LAPORAN
PENDAHULUAN
KONSEP KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3)
A. PENGERTIAN
Kesehatan
kerja adalah spesialisasi dalam ilmu kesehatan/kedokteran beserta prakteknya
yang bertujuan, agar pekerja/masyarakat pekerja beserta memperoleh derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya, baik fisik, atau mental, maupun sosial,
dengan usaha-usaha preventif dan kuratif, terhadap
penyakit-penyakit/gangguan–gangguan kesehatan yang diakibatkan faktor-faktor
pekerjaan dan lingkungan kerja, serta terhadap penyakit-penyakit umum.
Kesehatan kerja memiliki sifat sebagai berikut : Sasarannya adalah manusia dan
bersifat medis.
Keselamatan
dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disingkat K3 adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan karyawan melalui upaya
pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Kesehatan Kerja adalah
upaya peningkatan dan pemeliharaan derajat kesehatan yang setinggitingginya
bagi karyawan di semua jabatan, pencegahan penyimpangan kesehatan yang
disebabkan oleh kondisi karyawan, perlindungan karyawan dari risiko akibat
faktor yang merugikan kesehatan, penempatan dan pemeliharaan karyawan dalam
suatu lingkungan kerja yang mengadaptasi antara karyawan dengan manusia dan
manusia dengan jabatannya (PMK No. 48, 2016).
B.
TUJUAN
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Tujuan dari
keselamatan dan kesehatan kerja, yaitu (Mangkunegara, 2002):
1. Agar setiap pegawai mendapat jaminan keselamatan dan kesehatan
kerja baik secara fisik, sosial, dan psikologis.
2. Agar setiap perlengkapan dan peralatan kerja digunakan
sebaik-baiknya selektif mungkin.
3. Agar semua hasil produksi dipelihara keamanannya.
4. Agar adanya jaminan atas pemeliharaan dan peningkatan kesehatan
gizi pegawai.
5. Agar meningkatkan kegairahan, keserasian kerja, dan partisipasi
kerja.
6. Agar terhindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh
lingkungan atau kondisi kerja.
7. Agar setiap pegawai merasa aman dan terlindungi dalam bekerja.
Tujuan dari K3:
1. Melindungi kesehatan, keamanan dan keselamatan
dari tenaga kerja.
2. Meningkatkan efisiensi kerja.
3. Mencegah terjadinya kecelakaan dan penyakit
akibat kerja.
C.
DASAR HUKUM KESELAMATAN
DAN KESEHATAN KERJA
Sumber hukum sumber hukum penerapan K3 adalah sebagai
berikut:
1.
UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
2. UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja
3. PP No. 14 tahun 1993 tentang Penyelenggaraan
Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
4. Keppres No. 22 tahun 1993 tentang Penyakit yang
Timbul karena Hubungan Kerja
5.
Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES) Republik
Indonesia Nomor 48 Tahun 2016 tentang Standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja Perkantoran
D.
RUANG LINGKUP
KESEHATAN KERJA
Kesehatan
kerja meliputi berbagai upaya penyerasian antara pekerja dengan pekerjaan dan
lingkungan kerjanya, baik fisik maupun psikis dalam hal cara/metode kerja.
Proses kerja dan kondisi yang bertujuan untuk (Sumarlin, 2012) :
1. Memelihara
dan meningkatkan derajat kesehatan kerja masyarakat pekerja di semua lapangan
kerja setinggi-tingginya baik fisik, mental, maupun kesejahteraan sosialnya
2. Mencegah
timbulnya gangguan kesehatan pada masyarakat pekerja yang diakibatkan oleh
keadaan kondisi lingkungan kerjanya.
3. Memberikan
pekerjaan dan perlindungan bagi pekerja di dalam pekerjaannya dari kemungkinan
bahaya yang disebabkan oleh factor-faktor yang membahayakan kesehatan
4. Menempatkan
dan memelihara pekerja di suatu lingkungan pekerjaan yang sesuai dengan
kemampuan fisik dan psikis pekerjanya
E.
MASALAH
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Kinerja
(performence) setiap petugas kesehatan dan non kesehatan merupakan resultante
dari tiga komponen kesehatan kerja yaitu kapasitas kerja, beban kerja dan
lingkungan kerja yang dapat merupakan beban tambahan pada pekerja. Bila ketiga
komponen tersebut serasi maka bisa dicapai suatu derajat kesehatan kerja yang
optimal dan peningkatan produktivitas. Sebaliknya bila terdapat ketidak
serasian dapat menimbulkan masalah kesehatan kerja berupa penyakit ataupun
kecelakaan akibat kerja yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas kerja.
1.
Kapasitas Kerja : Status kesehatan masyarakat pekerja di
Indonesia pada umumnya belum memuaskan. Dari beberapa hasil penelitian didapat
gambaran bahwa 30– 40% masyarakat pekerja kurang kalori protein, 30% menderita
anemia gizi dan 35% kekurangan zat besi tanpa anemia. Kondisi kesehatan seperti
ini tidak memungkinkan bagi para pekerja untuk bekerja dengan produktivitas
yang optimal. Hal ini diperberat lagi dengan kenyataan bahwa angkatan kerja
yang ada sebagian besar masih di isi oleh petugas kesehatan dan non kesehatan
yang mempunyai banyak keterbatasan, sehingga untuk dalam melakukan tugasnya
mungkin sering mendapat kendala terutama menyangkut masalah PAHK dan kecelakaan
kerja.
2.
Beban Kerja : Sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan
maupun yang bersifat teknis beroperasi 8 - 24 jam sehari, dengan demikian
kegiatan pelayanan kesehatan pada laboratorium menuntut adanya pola kerja bergilirdan
tugas/jaga malam. Pola kerja yang berubah-ubah dapat menyebabkan kelelahan yang
meningkat, akibat terjadinya perubahan pada bioritmik (irama tubuh). Faktor
lain yang turut memperberat beban kerja antara lain tingkat gaji dan jaminan
sosial bagi pekerja yang masih relatif rendah, yang berdampak pekerja terpaksa
melakukan kerja tambahan secara berlebihan. Beban psikis ini dalam jangka waktu
lama dapat menimbulkan stress.
3.
Lingkungan Kerja : Lingkungan kerja bila tidak memenuhi
persyaratan dapat mempengaruhi kesehatan kerja dapat menimbulkan Kecelakaan
Kerja (Occupational Accident), Penyakit Akibat Kerja dan Penyakit Akibat
Hubungan Kerja (Occupational Disease & Work Related Diseases).
4.
Bahaya Kerja, bahaya (Hazard) adalah sifat-sifat intrinsik dari suatu zat atau proses
yang berpotensi dapat menyebabkan kerusakan atau membahayakan. Hal ini termasuk
bahan kimia (toksisitas, korosifitas), fisik (daya ledak, listrik, dapat
terbakar), biologis (dapat menginfeksi), dan lain-lain. Bahaya (hazard) dapat
digolongkan ke dalam beberapa jenis:
a.
Bahaya fisik (Physicalhazards): meliputi kebisingan,
radiasi (pengion, elektro-magnetik atau bukan pengion), temperature ekstrim,
getaran dan tekanan.
b.
Bahaya kimia (Chemical hazards): melalui banyak cara,
bahaya kimia dapat merusak pada kesehatan maupun property. Beberapa dari cara
ini adalah daya ledakan, dapat terbakar, korosif, oksidasi, daya racun,
toksisitas, karsinogen.
c.
Bahaya biologi (Biological hazards): terutama melalui
reaksi infeksi atau alergi. Bahaya biologi termasuk virus, bakteri, jamur dan
organisme lainnya. Beberapa bahaya biologi seperti AIDS atau Hepatitis B, C
secara potensial dapat mengancam kehidupan.
d.
Bahaya ergonomi (Biomechanical hazards): bahaya ini
berasal dari desain kerja, layout maupun aktivitas yang buruk. Contoh dari
permasalahan ergonomi meliputi postur tidak netral, manual handling, layout
tempat kerja dan desain pekerjaan.
e.
Bahaya psikososial (Psychological hazards): seperti
stres, kekerasan di tempat kerja, jam kerja yang panjang, transparansi,
akuntabilitas manajemen, promosi, remunerasi, kurangnya kontrol dalam mengambil
keputusan tentang pekerjaan semuanya dapat berkontribusi terhadap performa kerja yang buruk.
F.
TEORI
PENYEBAB KECELAKAAN KERJA
Kecelakaan
kerja merupakan suatu hal yang sering terjadi dalam dunia kerja, terjadinya
kecelakaan kerja ini dapat kita pelajari dan diupayakan pencegahannya. Adapun beberapa teori mengenai penyebab
kecelakaan kerja, yaitu:
1.
Teori Heinrich (Teori
Domino) : Teori ini mengatakan bahwa suatu kecelakaan terjadi dari suatu
rangkaian kejadian . Ada lima faktor yang terkait dalam rangkaian kejadian
tersebut yaitu : lingkungan, kesalahan manusia, perbuatan atau kondisi
yang tidak aman, kecelakaan, dan cedera atau kerugian (Ridley, 1986).
2. Teori Multiple
Causation : Teori
ini berdasarkan pada kenyataan bahwa kemungkinan ada lebih dari satu penyebab
terjadinya kecelakaan. Penyebab ini mewakili perbuatan, kondisi atau situasi
yang tidak aman. Kemungkinan-kemungkinan penyebab terjadinya kecelakaan kerja
tersebut perlu diteliti.
3. Teori Gordon : Menurut Gordon (1949), kecelakaan merupakan
akibat dari interaksi antara korban kecelakaan, perantara terjadinya
kecelakaan, dan lingkungan yang kompleks, yang tidak dapat dijelaskan hanya
dengan mempertimbangkan salah satu dari 3 faktor yang terlibat. Oleh karena
itu, untuk lebih memahami mengenai penyebab-penyebab terjadinya kecelakaan maka
karakteristik dari korban kecelakaan, perantara terjadinya kecelakaan, dan
lingkungan yang mendukung harus dapat diketahui secara detail.
4. Teori Domino terbaru
: Setelah tahun 1969 sampai
sekarang, telah berkembang suatu teori yang mengatakan bahwa penyebab dasar
terjadinya kecelakaan kerja adalah ketimpangan manajemen. Widnerdan Bird dan
Loftus mengembangkan teori Domino Heinrich untuk memperlihatkan pengaruh
manajemen dalam mengakibatkan terjadinya kecelakaan.
5. Teori Reason : Reason (1995,1997) menggambarkan kecelakaan
kerja terjadi akibat terdapat “lubang” dalam sistem pertahanan. Sistem
pertahanan ini dapat berupa pelatihan-pelatihan, prosedur atau peraturan
mengenai keselamatan kerja,
6. Teori Frank E. Bird
Petersen : Penelusuran
sumber yang mengakibatkan kecelakaan . Bird mengadakan modifikasi dengan teori
domino Heinrich dengan menggunakan teori manajemen, yang intinya sebagai
berikut (M.Sulaksmono,1997) :
a. Manajemen kurang kontrol
b. Sumber penyebab utama
c. Gejala penyebab langsung (praktek di bawah
standar)
d. Kontak peristiwa ( kondisi di bawah standar )
e. Kerugian gangguan ( tubuh maupun harta benda )
Usaha pencegahan kecelakaan kerja hanya berhasil apabila dimulai
dari memperbaiki manajemen tentang keselamayan dan kesehatan kerja. Kemudian,
praktek dan kondisi di bawah standar merupakan penyebab terjadinya suatu
kecelakaan dan merupakan gejala penyebab utama akibat kesalahan manajemen.
G. PENYAKIT
AKIBAT KERJA & PENYAKIT AKIBAT HUBUNGAN KERJA DI TEMPAT KERJA DAN
PENCEGAHANNYA
Penyakit
Akibat Kerja adalah penyakit yang mempunyai penyebab yang spesifik atau
asosiasi yang kuat dengan pekerjaan, pada umumnya terdiri dari satu agen
penyebab, harus ada hubungan sebab akibat antara proses penyakit dan hazard di
tempat kerja. Faktor Lingkungan kerja sangat berpengaruh dan berperan sebagai
penyebab timbulnya Penyakit Akibat Kerja. Sebagai contoh antara lain debu
silika dan Silikosis, uap timah dan keracunan timah. Akan tetapi penyebab
terjadinya akibat kesalahan faktor manusia juga (WHO) (Isnanini, 2013).
Berbeda
dengan Penyakit Akibat Kerja, Penyakit Akibat Hubungan Kerja (PAHK) sangat luas
ruang lingkupnya. Menurut Komite Ahli WHO (1973), Penyakit Akibat Hubungan
Kerja adalah “penyakit dengan penyebab multifaktorial, dengan kemungkinan besar
berhubungan dengan pekerjaan dan kondisi tempat kerja. Pajanan di tempat kerja
tersebut memperberat, mempercepat terjadinya serta menyebabkan kekambuhan
penyakit (Isnanini, 2013).
Penyakit
akibat kerja di Tempat Kerja Kesehatan umumnya berkaitan dengan faktor biologis
(kuman patogen yang berasal umumnya dari pasien); faktor kimia (pemaparan dalam
dosis kecil namun terus menerus seperti antiseptik pada kulit, zat
kimia/solvent yang menyebabkan kerusakan hati; faktor ergonomi (cara duduk
salah, cara mengangkat pasien salah); faktor fisik dalam dosis kecil yang terus
menerus (panas pada kulit, tegangan tinggi, radiasi dll.); faktor psikologis
(ketegangan di kamar penerimaan pasien, gawat darurat, karantina dll.)
(Isnanini, 2013).
1.
Faktor Biologis : Lingkungan kerja pada Pelayanan Kesehatan favorable
bagi berkembang biaknya strain kuman yang resisten, terutama kuman-kuman
pyogenic, colli, bacilli dan staphylococci, yang bersumber dari pasien,
benda-benda yang terkontaminasi dan udara. Virus yang menyebar melalui kontak
dengan darah dan sekreta (misalnya HIV dan Hep. B) dapat menginfeksi pekerja
hanya akibat kecelakaan kecil dipekerjaan, misalnya karena tergores atau
tertusuk jarum yang terkontaminasi virus. Angka kejadian infeksi nosokomial di
unit Pelayanan Kesehatan cukup tinggi. Secara teoritis kemungkinan kontaminasi
pekerja LAK sangat besar, sebagai contoh dokter di RS mempunyai risiko terkena
infeksi 2 sampai 3 kali lebih besar dari pada dokter yang praktek pribadi atau
swasta, dan bagi petugas Kebersihan menangani limbah yang infeksius senantiasa
kontak dengan bahan yang tercemar kuman patogen, debu beracun mempunyai peluang
terkena infeksi.
Pencegahan :
a. Seluruh pekerja harus mendapat pelatihan dasar
tentang kebersihan, epidemilogi dan desinfeksi.
b. Sebelum bekerja dilakukan pemeriksaan kesehatan
untuk memastikan dalam keadaan sehat badani, punya cukup kekebalan alami untuk
bekerja dengan bahan infeksius, dan dilakukan imunisasi.
c. Menggunakan desinfektan yang sesuai dan cara
penggunaan yang benar.
d. Sterilisasi dan desinfeksi terhadap tempat,
peralatan, sisa bahan infeksius dan spesimen secara benar
e. Pengelolaan limbah infeksius dengan benar
f. Menggunakan kabinet keamanan biologis yang
sesuai.
g. Kebersihan diri dari petugas.
2.
Faktor Kimia : Petugas di tempat kerja kesehatan yang sering
kali kontak dengan bahan kimia dan obat-obatan seperti antibiotika, demikian
pula dengan solvent yang banyak digunakan dalam komponen antiseptik,
desinfektan dikenal sebagai zat yang paling karsinogen. Semua bahan cepat atau
lambat ini dapat memberi dampak negatif terhadap kesehatan mereka. Gangguan
kesehatan yang paling sering adalah dermatosis kontak akibat kerja yang pada
umumnya disebabkan oleh iritasi (amoniak, dioksan) dan hanya sedikit saja oleh
karena alergi (keton). Bahan toksik ( trichloroethane, tetrachloromethane) jika
tertelan, terhirup atau terserap melalui kulit dapat menyebabkan penyakit akut
atau kronik, bahkan kematian. Bahan korosif (asam dan basa) akan mengakibatkan
kerusakan jaringan yang irreversible pada daerah yang terpapar.
Pencegahan :
a. ”Material safety data sheet” (MSDS) dari
seluruh bahan kimia yang ada untuk diketahui oleh seluruh petugas untuk petugas
atau tenaga kesehatan laboratorium.
b. Menggunakan karet isap (rubber bulb) atau alat
vakum untuk mencegah tertelannya bahan kimia dan terhirupnya aerosol untuk
petugas / tenaga kesehatan laboratorium.
c. Menggunakan alat pelindung diri (pelindung
mata, sarung tangan, celemek, jas laboratorium) dengan benar.
d. Hindari penggunaan lensa kontak, karena dapat
melekat antara mata dan lensa.
e. Menggunakan alat pelindung pernafasan dengan
benar.
3. Faktor Ergonomi : Ergonomi sebagai ilmu, teknologi dan seni
berupaya menyerasikan alat, cara, proses dan lingkungan kerja terhadap
kemampuan, kebolehan dan batasan manusia untuk terwujudnya kondisi dan
lingkungan kerja yang sehat, aman, nyaman dan tercapai efisiensi yang
setinggi-tingginya. Pendekatan ergonomi bersifat konseptual dan kuratif, secara
populer kedua pendekatan tersebut dikenal sebagai To fit the Job to the Man and
to fit the Man to the Job Sebagian besar pekerja di perkantoran atau Pelayanan
Kesehatan pemerintah, bekerja dalam posisi yang kurang ergonomis, misalnya
tenaga operator peralatan, hal ini disebabkan peralatan yang digunakan pada
umumnya barang impor yang disainnya tidak sesuai dengan ukuran pekerja Indonesia.
Posisi kerja yang salah dan dipaksakan dapat menyebabkan mudah lelah sehingga
kerja menjadi kurang efisien dan dalam jangka panjang dapat menyebakan gangguan
fisik dan psikologis (stress) dengan keluhan yang paling sering adalah nyeri
pinggang kerja (low back pain).
4. Faktor Fisik : Faktor fisik di laboratorium kesehatan yang
dapat menimbulkan masalah kesehatan kerja meliputi:
a. Kebisingan, getaran akibat alat / media
elektronik dapat menyebabkan stress dan ketulian
b. Pencahayaan yang kurang di ruang kerja,
laboratorium, ruang perawatan dan kantor administrasi dapat menyebabkan
gangguan penglihatan dan kecelakaan kerja.
c. Suhu dan kelembaban yang tinggi di tempat kerja
d. Terimbas kecelakaan/kebakaran akibat lingkungan
sekitar.Terkena radiasi
e. Khusus untuk radiasi, dengan berkembangnya
teknologi pemeriksaan, penggunaannya meningkat sangat tajam dan jika tidak
dikontrol dapat membahayakan petugas yang menangani.
Pencegahan :
a. Pengendalian cahaya di ruang kerja khususnya
ruang laboratorium.
b. Pengaturan ventilasi dan penyediaan air minum
yang cukup memadai.
c. Menurunkan getaran dengan bantalan anti vibrasi
d. Pengaturan jadwal kerja yang sesuai.
e. Pelindung mata untuk sinar laser
f. Filter untuk mikroskop untuk pemeriksa demam
berdarah
5. Faktor Psikososial : Beberapa contoh faktor psikososial di
laboratorium kesehatan yang dapat menyebabkan stress :
a. Pelayanan kesehatan sering kali bersifat
emergency dan menyangkut hidup mati seseorang. Untuk itu pekerja di tempat
kerja kesehatan di tuntut untuk memberikan pelayanan yang tepat dan cepat
disertai dengan kewibawaan dan keramahan-tamahan
b. Pekerjaan pada unit-unit tertentu yang sangat
monoton.
c. Hubungan kerja yang kurang serasi antara
pimpinan dan bawahan atau sesama teman kerja.Beban mental karena menjadi
panutan bagi mitra kerja di sektor formal ataupun informal.
H. PENGENDALIAN
DAN KECELAKAAN MELALUI PENERAPAN K3
1.
Pengendalian Melalui Perundang-undangan (Legislative Control)
antara lain :
a. UU No. 14 Tahun 1969 Tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Petugas kesehatan dan non kesehatan
b. UU No. 01 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
c. UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
d. Peraturan Menteri Kesehatan tentang higene dan
sanitasi lingkungan.
e. Peraturan penggunaan bahan-bahan
berbahayaPeraturan/persyaratan pembuangan limbah dll.
2. Pengendalian melalui Administrasi / Organisasi
(Administrative control) antara lain :
a. Persyaratan penerimaan tenaga medis, para
medis, dan tenaga non medis yang meliputi batas
umur, jenis kelamin, syarat kesehatan.
b. Pengaturan jam kerja, lembur dan shift
c. Menyusun Prosedur Kerja Tetap (Standard
Operating Procedure) untuk masing-masing instalasi dan melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaannya
d. Melaksanakan prosedur keselamatan kerja (safety
procedures) terutama untuk pengoperasian alat-alat yang dapat menimbulkan
kecelakaan (boiler, alat-alat radiology, dll) dan melakukan pengawasan agar
prosedur tersebut dilaksanakan
e. Melaksanakan pemeriksaan secara seksama
penyebab kecelakaan kerja dan mengupayakan pencegahannya.
3. Pengendalian Secara Teknis (Engineering
Control) antara lain :
a. Substitusi dari bahan kimia, alat kerja atau
proses kerja
b. Isolasi dari bahan-bahan kimia, alat kerja,
proses kerja dan petugas kesehatan dan non kesehatan (penggunaan alat
pelindung)
c. Perbaikan sistim ventilasi, dan lain-lain
d. Pengendalian Melalui Jalur kesehatan (Medical
Control)
Yaitu
upaya untuk menemukan gangguan sedini mungkin dengan cara mengenal
(Recognition) kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang dapat tumbuh pada
setiap jenis pekerjaan di unit pelayanan kesehatan dan pencegahan meluasnya
gangguan yang sudah ada baik terhadap pekerja itu sendiri maupun terhadap orang
disekitarnya. Dengan deteksi dini, maka penatalaksanaan kasus menjadi lebih
cepat, mengurangi penderitaan dan mempercepat pemulihan kemampuan produktivitas
masyarakat pekerja. Disini diperlukan system rujukan untuk menegakkan diagnosa
penyakit akibat kerja secara cepat dan tepat (prompt-treatment). Pencegahan
sekunder ini dilaksanakan melalui pemeriksaan kesehatan pekerja yang meliputi:
1) Pemeriksaan Awal : Adalah pemeriksaan kesehatan
yang dilakukan sebelum seseorang calon / pekerja (petugas kesehatan dan non
kesehatan) mulai melaksanakan pekerjaannya. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
memperoleh gambaran tentang status kesehatan calon pekerja dan mengetahui
apakah calon pekerja tersebut ditinjau dari segi kesehatannya sesuai dengan
pekerjaan yang akan ditugaskan kepadanya. Pemerikasaan kesehatan awal ini
meliputi:
a) Anamnese umum
b) Anamnese pekerjaan
c) Penyakit yang pernah diderita
d) Alergi
e) Imunisasi yang pernah didapat
f) Pemeriksaan badan
g) Pemeriksaan laboratorium rutin
h) Pemeriksaan tertentu: Tuberkulin test &
Psikotes
2) Pemeriksaan Berkala : Adalah pemeriksaan
kesehatan yang dilaksanakan secara berkala dengan jarak waktu berkala yang
disesuaikan dengan besarnya resiko kesehatan yang dihadapi. Makin besar resiko
kerja, makin kecil jarak waktu antar pemeriksaan berkala Ruang lingkup
pemeriksaan disini meliputi pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus seperti
pada pemeriksaan awal dan bila diperlukan ditambah dengan pemeriksaan lainnya,
sesuai dengan resiko kesehatan yang dihadapi dalam pekerjaan.
3) Pemeriksaan Khusus : Yaitu pemeriksaan
kesehatan yang dilakukan pada khusus diluar waktu pemeriksaan berkala, yaitu
pada keadaan dimana ada atau diduga ada keadaan yang dapat mengganggu kesehatan
pekerja. Sebagai unit di sektor kesehatan pengembangan K3 tidak hanya untuk
intern di Tempat Kerja Kesehatan, dalam hal memberikan pelayanan paripurna juga
harus merambah dan memberi panutan pada masyarakat pekerja di sekitarnya,
utamanya pelayanan promotif dan preventif. Misalnya untuk mengamankan limbah
agar tidak berdampak kesehatan bagi pekerja atau masyarakat disekitarnya,
meningkatkan kepekaan dalam mengenali unsafe act dan unsafe condition agar
tidak terjadi kecelakaan dan sebagainya.
Kesehatan
dan keselamatan kerja di Tempat Kerja Kesehatan bertujuan agar petugas,
masyarakat dan lingkungan tenaga kesehatan saat bekerja selalu dalam keadaan
sehat, nyaman, selamat, produktif dan sejahtera. Untuk dapat mencapai tujuan
tersebut, perlu kemauan, kemampuan dan kerjasama yang baik dari semua pihak.
Pihak pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan sebagai lembaga yang
bertanggung-jawab terhadap kesehatan masyarakat, memfasilitasi pembentukan
berbagai peraturan, petunjuk teknis dan pedoman K3 di tempat kerja kesehatan
serta menjalin kerjasama lintas program maupun lintas sektor terkait dalam
pembinaan K3 tersebut.
I.
STRATEGI
KESEHATAN KERJA
1. Mengembangkan
kebijakan dan pemantapan manajemen program kesehatan kerja
2. Meningkatkan
SDM Kesehatan Kerja
3. Surveilans
epidemiolog PAK dan PAHK
4. Intensifikasi
Penatalaksanaan Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Penyakit Akibat Hubungan Kerja
(PAHK)
5. Mengembangkan
Sistem Informasi Kesehatan Kerja (SIM-KK)
6. Pengembangan
model lingkungan kerja sehat berbasis wilayah
7. Meningkatkan
kemitraan dan promosi kesehatan kerja
J.
PROMOSI
KESEHATAN DI TEMPAT KERJA
- Pengertian
Merupakan komponen kegiatan pelayanan
pemeliharaan/perlindungan kesehatan pekerja dari suatu pelayanan kesehatan
pekerja dari suatu pelayanan kesehatan kerja.
- Tujuan
Tujuan promosi kesehatan di tempat kerja adalah untuk
mempengaruhi sikap masing-masing pekerja mengenai kesehatannya secara individu,
sehingga dapat menentukan keputusan atas pilihan secara personal menuju gaya
hidup yang sehat dan lebih positif.
Tujuan khusus promosi kesehatan di tempat kerja adalah
sebagai berikut:
a.
Mempengaruhi
pekerja untuk menerima dan memelihara gaya hidup yang sehat dan positif
b.
Mempengaruhi
pekerja untuk menerima dan memelihara kebiasaan makan makanan dengan kandungan
gizi yang optimal
c.
Memepengaruhi
pekerja untuk berhenti merokok
d.
Mempengaruhi
pekerja untuk mengurangi/ menurunkan/ menghilangkan penyalahgunaan obat-obatan
dan alkohol
e.
Mempengaruhi
pekerja untuk terbiasa mengatasi stress yang dialami dalam kehidupannya
f.
Mempengaruhi
pekerja manajemen kemampuan P3K dan CPR
g.
Mempengaruhi
pekerja mengenai penyakit umum dan penyakit yang berhubungan dengan
pekerjaannya serta bagaimana mencegah serta meminimalisasi akibatnya
h.
Mengadakan
penilaian menyeluruh secara medis
- Manfaat
a.
Bagi
pihak manajemen tempat kerja
1)
Meningkatkan
dukungan terhadap program K3
2)
Citra
positif (tempat kerja yang maju dan peduli kesehatan)
3)
Meningkatnya
moral staff
4)
Menurunnya
angka kemungkinan karena sakit
5)
Meningkatnya
produktivitas
6)
Menurunnya
biaya kesehatan
b.
Bagi
pekerja
1)
Meningkatnya
percaya diri
2)
Menurunnya
stress
3)
Meningkatnya
semangat kerja
4)
Meningkatnya
kemampuan mengenai dan mencegah penyakit
5)
Meningkatnya
kesehatan individu, keluarga, dan masyarakat sekitar
K.
PERILAKU
HIDUP BERSIH DAN SEHAT (PHBS) DI TEMPAT KERJA
PHBS di tempat kerja adalah upaya
untuk member-dayakan para pekerja agar tahu, mau dan mampu mempraktikkan
perilaku hidup bersih dan sehat serta berperan aktif dalam mewujudkan tempat
kerja sehat.
Tujuan Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat di Tempat Kerja:
1.
Mengembangkan perilaku hidup bersih dan sehat di
tempat kerja
2.
Meningkatkan produktivitas kerja.
3.
Menciptakan lingkungan kerja yang sehat.
4.
Menurunkan angka absensi tenaga kerja.
5.
Menurunkan angka
penyakit akibat kerja dan lingkungan kerja.
6.
Memberikan dampak yang positif terhadap lingkungan
kerja dan masyarakat.
Indikator PHBS di tempat kerja adalah
Semua PHBS
diharapkan dilakukan di tempat kerja. Namun demikian, tempat kerja telah masuk
kategori Tempat Kerja Sehat, bila masyarakat pekerja di tempat kerja :
1. Tidak
merokok di tempat kerja
2. Membeli
dan mengkonsumsi makanan dari tempat kerja.
3. Melakukan
olahraga secara teratur/aktivitas fisik
4. Mencuci
tangan dengan air bersih dan sabun sebelum makan dan sesudah buang air besar
dan buang air kecil
5. Memberantas
jentik nyamuk di tempat kerja.
6. Menggunakan
air bersih.
7. Menggunakan
jamban saat buang air kecil dan besar.
8. Membuang
sampah pada tempatnya. Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) sesuai jenis
pekerjaan.
Manfaat PHBS di Tempat Kerja Bagi Pekerja:
1.
Setiap pekerja meningkat
kesehatannya dan tidak mudah sakit.
2.
Produktivitas pekerja meningkat yang
berdampak pada peningkatan penghasilan pekerja dan ekonomi keluarga.
3.
Pengeluaran biaya rumah tangga hanya
ditujukan untuk peningkatan taraf hidup bukan untuk biaya pengobatan.
Bagi
Masyarakat:
1.
Tetap mempunyai lingkungan yang
sehat walaupun berada di sekitar tempat kerja.
2.
Dapat mencontoh perilaku hidup
bersih dan sehat yang diterapkan oleh tempat kerja setempat.
Bagi
Tempat Kerja :
1.
Meningkatnya produktivitas kerja
pekerja yang ber¬dampak positif terhadap pencapaian target dan tujuan.
2.
Menurunnya biaya kesehatan yang
harus dikeluarkan.
3.
Meningkatnya citra tempat kerja yang
positif.
Bagi
Pemerintah Provinsi dan Kahupaten/Kota :
1.
Peningkatan Tempat Kerja Sehat
menunjukkan kinerja dan citra pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang baik.
2. Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah dapat dialihkan untuk peningkatan kesehatan bukan
untuk menanggulangi masalah kesehatan.
3. Dapat
dijadikan pusat pembelajaran bagi daerah lain dalam pembinaan PHBS di Rumah
Tangga.
4. Instansi
Terkait:
5. Adanya
bimbingan teknis pelaksanaan pembinaan PHBS di Tempat Kerja.
6.
Dukungan buku panduan dan media
promosi
Langkah-Langkah
Pembinaan PHBS di Tempat Kerja
1. Analisis Situasi
Pimpinan di Tempat
Kerja melakukan pengkajian ulang tentang ada tidaknya komitmen dan kebijakan
tentang pembinaan PHBS di Tempat Kerja serta bagaimana sikap dan perilaku
pekerja terhadap kebijakan tersebut. Kajian ini untuk memperoleh data sebagai
dasar membuat kebijakan.
2.
Pembentukan
Kelompok Kerja
Penyusunan Kebijakan
PHBS di Tempat KerjaPihak Pimpinan Tempat Kerja
mengajak bicara/ berdialog pekerja dan serikat pekerja tentang :
a. Maksud,
tujuan dan manfaat penerapan PHBS di Tempat Kerja
b. Rencana
kebijakan tentang penerapan PHBS di Tempat Kerja.
c. Penerapan
PHBS di Tempat Kerja berserta antisi-pasi kendala dan solusinya.
d. Menetapkan
penanggung jawab PHBS di Tempat Kerja dan mekanisme pengawasannya.
e. Cara
sosialisasi yang efektif bagi masyarakat pekerja.
f. Kemudian
pimpinan membentuk Kelompok Kerja Penyusunan Kebijakan PHBS di Tempat Kerja.
3.
Pembuatan
Kebijakan PHBS di tempat kerja
Kelompok Kerja
membuat kebijakan yang jelas, tujuan dan cara melaksanakannya.
a. Penyiapan Infrastruktur
1) Membuat
surat keputusan tentang penanggung jawab dan pengawas PHBS di Tempat Kerja.
2) Instrumen
Pengawasan.
3) Materi
sosialisasi penerapan PHBS di Tempat Kerja.
4) Pembuatan
dan penempatan pesan-pesan PHBS di tempat-tempat yang strategis di tempat
kerja.
5) Mekanisme
dan saluran pesan PHBS di Tempat Kerja.
6) Pelatihan
bagi pengelola PHBS di Tempat Kerja.
b. Sosialisasi Penerapan PHBS di tempat kerja
1) Sosialisasi
penerapan PHBS di Tempat Kerja dan lingkungan internal.
2) Sosialisasi
tugas dan penanggung jawab PHBS di Tempat Kerja.
c. Penerapan PHBS di tempat kerja
1) Penyampaian
pesan PHBS di Tempat Kerja kepada pekerja seperti melalui penyuluhan kelompok,
media poster, stiker, papan pengumuman, dan selebaran.
2) Penyediaan
sarana dan prasarana PHBS di Tempat Kerja seperti air bersih, jamban sehat,
tempat sampah, tempat cuci tangan, sarana olahraga, kantin sehat.
3) Pelaksanaan
pengawasan PHBS di Tempat Kerja.
d. Pengawasan dan Penerapan Sanksi
Pengawas PHBS di
Tempat Kerja mencatat pelanggaran dan menerapkan sanksi sesuai peraturan yang
telah ditetapkan oleh tempat kerja atau daerah setempat.
e. Pemantauan dan Evaluasi
1) Lakukan
pemantauan dan evaluasi secara periodik tentang kebijakan yang telah
dilaksanakan.
2) Lakukan
kajian terhadap masalah yang ditemukan dan putuskan apakah perlu penyesuaian
terhadap kebijakan.
ASUHAN
KEPERAWATAN PADA KELOMPOK PEKERJA
1.
Pengkajian
a.
Inti (core)
1) Histori
a) Kapan mulai bekerja
b) Usia mulai bekerja
c) Alasan bekerja
d) Pengalaman pekerja
2) Demografi: Distribusi pekerja berdasarkan
jenis kelamin, usia, pendidikan, jenis pendidikan, kecelakaan kerja, keamitian
akibat kerja jumlah tanggungan, pekerjaan sampingan pekerja, kebiasaan pekerja,
jenis olahraga
b.
Subsistem
1) Lingkungan Fisik
a) Iklim/cuaca
b) Suhu ruangan
c) Tingkata kebisingan, paparan zat kimia
d) Penataan ruangan kerja
e) Penataan eksterior perusahaan
f) Pengaruh penataan terhadap pekerja
g) Dampak lingkungan fisik terhadap pekerja
2) Pendidikan
a) Program pendidikan bagi pekerja dan keluarga
b) Jenjang karir dan pendidikan
c) Penghargaan terhadap pendidikan pekerja dan
keluarga
d) Fasilitas pendidikan di perusahaan
e) Jenis pendidikan yang diberikan
3) Keamanan dan Transportasi
a) Jenis fasilitas keamanan dan transportasi
pekerja dan keluarga
b) Pemanfaatan fasilitas keamanan dan transportasi
bagi pekerja
c) Dampak fasilitas keamanan dan transportasi bagi
pekerja dan keluarga
4) Politik dan Pemerintahan
a) Jenis aturan perusahaan bagi pekerja dan
keluarga
b) Efektifitas aturan perusahaan bagi pekerja dan
keluarga
c) Perlindungan pemerintah terhadap pekerja dan
keluarga
d) Situasi politik dan pengaruh terhadap pekerja
dan keluarga
5) Pelayanan Umum dan Kesehatan
a) Jenis pelayanan umum dan kesehatan bagi pekerja
dan keluarga (sarana olahraga, klinik, RS, sarana penyaluran hobi/bakat)
b) Kondisi sarana umum dan kesehatan
c) Pemanfaatan fasilitas umum dan kesehatan bagi
pekerja dan keluarga
d) Dampak pelayanan umum dan kesehatan terhadap
pekerja dan keluarga
6) Komunikasi
a) Jenis sarana komunikasi yang diberikan
perusahaan
b) Cara pemanfaatan sarana komunikasi
c) Acara yang berhubungan dengan pertemuan
direksi, pekerja dan keluarga (formal/informal)
d) Dampak sarana komunikasi bagi pekerja dan
keluarga
7) Ekonomi
a) Penghasilan pekerja (berdasarkan UMR/kelayakan
hidup)
b) Efektifitas penghasilan dalam mengatasi
keuangan keluarga pekerja
c) Bentuk bonus, atau tambahan penghasilan
yang diberikan perusahaan
d) Tingkat kesejahteraan pekerja dan keluarga
8) Rekreasi
a) Jenis rekreasi yang diberikan perusahaan
b) Pemanfaatan rekreasi perusahaan bagi pekerja
dan keluarga
c) Jenis rekreasi yang dilakukan oleh pekerja dan
keluarga selain dari perusahaan
d) Jadwal rekreasi/frekuensi rekreasi
e) Dampak rekreasi terhadap motivasi bekerja
2.
Analisis Data
Prioritas :
a. Masalah (aktual, resiko, potensial)
b. Ketersediaan sarana
c. Kemauan pekerja dan keluarga
Analisa masalah berdasarkan data fokus, anatara
lain :
a. Kecelakaan kerja yg sering terjadi
b. Perilaku yang tidak sehat
c. Lingkungan yang tidak sehat
d. Penyakit akibat kerja
e. Pengetahuan yang kurang
f. Kurangnya fasilitas pendukung
3.
Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul
a. Resiko peningkatan penyakit akibat kerja
berhubungan dengan kurang pengetahuan pekerja dan pemilik usaha tentang standar
keselamatan dan kesehatan kerja, dan tidak menggunakan APD.
b.
Risiko gangguan pernapasan pada pekerja berhubungan dengan tingkat
pengamanan pekerja yang rendah dan paparan debu dalam jangka waktu yang lama.
4. Intervensi
Tahap ketiga dari
proses keperawatan merupakan tindakan menetapkan apa yang harus dilakukan untuk
membantu sasaran dalam upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Langkah pertama dalam tahap perencanaan adalah menetapkan tujuan dan sasaran
kegiatan untuk mengatasi masalah yang telah ditetapkan sesuai dengan diagnosis
keperawatan. Dalam menentukan tahap berikutnya yaitu rencana pelaksanaan
kegiatan maka ada dua faktor yang mempengaruhi dan dipertimbangkan dalam
menyusun rencana tersebut yaitu sifat masalah dan sumber/potensi masyarakat
seperti dana, sarana, tenaga yang tersedia.
5.
Implementasi
Perawat
bertanggung jawab untuk melaksanakan tindakan yang telah direncanakan yang
sifatnya:
a. Bantuan
dalam upaya mengatasi masalah-masalah.
b. Mendidik
komunitasi tentang perilaku sehat.
c. Sebagai
advokat komunitas, untuk sekaligus menfasilitasi
terpenuhinya
kebutuhan komunitas.
Pada kegiatan praktik
keperawatan komunitas berfokus pada tingkat pencegahan, yaitu:
a.
Pencegahan primer yaitu
pencegahan sebelum sakit dan difokuskan pada populasi sehat, mencakup pada
kegiatan kesehatan secara umum serta perlindungan khusus terhadap penyakit,
contoh: imunisasi, penyuluhan gizi, simulasi dan bimbingan dini dalam kesehatan
dan keselamatan kerja.
b.
Pencegahan sekunder
yaitu kegiatan yang dilakukan pada saat terjadinya perubahan derajat kesehatan
masyarakat dan
ditemukan masalah kesehatan. Pencegahan sekunder ini menekankan pada diagnosa
dini dan tindakan untuk mnghambat proses penyakit, Contoh: memotivasi perkantoran untuk melakukan pemeriksaan kesehatan pekerja seperti mata, gigi, telinga,
dll.
c.
Pencegahan tersier yaitu kegiatan yang
menekankan pengembalian individu pada tingkat berfungsinya secara optimal dari
ketidakmampuan, Contoh: Membantu pekerja
yang mengalami kecelakaan untuk latihan fisik dan
rehabilitasi.
6.
Evaluasi
Evaluasi dilakukan dengan konsep
evaluasi struktur, proses, hasil.
Fokus:
a. Relevansi
antara kenyataan dengan target
b. Perkembangan/
kemajuan proses, kesesuaian dengan perencanaan,
peran pelaksana, fasilitas dan jumlah
peserta
c. Efisiensi
biaya, bagaimana mencari sumber dana
d. Efisiensi
kerja, apakah tujuan tercapai, apakah masyarakat puas.
Proses Evaluasi:
a. Menilai
respon verbal dan nonverbal
b. Mencatat
adanya kasus baru yang
dirujuk ke RS
DAFTAR
PUSTAKA
Efendi F. 2009. Keperawatan Kesehatan
Komunitas: Teori dan Praktik dalam Keperawatan. Salemba Medika: Jakarta.
Mangkunegara. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung : PT Remaja
Rosda Karya.
Manuaba,
Adnyana. 2005. Ergonomi dalam
Industri. Denpasar : Universitas Udayana.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia (PERMENKES RI) Nomor 48 Tahun 2016 tentang Standar Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Perkantoran.
Rahman R. 2013.
Pengaruh keselamatan dan kesehatan kerja terhadap kinerja karyawan PT. Ceria
Utama Abadi Cabang Palembang. Skripsi: Universitas Sriwijaya.
Ramdayana. 2009. Faktor-faktor yang
Berhubungan dengan Tingkat Kepatuhan Perawat terhadap Penggunaan Alat Pelindung
Diri (APD) di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Marinir Cilandak, Jakarta Selatan.
Skripsi diterbitkan (Online).
No comments:
Post a Comment