BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demam dengue/DHF dan demam berdarah
dengue/DBD (dengue haemorrhagic fever/dhf adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai
leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan ditesis hemoragik. Pada
DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi (peningkatan
hemotokrit) atau penumpukan cairan dirongga tubuh. Sindrom renjatan dengue
(dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh
renjatan /syok ( Nurarif & Kusuma, 2013 : 108).
Penyebaran
virus dengue yang semakin luas, Asia menempati urutan pertama dalam jumlah
penderita demam berdarah di tiap tahunnya. Sementara itu terhitung sejak tahun
1995 hingga tahun 2013, World Health Organization (WHO) mencatat negara
Indonesia sebagai negara dengan kasus demam berdarah dengue tertinggi di Asia
Tenggara (Andarmoyo, 2013). Di Indonesia pada tahun 2013 dengan jumlah
penderita DHF sebanyak 112.511 orang dan 2 jumlah kasus meninggal sebanyak 871
penderita, dan di tahun 2014 sebanyak 71.668 orang dan 641 diantaranya
meninggal dunia (Departemen Kesehatan, 2015).
Pada
tahun 2014, sampai pertengahan bulan Desember tercatat penderita DBD di 34
provinsi di Indonesia sebanyak 71.668 orang dan 641 diantaranya meninggal
dunia. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, yakni tahun
2013 dengan jumlah penderita sebanyak 112.511 orang dan jumlah kasus meninggal
sebanyak 871 penderita (Departemen Kesehatan, 2015).
Kementerian Kesehatan RI mencatat
jumlah penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia pada bulan
Januari-Februari 2016 sebanyak 13.219 orang penderita DBD dengan jumlah
kematian 137 orang. Proporsi penderita terbanyak yang mengalami DBD di
Indonesia ada pada golongan anak-anak usia 5-14 tahun, mencapai 42,72% dan yang
kedua pada rentang usia 15-44 tahun, mencapai 34,49% (Departemen Kesehatan, 2016).
Menurut data yang didapat dari Dinas Kesehatan Kalsel sepanjang tahun 2013 jumlah klien penderita DBD di Kalimantan Selatan yaitu sebanyak 1080 orang, dimana yang meninggal 11 orang. Pada tahun 2014 jumlah klien penderita DBD di Kalimantan Selatan
sebanyak 767, Pada tahun 2015 jumlah klien penderita DBD di Kalimantan Selatan
sebanyak 3668 dimana yang meninggal sebanyak 40 orang,
Pada
tahun 2016 jumlah klien
penderita DBD di Kalimantan Selatan dari bulan Januari hingga
bulan April
jumlah kasus penderita DBD telah mencapai 3628 kasus dan yang meninggal 23
orang (Dinkes
Provinsi Kalimantan Selatan, 2016).
BAB 2
TINJAUAN
TEORETIS
2.1 Tinjauan Teoretis Dengue
Haemorrhagic Fever (DHF)
2.1.1 Anatomi
Fisiologis Sistem Hematologik
Gambar 2.1 Anatomi
Fisiologis Sistem Hematologik
Sumber: Syaifuddin,(2011:293).
Darah adalah suatu jaringan tubuh
yang terdapat didalam pembuluh darah yang warnanya merah. Warna merah itu
keadaannya tidak tetap bergantung darah yang banyaknya oksigen dan karbon dioksida
didalamnya. Darah yang banyak mengandung karbon dioksida warnanya merah tua.
Adanya oksigen dalam darah diambil dengan jalan bernapas, dan zat ini sangat
berguna pada peristiwa pembakaran atau metabolisme di dalam tubuh.
Viskositas/kekentalan darah lebih kental dari pada
air yang mempunyai BJ 1,041-1,067, temperatur 38 ÂșC
dan pH 7,37-7,45. Darah
selamanya beredar didalam tubuh oleh karena adanya kerja atau pompa jantung.
Selama darah berada didalam pembuluh
darah.
Akan tetap encer, tetapi kalau ia keluar dari pembuluh darah maka ia akan
menjadi beku. Pembekuan ini dapat dicegah dengan jalan mencampurkan ke dalam
darah tersebut sedikit demi sedikit obat anti pembekuan/sitras natrikus, dan
keadaan ini sangat berguna apabila darah tersebut diperlukan untuk transfusi
darah.
Pada tubuh yang sehat atau orang
dewasa terdapart darah sebanyak kira-kira 1/13 dari berat badan atau kira-kira
4-5 liter. Keadaan jumlah tersebut pada tiap-tiap orang tidak sama, bergantung
pada umur, pekerjaan, keadaan jantung dan pembuluh darah.
Jika darah dilihat begitu saja maka
ia merupakan zat cair yang warnanya merah, tetapi apabila dilihat dibawah
mikroskop maka nyatalah bahwa dalam darah terdapat benda-benda kecil bundar
yang disebut sel-sel darah. Sedangkan cairan berwarna kekuningan disebut plasma (Syaifuddin,2006:68).
Menurut
Syaifuddin
(2006:68) menerangankan bahwa
darah terdiri dari dua bagian yaitu :
2.1.1.1 Sel-sel darah
a.
Eritrosit (Sel darah merah)
Bentuk sel darah merah seperti cakram/bikonkef, tidak mempunyai inti, ukurannya
0,007mm3, tidak bergerak, banyaknya kira-kira 4,5-5 juta mm3,
warnanya kuning kemerah- merahan, sifatnya kental sehingga dapat berubah bentuk
sesuai dengan pembuluh darah yang dilalui (Syaifuddin, 2011:293).
b.
Leukosit (Sel darah putih)
Bentuk dan sifat sel darah putih berbeda dengan eritrosit. Bentuk nya
bening, tidak berwarna, lebih besar dari eritrosit inti sel, banyak antara
6000-9000/mm3 (Syaifuddin, 2011:301).
c.
Trombosit (sel pembeku darah)
Pembekuan darah merupakan benda-benda kecil yang bentuk dan ukurannya
bermacam-macam, ada yang bulat dan ada yang lonjong, warnanya putih. Trombosit
bukan berupa sel melainkan berbentuk keping-kepingan yang merupakan
bagian-bagian dari sel besar (Syaifuddin, 2011:304).
2.1.2 Pengertian
Dengue Haemorrhagic Fever (DHF)
Demam berdarah dengue adalah suatu
penyakit yang disebabkan oleh virus dengue
(arbovirus)
yang masuk kedalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypti (Suriadi, 2008:57).
DHF merupakan penyakit yang
disebabkan oleh virus dengue yang termasuk golongan arbovirus melalui gigitan
nyamuk aedes aegypti betina. (Alimul,
2011:119).
Demam berdarah dengue atau
haemorragic fever adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus
dengue (albovirus) dan ditukarkan oleh
nyamuk aedes, yaitu aedes aegypti dan aedes albopictus (Wijayaningsih, 2013:233).
DHF (dengue haemorrhagic fever)
adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi
klinis demam, nyeri
otot dan atau nyeri sendi yang disertai
leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan ditesis hemoragik. Pada
DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi (peningkatan
hemotokrit) atau penumpukan cairan dirongga tubuh. Sindrom renjatan dengue
(dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh
renjatan /syok (Nurarif& Kusuma, 2013:108).
DHF is a severe from of dengue infection that is
accompanied by haemorrhagic diathesis and a tendency to develop fatal shock as
consequence of plasma leakage selectively into pleural and peritoneal cavities (Manson, 2009:757).
Dengue haemorrhagic fever is a severe, potentially
deadly infection spread by some mosquitos. The mosquito Aedes aegypti is the
main species that spreads this disease. With early and aggressive care, most
people recover from dengue haemorrhagic fever. However, half of untreated
patients who go into shock do not survive (Medlineplus, 2015).
Dari
beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa demam berdarah dengue
adalah suatu infeksi virus pada individu atau seseorang yang disebabkan oleh
virus arbovirus dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan menimbulkan demam
tinggi pada individu yang terinfeksi.
2.1.3 Etiologi
Virus dengue sejenenis arbovirus,
termasuk genus flavivirus, keluarga flaviridae. Terdapat 4 serotipe virus yaitu
DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Keempatnya ditemukan diIndonesia dengan DEN-3 serotype terbanyak.
Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang
bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat
kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap
serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal didaerah endemis dengue dapat
terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus
dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia (Suriadi&Yullianni,2006:57).
Virus
dengue masuk ke dalam tubuh, penderita akan mengalami keluhan dan gejala karena
viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal seluruh tubuh,
hyperemia ditenggorokan, timbulnya ruam dan kelainan yang mungkin terjadi pada
sistem retikuloendotelial
seperti pembesaran kelenjar-kelenjar getah bening, hati dan limpa.
Peningkatan permeabilitas dinding kapiler
mengakibatkan berkurangnya volume plasma, terjadinya hipotensi,
hemokonsentrasi, hipoprofeinemia, efusi dan renjatan (Shock). Sebagai akibat
dari pelepasan zat anafilatoxin, histamine dan serotonin serta aktivitas sistem
kalikrein yang mengakibatkan ekstravasasi cairan intravaskuler ke
ekstravaskuler.
Peningkatan permeabilitas dinding
kapiler juga berakibat pembesaran kapiler yang kemudian bisa terjadi perdarahan
berupa petekie, epitaksis, haemtemesis dan melena, yang dalam hal ini berisiko
terjadinya shock hipovelmik.
Menurut
Wijayaningsih
(2013:235) berpendapat
bahwa homokonsentrasi
(peningkatan hematokrit > 20 %) menunjukan adanya
kebocoran plasma, sehingga nilai hematokrit sangat penting untuk patokan
pemberian cairan intavena.
Menurut
Wijayaningsih (2013:235) setelah pemberian cairan intravena,
peningkatan jumlah eritrosit menunjukkan kebocoran plasta telah teratasi segera,
penyakit DHF diuraikan dalam skema penjelasan sebagai berikut.
2.1.5 Skema
Patofisiologi
2.1.6 Manifestasi
Klinis
2.1.6.1 Kriteria
klinis deferensial.
a. Suhu
badan yang tiba-tiba tinggi.
b. Demam
yang berlangsung hanya beberapa hari.
c. Kurva
demam menyurupai pelana kuda.
d. Nyeri
tekan terutama pada otot dan persendian (Wijayaningsih, 2013:234).
2.1.6.2 Demam berdarah dengue berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila
semua hal dibawah ini terpenuhi:
a. Demam
atau riwayat demam akut antara 2-7 hari,
biasanya bersifat bifasik.
b. Manifestasi
perdarahan biasanya.
1)
Uji tourniquet positif.
2)
Petekie, ekimosis,
atau purpura.
3)
Perdarahan mukosa (epitaksis, perdarahan
gusi), saluran cerna, tempat bekas suntikan.
4)
Hematemesis atau melena.
c. Trombositopenia
< 100.00/ul.
d. Kebocoran
plasma dengan ditandai.
1) Peningkatan
nilai hematrokrit >20 % dari nilai baku secara umur dan jenis kelamin.
2) Penurunan
nilai hematokrit > 20 % setelah pemberian cairan yang adekuat.
e. Tanda
kebocoran plasma seperti : hipoproteinemi, asietas, efusi pleura (Nurarif & Kusuma, 2013:109).
2.1.7 Klasifikasi
Menurut (Nurarif
& Kusuma, 2013:108) klasifikasi derajat DBD terbagi menjadi derajat 1, derajat
2, derajat 3, dan derajat 4, yaitu:
1.
Demam
disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manisfestasi perdarahan adalah uji tornoquet positif.
2. Derajat satu
disertai
perdarahan spontan dikulit atau perdarahan lain.
3. Di temukannya
tanda kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lembut,
tekanan nadi menurun (<20 mmhg) atau hipotensi disertai kulit dingin,
lembab, dan klien menjadi
gelisah.
4. Syok berat, nadi
tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diukur.
2.1.8 Pemeriksaan
Penunjang
Menurut
Suriadi, (2008:59) adalah :
2.1.8.1 Darah
lengkap: hemokonsentrasi (hematokrit
meningkat 20 % atau lebih), trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang ).
2.1.8.2 Serologi
: uji HI (hemoaglutination inhibition test).
2.1.8.3 Rontgen
thoraks : effusi pleura.
2.1.9 Penatalaksanaan
2.1.9.1 Penatalaksanaan untuk kasus DHF adalah:
a. Tirah
baring: untuk beristirahat
b. makanan
lunak: untuk memenuhi nutrisi
c. Minum
1,5 – 2 liter/24 jam: untuk memenuhi cairan yang hilang
d. Pemberian
medikamentosa yang bersifat simtomatis.
e. Antibiotik
diberikan apabila terdapat risiko infeksi sekunder.
f. Pemberian
cairan intravena (Wijayaningsih, 2013:240).
2.1.9.2 Penatalaksanaan untuk
kasus DHF adalah:
a. DHF
tanpa rejatan
Pada klien dengan demam tinggi, anoreksia dan
sering muntah menyebabkan klien
dehidrasi dan haus, beri klien minum 1,5 sampai 2 liter dalam 24 jam. Dapat
diberikan teh manis, sirup, susu dan bila mau lebih baik diberikan oralit.
Apabila hiperpireksia diberikan obat anti piretik dan kompres air biasa. Jika terjadi kejang, beri luminal
atau anti konvulsan lainnya. Luminal diberikan dengan dosis anak umur kurang
dari 1 tahun 50 mg/ IM, anak
lebih dari 1 tahun 75 mg. Jika 15 menit kejang belum berhenti luminal diberikan
lagi dengan dosis 3mg / kg BB. Anak diatas satu tahun diberikan 50 mg dan
dibawah satu tahun diberikan 30 mg, dengan memperhatikan adanya depresi fungsi
vital. Infus diberikan pada klien
tanpa ranjatan apabila klien
terus menerus muntah, tidak dapat diberikan minum sehingga mengancam terjadinya
dehidrasi dan hematokrit
yang cenderung meningkat.
b. Klien yang mengalami rajatan(syok) harus
segera dipasang infus sebagai
pengganti cairan yang hilang akibat kebocoran plasma. Cairan yang diberikan
biasanya Ringer Laktat. Jika pemberian cairan tersebut tidak ada respon maka
dapat diberikan plasma atau plasma akspander, banyaknya 20 sampai 30 ml/kg BB.
Pada klien rajatan berat pemberian infus
diguyur dengan cara membuka klem infus tetapi biasanya vena-vena telah kolaps
sehingga kecepatan tetesan tidak mencapai yang diharapkan, maka untuk
mengatasinya dimasukkan cairan secara paksa dengan spuit dimasukkan cairan
sebanyak 200 ml, lalu diguyur.
Tindakan Medis
yang bertujuan untuk pengobatan
keadaan
dehidrasi dapat timbul akibat demam tinggi, anoreksia, dan muntah. Jenis
minuman yang diajurkan adalah jus buah, teh manis, sirup, susu, serta larutan
oralit. Apabila cairan oralit tidak dapat dipertahankan maka cairan IV perlu
diberikan. Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan
kehilangan elektrolit, dianjurkan cairan dextrose 5% di dalam 1/3 larutan NaCl
0,9%. Bila terdapat asidosis dianjurkan pemberian NaCl 0,9 % +dextrose ¾ bagian natrium bikarbonat.
Kebutuhan cairan
diberikan 200 ml/kg BB, diberikan secepat mungkin dalam waktu 1-2 jam dan pada
jam berikutnya harus sesuai dengan tanda vital, jadar hematokrit, dan jumlah volume urine. Untuk
menurunkan suhu tubuh menjadi kurang dari 39°C perlu diberikan anti piretik
seperti paracetamol dengan dosis 10-15 mg/kg BB/hari. Apabila klien tampak gelisah, dapat diberkan
sedative untuk menenangkan klien
seperti kloral hidrat yang diberikan peroral/ perektal dengan dosis 12,5-50 mg/kg
BB (tidak melebihi 1 gram). Pemberian antibiotic yang berguna dalam mencegah
infeksi seperti Kalmoxcilin, Ampisilin, sesuai dengan dosis yang ditemukan.
Terapi O2 2
liter /menit harus diberikan pada semua klien syok. Tranfusi darah dapat
diberikan pada penderita yang mempunyai keadaan perdarahan nyata, dimaksudkan
untuk menaikkan konsentrasi sel darah merah.
Hal
yang diperlukan yaitu memantau tanda-tanda vital yang harus dicatat selama 15
sampai 30 menit atau lebih sering dan disertai pencatatan jumlah dan frekuensi
diuresis (Nursalam, 2008:159).
2.2
Tinjauan
Teoretis Keperawatan Dengue Haemorrhagic fever (DHF)
2.2.1 Pengkajian
2.2.1.1 Kaji
riwayat keperawatan
Kaji adanya peningkatan suhu tubuh,
tanda-tanda perdarahan, mual muntah, tidak nafsu makan ,nyeri ulu hati, nyeri
otot dan sendi, tanda tanda renjatan denyut nadi cepat dan lemah, hipotensi,
kulit dingin dan lembab terutama pada ekstrimitas, sianosis, gelisah, penurunan
kesadaran (Suriadi,2008:59).
2.2.1.2 Pengkajian
fokus
a.
Riwayat kesehatan meliputi: penyakit
sekarang, penyakit dahulu, penyakit keluarga.
b.
Tempat tinggal: menandakan layak atau
tidaknya tempat tinggal.
c.
Kondisi lingkungan: menandakan bersih
atau tidaknya sebuah lingkungan.
d.
Adakah riwayat bepergian dari kota
(wilayah endemic.)
e.
Riwayat pekerjaan.
f.
Faktor pencetus dan lamanya keluhan.
g.
Tanda tanda vital: menandakan keadaan
umum.
h.
Pola nutrisi: menandakan baik atau
tidaknya nutrisi yang dikonsumsi
i.
Pola aktivitas: menandakan rentang gerak
aktivitasnya
(Wijayaningsih,
2013:235).
2.2.2 Diagnosa
Keperawatan
(Nanda NIC-NOC, 2013).
2.2.2.1 Ketidakefektifan
perfusi jaringan perifer b.d kebocoran plasma darah.
2.2.2.2 Nyeri
akut.
2.2.2.3 Hipertermi
b.d proses infeksi virus dengue.
2.2.2.4 Kekurangan
volume cairan b.d pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler.
2.2.2.5 Resiko
syok (hipovolemik) b.d perdarahan yang berlebihan, pindahnya cairan
intravaskuler ke ekstravaskuler.
2.2.2.6 Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake nutrisi yang tidak
adekuat
akibat mual dan nafsu makan yang menurun.
2.2.2.7 Resiko
perdarahan b.d penurunan faktor-faktor pembekuan darah (trombositopeni).
2.2.2.8 Ketidakefektifan
pola nafas b.d jalan nafas terganggu akibat
spasme otot-otot pernafasan, nyeri,
hivopentilasi (Nurarif
& Kusuma, 2013:110).
2.2.3 Intervensi
2.2.3.1 Ketidakefektifan
perfusi jaringan perifer b.d kebocoran plasma darah.
Intervensi:
a.
Monitor adanya daerah tertentu yang
hanya peka terhadap panas/dingin/tajam/tumpul.
b.
Monitor kemampuan BAB.
c.
Batasi gerakan kepala, leher dan punggung
d.
Diskusikan mengenai perubahan sensasi.
Rasional:
a.
Untuk
mengetahui tanda-tanda perdarahan.
b.
Untuk
mengetahui kemampuan mengedan klien meminimalisir adanya perdarahan.
c.
Untuk
memperkecil resiko perdarahan.
d.
Untuk
mengetahui keadaan umum klien (Nurarif & Kusuma, 2013: 301).
2.2.3.2 Nyeri
akut.
Intervensi:
a.
Kaji tingkat nyeri dengan rentang nyeri
skala 1-10.
b.
Beri posisi dan suasana yang nyaman.
c.
Kaji bersama klien nyeri yang dialami.
d.
Ajarkan pada klien metode distraksi
selama nyeri.
e.
Ajarkan tindakan penurunan nyeri invasiv.
f.
Kaloborasi pemberian obat analgetik.
Rasional:
a.
Mengetahui tingkat nyeri yang dialami
klien sesuai dengan respon individu terhadap nyeri.
b.
Lingkungan yang nyaman akan membantu
proses relaksasi.
c.
Membantu klien dalam memilih cara yang nyaman
untuk mengurangi nyeri.
d.
Relaksasi akan mengalihkan perhatian
selama nyeri.
e.
Mengurangi nyeri tanpa beban/rasa yang
menyakitkan.
f.
Menurunkan nyeri secara optimal (Wijayaningsih, 2013:237).
2.2.3.3 Hipertermi
b.d proses infeksi virus dengue.
Intervensi:
a.
Kaji saat timbulnya demam.
b.
Observasi tanda vital (suhu, nadi,
tensi, pernafasan) setiap 3 jam.
c.
Anjurkan klien untuk banyak minum (2,5 liter/24
jam).
d.
Berikan kompres hangat.
e.
Anjurkan untuk memakai pakaian yang
dapat menyerap keringat.
f.
Kaloborasi untuk pemberian obat antipiretik.
Rasional:
a. Untuk mengidentifikasi pola demam klien.
b. Tanda vital merupakan acuan untuk
mengetahui keadaan umum klien.
c. Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan
penguapan tubuh meningkat sehingga perlu diimbangi dengan asupan cairan yang
banyak.
d. Menghambat pusat simpisis di hipotalamus
sehingga terjadi vasodilatasi kulit dengan merangsang kelenjar keringat untuk
mengurangi panas tubuh melalui penguapan.
e. Kondisi
kulit yang lembab memicu timbulnya
pertumbuhan jamur serta mencegah timbulnya ruam kulit dan membantu proses
penguapan.
f. Untuk mengurangi demam dengan aksi
sentral dii
hipotalamus (Wijayaningsih,
2013:236).
2.2.3.4 Kekurangan
volume cairan b.d pindah nya
cairan intravaskuler ke ekstravaskuler.
Intervensi :
a. Pantau keadaan umum/tanda-tanda vital.
b. Kaji
adanya tanda-tanda syok.
c. Anjurkan
klien banyak minum.
d. Observasi
intake
dan output.
e. Kalaborasi
pemberian cairan intravena.
Rasional:
a. Hipovolemia dapat dimanisfestasikan
oleh hipotensi dan takikardi.
b. Pernapasan yang berbau aseton
berhubungan dengan pemecahan asam aseto-asetat dan harus berkurang bila ketosis
harus terkoreksi, demam
dengan kulit kemerahan, kering menunjukkan dehidrasi.
c. Asupan
cairan sangat diperlukan untuk menambah volume cairan tubuh.
d. Untuk
mengetahui keseimbangan cairan.
e. Mempercepat proses penyembuhan untuk
memenuhi kebutuhan cairan.
f. Memberi perkiraan akan cairan
pengganti, fungsi ginjal, dan program pengobatan (Nurarif & Kusuma, 2013:
283).
2.2.3.5 Resiko
syok (hipovolemik) b.d perdarahan yang berlebihan, pindahnya cairan
intravaskuler ke ekstravaskuler.
Intervensi :
a.
Monitor keadaan umum klien.
b.
Obsevasi tanda-tanda vital tiap 2-3 jam.
c.
Jelaskan pada klien dan keluarga tentang
tanda tanda perdarahan yang terjadi.
d.
Cek hb ,HT, AT setiap 6 jam.
e.
Kaloborasi pemberian transfusi.
f.
Kaloborasi pemberian obat hemostatikum.
Rasional:
a.
Untuk memantau kondisi klien selama masa
perawatan.
b.
Mengantisivasi adanya syok.
c.
Perdarahan yang cepat diketahui dapat segera
ditangani dan di cegah.
d.
Dengan memberi penjelasan kepada klien/keluarga
diharapkan tanda-tanda syok atau perdarahan dapat segera diketahui.
e.
Untuk mengetahui tingkat kebocoran
pembuluh darah.
f.
Untuk mengganti darah (volume darah) serta komponen darah yang
hilang.
g.
Untuk membantu menghentika perdarahan (Wijayaningsih, 2013:239).
2.2.3.6 Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake nutrisi yang tidak adekuat
akibat mual dan nafsu makan yang menurun.
Intervensi:
a.
Kaji kebiasaan diet klien.
b.
Timbang berat badan setiap 2 hari sekali
atau sesuai indikasi.
c.
Beri makanan yang mudah dicerna.
d.
Hidangkan makanan sedikit tapi sering.
e.
Ajarkan klien dan Libatkan keluarga klien pada perencanaan makan sesuai
indikasi.
f.
Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian
obat anti mual.
Rasional:
a.
Mengetahui kebutuhan yang diperlukan
oleh klien.
b.
Jika makanan yang disukai kien dapat dimasukkan dalam pencernaan
makan, kerjasama ini dapat diupayakan setelah pulang.
c.
Mengurangi kelelahan saat makan.
d.
Adanya hepatomegali dapat menekan saluran gastrointestinal.
e.
Meningkatkan rasa keterlibatannya memberikan informasi kepada keluarga
untuk memahami nutrisi klien.
f.
Pemberian obat antimual dapat mengurangi
rasa mual sehingga kebutuhan nutrisi klien tercukupi (Wijayaningsih, 2013:238).
2.2.3.7 Resiko
perdarahan b.d penurunan faktor-faktor pembekuan darah (trombositopeni).
Intervensi:
a.
Monitor tanda penurunan trombosit yang
disertai gejala klinis.
b.
Anjurkan klien untuk banyak istirahat.
c.
Beri penjelasan untuk segera melapor
bila ada tanda perdarahan lebih lanjut.
d.
Jelaskan obat yang diberikan dan
manfaatnya.
Rasional:
a.
Penurunan trombosit merupakan tanda
kebocoran pembuluh darah.
b.
Aktivitas klien yang tidak terkontrol dapat
menyebabkan perdarahan.
c.
Membantu klien mendapatkan penanganan sedinii mungkin.
d.
Memotivasi klien untuk mau minum obat sesuai dosis
yang diberikan (Nurarif
& Kusuma, 2013: 345).
2.2.3.8 Ketidakefektifan
pola nafas b.d jalan nafas terganggu aibat spasme oto-otot pernafasan, nyeri,
hivopentilasi.
Intervensi:
a. Posisikan
klien
senyaman
mungkin.
b. Monitor
respirasi dan status O2.
c. Bersihkan
mulut, hidung dan secret trakea.
d. Pertahankan
jalan nafas yang paten.
e. Monitor vital sign.
f. Informasikan
pada klien
dan keluarga tentang tehnik relaksasi untuk memperbaiki pola nafas.
Rasional:
a.
Untuk memberikan kenyamann kepada klien.
b.
Untuk mengetahui perubahan secara
signifikan.
c.
Untuk memudahkan jalan nafas klien.
d.
Mencegah resiko apnu.
e.
Mengatahui keadaan umumklien.
f.
Agar pernafasan teratur (Nurarif & Kusuma, 2013:303).
DAFTAR
RUJUKAN
Hidayat, A. A. A. (2011). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta:
Salemba Medika.
Manson,
P. (2009). Tropical Disease. London:
Sauders Elsevier.
Nurarif, A. H. dan Kusuma. H. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosis Medis & NANDA NIC – NOC. Edisi Revisi. Jilid 1. Yogyakarta: Mediaction.
Nursalam. et. all. (2006). Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (untuk perawat dan bidan). Edisi
Pertama. Jakarta: Salemba Medika.
Priharjo, R. (2006). Pemeriksaan Fisik
Keperawatan. Jakarta: EGC.
Soedarto
(2012). Demam Berdarah Dengue. Jakarta:
Sagung Seto.
Suriadi dan Yuliabi .R. (2008). Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi
Kedua. Jakarta: Penerbit Swadaya.
Swasanti .N. dan Putra S.W. (2013). Pertolongan Pertama Pada Anak Sakit. Yogyakarta:
Katahati.
Syaifuddin (2011). Anatomi Fisiologi. Kurikulum Berbasis Kompetensi untuk Keperawatan
& Kebidanan. Edisi Keempat Jakarta: EGC.
Wijayaningsih, K. S. (2013). Standar Asuhan Keperawatan. Jakarta:
Trans Info Media.
(Rekam
medic RSUD Ansari Saleh Banjarmasin, 2015).
(Data
Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan, 2013-2015).