Friday, October 20, 2017

Laporan Pendahuluan Dengue Haemorragic Fever / DHF

BAB 1
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang
Demam dengue/DHF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic fever/dhf adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan ditesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi (peningkatan hemotokrit) atau penumpukan cairan dirongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan /syok ( Nurarif & Kusuma, 2013 : 108).

Penyebaran virus dengue yang semakin luas, Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita demam berdarah di tiap tahunnya. Sementara itu terhitung sejak tahun 1995 hingga tahun 2013, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus demam berdarah dengue tertinggi di Asia Tenggara (Andarmoyo, 2013). Di Indonesia pada tahun 2013 dengan jumlah penderita DHF sebanyak 112.511 orang dan 2 jumlah kasus meninggal sebanyak 871 penderita, dan di tahun 2014 sebanyak 71.668 orang dan 641 diantaranya meninggal dunia (Departemen Kesehatan, 2015).

Pada tahun 2014, sampai pertengahan bulan Desember tercatat penderita DBD di 34 provinsi di Indonesia sebanyak 71.668 orang dan 641 diantaranya meninggal dunia. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, yakni tahun 2013 dengan jumlah penderita sebanyak 112.511 orang dan jumlah kasus meninggal sebanyak 871 penderita (Departemen Kesehatan, 2015).

Kementerian Kesehatan RI mencatat jumlah penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia pada bulan Januari-Februari 2016 sebanyak 13.219 orang penderita DBD dengan jumlah kematian 137 orang. Proporsi penderita terbanyak yang mengalami DBD di Indonesia ada pada golongan anak-anak usia 5-14 tahun, mencapai 42,72% dan yang kedua pada rentang usia 15-44 tahun, mencapai 34,49% (Departemen Kesehatan, 2016).

Menurut data yang didapat dari Dinas Kesehatan Kalsel sepanjang tahun 2013 jumlah klien penderita DBD di Kalimantan Selatan yaitu sebanyak 1080 orang, dimana yang meninggal 11 orang. Pada tahun 2014 jumlah klien penderita DBD di Kalimantan Selatan sebanyak 767, Pada tahun 2015 jumlah klien penderita DBD di Kalimantan Selatan sebanyak 3668 dimana yang meninggal sebanyak 40 orang, Pada tahun 2016 jumlah klien penderita DBD di Kalimantan Selatan dari bulan Januari hingga bulan April jumlah kasus penderita DBD telah mencapai 3628 kasus dan yang meninggal 23 orang (Dinkes Provinsi Kalimantan Selatan, 2016).




BAB 2
TINJAUAN TEORETIS


2.1  Tinjauan Teoretis Dengue Haemorrhagic Fever (DHF)
2.1.1     Anatomi Fisiologis Sistem Hematologik

     

Gambar 2.1 Anatomi Fisiologis Sistem Hematologik
Sumber: Syaifuddin,(2011:293).


Darah adalah suatu jaringan tubuh yang terdapat didalam pembuluh darah yang warnanya merah. Warna merah itu keadaannya tidak tetap bergantung darah yang banyaknya oksigen dan karbon dioksida didalamnya. Darah yang banyak mengandung karbon dioksida warnanya merah tua. Adanya oksigen dalam darah diambil dengan jalan bernapas, dan zat ini sangat berguna pada peristiwa pembakaran atau metabolisme di dalam tubuh. Viskositas/kekentalan darah lebih kental dari pada air yang mempunyai BJ 1,041-1,067, temperatur 38 ºC dan pH 7,37-7,45. Darah selamanya beredar didalam tubuh oleh karena adanya kerja atau pompa jantung. Selama darah berada didalam pembuluh darah.
Akan  tetap encer, tetapi kalau  ia keluar dari pembuluh darah maka ia akan menjadi beku. Pembekuan ini dapat dicegah dengan jalan mencampurkan ke dalam darah tersebut sedikit demi sedikit obat anti pembekuan/sitras natrikus, dan keadaan ini sangat berguna apabila darah tersebut diperlukan untuk transfusi darah.
Pada tubuh yang sehat atau orang dewasa terdapart darah sebanyak kira-kira 1/13 dari berat badan atau kira-kira 4-5 liter. Keadaan jumlah tersebut pada tiap-tiap orang tidak sama, bergantung pada umur, pekerjaan, keadaan jantung dan pembuluh darah.
Jika darah dilihat begitu saja maka ia merupakan zat cair yang warnanya merah, tetapi apabila dilihat dibawah mikroskop maka nyatalah bahwa dalam darah terdapat benda-benda kecil bundar yang disebut sel-sel darah. Sedangkan cairan berwarna kekuningan disebut plasma (Syaifuddin,2006:68).
Menurut Syaifuddin (2006:68) menerangankan bahwa darah terdiri dari dua bagian yaitu :
2.1.1.1 Sel-sel darah
a.          Eritrosit (Sel darah merah)
Bentuk sel darah merah seperti cakram/bikonkef, tidak mempunyai inti, ukurannya 0,007mm3, tidak bergerak, banyaknya kira-kira 4,5-5 juta mm3, warnanya kuning kemerah- merahan, sifatnya kental sehingga dapat berubah bentuk sesuai dengan pembuluh darah yang dilalui (Syaifuddin, 2011:293).
b.          Leukosit (Sel darah putih)
Bentuk dan sifat sel darah putih berbeda dengan eritrosit. Bentuk nya bening, tidak berwarna, lebih besar dari eritrosit inti sel, banyak antara 6000-9000/mm3 (Syaifuddin, 2011:301).

c.          Trombosit (sel pembeku darah)
Pembekuan darah merupakan benda-benda kecil yang bentuk dan ukurannya bermacam-macam, ada yang bulat dan ada yang lonjong, warnanya putih. Trombosit bukan berupa sel melainkan berbentuk keping-kepingan yang merupakan bagian-bagian dari sel besar (Syaifuddin, 2011:304).  

2.1.2     Pengertian Dengue Haemorrhagic Fever (DHF)
Demam berdarah dengue adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus dengue (arbovirus) yang masuk kedalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypti (Suriadi, 2008:57).

DHF merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang termasuk golongan arbovirus melalui gigitan nyamuk aedes aegypti betina. (Alimul, 2011:119).

Demam berdarah dengue atau haemorragic fever adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus dengue (albovirus) dan ditukarkan oleh nyamuk aedes, yaitu aedes aegypti dan aedes albopictus (Wijayaningsih, 2013:233).

DHF (dengue haemorrhagic fever) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan ditesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi (peningkatan hemotokrit) atau penumpukan cairan dirongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan /syok (Nurarif& Kusuma, 2013:108).
DHF is a severe from of dengue infection that is accompanied by haemorrhagic diathesis and a tendency to develop fatal shock as consequence of plasma leakage selectively into pleural and peritoneal cavities (Manson, 2009:757).

Dengue haemorrhagic fever is a severe, potentially deadly infection spread by some mosquitos. The mosquito Aedes aegypti is the main species that spreads this disease. With early and aggressive care, most people recover from dengue haemorrhagic fever. However, half of untreated patients who go into shock do not survive (Medlineplus, 2015).

Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa demam berdarah dengue adalah suatu infeksi virus pada individu atau seseorang yang disebabkan oleh virus arbovirus dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan menimbulkan demam tinggi pada individu yang terinfeksi.

2.1.3     Etiologi
Virus dengue sejenenis arbovirus, termasuk genus flavivirus, keluarga flaviridae. Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Keempatnya ditemukan  diIndonesia dengan DEN-3 serotype terbanyak. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal didaerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia (Suriadi&Yullianni,2006:57).

2.1.4     Patofisiologi
Virus dengue masuk ke dalam tubuh, penderita akan mengalami keluhan dan gejala karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal seluruh tubuh, hyperemia ditenggorokan, timbulnya ruam dan kelainan yang mungkin terjadi pada sistem retikuloendotelial seperti pembesaran kelenjar-kelenjar getah bening, hati dan limpa.

Peningkatan permeabilitas dinding kapiler mengakibatkan berkurangnya volume plasma, terjadinya hipotensi, hemokonsentrasi, hipoprofeinemia, efusi dan renjatan (Shock). Sebagai akibat dari pelepasan zat anafilatoxin, histamine dan serotonin serta aktivitas sistem kalikrein yang mengakibatkan ekstravasasi cairan intravaskuler ke ekstravaskuler.

Peningkatan permeabilitas dinding kapiler juga berakibat pembesaran kapiler yang kemudian bisa terjadi perdarahan berupa petekie, epitaksis, haemtemesis dan melena, yang dalam hal ini berisiko terjadinya shock hipovelmik.

Menurut Wijayaningsih (2013:235) berpendapat bahwa homokonsentrasi (peningkatan hematokrit > 20 %) menunjukan adanya kebocoran plasma, sehingga nilai hematokrit sangat penting untuk patokan pemberian cairan intavena.

Menurut Wijayaningsih (2013:235) setelah pemberian cairan intravena, peningkatan jumlah eritrosit menunjukkan kebocoran plasta telah teratasi segera, penyakit DHF diuraikan dalam skema penjelasan sebagai berikut.

2.1.5     Skema Patofisiologi





2.1.6     Manifestasi Klinis
2.1.6.1  Kriteria klinis deferensial.
a.    Suhu badan yang tiba-tiba tinggi.
b.    Demam yang berlangsung hanya beberapa hari.
c.    Kurva demam menyurupai pelana kuda.
d.   Nyeri tekan terutama pada otot dan persendian (Wijayaningsih, 2013:234).

2.1.6.2  Demam berdarah dengue berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal dibawah ini terpenuhi:
a.    Demam atau riwayat demam akut antara 2-7 hari, biasanya bersifat bifasik.
b.    Manifestasi perdarahan biasanya.
1)        Uji tourniquet positif.
2)        Petekie, ekimosis, atau purpura.
3)        Perdarahan mukosa (epitaksis, perdarahan gusi), saluran cerna, tempat bekas suntikan.
4)        Hematemesis atau melena.
c.    Trombositopenia < 100.00/ul.
d.   Kebocoran plasma dengan ditandai.
1)   Peningkatan nilai hematrokrit >20 % dari nilai baku secara umur dan jenis kelamin.
2)   Penurunan nilai hematokrit > 20 % setelah pemberian cairan yang adekuat.
e.    Tanda kebocoran plasma seperti : hipoproteinemi, asietas, efusi pleura (Nurarif & Kusuma, 2013:109).

2.1.7     Klasifikasi
Menurut (Nurarif & Kusuma, 2013:108) klasifikasi derajat DBD terbagi menjadi derajat 1, derajat 2, derajat 3, dan derajat 4, yaitu:
1.      Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manisfestasi  perdarahan adalah uji tornoquet positif.
2.      Derajat satu disertai perdarahan spontan dikulit atau perdarahan lain.
3.      Di temukannya tanda kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan         lembut, tekanan nadi menurun (<20 mmhg) atau hipotensi disertai kulit dingin, lembab, dan klien menjadi gelisah.
4.      Syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diukur.

2.1.8     Pemeriksaan Penunjang
Menurut Suriadi, (2008:59) adalah :
2.1.8.1    Darah lengkap: hemokonsentrasi (hematokrit meningkat 20 % atau lebih), trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang ).
2.1.8.2    Serologi : uji HI (hemoaglutination inhibition test).
2.1.8.3    Rontgen thoraks : effusi pleura.

2.1.9     Penatalaksanaan
2.1.9.1       Penatalaksanaan untuk kasus DHF adalah:
a.    Tirah baring: untuk beristirahat
b.    makanan lunak: untuk memenuhi nutrisi
c.    Minum 1,5 – 2 liter/24 jam: untuk memenuhi cairan yang hilang
d.   Pemberian medikamentosa yang bersifat simtomatis.
e.    Antibiotik diberikan apabila terdapat risiko infeksi sekunder.
f.     Pemberian cairan intravena (Wijayaningsih, 2013:240).

2.1.9.2       Penatalaksanaan untuk  kasus DHF adalah:
a.       DHF tanpa rejatan
Pada klien dengan demam tinggi, anoreksia dan sering muntah menyebabkan klien dehidrasi dan haus, beri klien minum 1,5 sampai 2 liter dalam 24 jam. Dapat diberikan teh manis, sirup, susu dan bila mau lebih baik diberikan oralit. Apabila hiperpireksia diberikan obat anti piretik dan kompres air biasa. Jika terjadi kejang, beri luminal atau anti konvulsan lainnya. Luminal diberikan dengan dosis anak umur kurang dari 1 tahun 50 mg/ IM, anak lebih dari 1 tahun 75 mg. Jika 15 menit kejang belum berhenti luminal diberikan lagi dengan dosis 3mg / kg BB. Anak diatas satu tahun diberikan 50 mg dan dibawah satu tahun diberikan 30 mg, dengan memperhatikan adanya depresi fungsi vital. Infus diberikan pada klien tanpa ranjatan apabila klien terus menerus muntah, tidak dapat diberikan minum sehingga mengancam terjadinya dehidrasi dan hematokrit yang cenderung meningkat.
b.      Klien yang mengalami rajatan(syok) harus segera dipasang infus sebagai pengganti cairan yang hilang akibat kebocoran plasma. Cairan yang diberikan biasanya Ringer Laktat. Jika pemberian cairan tersebut tidak ada respon maka dapat diberikan plasma atau plasma akspander, banyaknya 20 sampai 30 ml/kg BB.
Pada klien rajatan berat pemberian infus diguyur dengan cara membuka klem infus tetapi biasanya vena-vena telah kolaps sehingga kecepatan tetesan tidak mencapai yang diharapkan, maka untuk mengatasinya dimasukkan cairan secara paksa dengan spuit dimasukkan cairan sebanyak 200 ml, lalu diguyur.
Tindakan Medis yang bertujuan untuk pengobatan keadaan dehidrasi dapat timbul akibat demam tinggi, anoreksia, dan muntah. Jenis minuman yang diajurkan adalah jus buah, teh manis, sirup, susu, serta larutan oralit. Apabila cairan oralit tidak dapat dipertahankan maka cairan IV perlu diberikan. Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit, dianjurkan cairan dextrose 5% di dalam 1/3 larutan NaCl 0,9%. Bila terdapat asidosis dianjurkan pemberian NaCl 0,9 % +dextrose  ¾ bagian natrium bikarbonat.
Kebutuhan cairan diberikan 200 ml/kg BB, diberikan secepat mungkin dalam waktu 1-2 jam dan pada jam berikutnya harus sesuai dengan tanda vital, jadar hematokrit, dan jumlah volume urine. Untuk menurunkan suhu tubuh menjadi kurang dari 39°C perlu diberikan anti piretik seperti paracetamol dengan dosis 10-15 mg/kg BB/hari. Apabila klien tampak gelisah, dapat diberkan sedative untuk menenangkan klien seperti kloral hidrat yang diberikan peroral/ perektal dengan dosis 12,5-50 mg/kg BB (tidak melebihi 1 gram). Pemberian antibiotic yang berguna dalam mencegah infeksi seperti Kalmoxcilin, Ampisilin, sesuai dengan dosis yang ditemukan.
Terapi O2 2 liter /menit harus diberikan pada semua klien syok. Tranfusi darah dapat diberikan pada penderita yang mempunyai keadaan perdarahan nyata, dimaksudkan untuk menaikkan konsentrasi sel darah merah. Hal yang diperlukan yaitu memantau tanda-tanda vital yang harus dicatat selama 15 sampai 30 menit atau lebih sering dan disertai pencatatan jumlah dan frekuensi diuresis (Nursalam, 2008:159).

2.2      Tinjauan Teoretis Keperawatan Dengue Haemorrhagic fever (DHF)
2.2.1      Pengkajian
2.2.1.1      Kaji riwayat keperawatan
Kaji adanya peningkatan suhu tubuh, tanda-tanda perdarahan, mual muntah, tidak nafsu makan ,nyeri ulu hati, nyeri otot dan sendi, tanda tanda renjatan denyut nadi cepat dan lemah, hipotensi, kulit dingin dan lembab terutama pada ekstrimitas, sianosis, gelisah, penurunan kesadaran (Suriadi,2008:59).

2.2.1.2      Pengkajian fokus
a.         Riwayat kesehatan meliputi: penyakit sekarang, penyakit dahulu, penyakit keluarga.
b.         Tempat tinggal: menandakan layak atau tidaknya tempat tinggal.
c.         Kondisi lingkungan: menandakan bersih atau tidaknya sebuah lingkungan.
d.        Adakah riwayat bepergian dari kota (wilayah endemic.)
e.         Riwayat pekerjaan.
f.          Faktor pencetus dan lamanya keluhan.
g.         Tanda tanda vital: menandakan keadaan umum.
h.         Pola nutrisi: menandakan baik atau tidaknya nutrisi yang dikonsumsi
i.           Pola aktivitas: menandakan rentang gerak aktivitasnya
(Wijayaningsih, 2013:235).







2.2.2      Diagnosa Keperawatan (Nanda NIC-NOC, 2013).
2.2.2.1      Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d kebocoran plasma darah.
2.2.2.2      Nyeri akut.
2.2.2.3      Hipertermi b.d proses infeksi virus dengue.
2.2.2.4      Kekurangan volume cairan b.d pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler.
2.2.2.5      Resiko syok (hipovolemik) b.d perdarahan yang berlebihan, pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler.
2.2.2.6      Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake nutrisi yang tidak adekuat akibat mual dan nafsu makan yang menurun.
2.2.2.7      Resiko perdarahan b.d penurunan faktor-faktor pembekuan darah (trombositopeni).
2.2.2.8      Ketidakefektifan pola nafas b.d jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot pernafasan, nyeri, hivopentilasi (Nurarif & Kusuma, 2013:110).

2.2.3      Intervensi
2.2.3.1      Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d kebocoran plasma darah.
Intervensi:
a.         Monitor adanya daerah tertentu yang hanya peka terhadap panas/dingin/tajam/tumpul.
b.         Monitor kemampuan BAB.
c.         Batasi gerakan kepala, leher dan punggung
d.        Diskusikan mengenai perubahan sensasi.
Rasional:
a.         Untuk mengetahui tanda-tanda perdarahan.
b.         Untuk mengetahui kemampuan mengedan klien meminimalisir adanya perdarahan.
c.         Untuk memperkecil resiko perdarahan.
d.        Untuk mengetahui keadaan  umum klien (Nurarif & Kusuma, 2013: 301).

2.2.3.2      Nyeri akut.
Intervensi:
a.         Kaji tingkat nyeri dengan rentang nyeri skala 1-10.
b.         Beri posisi dan suasana yang nyaman.
c.         Kaji bersama klien nyeri yang dialami.
d.        Ajarkan pada klien metode distraksi selama nyeri.
e.         Ajarkan tindakan penurunan nyeri invasiv.
f.          Kaloborasi pemberian obat analgetik.
Rasional:
a.         Mengetahui tingkat nyeri yang dialami klien sesuai dengan respon individu terhadap nyeri.
b.         Lingkungan yang nyaman akan membantu proses relaksasi.
c.         Membantu klien dalam memilih cara yang nyaman untuk mengurangi nyeri.
d.        Relaksasi akan mengalihkan perhatian selama nyeri.
e.         Mengurangi nyeri tanpa beban/rasa yang menyakitkan.
f.          Menurunkan nyeri secara optimal (Wijayaningsih, 2013:237).




2.2.3.3      Hipertermi b.d proses infeksi virus dengue.
Intervensi:
a.         Kaji saat timbulnya demam.
b.         Observasi tanda vital (suhu, nadi, tensi, pernafasan) setiap 3 jam.
c.         Anjurkan klien untuk banyak minum (2,5 liter/24 jam).
d.        Berikan kompres hangat.
e.         Anjurkan untuk memakai pakaian yang dapat menyerap keringat.
f.          Kaloborasi untuk pemberian obat antipiretik.
Rasional:
a.       Untuk mengidentifikasi pola demam klien.
b.      Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum klien.
c.       Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan tubuh meningkat sehingga perlu diimbangi dengan asupan cairan yang banyak.
d.      Menghambat pusat simpisis di hipotalamus sehingga terjadi vasodilatasi kulit dengan merangsang kelenjar keringat untuk mengurangi panas tubuh melalui penguapan.
e.       Kondisi kulit yang  lembab memicu timbulnya pertumbuhan jamur serta mencegah timbulnya ruam kulit dan membantu proses penguapan.
f.       Untuk mengurangi demam dengan aksi sentral dii hipotalamus (Wijayaningsih, 2013:236).



2.2.3.4      Kekurangan volume cairan b.d pindah nya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler.
Intervensi :
a.       Pantau  keadaan umum/tanda-tanda vital.
b.      Kaji adanya tanda-tanda syok.
c.       Anjurkan klien banyak minum.
d.      Observasi intake dan output.
e.       Kalaborasi pemberian cairan intravena.
Rasional:
a.       Hipovolemia dapat dimanisfestasikan oleh hipotensi dan  takikardi.
b.      Pernapasan yang berbau aseton berhubungan dengan pemecahan asam aseto-asetat dan harus berkurang bila ketosis harus terkoreksi, demam dengan kulit kemerahan, kering menunjukkan dehidrasi.
c.       Asupan cairan sangat diperlukan untuk menambah volume cairan tubuh.
d.      Untuk mengetahui keseimbangan cairan.
e.       Mempercepat proses penyembuhan untuk memenuhi kebutuhan cairan.
f.       Memberi perkiraan akan cairan pengganti, fungsi ginjal, dan program pengobatan (Nurarif & Kusuma, 2013: 283).

2.2.3.5      Resiko syok (hipovolemik) b.d perdarahan yang berlebihan, pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler.
Intervensi :
a.         Monitor keadaan umum klien.
b.         Obsevasi tanda-tanda vital tiap 2-3 jam.
c.         Jelaskan pada klien dan keluarga tentang tanda tanda perdarahan yang terjadi.
d.        Cek hb ,HT, AT setiap 6 jam.
e.         Kaloborasi pemberian transfusi.
f.          Kaloborasi pemberian obat hemostatikum.
Rasional:
a.         Untuk memantau kondisi klien selama masa perawatan.
b.         Mengantisivasi adanya syok.
c.         Perdarahan yang cepat diketahui dapat segera ditangani dan di cegah.
d.        Dengan memberi penjelasan kepada klien/keluarga diharapkan tanda-tanda syok atau perdarahan dapat segera diketahui.
e.         Untuk mengetahui tingkat kebocoran pembuluh darah.
f.          Untuk mengganti darah  (volume darah) serta komponen darah yang hilang.
g.         Untuk membantu menghentika perdarahan (Wijayaningsih, 2013:239).

2.2.3.6      Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake nutrisi yang tidak adekuat akibat mual dan nafsu makan yang menurun.
Intervensi:
a.         Kaji kebiasaan diet klien.
b.         Timbang berat badan setiap 2 hari sekali  atau sesuai indikasi.
c.         Beri makanan yang mudah dicerna.
d.        Hidangkan makanan sedikit tapi sering.
e.         Ajarkan klien dan Libatkan keluarga klien pada perencanaan makan sesuai indikasi.
f.          Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat anti mual.
Rasional:
a.         Mengetahui kebutuhan yang diperlukan oleh klien.
b.         Jika makanan yang disukai kien dapat dimasukkan dalam pencernaan makan, kerjasama ini dapat diupayakan setelah pulang.
c.         Mengurangi kelelahan saat makan.
d.        Adanya hepatomegali dapat menekan saluran gastrointestinal.
e.         Meningkatkan rasa keterlibatannya memberikan informasi kepada keluarga untuk memahami nutrisi klien.
f.          Pemberian obat antimual dapat mengurangi rasa mual  sehingga kebutuhan nutrisi klien tercukupi (Wijayaningsih, 2013:238).

2.2.3.7      Resiko perdarahan b.d penurunan faktor-faktor pembekuan darah (trombositopeni).
Intervensi:
a.         Monitor tanda penurunan trombosit yang disertai gejala klinis.
b.         Anjurkan klien untuk banyak istirahat.
c.         Beri penjelasan untuk segera melapor bila ada tanda perdarahan lebih lanjut.
d.        Jelaskan obat yang diberikan dan manfaatnya.
Rasional:
a.         Penurunan trombosit merupakan tanda kebocoran pembuluh darah.
b.         Aktivitas klien yang tidak terkontrol dapat menyebabkan perdarahan.
c.         Membantu klien mendapatkan penanganan sedinii mungkin.
d.        Memotivasi klien untuk mau minum obat sesuai dosis yang diberikan (Nurarif & Kusuma, 2013: 345).

2.2.3.8      Ketidakefektifan pola nafas b.d jalan nafas terganggu aibat spasme oto-otot pernafasan, nyeri, hivopentilasi.
Intervensi:
a.     Posisikan klien senyaman mungkin.
b.     Monitor respirasi dan status O2.
c.     Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea.
d.    Pertahankan jalan nafas yang paten.
e.     Monitor  vital sign.
f.      Informasikan pada klien dan keluarga tentang tehnik relaksasi untuk memperbaiki pola nafas.
Rasional:
a.         Untuk memberikan kenyamann kepada klien.
b.         Untuk mengetahui perubahan secara signifikan.
c.         Untuk memudahkan jalan nafas klien.
d.        Mencegah resiko apnu.
e.         Mengatahui keadaan umumklien.

f.          Agar pernafasan teratur (Nurarif & Kusuma, 2013:303).


DAFTAR RUJUKAN
Hidayat, A. A. A. (2011). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika.
Manson, P. (2009). Tropical Disease. London: Sauders Elsevier.
Nurarif, A. H. dan Kusuma. H. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis Medis & NANDA NIC – NOC. Edisi Revisi.     Jilid 1. Yogyakarta: Mediaction.
Nursalam. et. all. (2006). Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (untuk perawat dan bidan). Edisi Pertama. Jakarta: Salemba Medika.
Priharjo, R. (2006). Pemeriksaan Fisik Keperawatan. Jakarta: EGC.
Soedarto (2012). Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Sagung Seto.
Suriadi dan Yuliabi .R. (2008). Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Swadaya.
Swasanti .N. dan Putra S.W. (2013). Pertolongan Pertama Pada Anak Sakit. Yogyakarta: Katahati.
Syaifuddin (2011). Anatomi Fisiologi. Kurikulum Berbasis Kompetensi untuk Keperawatan & Kebidanan. Edisi Keempat Jakarta: EGC.
Wijayaningsih, K. S. (2013). Standar Asuhan Keperawatan. Jakarta: Trans Info Media.
(http://nlm.nih.gov/medlineplus. Diakses tanggal 26  April 2016. Pukul 21.30 WITA).
(http://eprints.ums.ac.id/24160/2/BAB_I.pdf. Diakses tanggal 9 Juli 2016. Pukul 23.30 WITA).
(Rekam medic RSUD Ansari Saleh Banjarmasin, 2015).
(Data Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan, 2013-2015).
(http://www.depkes.go.id (Diakses tanggal 15 April 2016 Pukul 21.35 WITA).

No comments:

Post a Comment