BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar belakang
Kematian
ibu menurut definisi WHO (World Health Organization) adalah kematian
selama kehamilan atau dalam periode 42 hari setelah berakhirnya kehamilan,
akibat semua sebab yang terkait dengan atau diperberat oleh kehamilan atau
penanganannya, tetapi bukan disebabkan oleh kecelakaan/cidera. Berdasarkan
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, angka kematian ibu
di Indonesia masih tinggi sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini
sedikit menurun jika dibandingkan dengan SDKI tahun 1991, yaitu sebesar 390 per
100.000 kelahiran hidup. Angka ini terlalu signifikan. Target global MDGs (Millenium
Development Goals) ke-5 adalah menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi
102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015 (Kementerian Kesehatan RI
[KemenKes RI], 2014).
Berdasarkan
data dari SDKI tahun 2007, penyebab kematian ibu di Indonesia tetap merupakan
trias klasik yaitu perdarahan yang menduduki peringkat pertama dengan 28%,
eklampsia 24%, dan infeksi 11%. Dalam profil kesehatan Indonesia tahun 2006
disebutkan bahwa jumlah kasus preeklampsia yang terjadi sebanyak 7.848 (5,8%)
kasus (Indriani, 2011).
Preeklampsia
adalah kelainan multiorgan spesifik pada kehamilan yang ditandai dengan
terjadinya hipertensi, edema dan proteinuria, tetapi tidak menunjukkan
tanda-tanda kelainan vesikuler atau hipertensi sebelumnya dengan tekanan darah
sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg dan kadar
proteinuria lebih dari 5 g/24 jam. Kondisi ini hanya terjadi pada saat
kehamilan. Preeklampsia jarang terjadi sebelum minggu ke-
28
tetapi dapat terjadi bahkan beberapa hari sebelum kelahiran. Preeklampsia
terjadi pada kurang lebih 5% dari semua kehamilan, 10% pada kehamilan anak
pertama dan 20-25% pada perempuan hamil dengan riwayat hipertensi sebelum
hamil.
Preeklampsia
merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas maternal dan perinatal di
seluruh dunia. Menurut WHO, UNFPA dan UNICEF, preeklampsia-eklampsia merupakan
penyebab utama masalah kesehatan di negara berkembang. Setiap tahun,
diperkirakan 50.000 kematian ibu di seluruh dunia dan mempengaruhi 5% - 7% kehamilan di
seluruh dunia (Herlambang et al, 2012).
Indonesia
merupakan negara dengan angka kematian ibu dan perinatal tertinggi. Berdasarkan
data yang dipublikasikan oleh WHO, diketahui di Indonesia kasus kematian ibu
sebanyak 240 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2008. Menurut SDKI (2009),
AKI di Indonesia berada pada peringkat ke 12 dari 18 negara anggota ASEAN dan
SEARO (Sumarni, 2014).
Di Indonesia,
preeklampsia berat dan eklampsia merupakan penyebab kematian ibu yang berkisar
1,5 persen sampai 25 persen, sedangkan kematian bayi antara 45 persen sampai 50
persen. Sedangkan eklampsia menyebabkan 50.000 kematian/tahun di seluruh dunia,
10 persen dari total kematian maternal. Banyak faktor yang menyebabkan
meningkatnya insiden preeklamlpsia pada ibu hamil (Djannah dan Arianti, 2010).
Berdasarkan
data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan, angka
kematian ibu pada tahun 2013 yang disebabkan oleh hipertensi dalam kehamilan
(preeklampsia atau eklampsia) adalah 27 orang. Sementara pada tahun 2014
sebanyak 34 orang, dan pada tahun 2015 yaitu sebanyak 20 orang (Dinas Kesehatan
Provinsi Kalimantan Selatan [DinKes provinsi Kalimantan Selatan], 2013, 2014,
2015).
Menurut data
yang diperoleh dari sensus ruang nifas Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin,
angka sectio caesarea atas indikasi preeklampsia berat pada tahun 2015
menempati urutan ke dua (56%) setelah ketuban pecah dini (67%), dan indikasi
dilakukan sectio caesarea yang lain adalah dengan riwayat/bekas sectio caesarea
(44%), presentasi janin abnormal (37%), gemelly atau janin kembar (7%) dan
lainnya (15%). Pada tahun 2016 periode Januari-Maret sectio caesarea dengan
indikasi preeklampsia berat menempati urutan pertama (37%) dan diikuti oleh
presentasi janin abnormal (19%) (Medical Record, RSUD Ulin Banjarmasin, 2015,
2016).
Preeklampsia
merupakan penyebab utama kematian ibu hamil, meliputi 5-14% kematian ibu hamil
di dunia. Kondisi tersebut ditandai dengan hipertensi saat kehamilan,
proteinuria, dan berbagai komplikasi organ lainnya (Felicia et al, 2010).
Berdasarkan
fenomena di atas, maka penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai
preeklampsia berat melalui Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “Asuhan Keperawatan
Preeklampsia Berat” secara komprehensif meliputi biopsikososial dan spiritual
guna mendeteksi dini penyakit preeklampsia dan mencegah komplikasi yang
menyertainya.
1.2.
Tujuan penulisan
1.2.1.
Tujuan umum
Tujuan
umum dari penulisan karya tulis ilmiah ini yaitu untuk mendokumentasikan hasil
Asuhan Keperawatan yang diberikan kepada klien dengan Preeklampsia Berat yang
holistic meliputi biopsikososial dan spiritual melalui pendekatan proses
keperawatan yang meliputi pengkajian sampai dengan pendokumentasian.
1.2.2.
Tujuan khusus
Berdasarkan
tujuan umum di atas, maka tujuan khusus dari penulisan karya tulis ilmiah ini
adalah:
1.2.2.1.
Mampu melakukan
pengkajian data pada klien dengan Preeklampsia Berat di Ruang Tulip II BC RSUD
Ulin Banjarmasin.
1.2.2.2.
Mampu menentukan
diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan Preeklampsia Berat
di Ruang Tulip II BC RSUD Ulin Banjarmasin.
1.2.2.3.
Mampu membuat
rencana tindakan asuhan keperawatan pada klien dengan Preeklampsia Berat di
Ruang Tulip II BC RSUD Ulin Banjarmasin.
1.2.2.4.
Mampu melakukan
implementasi yang sesuai dengan rencana tindakan asuhan keperawatan pada klien
dengan Preeklampsia Berat di Ruang Tulip II BC RSUD Ulin Banjarmasin.
1.2.2.5.
Mampu mengevaluasi
tindakan yang telah dilakukan pada klien dengan Preeklampsia Berat di Ruang
Tulip II BC RSUD Ulin Banjarmasin.
1.2.2.6.
Mampu mendokumentasikan
hasil asuhan keperawatan pada klien dengan Preeklampsia Berat di Ruang Tulip II
BC RSUD Ulin Banjarmasin.
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1.
Tinjauan Teori
Preeklampsia Berat
2.1.1.
Fisiologi kehamilan
Kehamilan
menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan baik anatomis maupun fisiologis pada
ibu. Perubahan-perubahan ini mengakibatkan perubahan dalam nilai-nilai normal
berbagai hasil pemeriksaan laboratorium.
2.1.1.1.
Perubahan pada
alat genital dan payudara
a.
Uterus
Besar
uterus sampai aterm dapat mencapai 1000 kali besarnya sebelum hamil, beratnya
mencapai 30 kali, dan kapasitas isinya kurang lebih adalah 5 liter. Uterus yang
membesar ini memberikan penekanan-penekanan terhadap alat-alat sekitarnya
sehingga memberikan pula keluhan-keluhan gastrointestinal, respirasi, kardiovaskuler
dan sistem urinaria. Aliran darah ke uterus naik 60 kali, menjadi kira-kira 600
ml/menit (kira-kira 10% cardiac output).
b.
Vagina dan
serviks
Banyak
wanita mengeluh keputihan selama kehamilan. Bila tidak disertai rasa
gatal/panas, biasanya ini hanya disebabkan oleh sekresi serviks yang meningkat
sebagai akibat stimulasi estrogen. Pengobatan pada umumnya tidak perlu.
c.
Ovarium
Korpus
luteum mengalami regresi pada minggu ke-8. Selanjutnya, ovarium menjadi inaktif
karena hormon-
hormon
pituitaria ditekan oleh estrogen dan progesteron plasenta.
d.
Payudara
Payudara
tumbuh membesar karena proliferasi asini maupun duktus laktiferus. Pertumbuhan
mammae dipacu oleh estrogen dan prolaktin. Pada kulit timbul striae dan
beberapa vena tampak membesar, muncul di permukaan. Areola dan pappila lebih
hiperpigmentasi. Pada beberapa bulan kehamilan, dari papilla dapat keluar
kolostrum bila dilakukan masase ringan. Laktasi sendiri baru terjadi beberapa
hari setelah persalinan.
2.1.1.2.
Perubahan
sistem endokrin
Perubahan-perubahan
hormonal selama kehamilan terutama akibat produksi estrogen dan progesteron
plasenta dan juga hormon-hormon yang dikeluarkan oleh janin.
a.
Estrogen
Produksi
estrogen plasenta terus naik selama kehamilan dan pada akhir kehamilan kadarnya
kira-kira 100 kali sebelum hamil.
b.
Progesteron
Produksi
progesteron bahkan lebih banyak dibanding estrogen. Kira-kira Pada akhir
kehamilan produksinya 250 mg/hari. Progesteron menyebabkan tonus otot polos
menurun dan juga diuresis.
c.
Human Chorionic
Gonadotropin (HCG)
Hormon
ini dapat terdeteksi beberapa hari setelah pembuahan dan merupakan dasar tes
kehamilan. Puncak sekresinya terjadi kurang lebih 60 hari setelah konsepsi.
Fungsi utamanya adalah mempertahankan korpus luteum.
d.
Human Placental
Lactogen (HPL)
Produksi
hormon ini terus naik dan pada saat aterm mencapai 2 gram/hari. Efeknya mirip
dengan hormon pertumbuhan dan ia juga bersifat diabetogenik sehingga kebutuhan
insulin wanita hamil meningkat.
e.
Pituitary
Gonadotropin
FSH
dan LH berada dalam keadaan sangat rendah selama kehamilan karena ditekan oleh
estrogen dan progesteron plasenta.
f.
Prolaktin
Produksinya
terus meningkat sampai aterm, sebagai akibat kenaikan sekresi estrogen. Sekresi
air susu sendiri dihambat oleh estrogen di tingkat target organ.
g.
Growth Hormon (STH)
Produksinya
sangat rendah karena mungkin ditekan HPL.
h.
TSH, ACTH dan
MSH
Hormon-hormon
ini tidak banyak dipengaruhi oleh kehamilan.
i.
Tiroksin
Kelenjar
tiroid mengalami hipertrofi dan produksi T4 meningkat. Namun, T4 bebas relatif
tetap karena thyroid binding globulin meninggi, yang merupakan akibat tingginya
estrogen.
j.
Aldosteron,
renin dan angiotensin
Hormon
ini naik, yang menyebabkan naiknya volume intravaskular.
k.
Insulin
Produksi
insulin meningkat sebagai akibat estrogen, progesteron dan HPL.
l.
Parathormon
Hormon
ini relatif tidak dipengaruhi oleh kehamilan.
2.1.1.3.
Perubahan
sistem kardiovaskular
Perubahan
sistem kardiovaskular selama kehamilan memberikan banyak implikasi terhadap
manajemen penyakit jantung pada wanita hamil. Perubahan tersebut mempengaruhi
manajemen persalinan dan perawatan selama dan setelah kehamilan. Perubahan
dasar pada sistem kardiovaskular adalah:
a.
Volume darah.
Pada kehamilan 32 minggu, volume total darah meningkat 40%, dengan peningkatan
volume total plasma mencapai 50%. Akan tetapi, oleh karena tidak diikuti
peningkatan sel darah merah yang sesuai (hanya meningkat 20%) maka terjadi
pengenceran konsentrasi darah yang bisa berakibat anemia.
b.
Cardiac output. Naiknya stroke volume menimbulkan peningkatan cardiac
output sebesar 30-50% pada kehamilan 20-24 minggu. Penurunan cardiac
output juga terjadi bila wanita hamil dalam posisi supinasi karena adanya
kompresi vena cava.
c.
Penurunan
hambatan vaskuler sistemik Selama kehamilan. Puncaknya terjadi selama trimester
kedua dan kemudian menurun kembali seperti masa sebelum kehamilan pada usia aterm.
d.
Redistribusi
aliran darah. Selama kehamilan, aliran darah ke ginjal, kulit dan uterus
menjadi meningkat. Aliran darah ke uterus bisa mencapai 5000 mL/menit pada usia
aterm.
e.
Perubahan
hemodinamik saat persalinan. Tekanan vena meningkat selama persalinan karena
kontraksi uterus menimbulkan peningkatan aliran venosa dari vena uterine.
Akibatnya, cardiac output meninggi, tekanan ventrikuler kanan dan
tekanan arterial rata-rata pun meningkat.
f.
Perubahan
hemodinamik setelah persalinan. Pada masa postpartum, kompresi vena cava
menurun sehingga menimbulkan peningkatan volume darah. Cardiac output
yang tinggi memungkinkan munculnya reflex bradikardia. Oleh karena banyak darah
hilang, perubahan hemodinamik ini tidak begitu kentara pada pasien operasi
sesar.
2.1.1.4.
Perubahan
sistem respiratorius
a.
Perubahan
struktur. Mukosa saluran respiratorius atas menjadi edema dan produksi mucus
meningkat yang menyebabkan rasa sumpek dan gejala flu kronik. Sudut subcosta
meningkat selama hamil. Diameter transversal dan lingkaran dada juga meningkat
awal selama kehamilan. Pada akhir kehamilan, diafragma naik, tetapi gerakan
diafragma pada setiap nafas menjadi bertambah.
b.
Konsumsi
oksigen
1)
Meskipun
ventilasi menit 30-40% selama hamil, konsumsi oksigen hanya meningkat 15-20%.
Akibatnya, tingkat PO2 meningkat hingga 104-108 mmHg. Meningkatnya konsumsi
oksigen terutama dikaitkan dengan kecukupan konsumsi oksigen fetus dan
plasenta, meningkatnya cardiac output maternal, meningkatnya kecepatan
filtrasi glomerulus, dan meningkatnya massa jaringan payudara dan uterus.
2)
Meskipun
produksi karbondioksida naik selama hamil, kadar PCO2 turun hingga 27-32 mmHg
karena naiknya ventilasi menit. Penurunan ini membantu pertukaran
karbondioksida antara ibu dan janin. Meningkatnya pH arterial hanya sedikit
karena penurunan kadar PCO2 diimbangi dengan penurunan kadar serum bikarbonat
hingga 18-31 mEq/L akibat peningkatan kecepatan ekskresi ginjal.
c.
Volume tidal
meningkat 30-40% selama kehamilan. Progesterone menurunkan ambang
karbondioksida dalam pusat respirasi. Volume cadangan ekspirasi dan kapasitas
residual fungsi menurun selama hamil, tetapi kecepatan respirasi dan kapasitas
vital sama.
d.
Resistensi
Forced expiratory volume dan peak
expiratory flow rate tidak berubah selama kehamilan.
Perubahan
sistem urinaria
1)
Perubahan
struktur. Selama kehamilan, panjang ginjal bertambah 1 cm, volumenya bertambah
30% dan ukuran system kolektivus meningkat lebih dari 80%, dengan dilatasi
lebih banyak.
2)
Fungsi ginjal.
Wanita hamil mengalami akumulasi natrium 500-900 mEq dan 6-8 L air. Oleh karena
bertambahnya volume cairan, aliran plasma ginjal meningkat 60-80% pada
pertengahan trimester dua dan menetap hingga trimester tiga, selanjutnya 50%
selama kehamilan. Kecepatan filtrasi
glomerulus mulai meningkat pada minggu ke-6 kehamilan dan mencapai puncak pada
akhir trimester pertama.
3)
Fungsi tubulus.
Resorpsi tubuler menurun selama hamil sehingga menimbulkan peningkatan ekskresi
glukosa, asam amino dan protein. Meningkatnya glukosa urin membuat wanita hamil
lebih rentan terhadap infeksi saluran kencing dan bakteriuri.
4)
Penilaian
fungsi ginjal. Proteinuria harus diperiksa pada kunjungan antenatal. Nilai +1
harus diikuti dengan penilaian selanjutnya seperti urin midstream untuk kultur
dan pemeriksaan mikroskopik.
2.1.1.5.
Perubahan
sistem gastrointestinal
Perasaan
tidak enak di ulu hati disebabkan oleh perubahan posisi lambung dan aliran
balik asam lambung ke esophagus bagian bawah. Produksi asam lambung menurun.
Pada trimester I sering terjadi nausea dan muntah karena pengaruh HCG.
Penderita sering meludah dan tidak enak makan. Hemoroid sering terjadi karena
pengaruh estrogen. Selama kehamilan
enzim hati tetap normal dan mungkin menurun karena hemodilusi. Kadar lipid,
fibrinogen dan alkali fosfatase meningkat tajam selama kehamilan dan kadar
albumin menurun 20% pada awal trimester satu. Dengan membesarnya uterus ke
abdomen atas, hepar terdesak ke belakang kanan. Perubahan tempat ini mengurangi
ukuran perkiraan waktu pemeriksaan fisik. Hepar yang teraba selama hamil harus
dianggap abnormal dan perlu tindakan lanjut.
2.1.1.6.
Perubahan
sistem skeletal
Uterus
yang membesar akan memperbesar derajat lordosis sehingga sering menyebabkan
sakit pinggang. Bila wanita mengalami defisiensi kalsium, dapat terjadi
demineralisasi tulang dan/gigi. Sendi-sendi panggul menjadi lebih mobile.
2.1.1.7.
Perubahan-perubahan
metabolisme
a.
Air
Menjelang aterm, akumulasi air dalam darah, uterus dan payudara
yang membesar kira-kira 3 liter banyaknya. Janin, plasenta dan air ketuban
mengandung kira-kira 3,5 liter sehingga kelebihan air rata-rata adalah 6,5
liter. Oleh karena itu tekanan venosa yang meningkat di bagian bawah (di bawah
uterus), dapat dijumpai pitting edema di kaki/tungkai bawah.
b.
Protein
Penambahan
protein sebanyak kira-kira 500 gram dideposisikan di uterus sebagai miometrium,
ke kelanjar susu dan di dalam darah sebagai hemoglobin dan protein plasma.
c.
Karbohidrat
Pada
wanita sehat gula darah puasa sedikit turun. Estrogen, progesteron dan kortisol
diduga juga mempunyai efek diabetik. Dalam plasenta didapatkan juga insulinase,
tetapi ternyata kecepatan degradasi insulin invio pada wanita hamil tidak
berbeda dengan wanita yang tidak hamil. Pada wanita sehat dalam kehamilan
sering dijumpai glukosuria karena naiknya kecepatan filtrasi glomerulus dan
menurunnya reabsorbsi oleh tubulus.
d.
Lemak
Semua
fraksi lemak mengalami kenaikan, yaitu lipid total, kolesterol, fosfolipid,
lemak netral lipoprotein dan asam lemak bebas.
e.
Mineral
Konsentrasi
tembaga pada awal kehamilan meningkat dan kalsium sedikit mengalami penurunan,
mungkin karena zat pembawanya, yaitu protein, mengalami sedikit penurunan pula.
2.1.1.8.
Perubahan asam
basa
Wanita
hamil mengalami hiperventilasi sehingga timbul alkalosis respirasi, yang
disebabkan oleh penurunan PCO2 darah, yang dapat dikompensasi oleh bikarbonat
plasma.
2.1.2. Perubahan pada sistem dan organ pada
preeklampsia
2.1.2.1. Volume plasma
Pada hamil normal volume plasma
meningkat dengan bermakna (disebut hipervolemia), guna memenuhi kebutuhan
pertumbuhan janin. Peningkatan tertinggi volume plasma pada hamil normal
terjadi pada umur kehamilan 32-34 minggu. Sebaliknya, oleh sebab yang tidak jelas
pada preeklampsia terjadi penurunan volume plasma antara 30% - 40% dibanding
hamil normal, disebut hipovolemia. Hipovolemia diimbangi dengan vasokontriksi,
sehingga terjadi hipertensi. Volume plasma yang menurun memberi dampak yang
luas pada organ-organ penting.
2.1.2.2. Hipertensi
Merupakan tanda terpenting guna
menegakkan diagnosis hipertensi dalam kehamilan. Tekanan diastolik
menggambarkan resistensi perifer, sedangkan tekanan sistolik menggambarkan
besaran curah jantung. Pada preeklampsia peningkatan reaktivitas vaskular
dimulai umur kehamilan 20 minggu, tetapi hipertensi dideteksi umumnya pada
trimester II. Tekanan darah yang tinggi pada preeklampsia bersifat labil dan
mengikuti irama sirkadian normal. Tekanan darah menjadi normal beberapa hari
pasca persalinan, kecuali beberapa kasus preeklampsia berat kembalinya tekanan
darah normal dapat terjadi 2-4 minggu pasca persalinan. Tekanan darah
bergantung terutama pada curah jantung, volume plasma, resistensi perifer, dan
viskositas darah. Timbulnya hipertensi adalah akibat vasospasme menyeluruh
dengan ukuran tekanan darah ≥ 140/90 mmHg selang 6 jam. Tekanan diastolik
ditentukan pada hilangnya suara korotkoff’s phase V. dipilihnya tekanan
diastolik 90 mmHg sebagai batas hipertensi, karena batas tekanan diastolik 90
mmHg yang disertai proteinuria, mempunyai korelasi dengan kematian perinatal
tinggi. Meningkat proteinuria berkorelasi dengan nilai absolut tekanan darah
diastolik, maka kenaikan (perbedaan) tekanan darah tidak dipakai sebagai
kriteria diagnosis hipertensi, hanya sebagai tanda waspada.
2.1.2.3. Fungsi ginjal
a. Perubahan fungsi ginjal disebabkan
oleh hal-hal berikut:
1) Menurunnya aliran darah ke ginjal
akibat hipovolemia sehingga terjadi oliguria, bahkan anuria
2)
Kerusakan
sel glomerulus mengakibatkan meningkatnya permeabilitas membran basalis
sehingga terjadi kebocoran dan mengakibatkan proteinuria. Proteinuria terjadi
jauh pada akhir kehamilan, sehingga sering dijumpai preeklampsia tanpa
proteinuria, karena janin lebih dulu lahir.
3)
Terjadi
Glomerular Capillary Endotheliosis akibat sel endotel glomerular
membengkak disertai deposit fibril.
4)
Gagal
ginjal akut terjadi akibat nekrosis tubulus ginjal. Bila sebagian besar kedua
korteks ginjal mengalami nekrosis, maka terjadi “nekrosis korteks ginjal” yang
bersifat irreversibel.
5)
Dapat
terjadi kerusakan intrinsik jaringan ginjal akibat vasospasme pembuluh darah.
b. Proteinuria
Adalah suatu kondisi dimana terdapat terlalu banyak protein
dalam urin yang disebabkan oleh kerusakan ginjal.
1) Bila proteinuria timbul
a) Sebelum hipertensi, umumnya merupakan
gejala penyakit ginjal.
b) Tanpa hipertensi, maka dapat
dipertimbangkan sebagai penyulit kehamilan
c) Tanpa kenaikan tekanan darah
diastolik ≥ 90 mmHg, umumya ditemukan pada infeksi saluran kencing atau anemia.
Jarang ditemukan proteinuria pada tekanan diastolik < 90 mmHg.
c. Proteinuria merupakan syarat
diagnosis preeklampsia, tetapi proteinuria umumnya timbul jauh pada akhir
kehamilan, sehingga dijumpai preeklampsia tanpa proteinuria, karena janin sudah
lahir lebih dulu.
d. Pengukuruan proteinuria, dapat dilakukan
dengan (1) urin dipstik: 100 mg/l atau +1, sekurang-kurangnya dieriksa 2 kali
urin acak selang 6 jam dan (2) pengumpulan proteinuria dalam 24 jam. Dianggap
patologis bila besaran proteinuria ≥ 300 mg/24 jam.
e. Asam urat serum (urid acid serum):
umumnya meningkat ≥ 5 mg/cc.
Hal ini disebabkan oleh hipovolemia, yang menimbulkan
menurunnya aliran darah ginjal dan mengakibatkan menurunnya filtrasi
glomerulus, sehingga menurunnya sekresi asam urat. Peningkatan asam urat dapat
terjadi juga akibat iskemia jaringan.
f. Kreatinin
Sama halnya dengan kadar asam urat serum, kadar kreatinin
plasma pada preeklampsia juga meningkat. Hal ini disebabkan oleh hipovolemia,
maka aliran darah ginjal menurun, mengakibatkan menurunnya filtrasi glomerulus,
sehingga menurunnya sekresi kreatinin, disertai peningkatan kreatinin plasma. Dapat
mencapai kadar kreatinin plasma ≥ 1 mg/cc, dan biasanya terjadi pada
preeklampsia berat dengan penyulit pada ginjal.
g. Oliguria dan anuria
Oliguria dan anuria terjadi karena hipovolemia sehingga aliran
darah ke ginjal menurun yang mengakibatkan produksi urin menurun (oliguria),
bahkan dapat terjadi anuria. Berat ringannya oliguria menggambarkan berat
ringannya hipovolemia. Hal ini berarti menggambarkan pula berat ringannya
preeklampsia.
2.1.2.4. Elektrolit
Kadar elektrolit total menurun pada
waktu hamil normal. Pada preeklampsia, kadar elektrolit total sama seperti
hamil normal, kecuali bila diberi diuretikum banyak, restriksi konsumsi garam
atau pemberian cairan oksitosin yang bersifat antidiuretik. Preeklampsia berat
mengalami hipoksia dapat menimbulkan gangguan keseimbangan asam basa. Kadar
natrium dan kalium pada preeklampsia sama dengan kadar hamil normal, yaitu
sesuai dengan proporsi jumlah air dalam tubuh. Karena kadar natrium dan kalium
tidak berubah pada preeklampsia, maka tidak terjadi retensi natrium yang
berlebihan.
2.1.2.5. Tekanan osmotik koloid
plasma/tekanan onkotik
Osmolaritas serum dan tekanan
onkotik menurun pada umur kehamilan 8 minggu. Pada preeklampsia tekanan onkotik
makin menurun karena kebocoran protein dan peningkatan permeabilitas vaskular.
2.1.2.6. Koagulasi dan fibrinolisis
Gangguan koagulasi pada
preeklampsia, misalnya trombositopenia, jarang yang berat, tetapi sering
dijumpai. Pada preeklampsia terjadi peningkatan FDP, penurunan anti trombin II,
dan peningkatan fibronektin.
2.1.2.7. Viskositas darah
Viskositas darah ditentukan oleh
volume plasma, molekul makro: fibrinogen dan hematokrit. Pada preeklampsia
viskositas darah meningkat, mengakibatkan meningkatnya resistensi perifer dan
menurnnya aliran darah ke organ.
2.1.2.8. Hematokrit
Pada hamil normal hematokrit menurun karena hipovolemia,
kemudian meningkat lagi pada trimester III akibat peningkatan produksi urin.
Pada preeklampsia hematokrit meningkat karena hipovolemia yang menggambarkan
beratnya preeklampsia.
2.1.2.9. Edema
Edema dapat terjadi pada kehamilan
normal. Edema yang terjadi pada kehamilan mempunyai banyak interpretasi,
misalnya 40% edema dijumpai pada hamil normal, 60% edema dijumpai pada
kehamilan dengan hipertensi, dan 80% edema dijumpai pada kehamilan dengan
hipertensi dan proteinuria. Edema terjadi karena hipoalbuminea atau kerusakan
sel endotel kapilar. Edema yang patologik adalah edema yang nondependen pada
muka dan tangan, atau edema generalisata, dan biasanya disertai dengan kenaikan
berat badan yang cepat.
2.1.2.10. Hematologik
Perubahan hematologik disebabkan
oleh hipovolemia akibat vasospasme, hipoalbuminemia hemolisis mikroangiopatik
akibat spasme arteriole dan hemolisis akibat kerusakan endotel arteriole.
Perubahan tersebut dapat berupa peningkatan hematokrit akibat hipovolemia,
peningkatan viskositas darah, trombositopenia, dan gejala hemolisis
mikroangiopatik.
2.1.2.11. Hepar
Dasar perubahan pada hepar ialah
vasospasme, iskemia, dan perdarahan. bila
terjadi perdarahan pada sel periportal lobus perifer, akan terjadi
nekrosis sel hepar dan peningkatan enzim hepar. Perdarahan ini dapat meluas
hingga di bawah kapsula hepar dan disebut subkapsular hematoma. Subkapsular
hematoma menimbulkan rasa nyeri di daerah epigastrium dan dapat menimbulkan
rupture hepar, sehingga perlu pembedahan.
2.1.2.12. Neurologik
Perubahan neurologik dapat berupa:
a. Nyeri kepala disebabkan hiperperfusi
otak, sehingga menimbulkan vasogenik edema.
b. Akibat spasme arteria retina dan
edema retina dapat terjadi gangguan visus. Gangguan visus dapat berupa:
pandangan kabur, skomatoma, amaurosis yaitu kebutaan tanpa jelas adanya
kelainan dan ablasio retina (retinal detachment).
c. Hiperrefleksi sering dijumpai pada
preeklampsia berat, tetapi bukan faktor prediksi terjadinya eklampsia.
d. Dapat timbul kejang eklamptik.
Penyebab kejang eklamptik belum diketahui jelas. Faktor-faktor yang menimbulkan
kejang eklamptik ialah edema serebri, vasospasme serebri dan iskemia serebri.
e. Perdarahan intrakranial meskipun
jarang, dapat terjadi pada preeklampsia berat dan eklampsia.
2.1.2.13. Kardiovaskular
Perubahan kardiovaskular disebabkan
oleh peningkatan cardiac afterload akibat hipertensi dan penurunan cardiac
preload akibat hipovolemia.
2.1.2.14. Paru
Penderita preeklampsia berat
mempunyai risiko besar terjadinya edema paru. Ede-ma paru dapat disebabkan oleh
payah jantung kiri, kerusakan sel endotel pada pembuluh darah kapiler paru, dan
menurunnya diuresis.
2.1.2.15. Janin
Preeklampsia dan eklampsia memberi pengaruh
buruk pada kesehatan janin yang disebabkan oleh menurunnya perfusi utero
plasenta, hipovolemia, vasospasme, dan kerusakan sel endotel pembuluh darah
plasma.
Dampak preeklampsia dan eklampsia
pada janin adalah:
a. Intrauterin growth restriction (IUGR) dan oligohidramnion.
b. Kenaikan morbiditas dan mortalitas
janin, secara tidak langsung akibat intrauterine growth restriction,
prematuritas, oligohidramnion, dan solusio plasenta.
2.1.3.
Definisi
Preeklampsia adalah gangguan multisistem yang
bersifat spesifik terhadap kehamilan dan masa nifas, lebih tepatnya penyakit
ini merupakan penyakit plasenta karena juga terjadi pada kehamilan di mana
terdapat trofoblas tetapi tidak ada jaringan janin (kehamilan mola komplet) (Norwitz
& Schorge, 2008).
Preeclampsia is a pregnancy-specific syndrome
characterized by variable degrees of placental dysfunction and a maternal
response featuring systemic inflamation. Most consider hypertension and
proteinuria to be the hallmarks of preeclampsia, but the clinical
manifestations of this syndrome are very heterogenous (James et
al, 2011).
Preeklampsia
berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan timbulnya
hipertensi 160/110 mmHg atau lebih disertai proteinuria dan/atau edema pada
kehamilan 20 minggu atau lebih (Nugroho, 2012).
Preeklampsia dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
2.1.3.1.
Preeklampsia
ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut:
a. Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih
yang diukur pada posisi berbaring telentang, atau kenaikan diastolik 15 mmHg
atau lebih; atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih. Cara pengukuran
sekurang-kurangnya pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak periksa 1 jam,
sebaiknya 6 jam.
b. Edema umum, kaki, jari tangan, dan
muka atau kenaikan berat 1 kg atau lebih per minggu.
c. Proteinuria kwantitatif 0,3 gr atau
lebih per liter, kwalitatif 1 + atau 2 + pada kateter atau midstream.
d. Preeklampsia berat
1)
Tekanan
darah 160/110 mmHg atau lebih.
2)
Proteinuia
5 gr atau lebih per liter.
3)
Oliguria,
yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam.
4)
Adanya
gangguan serebral, gangguan visus, dan rasa nyeri pada epigastrium.
5)
Terdapatnya
edema paru dan sianosa.
6)
Sindrom
HELLP.
7)
Pertumbuhan
janin intrauterin yang terhambat
8)
Trombositopenia
berat: < 100.000 sel/mm3 atau penurnan trombosit dengan cepat.
9)
Kenaikan
kadar kreatinin plasma.
10) Edema paru dan sianosis.
11) Hemolisis mikroangiopatik.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa preeklampsia adalah suatu
keadaan dimana terjadi kenaikan tekanan darah sistolik 160/110 mmHg dan diastolik
> 110 mmHg pada usia kehamilan 20 minggu, yang disertai dengan proteinuria
serta terjadi penimbunan cairan pada ekstreimtas tubuh.
2.1.4.
Etiologi
Terdapat beberapa teori yang diduga sebagai etiologi
preeklampsia, yaitu:
2.1.4.1. Abnormalitas invasi trofoblas.
2.1.4.2. Maladaptasi imunologi antara maternal-plasenta
(paternal)- fetal.
2.1.4.3. Maladaptasi kardiovaskular atau
perubahan proses inflamasi dari proses kehamilan normal.
2.1.4.4. Fator genetik, termasuk faktor yang
diturunkan secara mekanisme epigenetik.
2.1.4.5. Faktor nutrisi, kurangnya intake
antioksidan.
2.1.4.6. Faktor risiko
a. Primigravida, primipaternitas.
b. Hiperplasentosis, misalnya: mola
hidatidosa, kehamilan multipel, diabetes mellitus, hidrops fetalis, bayi besar.
c. Umur yang ekstrim.
d. Riwayat keluarga pernah
preeklampsia/eklampsia.
e. Penyakit-penyakit ginjal dan
hipertensi yang sudah ada selama hamil.
f. Obesitas.
2.1.5.
Patofisiologi
Berdasarkan perjalanan penyakit
teori 2 tahap, preeklampsia dibagi menjadi 2 tahap penyakit tergantung gejala
yang timbul. Tahap pertama bersifat asimtomatik (tanpa gejala), dengan
karakteristik perkembangan abnormal plasenta pada trimester pertama.
Perkembangan abnormal plasenta terutama proses angiogenesis mengakibatkan
insufisiensi plasenta dan terlepasnya material plasenta memasuki sirkulasi ibu.
Terlepasnya material plasenta memicu
gambaran klinis tahap 2, yaitu tahap simtomatik (timbul gejala). Pada tahap ini
berkembang gejala hipertensi, gangguan renal, dan proteinuria, serta potensi
terjadinya sindrom HELLP, eklamsia dan kerusakan end organ lainnya.
Dua fakta klinis tersebut menuntun
pada hipotesis kuat bahwa plasenta memegang peranan penting dalam patogenesis
preeklampsia. Terapi paling efektif dari preeklampsia adalah dengan melahirkan
plasenta. Selain itu bila plasenta berkembang berlebihan (hiperplasentosis),
misalnya pada mola hidatidosa atau gemeli, seringkali berkembang menjadi
preeklampsia berat. Hal tersebut didukung oleh pemeriksaan patologi bahwa pada
plasenta dengan preeklampsia terdapat infark luas, sklerosis yang menyebabkan
penyempitan arteri dan arteriol serta terdapat remodeling yang in
adekuat pada arteri spiralis.
Pada tahap asimtomatik meskipun
gejala klinik belum terlihat, tetapi pemeriksaan tertentu dapat
mengidentifikasi perubahan yang terjadi. Pemeriksaan USG doppler arteri uterina
dapat menilai adanya perubahan pada aliran darah yang disebabkan karena
peningkatan resistensi vaskular sebelum gejala klinis timbul. Selanjutnya
peningkatan vasokontriksi ateri uterina akan menimbulkan hipertensi,
proteinuria, dan endoteliosis glomerular. Gejala-gejala tersebut yang mendukung
untuk ditegakkannya diagnosis preeklampsia, dan merupakan suatu tahap kedua
atau preeklampsia dengan manifestasi gejala klinik. Sehingga adanya ganguan
histologi, fungsi, dan metabolisme plasenta diduga sangat besar peranannya pada
patofisologi preeklampsia (Pribadi et al, 2015).
Skema 2.1 Pathway Preeklampsia
Sumber (NANDA & NIC NOC, 2013)
2.1.6.
Tanda dan gejala
Gejala klinis preeklampsia sangat bervariasi dari yang
ringan sampai yang mengancam kematian ibu. Efek yang sama terjadi pula pada
janin, mulai dari yang ringan, PJT dengan komplikasi pascasalin sampai kematian
intrauterin.
2.1.6.1.
Gejala
Kebanyakan ibu hamil pada awal preeklampsia tidak
menunjukkan gejala. Sementara preeklampsia fase lanjut sering menimbulkan
gejala yang berhubungan dengan kurangnya perfusi jaringan, misalnya terjadi
sakit ulu hati, mual, muntah, sakit punggung, dll. Gejala hipoksia terjadi
sakit kepala, kurangnya kesadaran, penurunan penglihatan, skotomata, dll.
Parestesia, pegal, dapat terjadi bila saraf terganggu karena kompresi. Terdapat
gejala yang sangat serius ditangani terutama bila menyangkut organ vital
seperti jantung, dan perdarahan antepartum karena preeklampsia akan
meningkatkan risiko untuk solutio plasenta.
2.1.6.2.
Tanda
Tanda preeklampsia meliputi :
a.
Tanda
tersering adalah hipertensi.
b.
Proteinuria.
c.
Perubahan
retinal.
d.
Hiperrefleksia.
e.
Tanda
spesifik kelainan organ seperti dekompensasi jantung menimbulkan edema tungkai
yang masif kadang disertai asites dan hidrotoraks. Pembesaran hepar menyebabkan
nyeri tekan, pecahnya pembuluh darah perifer seperti ptechiae, purpura,
dan bila berat menyebabkan gangguan pembekuan darah sistemik (seperti disseminated
intracorpuscular/DIC).
2.1.7. Pemeriksaan penunjang
2.1.7.1. Maternal
a. Asam urat
Hipertensi yang disertai peningkatan asam urat berhubungan
dengan PJT. Hiperurikemia merupakan tanda dini penyakit karena terjadi
penurunan klirens asam urat sebelum penurunan filtrasi glomerular filtration
rate (GFR) ginjal terjadi. Peningkatan asam urat dalam darah tidak hanya
gangguan fungsi ginjal tetapi dapat pula disebabkan peningkatan stres oksidatif.
b. Kreatinin
Terjadi peningkatan kreatinin pada preeklampsia berat tetapi
biasanya belum terjadi perubahan pada preeklampsia ringan.
c. Tes fungsi hepar
Peningkatan aspartat aminotranferase (AST/SGOT) dan alanine
aminotransferase (ALT/SGPT) merupakan tanda prognosis buruk pada ibu dan janin.
Konsentrasi dari protein ini berhubungan dengan beratnya penyakit preeklampsia
dengan komplikasi berat pada hepar.
d. Faktor pembekuan
Terjadi penurunan dari faktor III, faktor VIII selain
trombositopenia. Gangguan ini menimbulkan risiko terjadi perdarahan pasca
persalinan.
e. Analisis urine (proteinuria).
f. Pencocokan ulang : cross matching.
g. Pemeriksaan urine untuk ekskresi
protein 24 jam.
2.1.7.2. Fetal
a. Klik chart (rekaman gerakan janin).
b. CTG (kardiografi).
2.1.8.
Penatalaksanaan medis
Ditinjau dari umur kehamilan dan
perkembangan gejala-gejala preeklampsia berat selama perawatan maka perawatan
dibagi menjadi:
2.1.8.1. Perawatan aktif yaitu kehamilan
segera diakhri atau diterminasi ditambah pengobatan medisinal.
2.1.8.2. Perawatan konservatif yaitu
kehamilan tetap dipertahankan ditambah pengobatan medisinal.
Perawatan aktif
a.
Sedapat
mungkin sebelum perawatan aktif pada setiap penderita dilakukan pemeriksaan fetal
assaement (NST & USG).
b.
Indikasi
1) Ibu
a) Usia kehamilan 37 minggu atau lebih.
b) Adanya tanda-tanda atau gejala
impending eklampsia.
c) Kegagalan terapi konservatif yaitu
setelah 6 jam pengobatan medikamentosa terjadi kenaikan tekanan darah atau
setelah 24 jam terapi medikamentosa tidak ada perbaikan.
2) Janin
a) Hasil fetal assesment jelek (NST
& USG).
b) Adanya tanda IUGR.
3) Laboratorium
a) Adanya “HELLP syndrome” (hemolisis
dan peningkatan fungsi hepar, trombositopenia).
c.
Pengobatan
medikamentosa
1)
Segera
masuk rumah sakit.
2)
Tidur
baring, miring ke satu sisi (sebaiknya kiri), tanda vital diperiksa setiap 30
menit, refleks patella setiap jam.
3)
Infus
dextrose 5% dimana setiap 1 liter diselingi dengan infus RL (60-125 cc/jam) 500
cc.
4)
Antasida.
5)
Diet
cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.
6)
Pemberian
obat anti kejang: diazepam 20 mg IV dilanjutkan dengan 40 mg dalam Dekstrose
10% selang 4-6 jam atau MgSO4 40% 5 gram IV pelan-pelan dilanjutkan 5 gram
dalam RL 500 cc untuk 6 jam.
7)
Diuretik
tidak diberikan kecuali bila ada tanda-tanda edema paru, payah jantung
kongestif atau edema anasarka. Diberikan furosemid injeksi 40 mg/IV.
8)
Antihipertensi
diberikan bila: tekanan darah sistolik e”180 mmHg, diastolik e” 110 mmHg atau
MAP lebih 125 mmHg. Dapat diberikan catapres ½-1 ampul IM dapat diulang tiap 4
jam, atau alfametildopa 3 x 250 mg, dan nifidipine sublingual 5-10 mg.
9)
Kardiotonika,
indikasinya, bila ada tanda-tanda payah jantung, diberikan digitalisasi cepat
dengan cedilanid.
10)
Lain-lain:
a)
Konsul
bagian penyakit dalam/jantung, mata.
b)
Obat-obat
antipiretik diberikan bila suhu rektal lebih dari 38,5 derajat celcius dapat
dibantu dengan pemberian kompres dingin atau alkohol atau xylamidon 2 cc IM.
c) Antibiotik diberikan atas indikasi,
diberikan ampicilin 1 gr/6 jam/IV/hari.
d) Anti nyeri bila penderita kesakitan
atau gelisah karena kontraksi uterus, dapat diberikan petidin HCL 50-75 mg
sekali saja, selambat-lambatnya 2 jam sebelum jalan lahir.
d.
Pengobatan
obstetrik
1)
Cara
terminasi kehamilan yang belum inpartu
a)
Induksi
persalinan: tetesan oksitosin dengan syarat nilai bishop 5 atau lebih dan
dengan fetal heart monitoring.
b)
Sectio
caesarea bila:
(1) Fetal assesment jelek
(2) Syarat tetesan oksitosin tidak
dipenuhi (nilai bishop kurang dari 5) atau adanya kontraindikasi tetesan
oksitosin.
(3) 12 jam setelah dimulainya tetesan
oksitosin belum masuk fase aktif.
(4) Pada primigravida lebih diarahkan
untuk dilakukan terminasi dengan sectio caesarea.
2) Cara terminasi kehamilan yang sudah
inpartu
Kala I
a) Fase laten : 6 jam belum masuk fase
aktif maka dilakukan sectio caesarea.
b) Fase aktif : amniotomi saja, bila 6
jam setelah amniotomi belum terjadi pembukaan lengkap maka dilakukan sectio
caesarea (bila perlu dilakukan tetesan oksitosin).
Kala II
a) Pada persalinan per vaginam, maka
kala II diselesaikan dengan partus buatan. Amniotomi dan tetesan oksitosin
dilakukan sekurang-kurangnya 3 menit setelah pemberian terapi medikamentosa.
Pada kehamilan 32 minggu atau kurang; bila keadaan memungkinkan, terminasi
ditunda 2 kali 24 jam untuk memberikan kortikosteroid.
Perawatan konservatif
a. Indikasi: bila kehamilan preterm
kurang 37 minggu tanpa disertai tanda-tanda inpending eklampsia dengan keadaan
janin baik.
b. Terapi medikamentosa: sama dengan
terapi medikamentosa pada pengelolaan aktif, hanya laoding dose MgSO4
tidak diberikan intravenous, cukup intramuskular saja dimana 4 gram pada bokong
kiri dan 4 gram pada bokong kanan.
c. Pengobatan obstetri:
1) Selama perawatan konservatif:
observasi dan evaluasi sama seperti perawatan aktif hanya disini tidak
dilakukan terminasi.
2) MgSO4 dihentikan bila ibu sudah
mempunyai tanda-tanda preeklampsia ringan, selambat-lambatnya dalam 24 jam.
3) Bila setelah 24 jam tidak ada
perbaikan maka dianggap terapi medikamentosa gagal dan harus diterminasi.
4) Bila sebelum 24 jam hendak dilakukan
tindakan maka diberi lebih dahulu MgSO4 20% 2 gram intravenous.
d. Penderita dipulangkan bila:
1) Penderita kembali ke
gejala-gejala/tanda-tanda preeklampsia ringan dan telah dirawat selama 3 hari.
2) Bila selama 3 hari tetap berada
dalam keadaan preeklampsia ringan: penderita dapat dipulangkan dan dirawat
sebagai preeklampsia ringan (diperkirakan lama perawatan 1-2 minggu).
2.1.9. Prognosis
The morbidity and mortality of both
the mother and fetus are considered:
Fetal mortality and morbidity. The fetal mortality is 2% in a
preeclamptic pregnancy. Reccurence of preeclampsia, preeclampsia fetus
in 25% of subsequent pregnances for early onset (< 32 weeks), and in 5-8% of
subsequent pregnancies for late onset preeclampsia. Maternal complications
of preeclampsia, preeclampsia is a life-long disease, and has an impact on
maternal cardiovascular health. There is a risk of hypertension in later life
and an eight-fold increase in risk of death from stroke for those with
preeclampsia prior to 37 weeks gestation (Cameron et al, 2009).
Penderita preeklampsia/eklampsia yang terlambat penanganannya
akan dapat berdampak pada ibu dan janin yang dikandungnya. Pada ibu dapat
terjadi perdarahan otak, dekompensasi kordis dengan edema paru, payah ginjal
dan masuknya isi lambung ke dalam pernafasan saat kejang. Pada janin dapat
terjadi kematian karena hipoksia intrauterin dan kelahiran prematur (Indriani,
2012).
2.1.10. Komplikasi
Bergantung pada derajat preeklampsia
yang dialami. Namun yang termasuk komplikasi antara lain sebagai berikut:
2.1.10.1. Pada ibu
a. Eklampsia.
b. Solusio plasenta.
c. Perdarahan subskapula hepar.
d. Kelainan pembekuan darah (DIC).
e. Sindrom HELLP (hemolisis,
elevated, liver, enzymes, dan low platelet count).
f. Ablasio retina.
g. Gagal jantung hingga syok dan
kematian.
2.1.10.2. Pada janin
a. Terhambatnya pertumbuhan dalam
uterus.
b. Prematur.
c. Asfiksia neonatorum.
d. Kematian dalam uterus.
e.
Peningkatan
angka kematian dan kesakitan perinatal.
2.1.11. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
2.1.11.1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari
proses keperawatan. Suatu proses kolaborasi melibatkan perawat, ibu, dan tim
kesehatan lainnya. Pengkajian dilakukan melalui wawancara dan pemeriksaan
fisik. Dalam pengkajian dibutuhkan kecermatan dan ketelitian agar data yang
terkumpul lebih akurat, sehingga dapat dikelompokkan dan dianalisis untu
mengetahui masalah dan kebutuhan ibu terhadap preeklampsia. Pengkajian yang
dilakukan terhadap ibu preeklampsia antara lain sebagai berikut:
a. Identitas umum ibu.
b. Data riwayat kesehatan.
1) Riwayat kesehatan dahulu.
a)
Kemungkinan
ibu menderita penyakit hipertensi sebelum hamil.
b)
Kemungkinan
ibu mempunyai riwayat preeklampsia pada kehamilan terdahulu.
c)
Biasanya
mudah terjadi pada ibu dengan obesitas.
d)
Ibu
mungkin pernah menderita penyakit ginjal kronis.
2)
Riwayat
kesehatan sekarang.
a)
Ibu
merasa sakit kepala di daerah frontal.
b)
Terasa
sakit di ulu hati/nyeri epigastrium.
c)
Gangguan
visus: penglihatan kabur, skotoma, dan diplopia.
d)
Mual
muntah, tidak ada nafsu makan.
e)
Gangguan
serebral lainnya: terhuyung-huyung, refleks tinggi, dan tidak tenang.
f)
Edema
pada ekstremitas.
g)
Tengkuk
terasa berat.
h)
Kenaikan
berat badan mencapai 1 kg seminggu.
3) Riwayat kesehatan keluarga.
Kemungkinan mempunyai riwayat
preeklampsia dan eklampsia dalam keluarga.
4)
Riwayat
perkawinan.
Biasanya terjadi pada wanita yang
menikah di bawah usia 20 tahun atau di atas 35 tahun.
c. Pemeriksaan fisik biologis.
1)
Keadaan
umum : lemah.
2)
Kepala : sakit kepala, wajah edema.
3)
Mata : konjungtiva sedikit anemis, edema pada retina.
4)
Pencernaan
abdomen : nyeri daerah epigastrium,
anoreksia, mual,
dan muntah.
5)
Ekstremitas
: edema pada kaki dan tangan juga pada jari-jari
6)
Sistem
persarafan : hiper refleks, klonus pada kaki.
7)
Genitourinaria : oliguria, proteinuria.
8)
Pemeriksaan
janin : bunyi jantung janin tidak teratur,
gerakan janin melemah.
2.1.11.2. Diagnosa keperawatan
Setelah data terkumpul dan kemudian
dianalisis, sehingga diagnosis yang mungkin ditemukan pada ibu preeklampsia
berat adalah sebagai berikut:
a. Gangguan perfusi jaringan
berhubungan dengan penurunan curah jantung.
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen
injury fisik.
c. Resiko infeksi.
d. Kecemasan orang tua berhubungan
dengan situasi krisi, kurang pengetahuan.
e. Ketidakefektifan pemberian ASI
berhubungan dengan payudara bengkak.
f. Kurang pengetahuan tentang perawatan
bayi berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.
2.1.11.3. Perencanaan
a. Gangguan perfusi jaringan
berhubungan dengan penurunan curah jantung.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
kebutuhan O2 terpenuhi.
kriteria hasil: CRT < 2 detik, tidak terjadi sianosis
intervensi:
1) Catat frekuensi dan kedalaman
pernapasan, penggunaan otot bantu.
Rasional: mengetahui kelemahan otot
pernapasan.
2) Awasi tanda-tanda vital
Rasional: mengetahui tingkat kegawatan klien.
3) Pantau BGA (Blood Gas Analysis)
Rasional: asidosis yang terjadi dapat menghambat masuknya
oksigen pada tingkat sel.
4) Kolaborasi pemberian IV larutan
elektrolit
Rasional: meminimalkan fluktuasi dalam aliran vaskuler.
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen
injury fisik
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
nyeri berkurang
Kriteria hasil: TTV dalam batas normal, melaporkan nyeri
hilang
Intervensi:
1) Kaji tingkat, skala dan intensitas
nyeri.
Rasional: Nyeri tidak selalu ada tetapi bila ada harus
dibandingkan dengan gejala nyeri pasien sebelumnya.
2) Kaji tanda-tanda vital pasien
Rasional: Supaya perawat bisa mengetahui perkembangan
yang dialami oleh pasien dan menentukan tindakan selanjutnya.
3) Atur posisi yang nyaman yang
menyenangkan.
Rasional: Mungkin akan mengurangi rasa sakit
dan meningkatkan sirkulasi.
4) Ciptakan lingkungan yang nyaman dan
tenang.
Rasional: Dapat Membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan istirahat
yang adekuat.
5) Ajarkan tekhnik relaksasi.
Rasional: Mengurangi rasa nyeri yang dialami oleh pasien.
6) Kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian Analgetik.
Rasional: Kenyamanan dan kerjasama pasien dalam pengobatan
prosedur dipermudah oleh pemberian analgetik.
c. Resiko infeksi
Tujuan: setelah dilakukan
tindakan keperawatan diharapkan tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil: tidak ada tanda-tanda infeksI
Intervensi:
1) Monitor
tanda dan gejala infeksi sistemik dan local
Rasional: mengetahui
tanda infeksi lebih dini.
2) Batasi
pengunjung
Rasional: menghindari kontaminasi
dari pengunjung
3) Pertahankan
teknik cairan asepsis pada klien yang beresiko
Rasional:
mencegah penyebab infeksi
4) Inspeksi
kondisi luka/insisi bedah
Rasional:
mengetahui kebersihan luka dan tanda infeksi.
5) Ajarkan
keluarga klien tentang tanda dan gejala infeksi.
Rasional:
Gejala infeksi dapat dideteksi lebih dini
6) Laporkan
kecurigaan infeksi
Rasional:
Gejala infeksi dapat segera ditangani.
d. Kecemasan orang tua berhubungan
dengan situasi krisis, kurang pengetahuan.
Tujuan: cemas berkurang
Kriteria hasil: Orang tua tampak
tenang. Orang tua tidak bertanya-tanya lagi. Orang tua berpartisipasi dalam
proses perawatan.
Intervensi:
1) Kaji
tingkat pengetahuan orang tua.
Rasional: Mengetahui kebutuhan keluarga akan pengetahuan sehingga dapat
mengurangi kecemasan.
2) Beri
penjelasan tentang keadaan bayinya.
Rasional: Membantu
menganalisa masalah secara sederhana dengan mandiri.
3) Libatkan
keluarga dalam perawatan bayinya.
Rasional: Orang tua akan
terlatih dalam merawat bayi
4) Berikan
support dan reinforcement atas apa yang dapat dicapai oleh orang tua.
Rasional: Sebagai motivasi
orag tua
5) Latih
orang tua tentang cara-cara perawatan bayi dirumah sebelum bayi pulang.
Rasional: Perawatan mandiri
harus sudah dapat dilakukan ketika bayi sudah pulang.
e. Ketidakefektifan pemberian ASI
berhubungan dengan payudara bengkak.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan ibu mampu
memenuhi kebutuhan ASI untuk bayinya
Kriteria hasil: ASI keluar dengan lancar, kebutuhan ASI
terpenuhi untuk bayinya.
Intervensi:
1) Lakukan pendekatan terapeutik.
Rasional: ibu lebih kooperatif dan terjalin kerjasama antara
klien dan petugas kesehatan.
2) Jelaskan tentang pemenuhan gizi
seimbang
Rasional: dengan pemenuhan gizi seimbang ASI bisa lancer
3) KIE ASI eksklusif
Rasional: ASI eksklusif minimal 6 bulan dapat memberikan
kekebalan imun pada bayi.
4) Ajarkan perawatan payudara post
partum
Rasional: perawatan payudara yang rutin akan membantu
mengurangi pembengkakan dan memperlancar ASI
5) Jelaskan teknik menyusui yang benar
Rasional: agar bayi bisa menghisap dengan penuh dan nyaman.
f. Kurang pengetahuan tentang perawatan
bayi berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan wawasan ibu
bertambah.
kriteria hasil: mampu menjelaskan tentang perawatan bayi.
Intervensi:
1) Kaji tingkat pengetahuan klien.
Rasional: tingkat pengetahuan menentukan persepsi klien
terhadap penyakit.
2) Jelaskan tentang cara perawatan bayi
dengan bahasa sederhana.
Rasional: menambah pengetahuan klien tentang perawatan bayi.
3) Diskusikan tentang perubahan gaya
hidup pada klien yang mungkin dibutuhkan.
Rasional: meningkatkan pengetahuan ibu tentang perubahan
yang akan terjadi setelah kelahiran.
4) Klarifikasi informasi yang diberikan
oleh tim kesehatan lain sebelum informasi kita diberikan.
Rasional: mencegah terjadinya kesalahan informasi yang akan
diberikan.
2.2.
Tinjauan Teori
Sectio Caesarea
2.2.1.
Definisi
Sectio caesarea
adalah suatu proses persalinan buatan yang dilakukan melalui pembedahan dengan
cara melakukan insisi pada dinding perut dan dinding rahim ibu, dengan syarat
rahim harus dalam keadaan utuh, serta janin memiliki bobot badan di atas 500
gram. Jika bobot janin di bawah 500 gram, maka tidak perlu dilakukan tindakan
persalinan section caesarea (Solehati & Kosasih, 2015).
Pelahiran
dengan caesar didefinisikan sebagai kelahiran janin melalui insisi di dinding
abdomen (laparatomi) dan dinding uterus (histerotomi) (Leveno., et al, 2009).
Caesarean section is an operative procedure, which is carried out
under anaesthesia (regional or general), whereby the fetus, placenta and
membranes are delivered through an incision made in the abdominal wall and uterus (Marshall & Raynor, 2014).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa sectio caesarea adalah sebuah
tindakan pembedahan yang dilakukan guna mengeluarkan janin dan plasenta melalui
insisi pada abdomen dan uterus dengan syarat berat janin tidak kurang dari 500
gram.
2.2.2.
Etiologi
Seorang
ibu yang akan melahirkan perlu dilakukan tindakan persalinan sectio caesarea
tentu berdasarkan indikasi terlebih dahulu. Indikasi tersebut dapat dilakukan dengan alasan medis antara lain:
karena ibu maupun bayinya berisiko tinggi, bukan karena alasan pribadi dari ibu
sendiri/elektif. Adapaun indikasi dilakukannya sectio caesarea pada klien
karena keadaan berikut:
2.2.2.1.
Faktor ibu
a.
Distosia
Distosia merupakan suatu keadaan persalinan yang lama karena adanya
kesulitan dalam persalinan yang disebabkan oleh beberapa faktor dalam
persalinan, baik faktor dari ibu sendiri maupun faktor dari bayi dalam proses
persalinan, seperti: kelainan tenaga (his), kelelahan mengedan, kelainan jalan
lahir, kelainan letak dan bentuk janin, kelainan dalam besar/bobot janin, serta
psikologis ibu.
b.
Chepalopelvic
disproportion (CPD)
Chepalopelvic
disproportion (CPD) is a condition in which the size, shape, or position of the
fetal head prevents it from passing through the lateral aspect of the maternal
pelvis or when the maternal pelvis is of a size or shape that prevents the
descent of the fetus through the pelvis (Durham & Chapman, 2013).
CPD merupakan keadaan panggul ibu yang tidak sesuai dengan keadaan
panggul normal yang dimiliki kebanyakan wanita. Keadaan panggul yang tidak
normal tidak baik untuk dilakukan tindakan persalinan pervaginam.
c.
Preeklampsia
berat dan eklampsia
PEB
dan eklampsia sangat rawan untuk dilakukan persalinan pervaginam karena ibu dan
bayinya berisiko tinggi terjadinya injuri. Pada umumnya, ibu hamil yang
menderita PEB ataupun eklampsia acap kali berakhir dengan persalinan sectio
caesarea.
d.
Gagal proses
persalinan
Gagal
induksi persalinan merupakan indikasi dilakukannya sectio caesarea untuk segera
menyelamatkan ibu dan bayinya.
e.
Sectio ulang
Jika seorang ibu mempunyai riwayat persalinan sectio, maka
persalinan berikutnya harus melalui tindakan persalinan sectio caesarea karena
khawatir terjadi robekan pada rahim.
f.
Plasenta previa
Plasenta previa yaitu plasenta yang letaknya abnormal, yaitu
plasenta yang terletak pada segmen bawah uterus sehingga dapat menutupi
sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir (ostium internum).
g.
Solutio
plasenta
Solutio plasenta disebut juga dengan nama abrupsio plasenta.
Solutio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh plasenta sebelum
janin lahir.
h.
Tumor jalan
lahir yang menimbulkan obstruksi
Tumor tersebut seperti mioma uteri, tumor ovarium, dan kanker
rahim. Hal ini bergantung pada jenis dan besarnya tumor tersebut. Hal yang
perlu dipertimbangkan, apakah persalinan dapat dilakukan secara pervaginam atau
secara sectio caesarea.
i.
Ruptur uteria
Adalah
keadaan robekan pada rahim yang telah terjadi hubungan langsung antara rongga
amnion dan rongga peritoneum. Ruptur uteri, baik yang terjadi pada masa hamil
atau proses persalinan merupakan suatu kondisi bahaya yang besar pada wanita
dan janin yang dikandungnya.
j.
Takut
persalinan pervaginam
Pengalaman buruk yang dialami oleh orang lain saat persalinan
pervaginam pun dapat menjadi pencetus bagi seorang ibu untuk melakukan
persalinan dengan sectio caesarea.
k.
Pengalaman
buruk melahirkan pervaginam
Pengalaman
buruk melahirkan pervaginam yang dialami ibu pada saat persalinan sebelumnya,
seperti adanya nyeri serta kecemasan yang sangat, dan menimbulkan trauma bagi
seorang ibu untuk menjalani persalinan pervaginam untuk melahirkan berikutnya.
l.
Adanya
keinginan untuk melahirkan pada hari yang telah ditentukan.
Indikasi
ini bukan merupakan indikasi medis, melainkan indikasi elektif akibat keinginan
pribadi seorang ibu atau keluarganya yang memilih persalinan sectio caesarea.
m.
Disfungsi
uterus
Disfungsi uterus merupakan kerja uterus yang tidak adekuat. Hal ini
menyebabkan tidak adanya kekuatan untuk mendorong bayi keluar dari rahim.
p.
Usia ibu lebih
dari 35 tahun
Kehamilan
di atas usia 35 tahun memiliki resiko tiga kali lebih besar untuk terjadinya
persalinan dengan tindakan sectio caesarea dibandingkan dengan usia di bawah 35
tahun. Usia lebih dari 35 tahun termasuk ke dalam golongan usia berisiko tinggi
dalam kehamilan dan persalinan. Pada usia ini, berbagai masalah sering kali
menyertai kehamilannya, seperti plasenta previa totalis preeklampsia berat,
kelelahan dalam mengedan, dan sebagainya.
q.
Herpes Genital
Aktif
Herpes
genital merupakan penyakit kelamin yang disebabkan oleh virus bernama Herpes
Simpleks Virus (HSV). Virus ini ditularkan melalui kontak langsung kulit
atau membran mukus dengan lesi yang aktif. Lesi herpes yang aktif pada genital
ibu hamil dapat menular ke bayi pada saat proses persalinan pervaginam.
Penyebaran virus herpes dari ibu hamil kepada janinnya dapat terjadi pada saat
proses persalinan.
2.2.2.2.
Alasan janin
a.
Terjadinya
gawat janin (distress)
Terjadinya
gawat janin antara lain disebabkan: syok, anemia berat, preeklampsia berat,
eklampsia, dan kelainan kongenital. Keadaan gawat janin biasanya dinilai dengan
menghitung Denyut Jantung Janin (DJJ) dan memeriksa kemungkinan adanya mekonium
di dalam cairan amnion. Janin disebut gawat janin apabila ditemukan denyut
jantung janin di atas 160/menit atau di bawah 100/menit, denyut jantung tak
teratur, atau keluarnya mekonium yang kental pada awal kehamilan.
b.
Letak janin
Kelainan
dengan letak sungsang, lintang, dan presentasi ganda atau majemuk merupakan
faktor penyulit dalam persalinan.
c.
Kehamilan ganda
Kehahamilan
ganda (kembar) adalah kehamilan dengan dua janin atau lebih dalam satu rahim
dengan satu atau dua plasenta. Kehamilan kembar dapat berisiko tinggi, baik
terhadap ibu maupun bayinya.
d.
Adanya bobot
badan bayi yang ukurannya lebih dari normal
Bobot
bayi lahir normalnya antara 2.500-4000 gram. Bobot bayi di atas 4000 gram atau
lebih dinamakan bayi besar (giant baby). Hal ini mengakibatkan bayi
sulit keluar dari jalan lahir ibu.
e.
Cacat atau
kematian janin sebelumnya
Khususnya
pada ibu-ibu yang pernah melahirkan bayi yang cacat atau mati dilakukan sectio
caesarea elektif
f.
Prolapsus
funiculus umbilicalis
Prolapsus
funiculus umbilicalis dengan cervix yang tidak berdilatasi sebaiknya diatasi
dengan sectio caesarea, asalkan bayinya berada dalam keadaan baik.
g.
Insufisiensi
placenta
Pada
kasus retardasi pertumbuhan intrauterin atau kehamilan post matur dengan
pemeriksaan klinis dan berbagai test menunjukkan bahwa bayi dalam keadaan
bahaya, maka kelahiran harus dilaksanakan. Jika induksi tidak mungkin
terlaksana atau mengalami kegagalan, sectio caesarea menjadi indikasi.
h.
Inkompabilitias
rhesus
Kalau
janin mengalami cacat berat akibat antibodi dari ibu Rh-negatif yang menjadi
peka dan kalau induksi serta persalinan per vaginam sukar teralaksana, maka
kehamilan dapat diakhiri dengan sectio caesarea bagi keselamatan janin.
i.
Postmortem
caesarean
Kadang-kadang
bayi masih hidup, bilamana sectio caesarea segera dikerjakan pada ibu hamil
yang baru saja meninggal dunia.
2.2.3.
Pemeriksaan penunjang
2.2.3.1.
Pemeriksaan
laboratorium praoperasi
a. Urinalisis.
b. HDL dengan diferensial.
c. Golongan darah dan skrinning atau
golongan darah dan cross.
2.2.3.2. Pemeriksaan laboratorium lainnya
yang diperlukan jika diindikasikan oleh status ibu/janin
a. Pengkajian maturitas paru janin.
b. Panel laboratorium preeklampsia.
c. Pemeriksaan pembekuan darah.
d. Identifikasi antibodi.
2.2.4. Prognosis
Previous history of classical
caesarean section or hysterotomy makes the woman vulnurable to unpredictable
rupture of the uterus. This may occur either late during pregnancy or during
labor and when it does, the maternal mortality is to the extent of 5% and the
perinatal mortality to 75%. The risk of lower segment scar-rupture is low
(0.2-1.5%) and even if it does occur, maternal death is much less and the
perinatal mortality is about one in eight (Konar, 2015).
Dulu angka
morbiditas dan mortalitas untuk ibu dan janin tinggi. Pada masa sekarang, oleh
karena kemajuan yang pesat dalam tehnik operasi, anestesi, penyediaan cairan
dan darah, indikasi dan antibiotika angka ini sangat menurun. Angka kematian
ibu pada rumah-rumah sakit dengan fasilias operasi yang baik dan oleh
tenaga-tenaga yang cekatan adalah kurang dari 2 per 1000. Nasib janin yang
ditolong secara sectio caesarea sangat tergantung dari keadaan janin sebelum
dilakukan operasi. Menurut data dari negara-negara dengan pengawasan antenatal
yang baik dan fasilitas neonatal yang sempurna, angka kematian perinatal
sekitar 4-7 %.
2.2.5. Komplikasi
Berbeda dengan
persalinan normal, pasca sectio caesarea kemungkinan bisa saja terjadi infeksi
nifas, perdarahan pasca persalinan akibat teratnya pembuluh darah cabang di
rahim. Bisa juga terjadi luka kerat tak disengaja pada kandung kemih yang
letaknya memang di bawah rahim, selain kemungkinan emboli paru-paru, yakni
terhanyutnya butiran bekuan darah, atau apa saja yang terbawa ke dalam aliran
darah, dan tiba di paru-paru, sehingga terjadi sumbatan yang fatal akibatnya.
Komplikasi lainnya,
bagaimana pun kuatnya jahitan pada rahim yang sudah pernah disayat tidak lebih
kuat dibanding rahim yang masih utuh. Risiko rahim untuk sobek lebih besar
dibanding rahim yang masih utuh. Selain itu, tentu bagaimana layaknya tindakan
pembedahan, persalinan dengan sectio caesarea memerlukan hari perawatan yang
lebih panjang ketimbang persalinan normal.
DAFTAR RUJUKAN
Burnside, Jhon W & McGlynn, Thomas J. (2008). Diagnosa Fisik.
Ed. 17. Jakarta: EGC
Cameron, Peter., Jelinek, George., Kelly, Maree. A., Murray, Lindsay & Brown, Anthony. FT. (2009). Textbook
Of Adult Emergency Medicine. Third Edition. China: Elsevier
Damayanti, Ika
Putri., Pitriani, Risa & Ardhiyanti, Yulrina. (2015). Panduan Lengkap
Keterampilan Dasar Kebidanan II. Ed. 1. Yogyakarta: Deepublish
Dinas Kesehatan
Provinsi Kalimantan selatan. (2013, 2014, 2015). Rekapitulasi Jumlah
Kematian Ibu dan Neonatal di Puskesmas dan Rumah Sakit Propinsi Kalimantan
Selatan.
Djannah Nur, S
& Arianti Sukma, I. (2010). Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. Gambaran Epidemiologi
Kejadian Preeklampsia/Eklampsia
di RSKU PKU
Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2007-2009. Vol. 13 No. 4, Hal. 378.
Durham, Roberta
& Chapman, Linda. (2013). Maternal-Newborn Nursing: The Critical
Components of Nursing Care. Philadelpia: F.A. Davis Company
Felicia, Devi., Fredy
Chikita, f. & Iskandar Jayadi, W. (2008). Jurnal Mahasiswa Kedokteran Ilmiah
Indonesia. Suplementasi Asam Folat Sebagai Upaya Pencegahan Preeklampsia Pada Ibu Hamil di Indonesia. Vol. III No.
01, Hal. 31
Hartono, Andry.
(2014). Instant Access Ilmu Kebidanan. Tangerang: Binarupa Aksara
Publisher
Hidayat, A.Alimul. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia.
Jakarta: Salemba Medika
Humas RSHS.
(2014). Tahapan Mobilisasi Dini Post Operasi SC. Rumah Sakit
Hasan Sadikin Bandung
James, David K &
Steer, Philip J. (2011). High Risk Pregnancy Management Options.
China: Elsevier
Kementerian
Kesehatan RI. (2014). InfoDATIN Pusat Data dan Informasi. Kementerian
Kesehatan RI.
Konar, Hiralal. (2015). DC Dutta’s Textbook Of Obstetrics.
Eight Edition. Elsevier: China
Latin. (2014). Instant Access Ilmu Kebidanan.
Tangerang: Binarupa Aksara Publisher
Leveno, Kenneth J., Cunningham, Gary F., Gant, Norman F., Alexander, James M & Bloom, Steven L. (2009). Williams Panduan Ringkas. Editor bahasa Indonesia, Egi Komara Yudha, Nike Budhi
Subekti. Ed. 21. Jakarta: EGC
Manuaba, Chandranita Ayu I., Manuaba, Fajar Gde Bagus I & Manuaba, Gde
Bagus, I. (2009). Memahami
Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta: EGC
Marshall, Jayne & Raynor, Maureen. (2014). Myles
Textbook For Midwives. Sixteenth Edition. China: Elsevier
Medical record
RSUD Ulin Banjarmasin. (2015, 2016). Buku Sensus Tahunan Ruang Nifas.
RSUD Ulin Banjarmasin.
Mitayani. (2011). Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta: Salemba Medika
Nadesul, Hendrawan. (2009). Kiat Sehat Pranikah. Menjadi Calon Ibu,
Membesarkan Bayi dan Membangun Keluarga Muda. Jakarta: Kompas Media Nusantara
Nanien,
Indriani. (2011). Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Preeklampsia/Eklamsia
Pada Ibu Bersalin di Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Kota Tegal Tahun 2011. Skripsi, Universitas Indonesia.
Norwitz, Errol. R & Schorge, Jhon. O. (2007). At A
Glance Obstetri dan Ginekologi. Edisi kedua. Jakarta: Gelora Aksara Pratama
Nugroho, Taufan. (2012). Obsgyn : Obstetri dan Ginekologi Untuk
Mahasiswa Kebidanan dan Keperawatan. Yogyakarta: Nuha Medika
Nurarif, A.H & Kusuma, H. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & Nanda. Jilid 2. Yogyakarta: Media Action
Prawirohardjo, Sarwono. (2008). Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.
Ed. 4, Cet. 4. Jakarta: Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo
Pribadi, Adhi., Mose,
Johannes. C & Anwar, Deborah A. (2015). Kehamilan Resiko Tinggi. CV. Jakarta: Sagung Seto
Rahmadani, Apri., Noerjasin, Herlambang. & Zamri, Aywar. (2012). Faktor-Faktor
Yang Berhubungan Dengan Terjadinya Preeklampsia-Eklampsia. Hal. 3
Setiyaningrum, Erna. (2013). Asuhan Kegawatdaruratan Maternitas
(Asuhan Kebidanan Patologi). Jakarta: In Media
Siswosudarmo, Risanto & Emilia, Ova. (2008). Obstetri
Fisiologi. Yogyakarta: Pustaka Cendekia
Smeltzer, S.C & Bare, B.G. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC
Solehati, Tetti & Kosasih, Eli. C. (2015). Konsep dan Aplikasi
Relaksasi Dalam Keperawatan Maternitas. Jakarta: Refika Aditama
Sumarni, Sri., Hidayat, Syaifurrahman. & Mulyadi, Eko. (2012). Jurnal Kesehatan Wirajaja Medika. Hubungan Gravida Ibu Dengan Kejadian
Preeklampsia. Hal. 3
Tharpe, Nell. L & Farley, Cindy. L.
(2012). Kapita Selekta : Praktik Klinik Kebidanan.
Editor Edisi Bahasa Indonesia, Pamilih Eko Karyuni. Ed. 3. Jakarta: EGC
Uliyah, Musrifatul & Hidayat, A. Aziz Alimul. (2008). Praktikum Keterampilan
Dasar Praktik Klinik: Aplikasi Dasar-Dasar Praktik Kebidanan. Jakarta:
Salemba Medika
No comments:
Post a Comment