotum.
n. Sistem
musculoskeletal
Inspeksi persendian dan
jaringan sekitar saat anda memeriksa berbagai kondisi tubuh. Amati kemudahan
dan rentang gesekan kondisi jaringan sekitar, setiap deformitas muskuloskletal,
termasuk kurvatura abnormal dari tulang belakang. Sering mengalami penurunan
kekuatan musculoskeletal dibuktikan dengan skor kekuatan otot yang menurun dari
angka 5.
o. Sistem
neurosensori
Penderita diabetes mellitus
biasanya merasakan gejala seperti:
1)
Pusing
2)
Sakit kepala
3)
Kesemutan, kebas kelemahan pada otot,
parestesia
4)
Gangguan penglihatan
(Riyadi & Sukarmin. 2013)
2.2.4 Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
2.2.4.1 Kekurangan volume cairan berhubungan
dengan diuresis osmotik (dari hiperglikemia) atau kehilangan gastrik
berlebihan.
Tujuan: setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 1 hari keperawatan masalah Kekurangan volume cairan
dapat teratasi
Kriteria evaluasi :
a. Tanda
vital stabil (dan mendekati aman nadi 80-88 x/menit, tekanan darah 100-140/80-90 MmHg, suhu tubuh 36,5-37,4º
celcius, respiratory rate 20-22 x/menit.
b. Nadi
perifer teraba pada arteri radialis, arteri brakialis, arteri dorsalis pedis.
c. Tugor
kulit dan pengisisan kapiler baik dibuktikan dengan capillary refille kurang
dari 2 detik.
d. Keluaran
urine dalam kategori aman (lebih dari 100 cc/hari sampai batas normal 1500
cc-1700 cc/hari)
e. Kadar
elektrolit urine dalam batas normal dengan nilai natrium 130-220 meq/24 jam,
kalium 25-100 meq/24 jam, klorida 120-250 meq/liter, magnesium 1,0-2,5 mg/dl.
f. Intervensi
untuk etiologi diuresis osmosis :
1)
Dapatkan riwayat pasien/orang terdekat tentang
lama dan frekuensi urine
Rasional : membantu dalam
memperkirakan kekurangan volume total. Semakin tinggi lama frekuensi urine maka
semakin banyak resiko kehilangan cairan
2) Pantau
tanda-tanda vital, catat adanya perubahan tekanan darah
Rasional : penurunan volume
cairan darah (hipovolemi) akibat diuresis osmosis dapat dimanisfestasikan oleh
hipotensi, takikardi, nadi teraba lemah
3) Kaji suhu,
warna, tugor kulit dan kelembabannya
Rasional : dehidrasi yang
disertai demam akan teraba panas, kemerahan dan kering di kulit. Sedangkan
penurunan tugor kulit sebagai indikasi penurunan volume cairan pada sel.
Kaji nadi perifer, pengisian
kapiler, tugor kulit dan membrane mukosa
Rasional : nadi yang lemah,
pengisian kapiler yang lambat sebagai indikasi penurunan cairan dalam tubuh.
Semakin lemah dan lambat dalam pengisian semakin tinggi derajat kekurangan
cairan.
Pantau masukan dan
pengeluaran , catat berat jenis urine
(1) Balance cairan = (jumlah 1 intake + jumlah 2
+ jumlah 3) – (jumlah 1 output + jumlah 2 + jumlah 3)
(2) Jumlah 1,2,3 untuk memudahkan jumlah setiap
shift jaga
(3) Apabila dalam pengurangan didapatkan hasil
plus (berlebih) atau minus (kurang) maka dimasukkan ke table hari berikutnya
Rasional
: memberikan perkiraan kebutuhan akan cairan pengganti dan membaiknya fungsi
ginjal.
4)
Ukur berat badan setiap hari
Rasional
: memberikan gambaran status cairan dalam tubuh (60-70 % berat badan berasal
dari cairan)
5)
Pertahankan untuk memberikan cairan 1500-2500
ml atau dalam batas yang dapat ditoleransi jantung jika pemasukan cairan
melalui oral sudah dapat diberikan
Rasional
: mempertahankan komposisi cairan dalam tubuh, volume sirkulasi dan menghindari
over load jantung.
6)
Batasi intake cairan yang mengandung gula dan
lemak misalnya cairan dari buah yang manis seperti semangka atau dari minuman
seperti susu.
Rasional
: menghindari kelebihan ambang ginjal menurunkan tekanan osmosis.
Intervesi
keperawatan untuk etiologi peningkatan rangsangan gastric :
(1) Batasi intake cairan ynag merangsang gaster
dan saluran pencernaan seperti soda, kopi.
Rasional
: menghindari rangsanga lambung yang berlebihan.
(2) Catat hal-hal yang dilaporkan seperti mual,
nyeri abdomen, muntah dan distensi lambung
Rasional
: kekurangan cairan dan elektrolit mengubah mobilitas jantung, yang sering kali
akan menimbulkan muntah atau secara potensial akan menimbulkan muntah dan
kekurangan cairan
Kolaborasi
(a) Berikan terapi cairan normal satu atau
setengah normal salin dengan atau tanpa dektrosa
Rasional : untuk mengganti
cairan dengan cepat. Tipe dan jumlah dari cairan tergantung pada derajat
kekurangan cairan dan respon pasien secara individual.
(b) Pemasangan kateter urine (kalau perlu)
Rasional
: memberikan pengukuran yang tepat atau akurat terhadap pengukuran pengeluaran
urine.
(c) Pantau pemeriksaan laboratorium seperti
hematokrit, osmolaritas darah, natrium
Rasional
: hematokrit (mengkaji tingkat hidrasi dan seringkali meningkat akibat kenaikan
kemokonsentrasi yang terjadi setelah diuresis osmotic), osmolaritas darah
(meningkat sehubungan dengan adanya hiperglikemi dan dehidrasi), natrium (kadar
natrium yang tinggi mencerminkan kehilangan cairan/ dehidrasi berat atau reabsorbsi
natrium dalam berespon terhadap sekrei aldosteron)
(d) Berikan kalium atau elektrolit yang lain
melalui IV dan atau melalui oral sesuai indikasi
Rasional : kekurangan kalium
dan elektrolit akan mempengaruhi system tubuh misalnya penurunan eksitasi persarafan.
Kalium harus ditambahkan pada intravena untuk mencegah hipokalemia
(e) Kolaborasi pemberian obat anti emetik seperti
metokloperamid dan obat diare non spesifik seperti loperamid HCL. Furazolidone
dan obat antibiotic diare seperti metronidazol, tetrasiklin (disesuaikan dengan
jenis mikro organismenya)
Rasional : mengurangi
stimulus gaster. Obat diare membantu memadatkan tinja dan membatasi pertumbuhan
mikro organisme.
2.2.4.2 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan ketidakcukupan insulin atau penurunan masukan oral
Tujuan: setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 3 hari keperawatan masalah Perubahan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh dapat teratasi
Kriteria evaluasi:
1) Pasien
tidak lemah atau penurunan tingkat kelemahan
2) Peningkatan
berat badan atau berat bafan ideal atau normal
3) Lingkar
lengan meningkat atau mendekati 10 cm
4) Nilai
laboratorium hemoglobin untuk pria 13-16 gr/dl, untuk wanita 12-14 gr/dl.
Untuk etiologi ketidakcukupan
insulin ktiteria hasil ditambah dengan :
5) Nilai
laboratorium yang terkait diabetes mellitus normal (terutama GDS 60-100 mg/dl,
kolesterol total 150-250 mg/dl, protein total 6-7,0 gr/dl)
Sedangkan untuk etiologi
penurunan masukan oral criteria hasil ditambahkan dengan :
6) Pasien
habis 1 porsi makan setiap kali makan (sesuai jumlah kalori yang dianjurkan)
7) Pasien
tidak mengeluh mual lagi
Intervensi untuk etiologi
kekurangan insulin :
a)
Timbang berat badan atau ukur lingkar lengan
setiap hari sesuai dengan indikasi
b)
Rasional : mengkaji indikasi terpenuhinya
kebutuhan nutrisi dan menentukan jumlah kalori yang harus dikonsumsi penderita
diabetes mellitus
c)
Tentukan program diet dan pola makan pasien
sesuai dengan kadar gula yang dimiliki (dengan memakai rumus kebutuhan kalori
untuk laki-laki = berat badan ideal x 30, sedangkan untuk wanita berat badan
ideal x 25)
Rasional : menyesuaikan
antara kebutuhan kalori dan kemampuan sel untuk mengambil glukosa
d) Libatkan
keluarga pasien pada dalam memantau waktu makan, jumlah nutrisi
Rasional : meningkatkan
partisipasi keluarga dan mengontrol masukan nutrisi sesuai dengan kemampuan
untuk menarik glukosa dalam sel.
e)
Observasi tanda-tanda hipoglikemi (perubahan
tingkat kesadaran, kulit lembab/dingin, denyut nadi cepat, lapar, peka
rangsang, cemas, sakit kepala, pusing, sempoyongan)
Rasional : karena metabolisme
karbohidrat mulai terjadi, gula darah akan berkurang dan sementara pasien tetap
diberikan insulin maka hipoglikemi dapat terjadi.
Kolaborasi :
(1) Pantau pemeriksaan laboratorium seperti
glukosa darah, aseton, PH dan HCO3.
Rasional
: Gula darah akan menurun perlahan dengan penggunaan terapi insulin terkontrol.
Dengan pemberian insulin dosis optimal glukosa dapat masuk ke dalam sel dan
digunakan untuk sumber kalori. Peningkatan aseton, PH dan HCO3 sebagai indikasi
kelebihan benda keton.
(2) Berikan pengobatan insulin secara teratur
dengan tehnik intravena secara intermitten atau secara continue
Rasional : insulin regular
memiliki awitan cepat dan karenanya dengan cepat pula dapat membantu
memindahkan ke dalam sel, pemberian melalui intravena merupakan rute pilihan
utama karena absorbsi dari jaringan subkutan mungkin tidak mennetu/sangat
lambat.
(3) Lakukan konsultasi dengan ahli diet
Rasional : kebutuhan diet
penderita harus disesuaikan dengan jumlah kalori karena kalau tidak terkontrol
akan beresiko hiperglikemia.
(4) Berikut diet 60 % karbohidrat, 20 % protein,
dan 20 % lemak dan penataan makan dan pemberian makanan tambahan
Rasional : intake kompleks
karbohidrat (jagung, wortel, brokoli, buncis, gandum) berdampak pada penekanan
kadar glukosa darah, kebutuhan insulin, menurunkan kadar kolesterol, dan
meningkatkan rasa kenyang.
Intervensi
untuk etiologi penurunan intake oral :
a) Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri
abdomen/perut kembung, mual, muntah
Rasional : peningkatan
peristaltic usus sebagai indikasi peningkatan rangsang gaster
b) Libatkan keluarga pasien pada pencernaan
makanan sesuai dengan indikasi
Rasional : meningkatkan rasa
keterlibatannya memberikan informasi pada keluarga untuk memahami kebutuhan nutrisi
pasien
c) Anjurkan pasien makan makanan sedikit dan
sering (sesuai dengan jumlah kalori yang boleh dikonsumsi)
Rasional : menurunkan beban
kerja gaster dan usus sehingga rangsangan gastrointestinal menjadi berkurang.
Kolaborasi
:
(1) Pemberian anti mual dan muntah (seperti
metocloperamid)
Rasional : mengurangi
rangsangan gaster untuk mengeluarkan makanan atau minuman yang masuk
2.2.4.3 Nyeri akut (misalnya kaki) berhubungan dengan
agen fisik
Tujuan: setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1 jam keperawatan masalah Nyeri akut (misalnya kaki) dapat
teratasi
Kriteria
evaluasi :
1) Pasien melaporkan nyeribrkurang/hilang dalam
48 jam
2) Ambulasi secara normal menahan beeban berat
badan sempurna sempurna saat pulang
3) Ekspresi wajah pasien tidak terlihat
meringis kesakitan
4) Nadi 80-84 x/menit
5) Skala nyeri 0 atau 1 atau 2 atau 3
Intervensi
:
a) Tentukan karakteristik nyeri berdasarkan
deskripsi pasien (tergantung pada pasien yang mengekspresikan)
Rasional : menetapkan dasar
untuk mengkaji perbaikan/perubahan pada nyeri
b) Letakkan ayunan kaki di atas tempat
tidur/anjurkan untuk menggunakan pakaian tidur yang longgar saat bangun
Rasional : menghindari
tekanan langsung pada area yang cidera yang dapat mengakibatkan vasokontriksi/ peningkatan
nyeri
c) Berikan analgetik per oral setiap 8 jam sesuai
kebutuhan
Rasional : menurunkan ambang
nyeri yang dialami oleh pasien melalui serabut syaraf
d) Anjurkan pasien untuk memulai aktivitas tidak
tergesa dan mendadak
Rasional : meningkatkan rasa
perhatian terhadap benda sekililing dan mengurangi kekakuan otot
2.2.4.4 Resiko infeksi berhubungan dengan perlukaan
jaringan
Tujuan: setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1 jam keperawatan masalah Resiko infeksi dapat teratasi.
Kriteria hasil :
1) Tidak terdapat tanda-tanda peradangan dan
infeksi seperti rubot, kalor, dolor, tumor, fungtioleisa, dan angka leukosit
dalam batas 5000-11000 ul.
2) Suhu tubuh tidak tinggi (36,5-37ºc)
3) Hitung jenis leukosit : Basofil (0-1),
eosinofil (1-3), neutrofil batang (2-6), neutrofil segemn (50-70), limfosit
(20-40), monosit (2-8)
Intervensi
:
a) Observasi tanda-tanda infeksi dan peradangan
Rasional : memastikan kondisi
pasien pada periode peradangan atau sudah terjadi infeksi. Terjadinya sepsis
dapat dicegah lebih awal
b) Tingkatkan upaya pencegahan dengan melakukan
cuci tangan, memakai handscoon, masker, kebersihan lingkungan
Rasional : meminimalkan
invasi mikroorganisme
c) Pertahankan tehnik aseptik dan sterilisasi
alat pada prosedur invasive
Rasional : invasi alat dapat
menjadi mediator masuknya mikroorganisme
d) Anjurkan untuk makan sesuai jumlah kalori yang
dianjurkan terutama membatasi masuknya gula
Rasional : menurunkan resiko
kadar gula darah tinggi yang merupakan media terbaik untuk pertumbuhan
mikroorganisme
e) Bantu pasien untuk personal hygiene
Rasional : menurunkan resiko
invasi mikroorganisme
Kolaborasi
:
(1) Berikan obat antibiotik yang sesuai
Rasional : penanganan awal
dapat membantu mencegah timbulnya sepsis
(2) Lakukan pemeriksaan kultur dan sensitivitas
sesuai dengan indikasi
Rasional : untuk
mengidentifikasi organisme sehingga dapat memilih atau memberikan terapi
antibiotik yang terbaik.
2.2.4.5 Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
tekanan perubahan status metabolik atau kerusakan sirkulasi
Tujuan: setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2 jam keperawatan masalah Kerusakan integritas kulit dapat
teratasi.
Kriteria
hasil :
1) Terjadi perbaikan status metabolic yang
dibuktikan oleh gula darah dalam batas normal dalam 36 jam.
2) Bebas dari drainase purulen dalam 48 jam
3) Menunjukan tanda-tanda penyembuhan dengan
tepi luka bersih dalam 60 jam
4) Tidak terdapat pembengkakan pada luka
Intervensi untuk etiologi perubahan status
metabolik :
a) Kaji kondisi luka pada jaringan pasien
(terutama area kaki dan punggung)
Rasional : mengidentifikasi
tingkat metabolism jaringan dan tingkat disintegritas
b) Rendam kaki atau punggung (kalau memungkinkan
dengan ember khusus) dalam air steril pada suhu kamar dengan larutan betadine
(yang diencerkan) atau perhidrol 3 kali sehari selama 15 menit
Rasional : membersihkan luka,
efektif untuk membantu penyembuhan dan meningkatkan sirkulasi metabolic
c) Rawat luka dengan tehnik steril dan kaji area
luka setiap kali mengganti balutan
Rasional : mencegah
peningkatan presentasi mikroorganisme akibat kelainan metabolic (glukosa
tinggi) dan memberikan informasi tentang efektifitas terapi
d) Balut luka dengan kassa steril
Rasional : menjaga kebersihan
luka/meminimalkan kontaminasi asing
e) Berikan 15 unit insulin humulun N, SC pada
siang hari setelah cntoh darah harian diambil
Rasional : mengobati
disfungsi metabolic yang mendasari menurunkan hiperglikemia dan meningkatkan penyembuhan.
Intervensi
untuk etiologi kerusakan sirkulasi :
a) Dapatkan kultur drainase luka saat masuk
Rasional : mengidentifikasi
pathogen penyebab disintegrasi kulit dan terapi pilihan
b) Berikan dilokasasilin 500 mg per awal setiap 6
jam, mulai jam 10.00 malam amati tanda-tanda hipersensitivitas
Rasional
: pengobatan infeksi/pencegahan komplikasi
c) Kaji area luka setiap kali merawat luka dan
mengganti balutan
Rasional : mengidentifikasi
tingkat sirkulasi pada luka
(Riyadi
& Sukarmin. 2013).
DAFTAR RUJUKAN
Betteng R, Pangemanan D, & Mayulu N. (2014),
Jurnal e-Biomedik: Analis Faktor Resiko
Penyebab Terjadinya Diabetes Mellitus Tipe II Pada Wanita Usia
Produktif Dipuskesmas Wawonasa. Vol. 2. No.2.
Black, A.J.Kimberly.
2011.Kapita Selekta Penyakit dengan Implikasi
Keperawatan. Edisi 2.Jakarta: EGC.
Bustan,
(2007). Epidemiologi Penyakit Tidak
Menular. Jakarta: Rineka Cipta.
Debora, Oda.
2011. Proses Keperawatan dan Pemeriksaan
Fisik. Jakarta: Salemba Medika.
Deswita, D. (2011). Pemeriksaan
Pitting Edema. (internet). Termuat dalam: http://desideswita.wordpress.com/2011/04/01/pemeriksaan-pitting-edema/ (diakses pada
tanggal 02 Juli 2015).
Digiulio,M, et
al 2007 diabetic
syndrom, Proses penyakit Diabetes Mellius. Jakarta, Gramedia
Dewanto,
George. 2009. Panduan Praktis Diagnosis
& Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC
Fatimah Noor,
F. (2015), J Najority: Diabetes Mellitus
Tipe II. Vol.4. Hal. 93
.
Feigin,
Valery. 2009. Diabetes: Panduan Bergambar Tentang Pencegahan dan
Pemulihan Diabetes. PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia: Jakarta.
Kemenkes RI.
(2014), Infodatin. Pusat Data – Data Informasi Kementrian Kesehatan RI: Situasi Dan Analisis Diabetes.
Kusuma, H. & Nurarif,
A. H. (2012). Handbook Health Student. Yogyakarta: Mediaction Publishing.
Mansjoer et al. (2009). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga. Jilid I, Fakultas
Kedokteran UI: Media Aesculapius
Medical Record RSUD Ulin Banjarmasin.
(2016), Rekapitulasi Penyakit Diabetes
Mellitus Di Ruang Tulip IIIB (Penyakit Dalam Pria).
Nurarif. Amin. Huda dan Kusuma Hardhi. 2013 Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC, Jilid 2 Yogyakarta. EGC.
Nurarif. Amin. Huda dan Kusuma Hardhi. 2015 Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC, Jilid 2 Yogyakarta. Mediaction.
Pearce, E. C. (2011). Anatomi Dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: PT Gramedia
Perkeni B, 2006,
Penatalaksanaan dan penanggulangan Diabetes Mellitus. Jakarta,
Salemba Medika
Price, Sylvia
Anderson, dan Lorraine McCarty Wilson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6.
Volume 2. Jakarta: EGC.
Rutmahorbo.H. 2014. Asuhan
Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem Metabolik. Jakarta: Salemba Medika.
Riyadi & Sukarmin. 2011. Proses
Keperawatan dan Pemeriksaan Fisik diabetes Mellitus. Jakarta: Salemba Medika.
Saputra, Lyndon. 2009. Kapita Selekta
Kedokteran Klinik. Jakarta: Binapura Aksara.
No comments:
Post a Comment