Sunday, May 19, 2019

Laporan Pendahuluan Efusi Pleura

LAPORAN PENDAHULUAN
EFUSI PLEURA

I.     Konsep Penyakit Efusi Pleura
1.1    Definisi Efusi Pleura
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dalam rongga pleura (Somantri, 2008).

Efusi pleura adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak diantara permukaan viseral dan pariental, proses penyakit primer jarang terjadi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain (Suzanne, 2002).

Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dalam rongga pleura berupa transudat dan eksudat yang diakibatkan terjadinya ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi di kapiler dan pleura viseralis (Muttaqin, 2012).

1.2    Etiologi
Penyebab efusi pleura dibedakan atas :
a.       Transudat
Pleuritis serosa, serofibronosa dan  fibrinosa semuanya disebabkan oleh proses yang pada hakikatnya sama. Eksudasi fibrinosa umumnya pada fase perkembangan awal, mungkin bermanifestasi sebagai eksudat serosa atau serofibrinosa, tetapi akhirnya akan muncul reaksi eksudativa yang lebih parah. Efusi pleura ini disebabkan oleh gagal jantung kongestif, emboli paru, sirosishati (penyakit intrabdominanl), dialisis peritoneal, hipoalbuminemia, sindrom nefrotik, glomerulonefritis akut, retensi garam, atau pasca by-pass koroner.

b.      Eksudat
Penimbunan non-inflamatorik cairan serosa di dalam rongga pleura disebut hidrotoraks. Eksudat terjadi akibat peradangan dan infiltrasi pada pleura atau jaringan yang berdekatan dengan pleura. Kerusakan pada dinding kapiler darah menyebabkan terbentuknya cairan kaya protein yang keluar dari pembuluh darah dan berkumpul pada rongga pleura. Penyebab efusi pleura eksudatif adalah neoplasma, infeksi, penyakit jaringan ikat, penyakit, intraabdominal, dan imunologik. Bendungan pada pembuluh limfa juga dapat menyebabkan efusi pleura eksudatif. Klitotoraks adalah penimbunan cairan seperti susu, biasanya berasal dari pembuluh limfa, di rongga pleura. Kilus tampak putih susu karena mengandung emulsi halus lemak.

c.       Penyebab lain
-          Gagal jantung
-          Kadar protein darah yang rendah
-          Sirosis
-          Pneumonia
-          Blastomikosis
-          Emboliparu
-          Perikarditis
-          Tumor Pleura
-          Pemasangan NGT yang tdk baik

1.3    Tanda dan gejala
Gejala-gejala timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau  jika mekanika paru terganggu. klien dengan efusi pleura biasanya akan mengalami keluhan :
a.       Batuk
b.      Sesak napas
c.       Nyeri pleuritis
d.      Rasa berat pada dada
e.      Berat badan menurun
f.        Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, mengigil, dam nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkolosis) banyak keringat, batuk,
g.       Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi  jika terjadi penumpukan cairan pleural yang signifikan.
h.      Pada pemeriksaan fisik :
-          Inflamasi dapat terjadi friction rub
-          Atelektaksis kompresif  (kolaps paru parsial ) dapat menyebabkan bunyi napas bronkus.
-          Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan.
-          Focal fremitus melemah pada perkussi didapati pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis ellis damoiseu)
-          Didapati segitiga garland yaitu daerah yang diperkussi redup timpani dibagian atas garis ellis damoiseu. Segitiga grocco-rochfusz, yaitu daerah pekak karena cairan mendorong mediastinum kesisi lain. Pada auskulutasi daerah ini didapati vesikuler melemah dengan ronchi.

1.4    Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya effusi pleura tergantung pada keseimbangan antara cairan dan protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi yang terjadi karena perbedaan tekanan osmotic plasma dan jaringan interstitial submesotelial kemudian melalui sel mesotelial masuk ke dalam rongga pleura.  Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar pleura.

Pada kondisi tertentu rongga pleura dapat terjadi penimbunan cairan berupa transudat maupun eksudat.  Transudat terjadi pada peningkatan tekanan vena pulmonalis, misalnya pada gagal jatung kongestif. Pada kasus ini keseimbangan kekuatan menyebabkan pengeluaran cairan dari pmbuluh darah. Transudasi juga dapat terjadi pada hipoproteinemia seperti pada penyakit hati dan ginjal. Penimbunan transudat dalam rongga pleura disebuthidrotoraks. Cairan pleura cenderung tertimbun pada dasar paru akibat gaya gravitasi.

Penimbunan eksudat disebabkan oleh peradangan atau keganasan pleura, dan akibat peningkatan permeabilitas kapiler atau gangguan absorpsi getah bening.Jika efusi pleura mengandung nanah, keadaan ini disebut empiema. Empiema disebabkan oleh prluasan infeksi dari struktur yang berdekatan dan dapat merupakan komplikasi dari pneumonia, abses paru atau perforasi karsinoma ke dalam rongga pleura. Bila efusi pleura berupa cairan hemoragis disebut hemotoraks dan biasanya disebabkan karena trauma maupun keganasan.

Efusi pleura akan menghambat fungsi paru dengan membatasi engembangannya. Derajat gangguan fungsi dan kelemahan bergantung pada ukuran dan cepatnya perkembangan penyakit. Bila cairan tertimbun secara perlahan-lahan maka jumlah cairan yang cukup besar mungkin akan terkumpul dengan sedikit gangguan fisik yang nyata.

Kondisi efusi pleura yang tidak ditangani, pada akhirnya akan menyebabkan gagal nafas. Gagal nafas  didefinisikan sebagai kegagalan pernafasan bila tekanan partial Oksigen (Pa O2)≤ 60 mmHg atau tekanan partial Karbondioksida arteri (Pa Co2) ≥ 50 mmHg melalui pemeriksaan analisa gas darah.

Di dalam rongga pleura terdapat kurang lebih 5-15 ml cairan yang  cukup untuk membasahi seluruh permukaan pleura parietalis dan pleura viseralis.  Cairan ini dihasilkan oleh kapiler pleura parietalis karena adanya tekanan hidrostatik, tekanan koloid dan daya tarik elastis. Sebagian cairan ini diserap kembali oleh kapiler paru dan pleura viseralis, sebagian kecil lainnya (10-20 %) mengalir ke dalam pembuluh limfe sehingga pasase cairan di sini mencapai 1 liter seharinya.

Terkumpulnya  cairan di rongga pleura (efusi pleura) terjadi bila keseimbangan antara produksi dan absorpsi terganggu misalnya pada hiperemia akibat inflamasi, perubahan tekanan osmotik, (hipoalbuminemia), peningkatan tekanan vena (gagal jantung). Transudat misalnya terjadi pada gagal jantung karena bendungan vena disertai peningkatan tekanan hidrostatik, dan sirosis hepatik tekanan osmotik koloid yang menurun. Eksudat dapat disebabkan antara lain oleh keganasan dan infeksi. Cairan keluar langsung dari kapiler sehingga kaya akan protein dan berat jenisnya tinggi. Cairan ini juga mengandung banyak sel darah putih. Sebaliknya transudat kadar proteinnya rendah sekali atau nihil sehingga berat jenisnya rendah.

Infeksi  tuberkulosis  pleura biasanya disebabkan oleh efek primer sehingga berkembang pleuritis eksudativa tuberkulosa. Pergeseran antara kedua pleura yangmeradang akan menyebabkan nyeri. Suhu badan mungkin hanya sub febril, kadang ada demam. Diagnosis pleuritis tuberkulosa eksudativa ditegakkan dengan pungsi untuk pemeriksaan kuman basil tahan asam dan jika perlu torakskopi untuk biopsi pleura.

Pada  penanganannya, selain diperlukan tuberkulostatik, diperlukan juga istrahat dan kalau perlu pemberian analgesik. Pungsi dilakukan bila cairan demikian banyak dan menimbulkan sesak napas dan pendorongan mediastinum ke sisi yang sehat. Penanganan yang baik akan memberikan prognosis yang baik, pada fungsi paru-paru maupun pada penyakitnya.




1.5    Pemeriksaan penunjang
a.       Pemeriksaan radiologi pada fluoroskopi maupun foto thorak PA cairan yang kurang dari 300 cc tidak bisa terlihat. Mungkin kelainan yang tampak hanya berupa penumpukan sostophrenicus apabila cairan tidak tampak pada foto posterior-anterior (PA) maka dapat dibuat foto pada posisi dekubitus lateral. Dengan foto toraks posisi lateral dekubitus dapat diketahui adanya cairan dalam rongga pleura sebanyak paling sedikit 70 cc, sedangkan dengan posisi PA paling tidak cairan dapat diketahui sebanyak 300 cc.
b.      Biopsi pleura
Dapat menunjukkan 50-70% diagnosis kasus pleuritistuberkolosis dan tumor pleura. Biopsi ini berguna untuk mengambil spesimen jaringan pleura melalui biopsi jalur perkutaneus. Komplikasi biopsi adalah pneumothoraks, hemothoraks, penyebaran infeksi dan tumor dinding dada.
c.       Analisa cairan pleura
Untuk diagnostik cairan pleura perlu dilakukan pemeriksaan:
1.      Warna cairan
-       Haemorragic pleural efusion, biasanya pada klien dengan adanya keganasan paru atau akibat infark paru terutama disebabkan oleh tuberkolosis.
-       Yellow exudates pleural efusion, terutama terjadi padakeadaan gagal jantung kongestif, sindrom nefrotik, hipoalbuminemia, dan perikarditis konstriktif.
-       Clear transudate pleural efusion, sering terjadi pada klien dengan keganasan ekstrapulmoner.
2.      Biokimia, untuk membedakan transudasi dan eksudasi.
3.      Sitologi, pemeriksaan sitologi bila ditemukan patologis atau dominasi sel tertentu untuk melihat adanya keganasan
4.      Bakteriologi
Biasanya cairan pleura steril, tapi kadang-kadang dapat mengandung mikroorganisme, apalagi bila cairannya purulen. Efusi yang  purulen dapat mengandung kuman-kuman yang aerob ataupun anaerob. Jenis kuman yang sering ditemukan adalah Pneumococcus, E.coli, clebsiella, Pseudomonas, Enterobacter.
d.      CT Scan Thoraks
Berperan penting dalam mendeteksi ketidaknormalan konfigurasi trakea serta cabang utama bronkus, menentukan lesi pada pleura dan secara umum mengungkapkan sifat serta derajat kelainan bayangan yang terdapat pada paru dan jaringan toraks lainnya.
e.       Ultrasound
Ultrasound dapat membantu mendeteksi cairan pleura yang timbul dan sering digunakan dalam menuntun penusukan jarum untuk mengambil cairan pleura pada torakosentesis.

1.6    Komplikasi
a.       Fibro thoraks
Efusi pleura yang berupa eksudat yang tidak ditanganidengan drainase yang baik akan terjadi perlekatan fibrosa antara pleura parietalis dan pleura viseralis akibat efusi pleura yang tidak ditangani dengan drainase yang baik. jika fibrothoraks meluas dapat menimbulkan hambatan mekanis yang berat pada jaringan-jaringan yang berada dibawahnya pembedahan pengupasan (dekortikasi) perlu dilakukan untuk memisahkan membrane-membran pleura tersebut.
b.      Atelektaksis
Atelektasis merupakan pengembangan paru yang tidak sempurna yang disebabkan oleh penekanan akibat efusi pleura.
c.       Fibrosis
Pada fibrosis paru merupakan keadaan patologis dimana terdapat jaringan ikat paru dalam jumlah yang berlebihan. Fibrosis timbul akibat cara perbaikan jaringan sebagai lanjutan suatu proses penyakit paru yang menimbulkan peradangan. Pada efusi pleura, atelektaksis yang berkepanjangan dapat menyebabkan penggantian  jaringan baru yang terserang dengan jaringan fibrosis.

1.7    Penatalaksanaan
Pada efusi yang terinfeksi perlu segera dikeluarkan dengan memakai pipa intubasi melalui selang iga. Bila cairan pusnya kental sehingga sulit keluar atau bila empiemanya multiokuler, perlu tindakan operatif. Mungkin sebelumnya dapat dibantu dengan irigasi cairan garam fisiologis atau larutan antiseptik. Pengobatan secara sistemik hendaknya segera dilakukan, tetapi terapi ini tidak berarti bila tidak diiringi pengeluaran cairan yang adequate.

Untuk mencegah terjadinya lagi efusi pleura setelah aspirasi dapat dilakukan pleurodesis yakni melengketkan pleura viseralis dan pleura parietalis. Zat-zat yang dipakai adalah tetrasiklin, Bleomicin, Corynecbaterium parvum dll.
a.    Pengeluaran efusi yang terinfeksi memakai pipa intubasi melalui sela iga.
b.    Irigasi cairan garam fisiologis atau larutan antiseptik (Betadine).
c.    Pleurodesis, untuk mencegah terjadinya lagi efusi pleura setelah aspirasi.
d.   Torasentesis: untuk membuang cairan, mendapatkan spesimen (analisis), menghilangkan dyspnea. Pengambilan cairan melalui sebuah jarum yang di masukkan di antara sel iga tepatnya di dalang rongga pleura, misalnya push pada emfhisema atau untuk mengeluarkan udara yang terdapat di dalam rongga pleura.
e.    Water seal drainage (WSD) : Drainase cairan (Water Seal Drainage) jika efusi menimbulkan gejala subyektif seperti nyeri, dispnea, dll. Cairan efusi sebanyak 1 – 1,2 liter perlu dikeluarkan segera untuk mencegah meningkatnya edema paru, jika jumlah cairan efusi lebih banyak maka pengeluaran cairan berikutya baru dapat dilakukan 1 jam kemudian.
f.     Antibiotika jika terdapat empiema.
g.    Operatif.

1.8   
(sumber : R. Sjamsuhidayati, 1997 : 526)

Patway
EFUSI PLEURA
 


Peradangan                          aliran darah                          osmototik                              gangguan
meningkat                             koloid darah                         fungsi limfatik
menurun

kerusakan                             tekanan                                 perma abilitas
endotel                                   hidrostatik                             kapiler
                                                                meningkat                             meningkat
 


permeabilitas                        filtrasi cairan
membrane                            dan protein
pleura                                     meningkat
meningkat
 


perembesan                          protein
meningkat                             menurun
 


                                                                osmotic koloid                                                                     absorbsi
                                                                meningkat                                                                             menurun



                                                                absorbsi menurun

                                                                akumulasi
                                                                cairan
 



penurunan                                                                                            pemasangan
ekaspansi paru                                                                                     WSD

 


pola nafas                             resti                         gangguan rasa                      omobilisasi
tidak efektif                          infeksi                    nyaman
                                                                                                (nyeri akut)                           gangguan mobilisasi
II.      Rencana asuhan klien dengan gangguan efusi pleura
2.1     Pengkajian
2.1.1   Riwayat Kesehatan
pengkajian pada efusi pleura ini mengacu pada 11 pola Gordon
a.       Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
-       Data subjektif : riwayat kebiasaan penggunaan obat-obatan, merokok, minum alcohol.
-       Data objektif : ada obat-obatan
b.      Pola nutrisi dan metabolic
-       data subjektif  : kebiasaan makan dan minum, terjadinya penurunan nafsu makan
-       data objektif : turgor kulit jelek, mukosa kering dan penurunan berat badan
c.       pola eliminasi
-       data subjektif : penurunan frekuensi BAB, penurunan peristaltik usus, otot-otot traktus digestivusdan peningkatan BAK
-       data objektif  : perubahan jumlah urine yang meningkat
d.      pola aktifitas dan latihan
-       data subjektif : sesak napas, kelelahan, nyeri dada, penurunan aktifitas
-       data objektif : penurunan aktifitas secara mandiri
e.       pola tidur dan istirahat
-       data subjektif : sulit tidur, penurunan kebutuhan tidur karena adanya sesak, nyeri dada dan peningkatan suhu tubuh.
-       Data objektif : palpebra inferior warna gelap dan wajah mengantuk
f.       Pola persepsi dan kgonitif
-       Data subjektif : perasaan nyeri
-       Data objektif : bingung dan gelisah
g.      Pola hubungan dan peran
Data subjektif : perubahan peran interpersonal
Data objektif : kurang berinteraksi
h.      Pola persepsi dan konsep diri
-       Data subjektif : perubahan persepsi diri
-       Data objektif : perhatian kurang, kontak mata



i.        Pola mekanisme koping
-       Data subjektif : stress, bertanya-tanya tentang penyakitnya
-       Data objektif : ansietas
j.        Pola reproduksi dan seksualitas
-       Data subjektif : penurunan libido
-       Data objektif : keterbatasan gerak
k.      Pola system dan kepercayaan
-          data subjektif  : kemampuan pasien dalam menjalankan ibadah, tanggapan pasien atau keluarga mengenai agamanya
-          data objektif : agama yang dianut oleh pasien.

2.1.2   Pemeriksaan penunjang
a.       Pemeriksaan radiologi
b.      Biopsi pleura
c.       Analisa cairan pleura
d.      CT Scan Thoraks
e.       Ultrasound

2.2     Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
Diagnose I : pola nafas tidak efektif
2.2.1   Definisi
Inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak member ventilasi adekuat
2.2.2   Batasan karakteristik
-       Bradipnea
-       Dispnea
-       Fase ekspirasi memanjang
-       Ortopnea
-       Penggunaan otot bantu pernapasan
-       Penggunaan posisi tiga-titik
-       Peningkatan diameter anterior-posterior
-       Penurunan kapasitas vital
-       Penurunan tekanan ekspirasi
-       Penurunan tekanan inspirasi
-       Penurunan ventilasi semenit
-       Pernapasan bibir
-       Pernapasan cuping hidung
-       Perubahan ekskursi dada
-       Pola napas abnormal (mis, irama, frekuensi, kedalaman)
-       Takipneu
2.2.3   Factor yang berhubungan
-       Ansietas
-       Cedera medulla spinalis
-       Deformitas tulang
-       Disfungsi neuromuskuler
-       Gangguan musculoskeletal
-       Gangguan neurologis (mis, elektroensefalogram [EEG] positif, trauma kepala, gangguan kejang)
-       Hiperventilasi
-       Imaturitas neurologis
-       Keletihan
-       Keletihan otot pernapasan
-       Nyeri
-       Obesitas
-       Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru
-       Sindrom hipoventilasi

Diagnose II : Gangguan pola tidur
2.2.4   Definisi
Interupsi jumlah waktu dan kualitas tidur akibat factor eksternal\
2.2.5   Batasan karakteristik
-       Kesulitan jatuh tidur
-       Ketidak puasan tidur
-       Menyatakan tidak merasa cukup istirahat
-       Penurunan kemampuan berfungsi
-       Perubahan pola tidur normal
-       Sering terjaga tanpa jelas penyebabnya
2.2.6   Faktor yang berhubungan
-       Gangguan karena pasangan tidur
-       Halangan lingkungan (mis, bising, pejanan cahaya/gelap, suhu,/kelembapan, lingkungan yang tidak dikenal)
-       Imobilisasi
-       Kurang privasi
-       Pola tidur tidak menyehatkan (mis, karena tanggung jawab menjadi pengasuh, menjadi orang tua, pasangan tidur)

2.3     Perencanaan
No.
Diagnosa
Tujuan & Kriteria Hasil (NOC)
Intervensi (NIC)
Rasional
2.3.1
Pola nafas tidak efektif

Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama... x 24 jam diharapkan pola nafas klien efektif, dengan kriteria hasil :
1.       Memiliki RR dalam batas normal
2.       Mampu inspirasi dalam
3.       Memiliki dada yang mengembang secara simetris
4.       Dapat bernafas dengan mudah
5.       Tidak menggunakan otot-otot tambahan dalam bernafas
6.       Tidak mengalami dispnea
1.       Monitor rata-rata, irama, kedalaman dan usaha respirasi




2.       Perhatikan pergerakan dada, amati kesemetrisan, penggunaan oto-otot aksesoris, dan retraksi otot supraklavikuler dan interkostal

3.       Monitor respirasi yang berbunyi, seperti mendengkur (ronchi)




4.       Monitor pola pernafasan: bradipneu, takipneu, hiperventilasi, respirasi Kussmaul, respirasi Cheyne-Stokes, dan apneustik Biot dan pola taxic

5.       Monitor peningkatan ketidakmampuan istirahat, kecemasan, dan haus udara, perhatikan perubahan pada SaO2, SvO2, CO2 akhir-tidal, dan nilai gas darah arteri (AGD), dengan tepat

6.       Monitor kualitas dari nadi, suhu, warna, dan kelembaban kulit


7.       Beri tahu dokter tentang hasil gas darah yang abnormal.

1.       Mengetahui irama, kedalaman dan usaha respirasi, serta funsi paru apakah mengembang dengan baik atau tidak.
2.       Penggunaan otot – otot asesorius dan otot bantu lainnya dalam bernafas menunjukan bahwa, klien mengalami kesulitan dalam bernafas secara normal.

3.       Suara nafas tambahan, seperti mendengkur atau ronchi, bisa dikatakan terdapat sekret yang menumpuk di dalam saluran pernafasan.

4.       Memastikan tidak ada perubahan pola pernafasan pada klien








5.       Peningkatan ketidakmampuan istirahat, serta kecemasan dapat memperberat sistem pernafasan. Selain itu untuk mengetahui tingkat distribusi dan tranfortasi oksigen dalam darah




6.       Mengetahui tingkat distribusi dan tranfortasi oksigen dalam darah, dan sitem lainnya di seluruh tubuh.

7.       Tindakan kolaboratif






No.
Diagnosa
Tujuan & Kriteria Hasil (NOC)
Intervensi (NIC)
Rasional
2.3.3
Gangguan Pola Tidur
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama... x 24 jam diharapkan px tidak terganggu saat tidur dengan kriteria hasil :
1.       Jumlah jam tidur dalam batas normal 6-8 jam/hari.
2.       Pola tidur, kualitas dalam batas normal.
3.       Perasaan segar sesudah tidur atau istirahat.
4.       Mampu mengidentifikasi hal-hal yang meningkatkan tidur.
1.    Determinasi efek-efek medikasi terhadap pola tidur.

2.    Jelaskan pentingnya tidur yang adekuat

3.    Fasilitas untuk mempertahankan aktivitas sebelum tidur (membaca) atau teknik distraksi.

4.    Ciptakan lingkungan yang nyaman.

5.    Kolaborasi pemberian obat tidur.

6.    Diskusikan dengan pasien dan keluarga tentang teknik tidur pasien.

7.    Instruksikan untuk memonitor tidur pasien.

8.    Monitor waktu makan dan minum dengan waktu tidur.

9.    Monitor/catat kebutuhan tidur pasien setiap hari dan jam.
1.    Mengetahui pengaruh obat dengan pola tidur pasien.

2.    Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga pasien.

3.    Meningkatkan tidur.






4.    Agar periode tidur tidak terganggu dan rileks.

5.    Mengurangi gangguan tidur.


6.    Meningkatkan pola tidur yang baik secara mandiri.


7.    Mengetahui perkembangan pola tidur pasien

.
8.    Mengetahui pengaruh waktu makan dan minum terhadap pola tidur pasien.
9.    Mengetahui perkembangan pola tidur pasien.


Pengkajian fisik keperawatan
Inspeksi
Lakukan pemeriksaan secara melihat keadaan umum system pernapasan dan nilai adanya tanda-tanda abnormal seperti adanya tanda sianosis, pucat, kelelahan, sesak napas, batuk, penilaian produksi sputum dan lainnya.
Dalam melakukan pengkajian fisik secara isnpeksi, maka perawat perlu memahami kondisi system pernapasan dalam rongga thorak secara imajiner. Hal ini sangat berguna bagi perawat pemeriksa kondisi normal dan abnormal dari interpretasi pemeriksaan fisik.
Dengan mengacu pada torak, lokasi ditetapkan baik secara horizontal dan vertical, rujukan horizontal dibuat dalam istilah iga atau spasium interkostal dibawah jari-jari pemeriksa. Pada permukaan anterior, mengidentifikasi iga spesifik dimudahkan dengan mencari letak sudut (sudut Louis) tempat bertemunya sendi manubrium tubuh dengan sternum pada garis tengah. Sendi iga kedua bertemu dengan sternum pada patokan yang menonjol. Iga lainnya dapat diidentifikasi dengan menghitung kebawah dari iga kedua. Spasium interkostal disebut dengan nama iga yang dapat tepat di atas spasium interkostal tersebut. Lokasi iga-iga pada permukaan posterior toraks tampak lebih sulit. Langkah pertama adalah mengidentifikasi prosesus spinosus. Hal ini diselesaikan dengan menemukan prosesus yang paling menonjol, vertebra servikalis ketujuh (vertebra prominen). Jika leher sedikit difleksikan, prosesus spinosus servikalis ketujuh akan menonjol. Vertebra lainnya kemudian dapat diidentifikasi dengan menghitung ke bawah.
Beberapa garis imajiner digunakan sebagai rujukan vertikel atau patokan untuk mengidentifikasi letak temuan toraks. Jika lengan diabduksi 90 derajat, garis imajiner vertical dapat ditarik dari lipat aksila anterior, dari tengah-tengah aksila, dan dari lipat aksila posterior. Garis-garis ini secara berurutan disebut garis aksila anterior, garis mid aksila, dan garis aksila posterior.
Lobus paru mungkin terletak pada permukaan dinding dada dengan posisi garis antara lobus atas dan bawah pada sebelah kiri dimulai pada prosesus spinosus toraksik keempat kea rah posterior, berlanjut ke sekitarnya melampui iga kelima garis mid aksila dan bertemu iga keenam pada sternum.
Bentuk dada
Penilaian bentuk dada secara inspeksi untuk melihat seberapa jauh kelainan yang terjadi pada klien. Bentuk dada normal pada orang dewasa adalah diameter anteroposterior dalam proporsi terhadap diameter lateral.
Bentuk dada yang biasa didapatkan seperti :
1)   Bentuk dada toraks phthisis (panjang dan gepeng)
2)   Bentuk dada toraks en batuau (toraks dada burung)
3)   Bentuk dada toraks emfisematous (barrel chest) – didapatkan apabila diameter anteroposterior berbanding proporsi diameter lateral adalah 1 : 1, kata lainnya adalah bentuk dada tong
4)   Bentuk dada toraks pektus ekskavatus (funnel chestatau dada cekung ke dalam).
Kurvatura tulang belakang
Penilaian kurvatura normal tulang belakang biasanya konveks pada bagian dada dan konkaf sepanjang leher serta pinggang. Kalau dilihat dari samping lengkung kolumna vertebralis memperlihatkan empat kurva atau lengkung anterior-posterior, lengkung vertical pada daerah leher melengkung kedepan, daerah torakal melengkung kebelakang, daerah lumbal melengkung kedepan, dan daerah pelvis melengkung ke belakang.
Pengebalan anatomis kurvatura sangat penting pada setiap segmen dari tulang belakang, orientasi yang baik dari perawat terhadap pengenalan kurvatura tulang belakang akan memudahkan perawat dalam mengenal adanya deformitas pada setiap segemen dari tulang belakang. Deformitas tulang belakang, yang sering terjadi yang perlu diperhatikan meliputi skoliosis (pembekakan pada tulang belakang kea rah lateral), kifosis (kenaikan kurvatura tulang belakang bagian dada), dan lordosis (membebek, kurvatura/pembengkokan tulang belakang bagian pinggang yang berlebihan).
Gerakan pernapasan dan kesimetrisan dada
Adanya satu sisi cembung pada pemeriksaan inspeksi dapat mengindikasikan ada suatu proses di dalam rongga torak oleh karena penimbunan air, nanah, udara di rongga pleura, aneurisma aorta, cairan dalam rongga perikard, tumor paru/mediastinum, pembesaran jantung, atau abses hati.
Perhatikan adanya asimetris gerakan dinding dada anterior dan posterior. Penilaian terhadap ekspansi lobus atas paling baik dengan inspeksi dari belakang klien, dengan memperhatikan kedua klavikula selama pernapasan sedang. Gerakan yang berkurang menunjukkan penyakit paru yang mendasarinya. Sisi yang terkena akan memperlihatkan gerakan yang terlambat atau menurun. Untuk penilaian ekspansi lobus bawah diperlukan inspeksi serta palpasi anterior dan posterior.
Gerakan dinding dada unilateral yang berkurang dapat disebabkan oleh fibrosis paru yang terlokalisir, konsolidasi, kolaps, efusi pleura, atau pneumotoraks. Berkurangnya gerakan dinding dada bilateral menunjukkan adanya kelainan difus seperti hambatan jalan nafas kronik atau fibrosis paru difus. Ekskursi diafragmatik yang menurun mungkin tampak pada klien dengan efusi pleural dan emfisema. Peningkatan dalam tekanan intraabdomen, seperti yang terjadi pada kehamilan atau asistes dapat menyebabkan letak diafragma menjadi tinggi.
Palpasi
Tujuan pemeriksaan palpasi rongga dada meliputi :
1)   Untuk melihat adanya kelainan pada dinding toraks. Kelainan yang mungkin didapatkan pada pemeriksaan ini antara lain nyeri tekan dan adanya emfisema sunkutis
2)   Menyatakan adanya tanda-tanda penyakit paru dengan memeriksa :
a)    Gerakan dinding toraks anterior/ekskursi pernapasan.
-  Letakkan kedua tangan pada dada klien sehingga kedua ibu jari pemeriksa terletak digaris tengah di atas sternum.
-  Ketika klien mengambil napas dalam-dalam, maka kedua ibu jari tangan harus bergerak secara simetris dan terpisah satu sama lain minimal 5 cm. ekspansi yang berkurang pada satu sisi menunjukkan adanya lesi pada sisi tersebut.

b)   Ekspansi dada posterior
-  Ekspansi lobus bawah dinilai dari arah belakang dengan palpasi. Beberapa hal mengenai ekspansi lobus atas dan media mungkin ditemukan bila manuver tersebut diulangi pada dada depan, tetapi lebih baik dengan inspeksi.
-  Ibu jari tangan kanan dan kiri harus bertemu digaris tengah dan harus agak terangkat dari dinding dada sehingga dapat bergerak bebas sesuai irama pernapasan
-  Ekspansi lobus bawah dinilai dari arah belakang dengan palpasi. Beberapa hal mengenai ekspansi lobus atas dan media mungkin ditemukan bila manuver tersebut diulangi pada dada depan, tetapi lebih baik dengan inspeksi.
c)      Getaran suara (fremitus vocal), getaran yang terasa oleh tangan pemeriksa yang diletakkan pada dada klien sewaktu mengucapkan kata-kata
d)     Bunyi yang dibangkitkan oleh penjalaran dalam laring arah distal sepanjang pohon bronchial untuk membuat dinding dada dalam gerakan resonan. Hal ini terutama benar pada bunyi konsonan. Kapasitas untuk merasakan bunyi pada dinding dada disebut taktil fremitus.
Perkusi toraks
Perkusi menentukan dinding dada dan struktur dibawahnya dalam gerakan, menghasilkan vibrasi taktil dan dapat terdengar. Pemeriksa menggunakan perkusi untuk menentukan apakah jaringan dibawahnya terisi oleh udara, cairan, bahan padat, atau tidak. Pemeriksa juga meggunakan perkusi untuk memperkirakan ukuran dan letak struktur tertentu di dalam toraks (contoh : diafragma, jantung, hepar, dan lain-lain).
Prosedur : perkusi biasanya dimulai dengan toraks posterior, klien dalam posisi duduk dengan kepala fleksi ke depan dan lengan disilangkan diatas pangkuan. Posisi ini akan memisahkan scapula dengan lebar dan memajan area paru lebih luas untuk pengkajian. Prosedur tersebut adalah sebagai berikut : perkusi kedua bagian atau bahu, temukan letak seluas 5 cm bunyi resonan diatas kedua apeks paru.
Nada yang timbul dipengaruhi oleh ketebalan dinding dada, juga oleh struktur-struktur di bawahnya. Perkusi pada struktur yang padat seperti hepar atau daerah konsolidasi paru menimbulkan nada yang redup. Perkusi pada daerah yang berisi cairan seperti efusi pleura menimbulkan nada yang sangat redup atau nada pekak. Perkusi pada paru yang normal menimbulkan nada sonor dan perkusi pada struktur yang berongga, seperti usus atau pneumotoraks, menimbulkan nada hipersonor.
Perkusi dada : dengan tangan kiri pada dinding dada dan jari-jari agak terpisah dan sejajar dengan iga-iga, jari tengan ditekan dengan lembut pada dinding dada. Kemudian ujung jari tengah tangan kanan dipakai untuk mengetuk pada falang media dan jari tengah tangan kiri. Jari yang melakukan perkusi harus cepat diangkat sehingga nada yang timbul tidak terendam. Jari yang melakukan perkusi harus dalam keadaan setengah fleksi dan gerakan mengayun yang dijatuhkan harus dilakukan pada sendi pergelangan tangan dan bukannya pada lengan bawah.



III.   Daftar pustaka
Wilkinson, Judith M (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan Nanda NIC NOC : Edisi 9. Jakarta : EGC


No comments:

Post a Comment