LAPORAN
PENDAHULUAN
EFUSI PLEURA
I. Konsep Penyakit Efusi Pleura
1.1 Definisi
Efusi Pleura
Efusi
pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dalam rongga
pleura (Somantri, 2008).
Efusi
pleura adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak diantara
permukaan viseral dan pariental, proses penyakit primer jarang terjadi biasanya
merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain (Suzanne, 2002).
Efusi pleura
adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dalam rongga pleura berupa
transudat dan eksudat yang diakibatkan terjadinya ketidakseimbangan antara
produksi dan absorbsi di kapiler dan pleura viseralis (Muttaqin, 2012).
1.2
Etiologi
Penyebab efusi pleura dibedakan atas :
a.
Transudat
Pleuritis serosa, serofibronosa dan fibrinosa
semuanya disebabkan oleh proses yang pada hakikatnya sama. Eksudasi fibrinosa
umumnya pada fase perkembangan awal, mungkin bermanifestasi sebagai eksudat
serosa atau serofibrinosa, tetapi akhirnya akan muncul reaksi eksudativa yang
lebih parah. Efusi pleura ini disebabkan oleh gagal jantung kongestif, emboli paru,
sirosishati (penyakit intrabdominanl), dialisis peritoneal, hipoalbuminemia,
sindrom nefrotik, glomerulonefritis akut, retensi garam, atau pasca by-pass
koroner.
b.
Eksudat
Penimbunan non-inflamatorik cairan serosa di dalam
rongga pleura disebut hidrotoraks. Eksudat terjadi akibat peradangan dan
infiltrasi pada pleura atau jaringan yang berdekatan dengan pleura. Kerusakan
pada dinding kapiler darah menyebabkan terbentuknya cairan kaya protein yang
keluar dari pembuluh darah dan berkumpul pada rongga pleura. Penyebab
efusi pleura eksudatif adalah neoplasma, infeksi, penyakit jaringan ikat,
penyakit, intraabdominal, dan imunologik. Bendungan pada pembuluh limfa juga
dapat menyebabkan efusi pleura eksudatif. Klitotoraks adalah penimbunan cairan
seperti susu, biasanya berasal dari pembuluh limfa, di rongga pleura. Kilus
tampak putih susu karena mengandung emulsi halus lemak.
c. Penyebab lain
-
Gagal jantung
-
Kadar protein darah
yang rendah
-
Sirosis
-
Pneumonia
-
Blastomikosis
-
Emboliparu
-
Perikarditis
-
Tumor Pleura
-
Pemasangan NGT yang tdk
baik
1.3
Tanda dan gejala
Gejala-gejala
timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau jika mekanika paru terganggu. klien
dengan efusi pleura biasanya akan
mengalami keluhan
:
a.
Batuk
b.
Sesak napas
c.
Nyeri pleuritis
d.
Rasa berat pada dada
e.
Berat badan menurun
f.
Adanya
gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, mengigil, dam nyeri dada pleuritis
(pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkolosis) banyak keringat,
batuk,
g.
Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat
terjadi jika terjadi penumpukan cairan pleural yang signifikan.
h.
Pada pemeriksaan
fisik :
-
Inflamasi dapat
terjadi friction rub
-
Atelektaksis kompresif (kolaps paru parsial
) dapat menyebabkan bunyi napas bronkus.
-
Pemeriksaan fisik
dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan karena cairan akan
berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan.
-
Focal fremitus melemah pada perkussi didapati pekak,
dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis ellis
damoiseu)
-
Didapati segitiga garland yaitu daerah yang diperkussi
redup timpani dibagian atas garis ellis damoiseu. Segitiga grocco-rochfusz,
yaitu daerah pekak karena cairan mendorong mediastinum kesisi lain. Pada
auskulutasi daerah ini didapati vesikuler melemah dengan ronchi.
1.4
Patofisiologi
Patofisiologi
terjadinya effusi pleura tergantung pada keseimbangan antara cairan dan protein
dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura dibentuk secara lambat
sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi yang terjadi karena
perbedaan tekanan osmotic plasma dan jaringan interstitial submesotelial
kemudian melalui sel mesotelial masuk ke dalam rongga pleura. Selain itu cairan pleura dapat melalui
pembuluh limfe sekitar pleura.
Pada kondisi tertentu
rongga pleura dapat terjadi penimbunan cairan berupa transudat maupun
eksudat. Transudat terjadi pada
peningkatan tekanan vena pulmonalis, misalnya pada gagal jatung kongestif. Pada
kasus ini keseimbangan kekuatan menyebabkan pengeluaran cairan dari pmbuluh
darah. Transudasi juga dapat terjadi pada hipoproteinemia seperti pada penyakit
hati dan ginjal. Penimbunan transudat dalam rongga pleura disebuthidrotoraks.
Cairan pleura cenderung tertimbun pada dasar paru akibat gaya gravitasi.
Penimbunan eksudat
disebabkan oleh peradangan atau keganasan pleura, dan akibat peningkatan
permeabilitas kapiler atau gangguan absorpsi getah bening.Jika efusi pleura
mengandung nanah, keadaan ini disebut empiema. Empiema disebabkan oleh prluasan
infeksi dari struktur yang berdekatan dan dapat merupakan komplikasi dari
pneumonia, abses paru atau perforasi karsinoma ke dalam rongga pleura. Bila
efusi pleura berupa cairan hemoragis disebut hemotoraks dan biasanya disebabkan
karena trauma maupun keganasan.
Efusi pleura akan
menghambat fungsi paru dengan membatasi engembangannya. Derajat gangguan fungsi
dan kelemahan bergantung pada ukuran dan cepatnya perkembangan penyakit. Bila
cairan tertimbun secara perlahan-lahan maka jumlah cairan yang cukup besar mungkin
akan terkumpul dengan sedikit gangguan fisik yang nyata.
Kondisi efusi pleura
yang tidak ditangani, pada akhirnya akan menyebabkan gagal nafas. Gagal
nafas didefinisikan sebagai kegagalan
pernafasan bila tekanan partial Oksigen (Pa O2)≤ 60 mmHg atau tekanan partial
Karbondioksida arteri (Pa Co2) ≥ 50 mmHg melalui pemeriksaan analisa gas darah.
Di dalam rongga pleura
terdapat kurang lebih 5-15 ml cairan yang
cukup untuk membasahi seluruh permukaan pleura parietalis dan pleura
viseralis. Cairan ini dihasilkan oleh
kapiler pleura parietalis karena adanya tekanan hidrostatik, tekanan koloid dan
daya tarik elastis. Sebagian cairan ini diserap kembali oleh kapiler paru dan
pleura viseralis, sebagian kecil lainnya (10-20 %) mengalir ke dalam pembuluh
limfe sehingga pasase cairan di sini mencapai 1 liter seharinya.
Terkumpulnya cairan di rongga pleura (efusi pleura)
terjadi bila keseimbangan antara produksi dan absorpsi terganggu misalnya pada
hiperemia akibat inflamasi, perubahan tekanan osmotik, (hipoalbuminemia),
peningkatan tekanan vena (gagal jantung). Transudat misalnya terjadi pada gagal
jantung karena bendungan vena disertai peningkatan tekanan hidrostatik, dan
sirosis hepatik tekanan osmotik koloid yang menurun. Eksudat dapat disebabkan
antara lain oleh keganasan dan infeksi. Cairan keluar langsung dari kapiler
sehingga kaya akan protein dan berat jenisnya tinggi. Cairan ini juga
mengandung banyak sel darah putih. Sebaliknya transudat kadar proteinnya rendah
sekali atau nihil sehingga berat jenisnya rendah.
Infeksi tuberkulosis
pleura biasanya disebabkan oleh efek primer sehingga berkembang
pleuritis eksudativa tuberkulosa. Pergeseran antara kedua pleura yangmeradang
akan menyebabkan nyeri. Suhu badan mungkin hanya sub febril, kadang ada demam. Diagnosis
pleuritis tuberkulosa eksudativa ditegakkan dengan pungsi untuk pemeriksaan
kuman basil tahan asam dan jika perlu torakskopi untuk biopsi pleura.
Pada penanganannya, selain diperlukan
tuberkulostatik, diperlukan juga istrahat dan kalau perlu pemberian analgesik.
Pungsi dilakukan bila cairan demikian banyak dan menimbulkan sesak napas dan
pendorongan mediastinum ke sisi yang sehat. Penanganan yang baik akan
memberikan prognosis yang baik, pada fungsi paru-paru maupun pada penyakitnya.
1.5
Pemeriksaan penunjang
a.
Pemeriksaan radiologi pada fluoroskopi maupun foto
thorak PA cairan yang kurang dari 300 cc tidak bisa terlihat. Mungkin kelainan
yang tampak hanya berupa penumpukan sostophrenicus apabila cairan tidak tampak
pada foto posterior-anterior (PA) maka dapat dibuat foto pada posisi dekubitus
lateral. Dengan foto toraks posisi lateral dekubitus dapat diketahui adanya
cairan dalam rongga pleura sebanyak paling sedikit 70 cc, sedangkan dengan
posisi PA paling tidak cairan dapat diketahui sebanyak 300 cc.
b.
Biopsi pleura
Dapat menunjukkan 50-70% diagnosis kasus
pleuritistuberkolosis dan tumor pleura. Biopsi ini berguna untuk mengambil
spesimen jaringan pleura melalui biopsi jalur perkutaneus. Komplikasi biopsi
adalah pneumothoraks, hemothoraks, penyebaran infeksi dan tumor dinding dada.
c.
Analisa cairan pleura
Untuk diagnostik cairan pleura perlu dilakukan pemeriksaan:
1.
Warna cairan
-
Haemorragic pleural efusion, biasanya pada klien dengan
adanya keganasan paru atau akibat infark paru terutama disebabkan oleh
tuberkolosis.
-
Yellow exudates pleural efusion, terutama terjadi padakeadaan gagal
jantung kongestif, sindrom nefrotik, hipoalbuminemia, dan perikarditis
konstriktif.
-
Clear transudate pleural efusion, sering terjadi pada klien
dengan keganasan ekstrapulmoner.
2.
Biokimia, untuk membedakan transudasi dan eksudasi.
3.
Sitologi, pemeriksaan sitologi bila ditemukan
patologis atau dominasi sel tertentu untuk melihat adanya keganasan
4.
Bakteriologi
Biasanya cairan pleura steril, tapi kadang-kadang dapat
mengandung mikroorganisme, apalagi bila cairannya purulen. Efusi yang
purulen dapat mengandung kuman-kuman yang aerob ataupun anaerob.
Jenis kuman yang sering ditemukan adalah Pneumococcus, E.coli, clebsiella,
Pseudomonas, Enterobacter.
d.
CT Scan Thoraks
Berperan penting dalam
mendeteksi ketidaknormalan konfigurasi trakea serta cabang utama bronkus,
menentukan lesi pada pleura dan secara umum mengungkapkan sifat serta derajat
kelainan bayangan yang terdapat pada paru dan jaringan toraks lainnya.
e.
Ultrasound
Ultrasound dapat
membantu mendeteksi cairan pleura yang timbul dan sering digunakan dalam
menuntun penusukan jarum untuk mengambil cairan pleura pada torakosentesis.
1.6
Komplikasi
a.
Fibro thoraks
Efusi pleura yang berupa eksudat yang tidak
ditanganidengan drainase yang baik akan terjadi perlekatan fibrosa antara
pleura parietalis dan pleura viseralis akibat efusi pleura yang tidak ditangani
dengan drainase yang baik. jika fibrothoraks meluas dapat menimbulkan hambatan
mekanis yang berat pada jaringan-jaringan yang berada dibawahnya
pembedahan pengupasan (dekortikasi) perlu dilakukan untuk memisahkan membrane-membran
pleura tersebut.
b.
Atelektaksis
Atelektasis merupakan pengembangan paru yang tidak
sempurna yang disebabkan oleh penekanan akibat efusi pleura.
c.
Fibrosis
Pada fibrosis paru merupakan keadaan patologis dimana
terdapat jaringan ikat paru dalam jumlah yang berlebihan. Fibrosis timbul
akibat cara perbaikan jaringan sebagai lanjutan suatu proses penyakit paru yang
menimbulkan peradangan. Pada efusi pleura, atelektaksis yang berkepanjangan
dapat menyebabkan penggantian jaringan baru yang terserang dengan
jaringan fibrosis.
1.7
Penatalaksanaan
Pada efusi yang
terinfeksi perlu segera dikeluarkan dengan memakai pipa intubasi melalui selang
iga. Bila cairan pusnya kental sehingga sulit keluar atau bila empiemanya
multiokuler, perlu tindakan operatif. Mungkin sebelumnya dapat dibantu dengan
irigasi cairan garam fisiologis atau larutan antiseptik. Pengobatan secara
sistemik hendaknya segera dilakukan, tetapi terapi ini tidak berarti bila tidak
diiringi pengeluaran cairan yang adequate.
Untuk mencegah
terjadinya lagi efusi pleura setelah aspirasi dapat dilakukan pleurodesis yakni
melengketkan pleura viseralis dan pleura parietalis. Zat-zat yang dipakai
adalah tetrasiklin, Bleomicin, Corynecbaterium parvum dll.
a.
Pengeluaran efusi yang
terinfeksi memakai pipa intubasi melalui sela iga.
b.
Irigasi cairan garam
fisiologis atau larutan antiseptik (Betadine).
c.
Pleurodesis, untuk
mencegah terjadinya lagi efusi pleura setelah aspirasi.
d.
Torasentesis: untuk
membuang cairan, mendapatkan spesimen (analisis), menghilangkan dyspnea.
Pengambilan cairan melalui sebuah jarum yang di masukkan di antara sel iga
tepatnya di dalang rongga pleura, misalnya push pada emfhisema atau untuk
mengeluarkan udara yang terdapat di dalam rongga pleura.
e.
Water seal drainage
(WSD) : Drainase cairan (Water Seal Drainage) jika efusi menimbulkan gejala
subyektif seperti nyeri, dispnea, dll. Cairan efusi sebanyak 1 – 1,2 liter
perlu dikeluarkan segera untuk mencegah meningkatnya edema paru, jika jumlah
cairan efusi lebih banyak maka pengeluaran cairan berikutya baru dapat
dilakukan 1 jam kemudian.
f.
Antibiotika jika
terdapat empiema.
g.
Operatif.
1.8
(sumber : R. Sjamsuhidayati, 1997 : 526)
|
EFUSI PLEURA
Peradangan aliran
darah osmototik gangguan
kerusakan tekanan perma abilitas
endotel hidrostatik kapiler
permeabilitas filtrasi
cairan
membrane dan
protein
pleura meningkat
perembesan protein
meningkat menurun
osmotic
koloid absorbsi
penurunan pemasangan
tidak efektif infeksi nyaman
(nyeri
akut) gangguan
mobilisasi
II.
Rencana asuhan
klien dengan gangguan efusi pleura
2.1
Pengkajian
2.1.1
Riwayat Kesehatan
pengkajian
pada efusi pleura ini mengacu pada 11 pola Gordon
a.
Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
-
Data subjektif : riwayat kebiasaan penggunaan obat-obatan, merokok,
minum alcohol.
-
Data objektif : ada obat-obatan
b.
Pola nutrisi dan metabolic
-
data
subjektif : kebiasaan makan dan minum, terjadinya penurunan nafsu makan
-
data objektif : turgor kulit jelek, mukosa kering dan penurunan berat
badan
c.
pola eliminasi
-
data subjektif : penurunan frekuensi BAB, penurunan peristaltik usus, otot-otot
traktus digestivusdan peningkatan BAK
-
data
objektif : perubahan jumlah urine yang meningkat
d.
pola aktifitas dan latihan
-
data subjektif : sesak napas, kelelahan, nyeri dada, penurunan aktifitas
-
data objektif : penurunan aktifitas secara mandiri
e.
pola tidur dan istirahat
-
data
subjektif : sulit tidur, penurunan
kebutuhan tidur karena adanya
sesak, nyeri dada dan peningkatan suhu tubuh.
-
Data objektif : palpebra inferior warna
gelap dan wajah mengantuk
f.
Pola persepsi dan kgonitif
-
Data subjektif : perasaan nyeri
-
Data objektif : bingung dan gelisah
g.
Pola hubungan dan peran
Data
subjektif : perubahan peran interpersonal
Data
objektif : kurang berinteraksi
h.
Pola persepsi dan konsep diri
-
Data subjektif : perubahan persepsi diri
-
Data objektif : perhatian kurang, kontak mata
i.
Pola mekanisme
koping
-
Data subjektif :
stress, bertanya-tanya tentang penyakitnya
-
Data objektif :
ansietas
j.
Pola reproduksi dan seksualitas
-
Data subjektif : penurunan libido
-
Data objektif : keterbatasan gerak
k.
Pola system dan kepercayaan
-
data subjektif :
kemampuan pasien dalam menjalankan ibadah, tanggapan pasien atau keluarga
mengenai agamanya
-
data objektif : agama yang dianut oleh pasien.
2.1.2
Pemeriksaan
penunjang
a.
Pemeriksaan radiologi
b.
Biopsi pleura
c.
Analisa cairan pleura
d.
CT Scan Thoraks
e.
Ultrasound
2.2
Diagnosa keperawatan
yang mungkin muncul
Diagnose I
: pola nafas tidak efektif
2.2.1
Definisi
Inspirasi
dan/atau ekspirasi yang tidak member ventilasi adekuat
2.2.2
Batasan
karakteristik
-
Bradipnea
-
Dispnea
-
Fase ekspirasi
memanjang
-
Ortopnea
-
Penggunaan otot
bantu pernapasan
-
Penggunaan
posisi tiga-titik
-
Peningkatan
diameter anterior-posterior
-
Penurunan
kapasitas vital
-
Penurunan
tekanan ekspirasi
-
Penurunan
tekanan inspirasi
-
Penurunan
ventilasi semenit
-
Pernapasan bibir
-
Pernapasan
cuping hidung
-
Perubahan
ekskursi dada
-
Pola napas abnormal
(mis, irama, frekuensi, kedalaman)
-
Takipneu
2.2.3
Factor yang
berhubungan
-
Ansietas
-
Cedera medulla
spinalis
-
Deformitas
tulang
-
Disfungsi
neuromuskuler
-
Gangguan
musculoskeletal
-
Gangguan
neurologis (mis, elektroensefalogram [EEG] positif, trauma kepala, gangguan
kejang)
-
Hiperventilasi
-
Imaturitas
neurologis
-
Keletihan
-
Keletihan otot
pernapasan
-
Nyeri
-
Obesitas
-
Posisi tubuh
yang menghambat ekspansi paru
-
Sindrom
hipoventilasi
Diagnose II
: Gangguan pola tidur
2.2.4
Definisi
Interupsi
jumlah waktu dan kualitas tidur akibat factor eksternal\
2.2.5
Batasan
karakteristik
-
Kesulitan jatuh
tidur
-
Ketidak puasan
tidur
-
Menyatakan tidak
merasa cukup istirahat
-
Penurunan
kemampuan berfungsi
-
Perubahan pola
tidur normal
-
Sering terjaga
tanpa jelas penyebabnya
2.2.6
Faktor yang
berhubungan
-
Gangguan karena
pasangan tidur
-
Halangan
lingkungan (mis, bising, pejanan cahaya/gelap, suhu,/kelembapan, lingkungan
yang tidak dikenal)
-
Imobilisasi
-
Kurang privasi
-
Pola tidur tidak
menyehatkan (mis, karena tanggung jawab menjadi pengasuh, menjadi orang tua,
pasangan tidur)
2.3
Perencanaan
No.
|
Diagnosa
|
Tujuan & Kriteria Hasil (NOC)
|
Intervensi
(NIC)
|
Rasional
|
2.3.1
|
Pola nafas tidak efektif
|
Setelah
dilakukan asuhan keperawatan selama... x 24 jam diharapkan pola nafas klien efektif, dengan
kriteria hasil :
1. Memiliki
RR dalam batas normal
2. Mampu
inspirasi dalam
3. Memiliki
dada yang mengembang secara simetris
4. Dapat
bernafas dengan mudah
5. Tidak
menggunakan otot-otot tambahan dalam bernafas
6. Tidak
mengalami dispnea
|
1. Monitor
rata-rata, irama, kedalaman dan
usaha respirasi
2. Perhatikan
pergerakan dada, amati kesemetrisan, penggunaan oto-otot aksesoris, dan
retraksi otot supraklavikuler dan interkostal
3. Monitor
respirasi yang berbunyi, seperti mendengkur (ronchi)
4. Monitor
pola pernafasan: bradipneu, takipneu, hiperventilasi, respirasi Kussmaul, respirasi Cheyne-Stokes, dan apneustik
Biot dan pola taxic
5. Monitor
peningkatan ketidakmampuan istirahat, kecemasan, dan haus udara, perhatikan
perubahan pada SaO2, SvO2, CO2 akhir-tidal, dan nilai gas darah arteri (AGD),
dengan tepat
6. Monitor
kualitas dari nadi, suhu,
warna, dan kelembaban kulit
7.
Beri tahu dokter tentang hasil
gas darah yang abnormal.
|
1. Mengetahui irama, kedalaman dan usaha respirasi,
serta funsi paru apakah mengembang dengan baik atau tidak.
2. Penggunaan otot – otot asesorius dan otot bantu
lainnya dalam bernafas menunjukan bahwa, klien mengalami kesulitan dalam
bernafas secara normal.
3. Suara nafas tambahan, seperti mendengkur atau
ronchi, bisa dikatakan terdapat sekret yang menumpuk di dalam saluran
pernafasan.
4. Memastikan tidak ada perubahan pola pernafasan pada
klien
5. Peningkatan ketidakmampuan istirahat, serta
kecemasan dapat memperberat sistem pernafasan. Selain itu untuk mengetahui
tingkat distribusi dan tranfortasi oksigen dalam darah
6. Mengetahui tingkat distribusi dan tranfortasi
oksigen dalam darah, dan sitem lainnya di seluruh tubuh.
7. Tindakan kolaboratif
|
No.
|
Diagnosa
|
Tujuan &
Kriteria Hasil (NOC)
|
Intervensi
(NIC)
|
Rasional
|
2.3.3
|
Gangguan Pola Tidur
|
Setelah
dilakukan asuhan keperawatan selama... x 24 jam diharapkan px tidak terganggu
saat tidur dengan kriteria hasil :
1. Jumlah jam tidur dalam batas normal 6-8 jam/hari.
2. Pola tidur, kualitas dalam batas normal.
3. Perasaan segar sesudah tidur atau istirahat.
4. Mampu mengidentifikasi hal-hal yang meningkatkan
tidur.
|
1. Determinasi efek-efek medikasi terhadap pola tidur.
2. Jelaskan pentingnya tidur yang adekuat
3. Fasilitas untuk mempertahankan aktivitas sebelum
tidur (membaca) atau teknik distraksi.
4. Ciptakan lingkungan yang nyaman.
5. Kolaborasi pemberian obat tidur.
6. Diskusikan dengan pasien dan keluarga tentang teknik
tidur pasien.
7. Instruksikan untuk memonitor tidur pasien.
8. Monitor waktu makan dan minum dengan waktu tidur.
9. Monitor/catat kebutuhan tidur pasien setiap hari dan
jam.
|
1.
Mengetahui
pengaruh obat dengan pola tidur pasien.
2.
Memberikan
informasi kepada pasien dan keluarga pasien.
3.
Meningkatkan
tidur.
4.
Agar periode tidur
tidak terganggu dan rileks.
5.
Mengurangi
gangguan tidur.
6.
Meningkatkan
pola tidur yang baik secara mandiri.
7.
Mengetahui
perkembangan pola tidur pasien
.
8.
Mengetahui
pengaruh waktu makan dan minum terhadap pola tidur pasien.
9.
Mengetahui
perkembangan pola tidur pasien.
|
Pengkajian fisik
keperawatan
Inspeksi
Lakukan
pemeriksaan secara melihat keadaan umum system pernapasan dan nilai adanya
tanda-tanda abnormal seperti adanya tanda sianosis, pucat, kelelahan, sesak
napas, batuk, penilaian produksi sputum dan lainnya.
Dalam
melakukan pengkajian fisik secara isnpeksi, maka perawat perlu memahami kondisi
system pernapasan dalam rongga thorak secara imajiner. Hal ini sangat berguna
bagi perawat pemeriksa kondisi normal dan abnormal dari interpretasi
pemeriksaan fisik.
Dengan
mengacu pada torak, lokasi ditetapkan baik secara horizontal dan vertical,
rujukan horizontal dibuat dalam istilah iga atau spasium interkostal dibawah
jari-jari pemeriksa. Pada permukaan anterior, mengidentifikasi iga spesifik
dimudahkan dengan mencari letak sudut (sudut Louis) tempat bertemunya sendi
manubrium tubuh dengan sternum pada garis tengah. Sendi iga kedua bertemu
dengan sternum pada patokan yang menonjol. Iga lainnya dapat diidentifikasi
dengan menghitung kebawah dari iga kedua. Spasium interkostal disebut dengan
nama iga yang dapat tepat di atas spasium interkostal tersebut. Lokasi iga-iga
pada permukaan posterior toraks tampak lebih sulit. Langkah pertama adalah
mengidentifikasi prosesus spinosus. Hal ini diselesaikan dengan menemukan
prosesus yang paling menonjol, vertebra servikalis ketujuh (vertebra prominen).
Jika leher sedikit difleksikan, prosesus spinosus servikalis ketujuh akan
menonjol. Vertebra lainnya kemudian dapat diidentifikasi dengan menghitung ke
bawah.
Beberapa
garis imajiner digunakan sebagai rujukan vertikel atau patokan untuk
mengidentifikasi letak temuan toraks. Jika lengan diabduksi 90 derajat, garis
imajiner vertical dapat ditarik dari lipat aksila anterior, dari tengah-tengah
aksila, dan dari lipat aksila posterior. Garis-garis ini secara berurutan
disebut garis aksila anterior, garis mid aksila, dan garis aksila posterior.
Lobus
paru mungkin terletak pada permukaan dinding dada dengan posisi garis antara
lobus atas dan bawah pada sebelah kiri dimulai pada prosesus spinosus toraksik
keempat kea rah posterior, berlanjut ke sekitarnya melampui iga kelima garis
mid aksila dan bertemu iga keenam pada sternum.
Bentuk dada
Penilaian
bentuk dada secara inspeksi untuk melihat seberapa jauh kelainan yang terjadi
pada klien. Bentuk dada normal pada orang dewasa adalah diameter
anteroposterior dalam proporsi terhadap diameter lateral.
Bentuk dada yang
biasa didapatkan seperti :
1) Bentuk
dada toraks phthisis (panjang dan gepeng)
2) Bentuk
dada toraks en batuau (toraks dada burung)
3) Bentuk
dada toraks emfisematous (barrel chest) – didapatkan apabila diameter
anteroposterior berbanding proporsi diameter lateral adalah 1 : 1, kata lainnya
adalah bentuk dada tong
4) Bentuk
dada toraks pektus ekskavatus (funnel chestatau dada cekung ke dalam).
Kurvatura tulang
belakang
Penilaian
kurvatura normal tulang belakang biasanya konveks pada bagian dada dan konkaf
sepanjang leher serta pinggang. Kalau dilihat dari samping lengkung kolumna
vertebralis memperlihatkan empat kurva atau lengkung anterior-posterior,
lengkung vertical pada daerah leher melengkung kedepan, daerah torakal
melengkung kebelakang, daerah lumbal melengkung kedepan, dan daerah pelvis
melengkung ke belakang.
Pengebalan
anatomis kurvatura sangat penting pada setiap segmen dari tulang belakang,
orientasi yang baik dari perawat terhadap pengenalan kurvatura tulang belakang
akan memudahkan perawat dalam mengenal adanya deformitas pada setiap segemen
dari tulang belakang. Deformitas tulang belakang, yang sering terjadi yang
perlu diperhatikan meliputi skoliosis (pembekakan pada tulang belakang kea rah
lateral), kifosis (kenaikan kurvatura tulang belakang bagian dada), dan
lordosis (membebek, kurvatura/pembengkokan tulang belakang bagian pinggang yang
berlebihan).
Gerakan
pernapasan dan kesimetrisan dada
Adanya
satu sisi cembung pada pemeriksaan inspeksi dapat mengindikasikan ada suatu
proses di dalam rongga torak oleh karena penimbunan air, nanah, udara di rongga
pleura, aneurisma aorta, cairan dalam rongga perikard, tumor paru/mediastinum,
pembesaran jantung, atau abses hati.
Perhatikan
adanya asimetris gerakan dinding dada anterior dan posterior. Penilaian
terhadap ekspansi lobus atas paling baik dengan inspeksi dari belakang klien,
dengan memperhatikan kedua klavikula selama pernapasan sedang. Gerakan yang
berkurang menunjukkan penyakit paru yang mendasarinya. Sisi yang terkena akan
memperlihatkan gerakan yang terlambat atau menurun. Untuk penilaian ekspansi
lobus bawah diperlukan inspeksi serta palpasi anterior dan posterior.
Gerakan
dinding dada unilateral yang berkurang dapat disebabkan oleh fibrosis paru yang
terlokalisir, konsolidasi, kolaps, efusi pleura, atau pneumotoraks.
Berkurangnya gerakan dinding dada bilateral menunjukkan adanya kelainan difus
seperti hambatan jalan nafas kronik atau fibrosis paru difus. Ekskursi
diafragmatik yang menurun mungkin tampak pada klien dengan efusi pleural dan
emfisema. Peningkatan dalam tekanan intraabdomen, seperti yang terjadi pada
kehamilan atau asistes dapat menyebabkan letak diafragma menjadi tinggi.
Palpasi
Tujuan
pemeriksaan palpasi rongga dada meliputi :
1) Untuk
melihat adanya kelainan pada dinding toraks. Kelainan yang mungkin didapatkan
pada pemeriksaan ini antara lain nyeri tekan dan adanya emfisema sunkutis
2) Menyatakan
adanya tanda-tanda penyakit paru dengan memeriksa :
a) Gerakan
dinding toraks anterior/ekskursi pernapasan.
- Letakkan
kedua tangan pada dada klien sehingga kedua ibu jari pemeriksa terletak digaris
tengah di atas sternum.
- Ketika
klien mengambil napas dalam-dalam, maka kedua ibu jari tangan harus bergerak
secara simetris dan terpisah satu sama lain minimal 5 cm. ekspansi yang
berkurang pada satu sisi menunjukkan adanya lesi pada sisi tersebut.
b) Ekspansi
dada posterior
- Ekspansi
lobus bawah dinilai dari arah belakang dengan palpasi. Beberapa hal mengenai
ekspansi lobus atas dan media mungkin ditemukan bila manuver tersebut diulangi
pada dada depan, tetapi lebih baik dengan inspeksi.
- Ibu
jari tangan kanan dan kiri harus bertemu digaris tengah dan harus agak
terangkat dari dinding dada sehingga dapat bergerak bebas sesuai irama pernapasan
- Ekspansi
lobus bawah dinilai dari arah belakang dengan palpasi. Beberapa hal mengenai
ekspansi lobus atas dan media mungkin ditemukan bila manuver tersebut diulangi
pada dada depan, tetapi lebih baik dengan inspeksi.
c) Getaran
suara (fremitus vocal), getaran yang terasa oleh tangan pemeriksa yang
diletakkan pada dada klien sewaktu mengucapkan kata-kata
d) Bunyi
yang dibangkitkan oleh penjalaran dalam laring arah distal sepanjang pohon
bronchial untuk membuat dinding dada dalam gerakan resonan. Hal ini terutama
benar pada bunyi konsonan. Kapasitas untuk merasakan bunyi pada dinding dada
disebut taktil fremitus.
Perkusi toraks
Perkusi
menentukan dinding dada dan struktur dibawahnya dalam gerakan, menghasilkan
vibrasi taktil dan dapat terdengar. Pemeriksa menggunakan perkusi untuk
menentukan apakah jaringan dibawahnya terisi oleh udara, cairan, bahan padat,
atau tidak. Pemeriksa juga meggunakan perkusi untuk memperkirakan ukuran dan
letak struktur tertentu di dalam toraks (contoh : diafragma, jantung, hepar,
dan lain-lain).
Prosedur
: perkusi biasanya dimulai dengan toraks posterior, klien dalam posisi duduk
dengan kepala fleksi ke depan dan lengan disilangkan diatas pangkuan. Posisi
ini akan memisahkan scapula dengan lebar dan memajan area paru lebih luas untuk
pengkajian. Prosedur tersebut adalah sebagai berikut : perkusi kedua bagian
atau bahu, temukan letak seluas 5 cm bunyi resonan diatas kedua apeks paru.
Nada
yang timbul dipengaruhi oleh ketebalan dinding dada, juga oleh
struktur-struktur di bawahnya. Perkusi pada struktur yang padat seperti hepar
atau daerah konsolidasi paru menimbulkan nada yang redup. Perkusi pada daerah
yang berisi cairan seperti efusi pleura menimbulkan nada yang sangat redup atau
nada pekak. Perkusi pada paru yang normal menimbulkan nada sonor dan perkusi
pada struktur yang berongga, seperti usus atau pneumotoraks, menimbulkan nada
hipersonor.
Perkusi
dada : dengan tangan kiri pada dinding dada dan jari-jari agak terpisah dan
sejajar dengan iga-iga, jari tengan ditekan dengan lembut pada dinding dada.
Kemudian ujung jari tengah tangan kanan dipakai untuk mengetuk pada falang
media dan jari tengah tangan kiri. Jari yang melakukan perkusi harus cepat
diangkat sehingga nada yang timbul tidak terendam. Jari yang melakukan perkusi
harus dalam keadaan setengah fleksi dan gerakan mengayun yang dijatuhkan harus
dilakukan pada sendi pergelangan tangan dan bukannya pada lengan bawah.
III. Daftar
pustaka
Wilkinson, Judith M (2011). Buku Saku
Diagnosis Keperawatan Nanda NIC NOC : Edisi 9. Jakarta : EGC
No comments:
Post a Comment